Latest Post

Solitude

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 31 Maret 2009 | Maret 31, 2009




padahal telah kutemukan sebuah taman bunga di pelupuk matanya. tepat di keningnya aku masih mengingat-ingat tentang ciuman yang belum lagi ranum. tapi dia adalah sebahagian dari lempengan mimpi. waktu yang membiarkan kami diam-diam menanami perjalanan dengan puisi-puisi yang belum sempat terbaca. cinta tak lagi sombong, tidak seperti ketika malam menetes-netes. tidak lagi sebagaimana pagi dulunya mengembun di muka jendela.

Bulukumba, 31 Maret 2009

Seni dan Plagiator



Teringat komentar seorang teman bahwa di republik ini banyak plagiator. Mulai band, pencipta lagu, lukisan sampai ranah sastra. Mari mengembara sejenak ke dalam sejarah plagiat sastra paling menghebohkan di Indonesia. Puisi Chairil Anwar, Karawang Bekasi, dianggap sebagai karya jiplakan. Bahkan bukan hanya Karawang Bekasi, ada banyak karya Chairil dianggap tidak orisinil. Ada cerita dari HB Jassin, ketika Chairil berkunjung ke perpustakaannya dan membaca penuh kagum sebuah karya Friedrich Nietszche, Thus Spoken Zarathustra. Chairil yang masih remaja memang melakukan kenakalan kecil. Karena miskin, yang dapat dilakukannya hanya mencuri. Chairil mengiris beberapa lembar buku itu dan menyelipkannya di balik baju. Hal itu diketahui oleh Jassin tapi ia pura-pura tidak tahu. Tapi, pembiaran ini akhirnya melahirkan sesuatu yang dahsyat dalam sejarah puisi modern Indonesia , yaitu lahirnya puisi eksistensialis, Aku. Chairil Anwar seorang plagiator? Saya yakin sebagian besar dari kita tidak akan setuju.

Hingga akhirnya, jauh hari setelah meninggal sang pelopor angkatan 45 itu, dituduh plagiator, lebih mirip gosip selebritas. Ia dianggap menyontek dari karya seniman besar dunia yang berbahasa Inggris dan Belanda, seperti Archibald MacLeish, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Conrad Aiken, dan WH Auden. Namun berdasarkan penelitian mendalam
Jassin dan Asrul Sani dimunculkan kesimpulan bahwa Chairil bukanlah seorang plagiator. Ia memang menerjemahkan beberapa karya, tapi sebagian besar karyanya adalah proses kreatif yang otonom. Pusara Chairil Anwar tetap ramai dikunjungi anak-anak sekolah di setiap zaman sesudah kepulangannya di antara tulang-tulang berserakan. Nama, riwayat dan karya-karyanya serasa tidak lengkap jika tidak terselip dalam jumlah tebal pada buku pelajaran sastra negeri ini.

Maka sebuah pertanyaan konyol, plagiatkah kita? Iwan Fals pernah beberapa kali mendengarkan lagu-lagu Bob Dylan.
Sang legenda musik Indonesia itu tentu bukan plagiator walau ada beberapa gaya lirik dan aransemen yang pasti di luar kesengajaan mirip dengan beberapa lagu Bob Dylan. Slank, lagu mereka seperti mengingatkan orang pada Jimi Hendrix dan Rolling Stones. Aldy, keponakan saya yang masih berusia 9 tahun suka membaca Harry Potter. Entah darimana bermula, mendadak bocah itu bisa mendongeng tentang kisah para penyihir yang dikarangnya sendiri. Plagiator, dia tanpa karya. Tapi ketika dia terinspirasi dari sebuah inspirasi lain, tentu kita tak bisa menghakimi.

Jejak La Galigo

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 30 Maret 2009 | Maret 30, 2009


Epik La Galigo adalah sebuah naskah sastra terpanjang di muka bumi ini. 10 kali lipat lebih panjang dari Mahabarata dan Ramayana atau karya sastra manapun yang pernah ditulis manusia.

Epik dimulai ketika jagad semesta raya ini masih kosong (link: Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilayah Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.

Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. 

Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang nahkoda yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.

Sawerigading adalah ayahanda I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja. Putra I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di kerajaan Luwu'.

Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing.

 Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.

referensi: Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia


Puisi dan Kecapi di RCA

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 29 Maret 2009 | Maret 29, 2009

Program Ekspresi RCA edisi Minggu 29 Maret terasa istimewa dengan kehadiran tetamu berbakat, para pelajar SMKN 2 Borongrappoa Kindang dan SMKN 5 Sampeang Rilau Ale. Mereka menghadirkan nuansa musik etnis dengan alat musik petik tradisional kecapi yang dipadu dengan harmonisasi akustik gitar. Lirik lagu berbahasa konjo dan bugis ciptaan sendiri dibawakan lumayan apik oleh komunitas Sotta Bangkeng SMKN 2. Dimotori dua orang siswa berbakat, Awal dan Ramli. Dua orang guru mereka, Drs.Muh.Ishak dan ibu guru cantik Nirnan Rahman masing-masing membacakan tiga buah puisi karya sendiri.

Persembahan karya yang manis dilanjutkan dengan kolaborasi antara guru dan siswanya. Guru muda SMKN 5, M. Azzam J. membaca sebuah puisi duet dengan siswanya, Muammar dari Padepokan Seni Sastra Pammaka Ulu (Passappu Crew), komunitas seni dari SMKN 5. Ekspresi semakin ramai usai shalat dhuhur. Cewek cantik, Rindung Bulan baca dua puisi terbarunya. Program sastra dan budaya di RCA edisi kali ini ditutup dengan dua buah puisi bertema sketsa sosial dibacakan penuh ekspresif oleh Wandi, anggota komunitas rumpun seni budaya Kanre Ana' yang punya ciri khas suara bariton.
Guru dan siswanya sendiri berkolaborasi adalah yang untuk pertama kalinya di Ekspresi. Drs. Muh. Ishak mengatakan,"Kehadiran kami sebagai gurunya di sini semoga bisa menjadi motivasi kuat bagi siswa-siswa kami. Kehidupan berkesenian sejak dini harus tetap dalam koridor edukasi agar tidak kebablasan. Satu kebanggan tersendiri sebab mereka masih mau menggali budaya leluhur seperti kecapi sebagai alat musik tradisional yang kini sudah mulai asing bagi generasi muda."

Vandalisme di Tembok Sastra

Semasa kecil di bangku sekolah dasar bagi manusia Indonesia yang mencandui sastra pasti pernah membaca salah satu puisi Chairil Anwar. Penyair penting itu ternyata memiliki puisi-puisi yang diterbitkan dalam bentuk buku justru jauh hari setelah dia wafat. Tapi vandaliskah Chairil Anwar karena itu? Tidak. Vandalisme mungkin memang beragam. Sastrawan besar dihargai dan dibadikan justru pada zaman berikutnya di mana mereka kadang tak lagi bisa berkarya bahkan tinggal nama mewangi di buku sejarah.

Di setiap kota bahkan desa di republik ini dengan mudah dapat dijumpai aksi vandalisme. Entah vandalisme sosial, budaya, politik atau hanya sekedar coretan dinding yang menempel dalam bathin kita. Sementara di tembok sastra, adakah vandalisme yang bisa hadir? Vandalisme sastra ternyata setiap saat muncul selama ia punya kebebasan menolak kompromi dengan kaidah sastra yang reduksionistik. Artinya, kemerdekaan ajuan ekspresi realitas harus sampai tanpa semacam eufemisme, selama ia dapat representatif dan gamblang menghadirkan gagasan, aspirasi, uneg-uneg, kegelisahan dan kegilaan.

Norma dan tatanan sastra pada umumnya hanya semacam sensor nilai baku yang bicara tentang “sastra abnormal” dan “karya layak”. Padahal, penulisan karya vandal dan sarkastis merupakan sastra ekspresif yang lebih hebat dibandingkan penulisan sastra penganut keindahan kata-kata semata. Sastra vandalisme memang tidak jinak, menohok dan tak santun. Vandalisme sastra, mereka punya hak hidup di negeri ini. Sekedar menulis untuk memberitahu orang-orang yang lewat, vandalisme dengan bentuknya yang paling sederhana. Mereka tidak narsis sebab menulis dengan tanpa cat warna di tembok kota. Ya, hanya dengan kapur atau arang. Apakah para vandalis sastra menulis di internet? Atau baca puisi dan esai di radio? Lalu mereka yang anti vandalis, apakah mereka produktif dan setiap bulan menerbitkan buku? Apakah menulis (menerbitkan) buku telah menjadi syarat utama agar tidak dicap sebagai sastrawan vandalis?

Puisi Abstrak Indonesia


Ada beberapa penyair yang barangkali memang sedang sadar telah membuat aliran abstrak dalam puisi-puisinya dengan tendensi berbeda-beda.
Sepakatkah kita bahwa tidak semua puisi dalam bentuk abstrak? Awalnya Puisi Abstrak tidak dikenal di Indonesia. Puisi-puisi bentuk abstrak di kenal sejalan dengan perkembangan Teather di tanah air. Puisi-puisi dalam bentuk abstrak lahir di balik dapur teater, dalam bentuk-bentuk pementasan yang didialogkan! Lalu kemudian terbawa keluar kedunia awam (yang bukan dunia teater, karena tidak semua seniman Sastra Puisi orang teater, tetapi orang teater pasti seorang sastrawan).
Istilah Abstrak memiliki arti, tak berbentuk, tak berpola, yang sifatnya sebagai abstraksi para seniman terhadap persoalan/kejadian atau apapun yang ditangkap dan diolah para seniman itu. Istilah Abstrak dulu "hanya" dipakai untuk kesenian seperti : Lukis, Tari, Patung dan arsitektur! Tapi kemudian juga terbawa dalam bentuk-bentuk sastra.
Dalam bentuk puisi, sesungguhnya yang benar-benar abstrak tidak ada! Puisi adalah bentuk berkesenian yang bermain pada Kosa Kata, Pada Kalimat!
Bukankah setiap Kosa kata dan kalimat memiliki arti? Arti yang dapat kita mengerti dengan jelas, hanya mungkin cara para seniman memainkan kosa kata menjadi kalimat yang tidak umum itu yang membuat kita bingung untuk mengartikannya!
Puisi-puisi Indonesia adalah puisi-puisi yang amat mudah dimengerti. Karya-karya itu dilahirkan di negeri yang polos. Tidak abstrak! Setiap membaca dan mengunyah puisi-puisi Goenawan Muhammad dan Ikranegara, sedari kecil saya melahapnya dengan nikmat. Tidak abstrak.

Moralitas Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 28 Maret 2009 | Maret 28, 2009

Moralitas? Ia ternyata juga sekarang menjadi perbincangan para penulis senior ataupun para akademisi. Siapapun akan merasa sangat terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh yang sudah kehilangan kepala. Yang dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan sangat terjerumus dalam persoalan erotisisme ketimbang moralitas.

Perbincangan moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada awal agama mulai tersebar luas dalam peradaban. Sebelumnya moralitas dalam karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut oleh Nietzsche, The Gay Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek ringan atau komedi dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas para pemikir dan pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa, dari peralihan zaman pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini, moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di mana pun.
Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong sastra Indonesia saat ini bagaikan seorang moralis yang merasa jijik melihat kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada persoalan kehidupan masa kini yang memang sejak perang dunia kedua telah usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin membawakan berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka. Keberanian dari para penulis ini, menurut saya patut kita puji, karena penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih ditindas oleh kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert, yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai amoral, dan zaman DH Lawrence, yang karyanya Lady Chatterly’s Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis berani ini, mereka sudah punya kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya yang berani Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena keberaniannya mencatat kebobrokan manusia dalam detail-detail yang berani, dan Chaucer, di abad ke-14 bahkan sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury’s Tales, melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang munafik hingga yang seronok.
Penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering ditindas oleh para wali agama ataupun penguasa, tetapi hari ini mereka kita anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh siswa-siswa di sekolah di segala penjuru dunia.

Penafsiran pada suatu karya sastra menjadi problematika kalau tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis sastra tidak bertanggung jawab pada suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya tidak berdasarkan suatu konsensus massa ataupun masa, tujuan akhir dari sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap pergeseran ini, yang sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka terciptalah karya-karya terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani dikaitkan dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang merusak serat moralitas masyarakat.

Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman diminta untuk melakukan terobosan dengan berani dalam karya-karya mereka, di sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap merupakan konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan roboh. Apakah kehebatan suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh para petinggi moralitas itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu takut dengan karya-karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka masih belum siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak membaca karya-karya itu. Jadi batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut dengan gembira buku-buku berbobot moralitas tinggi, kita seharusnya juga bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos batas-batas kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima karya-karya tersebut hanya mencerminkan keangkuhan supremasi moralitas kita atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.

Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi tercampuraduk dalam pembahasan soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan hewan yang dalam tindakan seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam hubungan seksual. Dengan demikian, erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk menggugah berahi terlihat jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan lain selain menggugah insting-insting purba dalam diri kita.

Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah karya perlu ada sebuah tujuan etika yang konkret. Perlukah sebuah karya punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam pembahasan krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita serapkan apa yang ditulis oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas sekali bahwa seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan moralitas akan sangat relatif. Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun seharusnya tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus merujuk pada suatu pakam moralitas suatu kepercayaan ataupun suatu konsensus massa? Bila demikian halnya, karya-karya yang diciptakan tidak lagi bisa dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.

Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi menurut saya adalah penafsiran yang salah pada fungsi seorang seniman. Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang pengkhotbah ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan posisi seorang seniman. Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal. Posisi mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka sendiri dalam menempatkan diri di pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka dengan dunia ataupun kejeliannya dalam mengupas kehidupan di hadapan mata mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.

Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama besar seperti Rimbaud, penyair muda yang berhenti menulis syair pada saat dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat terlarang juga dilakukan oleh penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh semua penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan alkohol, pilihan Bacchus favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas. Mereka ini manusia besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang didambakan banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari segi bobot moralitas pribadi mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.

Puisi Koran Tak Berjudul


kutemukan selembar puisi yang ditinggalkan seorang gadis kecil
peminta-minta.
hanya sesobek koran pagi edisi kemarin
tapi bukan tulisannya. dia tak berjudul.
hanya bekas bungkusan beberapa kue panada
tentu sarapan sebelum mencari botol mineral
sebanyak-banyaknya.
kutemukan judul untuknya,
"puisi pembungkus sarapan pagi"
tapi dia bukan puisi cinta
bukan esai tentang manusia
hanya selembar kolom puisi. sesobek koran
tanpa judul apa-apa tentang
berita hari ini. tentang
gadis kecil pencari
botol mineral.

Laba-laba Sejarah

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 27 Maret 2009 | Maret 27, 2009

Sampai saat ini ternyata belum ada (ataukah masih malu-malu?) dari mereka yang suka menulis di internet berkata dengan tegas,"Inilah sastra internet." Mau bukti? Sebagian besar dari mereka ternyata lebih banyak memberi judul blog atau apapun namanya tulisan dan karya mereka sebagai sesuatu yang bukan sastra. Maaf. Tapi sudahkah anda temukan istilah sastra internet dalam sejarah sastra di negeri ini?
Menurut sejarah, setiap penemuan media baru, revolusi besar-besaran muncul dalam proses kreatif sastra. Saat ditemukannya kertas, muncullah mesin cetak dan teknologi penjilidan buku, tradisi sastra lisan bergeser ke sastra tulis. Pada awalnya kertas dipandang tak lebih dari alat pendokumentasian sastra tulis yang selama ini diceritakan dari mulut ke mulur, namun penemuan baru juga dimunculkan oleh tradisi sastra tulis semisal novel yang berkembang sejalan dengan penemuan buku dan cerita pendek lebih berkembang dengan munculnya penemuan terbitan berkala.

Kini internet nyaris diperlakukan sama dengan kemundulan kertas di zaman dahulu: para sastrawan baru melihatnya sebagai pemindahan medium dari kertas ke web. Baru sebagai tempat pendokumentasian yang lebih terjamin daripada kertas. Tapi apakah cuma itu? Bukankah media baru ini (internet) mempunyai banyak kelebihan-kelebihan (dan juga batasan- batasan), sehingg seharusnya menawarkan bentuk sastra baru? Namun pertanyaannya, sastra seperti apa yang bisa muncul sejiwa dengan media ini. sebagaimana novel sejiwa dengan buku dan cerita pendek sejiwa dengan terbitan berkala dan lirik sejiwa dengan tradisi lisan?.

Kenapa novel muncul ketika ada teknologi buku? Karena, sebelum ditemukannya kertas dan mesin cetak dan penjilidan buku, sastra diceritakan secara lisan. Untuk memudahkan mengingat, cerita biasanya pendek sehingga mudah diceritakan ulang. Dalam tradisi dongeng yang panjang, selalu ada dua kemungkinan: cerita panjang itu ternyata merupakan cerita berbingkai di mana ada lusinan atau puluhan cerita pendek-pendek di dalamnya (misalnya Kisah Seribu Satu Malam), atau cerita panjang itu dibuat dalam bentuk lirik sehingga lebih mudah dihapal (misalnya Mahabarata, Ramayana dan La galigo).

Akan lahir sastra baru dengan media baru? Entahlah tapi sastra Indonesia harus ditulis dari segala pojok sejarah. Kebanyakan sastrawan cyber yakin bahwa itu tidak perlu sebab secara alamiah akan termaktub juga dalam sejarah. Tapi mungkin mereka lupa bahwa sejarah apapun di negeri ini kadang ditulis atas dasar hegemoni. Kerap kali di lembaran buku sejarah, laba-laba menggerayangi pikiran jujur dan kreativitas tulus kita.


Sajak Hati Kecil

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 26 Maret 2009 | Maret 26, 2009


-buat gadis Purnama

kita tidak sedang bertudung sepi malam ini

hanya sekelumit angin yang menerjemahkan diam
pada ombak di dadamu.
juga kita tidak sedang memainkan piano di tepi telaga
lalu kecipak air terdengar dari hati
membiarkan lagu-lagu malam mencari nada sendiri

purnama,
aku mencintaimu sepanjang jalan ini
yang ditanami bunga-bunga cahaya
meski disambut lagu sunyi
sepanjang sisi laut
dan kota-kota.

Perseteruan Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 24 Maret 2009 | Maret 24, 2009

Judul di atas bisa juga dibalik menjadi "sastra perseteruan." Maaf, tapi ingatkah kita dengan polemik besar antara Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisyahbana di zaman lampau? Atau antara Pramoedya Ananta Toer dengan kelompok Manikebu. Melompat lagi setelah Manikebu pecah dari dalam dan Pram meninggal, pertengkaran antara kelompok sastra masih terus berlangsung.

Memperebutkan hegemoni sastra itu penting? Jawabnya ada pada pihak-pihak yang berebut. Sastra itu sendiri adalah hasil kerja, hasil pemikiran, hasil peng-aktivan bakat yang biasa disebut orang sebagai seni sastra yang menawarkan kepada peminatnya untuk dinikmati sebagai hasil seni, hasil karya seseorang penciptanya. Jadi di luar tujuan tersebut sastra tidak memerlukan hegemoni, tidak memerlukan kapten, jendral apalagi marsekal. Sastra adalah arena kompetisi yang diwasiti oleh masyarakat sastra, dan bahkan seluruh kemanusiaan. Siapa yang menghasilkan karya sastra yang terbaik dialah yang dikagumi dan dihargai serta dihormati masyarakat sastra. Jadi penentunya bukan salah satu hegemonist. Tapi dalam satu masyarakat sastra yang sedang terjadi pertempuran memperebutkan hegemoni, akan timbul bermacam-macam klas sastra: Sastra dominan, sastra Pemerintah, sastra Partikulir, sastra yang dipencilkan dan sebagainya.

Dalam masyarakat sastra yang demikian, tidak akan terdapat atmosfir sastra yang sehat karena sastra dalam perang perebutan itu bersifat agressif, super spontan dan bahkan bisa pula melahirkan sastra ekstrim: kiri, kanan, muka, belakang. Kompetisi yang terjadi bukan lagi bagaimana agar bisa melahirkan sastra yang paling baik mutunya tapi hanya yang paling garang bunyinya. Dalam hal ini sastra yang terpencilkan adalah satra yang hampir dibikin setara dengan sastra Paria, sastra klas terbawah, tak punya hak suara. Umpamanya apa yang dinamakan sastra Eksil sebagai yang kurang dikenal, para penulis Eksilan Indonesia yang menetap di luar negeri korban peristiwa politik 65.

Sastra dan juga sastrawaan eksil Indonesia ini sudah lama di luar pertempuran perebutan hegemoni dan cuma jadi penonton pasif meskipun masih tetap aktif berkarya (sebagian). Klas sastra yang dipencilkan ini otomatis menjadi sastra oposisi terhadap sastra Pemerintah, oposisi kecil yang bahkan tak pernah diketahui oleh sastra Pemerintah atau sastra yang sedang berdominasi dan mereka ini rendah hati tapi bukan rendah diri. Klas golongan ini ingin dihapus dari sejarah sastra resmi, diabaikan dan dianggap rendah mutu karya-karya mereka meskipun sangat mungkin tak permah dibaca atau diperhatikan secara memadai oleh kesan prematur rendahnya mutu karya mereka.

Perebutan hegemoni sastra tentu saja antara lain yang terpenting adalah merebut berbagai media sebagai sarana untuk mempublikasikan hasil karya mereka. Siapa yang lebih banyak menguasai media seperti majalah, koran-koran, radio, penerbit-penerbit dan sebagainya, dialah yang akan berdominasi. Itu tentu saja akan bersangkutan dengan uang, modal dan para sponsor, besar dan kecil, dalam dan luar negeri. Sastra di abad ini adalah juga UANG, UANG dan UANG.

Tapi para sastrawan dan sastra terpinggirkan masih beruntung ada internet yang mau menampung karya-karya mereka meskipun tidak dibayar malah membayar ongkos penggunaan komputer dan sebagainya. Sastra internet atau sastra gratis tanpa hambatan editor ini oleh para hegemonist sastra resmi dianggap sebagai sastra sampah, tidak bermutu dan bukan sastra. Yang bernilai adalah cuma sastra hegemonist, sastra yang dimuat dalam majalah, dalam koran, di radio dan TV serta yang diterbitkan penerbit besar dan terkenal. Tidaklah mengherankan kalau dalam masyarakt sastra yang selalu dalam keadaan perang memperebutkan hegemoni ini,suka ribut dan bertengkar. Nilai sastra tidak lagi pada sastranya tapi pada para raja sastra pemegang hegemoni yang itupun masih ada tingkat-tingkat klasnya: hegemoni tingkat satu, dua, tiga dan seterusnya. Lalu bagaimanakah nilai obyektif hasil sastra dalam masyarakat stabil perang sastra demikian? Hari ini sastra berseteru. Tapi orang-orang yang mencintai sastra termasuk kita semua di sastra cyber, justru menemukan damai.

Lagi, Guru Muda Baca Puisi di RCA

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 22 Maret 2009 | Maret 22, 2009



Pada edisi minggu lalu tamu program Ekspresi adalah Ismail, seorang guru muda di SMKN 5 Bulukumba. Kali ini edisi siar hari Minggu 22 Maret 2009, lagi-lagi seorang guru muda baca puisi di program Ekspresi RCA. Namanya M. Azzam J. Pemuda berkacamata minus ini seorang pendidik di SMKN 2 Bulukumba. 

Puisi-puisinya sempat dibacakan oleh beberapa orang siswa-siswinya pada malam Deklarasi Bulukumba Kota Penyair beberapa waktu lalu.
M. Azzam J. membacakan berturut-turut tiga buah puisi karyanya secara live di studio. Salah satu puisi khusus didedikasikan buat seorang gadis bernama Rindung Bulan, sahabatnya yang berulang tahun ke-26 tepat hari ini. 


Ketika diinterview seputar obsesinya "berkesenian" di tengah dinamisme dunia pendidikan, terungkap pemikiran pemuda nyentrik ini bahwa seni khususnya sastra bisa menjadi gelembung besar dalam pendidikan. Tergantung nuansa dan arus yang ditawarkan oleh pendidik kepada anak didiknya. "Seni pada hari ini bisa menjadi arus pergerakan positif yang tidak tampak secara langsung dalam dunia pendidikan tapi 'rasa' yang dibawanya mampu mewarnai pelbagai bentuk edukasi," ujarnya.

Wajah Sastra Indonesia Mutakhir, Sebuah Tanah Lapang?

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 21 Maret 2009 | Maret 21, 2009

Sastra bukanlah lempengan dari tembok sakral dan cuma bisa dipahat oleh manusia-manusia tertentu. Lalu apakah yang terjadi pada sastra hari ini? Sastra bukan lagi sebuah pusaka yang hanya pewaris tertentu mengawetkannya, rumit, hanya mampu disetubuhi sastrawan atau sebuah kebiasaan aneh. Erotika teknologi seketika menikam paradigma lama. Internet yang gemuruh dalam sepuluh tahun terakhir telah melahirkan sebuah fenomena baru: sastra cyber.

Jelajahilah dengan Google, akan mudah ditemukan segala yang berkaitan dengan sastra, entah puisi, cerpen atau esai. Sastra cyber pun telah melunturkan tembok anggapan bahwa sastra hanya dimiliki oleh mereka yang telah dibaptis sebagai sastrawan. Sastra, jasadnya kini lebih cair dan membumi. Entahlah jika lebih jauh ditelisik dengan mikroskop kesusastraan.Mereka telah datang berduyun-duyun dengan berbagai macam latar belakang, mulai dari mahasiswa, pejabat, karyawan hingga tukang kebun.

Kegesitan khas sastra cyber segera memangsa sekat-sekat pembatas bahkan pakem-pakem lama. Tak ada pengkotak-kotakan, wilayahnya satu ruang dan setara, tanpa embel-embel penulis ternama atau penulis pemula. Semuanya bebas menuangkan apa saja yang ada di kepalanya, mulai dari kata-kata puitis hingga sumpah serapah. Siapapun dengan mudah dapat mengakses penulis favoritnya dan bukan tidak mungkin penulis itu juga akan mampir ke blognya. Namun sastra cyber bukan semata-mata memindahkan tulisan sastra di koran atau majalah ke media cyber. Dunia cyber memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh media lain seperti bunyi atau gerak. Salah satu kelebihan sastra cyber adalah memangkas jarak antara penulis dan pembaca. Di media cetak sebuah karya harus melewati tahapan panjang seperti editor dan publisher, maka pada media cyber karya dapat langsung menyapa pembacanya.
Keganasan selama sepuluh tahun terakhir inilah yang membuat sastra cyber terasa lebih punya roh dibanding sastra koran atau majalah. Bila untuk sastra koran seorang penulis harus menunggu dalam hitungan minggu atau berbulan-bulan karyanya dimuat maka tidak demikian pada sastra cyber. Penulis hanya perlu menunggu dalam hitungan detik. Kemudahan yang diberikan oleh media cyber menghasilkan banyak karya dengan berbagai tingkat kualitas dari yang pantas diacungi jempol hingga yang hanya berupa "sampah"
(termasuk blog ini).

Bila pada media cetak sebuah karya disaring oleh seorang redaktur, maka pada dunia cyber pembaca dari berbagai pelosok dunia akan menjadi redaktur yang menilai kualitas sebuah karya. Dewan redaktur di dunia cyber terkadang lebih kejam dibanding dengan redaktur di media massa konvensional. Mereka tidak segan-segan melontarkan cacian apabila karya tersebut dianggap tidak berkualitas.

Seperti di media lain dalam dunia cyber juga terdapat seleksi alam di mana hanya karya berkualitas yang dapat bertahan, sementara sisanya akan terbuang ke jurang. Perkelahian yang teramat anggun dan cantik di dunia cyber itu tidak mudah karena setiap saat orang bisa memuji maupun memaki.

Dari sudut logika maupun estetika sastra cyber sungguh berbeda dengan sastra di media lain. Misalnya di media cetak sebuah karya dinilai terlebih dulu baru sampai ke pembaca, sementara pada media cyber karya sampai dulu ke pembaca baru kemudian dinilai. Logika dalam dunia cyber menciptakan keleluasaan lebih bagi para pembaca. Jika di media cetak selera pembaca ditentukan oleh redaktur (karena redaktur yang memutuskan karya apa yang dimuat minggu ini), maka pada media cyber pembaca bebas menentukan seleranya. Di dunia cyber pembaca benar-benar memiliki kekuatan mutlak untuk memilih dan menilai. Seorang teman yang rajin mengirimkan cerpen ke sebuah harian malah pernah bilang,"Di sana (sastra cyber) adalah rimba yang sesungguhnya. Sebuah rimba hitam yang asing namun petualangannya sungguh nyata."

Tidak hanya kebebasan atau kesetaraan, dunia cyber juga menawarkan kelebihan berupa jangkauan yang sangat luas sehingga dapat ikut membantu memperkenalkan sastra Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Jika melalui koran, sebuah karya hanya bisa diakses sampai negara tetangga atau negara yang terdapat kedutaan Indonesia, maka untuk media cyber jarak bukan sebuah masalah.
Tak dapat dipungkiri kelebihan-kelebihan tersebut yang kemudian memikat para penggiat sastra baik yang senior maupun pemula untuk menggunakan sebagai media ekspresif.
Berkaca pada perkembangan dunia cyber di Amerika yang begitu pesat, sastra cyber di Tanah Air tertinggal jauh. Di negeri Paman Sam tersebut seorang koki bisa menulis tips cara memasak makanan atau seorang desainer yang menulis tips cara berpakaian di blog. Berbeda di Indonesia blog masih digunakan sebagai catatan personal. Ketertinggalan itu tak lepas dari faktor penguasaan tehnologi di Indonesia yang masih rendah. Jaringan internet belum menjangkau seluruh pelosok negeri, bahkan komputer pun menjadi peranti yang belum dikuasai oleh semua elemen masyarakat.

Keterbatasan ruang untuk menggelontorkan ekspresi di media cetak memang menjadi fenomena tersendiri. Untuk koran misalnya, setiap minggu hanya ada satu cerpen dan beberapa puisi yang dapat dimuat. Tentu saja untuk dapat dimuat dan diapresiasi seorang penulis harus menunggu dalam waktu lama. Belum lagi hambatan senioritas, di mana penulis yang sudah terkenal akan memiliki kesempatan lebih besar untuk dimuat dibandingkan penulis baru. Hal yang sama juga dihadapi ketika ingin menerbitkan karya berupa buku. Para penerbit lebih memilih karya-karya populer yang akan lebih banyak dibeli oleh masyarakat umum, sedangkan karya sastra yang kualitasnya bagus jarang ditoleh karena sepi pembeli.

Di dunia cyber seseorang bebas menciptakan ruang sendiri untuk menampung karya-karyanya. Biaya yang dikeluarkan pun jauh lebih murah dan tidak mencekek leher. Para penggiat sastra cyber cukup merogoh beberapa lembar ribuan. Tapi masihkah kita bijak bila hanya memandang sastra cyber sebagai pelarian dari keterbatasan ruang di media cetak? Segelintir orang bersepakat bila maraknya sastra di dunia cyber hanya dipandang sebagai euphoria sesaat.Sebahagian lagi mencatat dengan yakin bahwa teknologi cyber akan terus berkembang dan melahirkan bentuk-bentuk baru. Jurnalisme warga yang bertutur mengenai cerita sehari-hari, tulisan seperti ini mungkin tidak tertampung di media cetak seperti koran atau majalah.
Hari ini, serasa ada yang sedikit melegakan. Sastra adalah sebuah tanah lapang yang sangat luas. Kembali kepada kita, akankah kita rajin dan rutin bermain bola setiap sore di dalamnya?

malam minggu ketika hujan reda, Bulukumba 21 Maret 2009

Tidak Jadi



cantik,
maaf
tidak jadi aku menjemputmu
dari hati malam ini
malam minggu kali ini
aku telah berusaha jujur dengan
hati
yang satunya
lagi.

Bulukumba, 21 Maret 2009

TPS

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 18 Maret 2009 | Maret 18, 2009


aku belum
siapa tahu
aku lupa
mencontreng namamu,
kawan
atau
kemungkinan
yang paling
memungkinkan
yaitu,
aku tidak jadi
ke tps
sebab biasanya
aku belum
ngopi atau
merokok
bahkan
belum makan siang
sebab
belum
punya uang.

Bulukumba, Rabu 18 Maret 2009

puisi semak belukar

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 14 Maret 2009 | Maret 14, 2009

Sebuah Bait Rahasia

bukan ws. rendra
bukan sutardji calzoum bachri
juga bukan chairil anwar
bukan siapa-siapa. cukup
aku hanya memandangimu sebagai gadisku
yang menulis puisi di hatiku.
"kalimat-kalimat kabut bukan untukmu"katamu
aku pun baru saja menyelesaikan sebuah bait rahasia
kutitip di keningmu. kupikir
mungkin tak akan selesai
kau bacakan untuk anak-anakmu
kelak.


Bulukumba, Senin 16 Maret 2009


Tak Biasa
seperti biasa aku mencatat airmata yang menetes dari pipimu seperti biasa aku menetes ke dalam matamu aku terlalu biasa masuk ke dalam jiwamu tapi tak biasa sepakat dengan hatimu
ada kata yang biasa,
tak biasa.


Bulukumba, Senin 16 Maret 2009








Revolusi
-kepada Chairil Anwar



tanah
airmata

tadah gerah
gelisahkau, aku
resah

lelah
menyeduh
cinta
yang tak pernah ada
bangsa
negeri

kita menggerutu.

Bulukumba, Sabtu 14 Maret 2009






Jurnalisme Itu

Khalayak umum seringkali menjumpai istilah jurnalisme, jurnalistik dan jurnalis. Sepintas kelihatan sama, yakni berkaitan dengan apa yang sering disebut dunianya wartawan. Tetapi, mereka tidak sedikit yang justru bingung dan sulit membedakan makna dari tiga istilah tadi.

Gampangnya, jurnalisme dapat diartikan secara umum sebagai ”dunia kewartawanan”, sedangkan jurnalistik adalah “ketrampilan/kecakapan menjadi wartawan”, adapun ”jurnalis” menjadi sebutan lain dari ”si wartawan”.
Kalau menengok sejarahnya, maka dunia kewartawanan dalam teori klasik mengambil dari bahasa latin kuno yang asalnya kata ”Diurna” lantaran konon di zaman Yunani kuno ada media massa pertama bernama ”Acta Diurna”.


Kata ”Diurna” tersebutlah yang kemudian oleh masyarakat Eropa disebut menjadi ”Journal” dalam bahasa Inggris, atau ”Jurnal” (bahasa Belanda), atau ”de Journale” (bahasa Perancis). Bagi masyarakat Indonesia istilah Jurnal lebih dikenal akrab, yang maknanya antara lain ”laporan”.
Namun, dunia kewartawanan mensyaratkan bahwa jurnal (laporan) yang dibuat oleh wartawan yang memiliki ketrampilan/kecakapan harus dipublikasikan melalui sarana yang pada gilirannya disebut media massa. Sementara itu, laporannya tersebut dikenal sebagai ”berita” (news).


Berita inilah yang membedakan dengan berbagai jenis laporan lainnya. Berita harus dipulikasikan melalui media massa, atau ada sarana yang membuat publik mengetahuinya. Bahkan, berita harus memiliki sifat ”menyajikan sesuatu yang baru” atau setidak-tidaknya menyangkut ”hal baru untuk menjelaskan sesuatu yang sebelumnya telah diketahui umum”. Itu sebabnya, berita disebut juga ”news” (bahasa Inggris) yang merupakan kosa kata latin ”nuvo” yang artinya ”baru”.
Pada prakteknya, khalayak juga senantiasa menantikan apa yang disebut berita lantaran ingin mengetahui tentang sesuatu yang baru. Kalau media massa gagal menyajikan unsur kebaruan, maka masyarakat sering menyebut sajiannya ”berita basi”.
Sementara itu, wartawan yang memiliki ketrampilan/kecakapan dalam prosesnya membuat berita disebut juga sedang melakukan ”peliputan” atau sering disebut juga ”reporting” (bahasa Inggris). Makna dan pada prakteknya, reporting sama dengan ”jurnal”.
Kemudian, wartawan yang melakukan proses peliputan masing-masing memiliki bidang sesuai dengan kebijakan lembaga media massa tempatnya bekerja. Secara umum, wartawan melakukan proses peliputan dengan melakukan wawancara, menelaah data, dan mencari informasi lain yang disajikannya dalam bentuk tulisan.


Hasil liputannya itulah yang kemudian disajikan sesuai karakter masing-masing media massa. Dalam media cetak (press) dikenal dengan sebutan berita tulis atau berita foto (kalau berupa gambar), sedangkan di radio mendapat sebutan berita suara (audio). Adapun di televisi disebut tayangan berita suara dan gambar (audio visual).
Dalam perkembangannya sejauh ini, wartawan juga sering melakukan liputan khusus yang disebut liputan selidik (investigative reporting) lantaran ada topic tertentu dalam penilaian pemegang kebijakan di satu media massa dianggap perlu dilaporkan secara khusus. Misalnya, kasus penyalahgunaan wewenang Presiden Nixon di Amerika Serikat (AS) yang dikenal dengan sebutan “Watergate”, atau skandal sex Presiden AS, Bill Clinton dengan sekretaris magang bernama Monica Lewinsky yang sempat menyita perhatian publik dunia.
Peliputan Selidik (investigative reporting) dan Jurnalistik Sastra (literacy journalism) hingga saat ini posisinya sering ditempatkan secara dilematis atau mendua, di antara sesuatu yang dianggap hebat dan dicerca.


Banyak orang –termasuk di kalangan pers—menempatkan peliputan selidik sebagai pekerjaan yang hebat karena proses dan hasil kerja yang harus ditempuh oleh wartawan sebagai pelaku liputan relatif sulit, memakan waktu dan dana. Bahkan, wartawan yang terlibat seringkali harus berhadapan dengan apa yang dinamakan “konflik kepentingan” (conflict of interest) dari berbagai pihak.
Konflik kepentingan itulah yang membuka peluang bahwa proses dan hasil kerja dari peliputan selidik menjadi sering dicerca anggota masyarakat –juga oleh para wartawan lain—karena dampak dari berita yang dipublikasikan senantiasa “memakan korban”, bahkan tanpa ampun.
Oleh karena itu ada sejumlah “kalimat mutiara” tentang peliputan selidik, antara lain:
“Wartawan peliputan selidik memiliki kecenderungan seperti ikan piranha, mereka akan mengejar apa saja yang mengeluarkan darah.” (Ben J. Wattenberg)
“Jurnalisme tidak bekerja seperti senapan. Jurnalisme bekerja lebih mirip mortir.” (Murray Kempton)
Salah satu contoh dari peliputan selidik hingga saat ini adalah keberhasilan Bob Woodward dan Carl Bernstein yang “memakan” Presiden Amerika Serikat (AS) Richard Nixon, sehingga harus “rela” mundur dari kursi kepresidenan, dan digantikan oleh Gerald Ford pada 9 Agustus 1974. Padahal, upaya Woodward dan Bernstein untuk mengungkap kasus “Watergate” dimulainya pada medio Juni 1971.
Usai peliputan selidik itu, dunia pers –terutama di AS—seperti kerasukan apa yang dinamakan “menggugat kembali kebebasan pers atas dasar liberalisme informasi.” Apalagi, di AS sejak awal 1970 pertumbuhan industri pers menimbulkan persaingan yang makin tajam. Dan, peliputan selidik adalah salah satu resep untuk meraih oplah terbesar. Repotnya, insan pers di sejumlah negara –termasuk di Indonesia-- ada yang berkiblat tentang kebebasan pers di AS secara hitam putih, sehingga sering terkesan membabi-buta.
Padahal, peliputan selidik telah berlangsung sejak lama. Peliputan semacam itu dalam sejarah pers dunia sudah ada jauh sebelum era Woodward dan Bernstein. Oleh karena itu, masyarakat umum dan kalangan pers sering melontarkan, “Peliputan selidik dalam perjalanannya demi kepentingan publik atau justru kepentingan bisnis pers?.”
PELIPUTAN BERMETODA ILMIAH
Professor Leonard Sellers, Guru Besar Ilmu Komunikasi/Jurnalistik di Universitas San Fransisco (AS), mengemukakan: “Wartawan peliputan selidik adalah wartawan yang berusaha menyingkapkan informasi yang sengaja ditutup-tutupi, karena informasi tersebut melanggar hukum atau etika.”
Berdasarkan dari pendekatan yang diajukan oleh Prof. Sellers, maka terkesan bahwa peliputan selidik tidaklah terlampau sulit. Padahal, banyak wartawan sulit menjalaninya. Bahkan, tak sedikit pula para pemimpin redaksi yang sangat selektif untuk menugasi wartawannya melakukan liputan selidik, dan mereka menyerahkan hal ini kepada yang benar-benar ahli.
Pada kenyataan di lapangan jurnalistik, wartawan liputan selidik sedikit-banyak atau terasa ataupun tidak harus memahami dan menjalani tahapan yang dari pendekatan ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah Metoda Ilmiah.
Wartawan peliputan selidik sah-sah saja bergaya “cuek” (acuh tak acuh) dan tahapan kerjanya terkesan serabutan. Namun, jika ditilik lebih jauh lagi, mereka justru menjalani satu kaidah metoda ilmiah yang antara lain memiliki tahapan:
1. Mencari/mendapatkan masalah.
2. Memfokuskan permasalahan inti melalui observasi/wawancara.
3. Menyusun hipotesa/asumsi untuk menentukan motif dan latar belakang masalah inti.
4. Mengkaji, memilah, dan menyusun keterkaitan data/informasi.
5. Menulis hasil temuannya dengan kaidah jurnalistik. Dalam menjalani metoda tersebut, wartawan peliputan selidik sering berhadapan dengan sejumlah bahaya berupa sulitnya mencari nara sumber yang mau “buka mulut”, namun ada kalanya banyaknya nara sumber yang terlalu ingin memberikan informasi tanpa nilai apapun.
Banyaknya nara sumber –terutama di bidang politik, atau politik-ekonomi-- yang ingin “berbagi” informasi, bagi warawan tersebut perlu diwaspadai karena mereka lebih banyak yang sekedar mencari kepentingan pribadi. Sementara itu, nara sumber bernilai cenderung tersembunyi di antara hiruk-pikuknya gosip yang terus berhembus.
Selain itu, nara sumber penting untuk mengungkap permasalahan dalam peliputan selidik seringkali merasa harus sembunyi karena merasa memiliki banyak informasi, namun mereka “tidak memiliki restu” dari pihak yang lebih tinggi.
Istilah “dengan restu” (by authority) itulah yang dicatat William L. Rivers dan Cleve Mathews dalam buku “Ethics for the Media” terbitan Prentice-Hall Inc, New Jersey, (AS) pada tahun 1988 sebagai sesuatu yang justru mengawali keberanian pers AS untuk menembus birokrasi informasi dengan menerapkan apa yang kemudian dikenal sebagai Peliputan Selidik (Investigative Reporting).
Awalnya, Benjamin Harris di tahun 1690 menerbitkan artikel pertama dan terakhirnya bertitelkan “Public Occurrences, Both Foreign and Domestic” yang intinya melontarkan kritik tentang keberadaan paham kolonialisme di Amerika.
Artikel tersebut membuat marah para petinggi, termasuk “General Court of Massachusetts” (setingkat Gubernur Jenderal zaman kolonial Belanda) sehingga surat kabar Benjamin Harris dibreidel dengan alasan “meresahkan masyarakat”.
Keadaan semacam itu berlangsung cukup berkepanjangan di AS, sehingga pada tahun 1721 James Franklin –kakak kandung Benjamin Franklin (1706-1790) ilmuwan dan penulis yang pernah menjadi Presiden AS—menerbitkan surat kabar “New England Courant” yang sejak terbit sudah menyuarakan sikap oposan kepada Pemerintah AS dengan alasan “demi tegaknya jurnalisme perjuangan.”
Akibat dari sikap tersebut, James Franklin sempat mendekam di penjara untuk beberapa lama. Namun, sikapnya ibarat “bensin dalam api semangat pers AS” karena perkembangan pers bebas dengan pola peliputan selidik kian menjamur. Bahkan, wartawan mulai mengembangkan pola pemberitaan yang cepat, akurat, lengkap, dan cenderung “memakan korban.”
Sekalipun demikian, gaya kebebasan pers ala “cowboy” seringkali menjadi “kebablasan” (keterusan) dan meresahkan. Oleh karena itu, Presiden AS Theodore Roosevelt pada tahun 1906 pernah melontarkan kritik: “Penulis yang sibuk mengais-ngais keburukan masyarakat hingga lupa untuk melihat keadaan sekelilingnya.”
Roosevelt, yang juga penulis dan petualang di alam bebas, melontarkan kritik tersebut kepada David Graham Phillip yang secara berseri menulis tentang sejumlah keburukan anggota senat yang dituangkan dalam artikel bertitel “The Treason of the Senate.”
Gejala perdebatan tersebut ditangkap oleh Webster –pakar bahasa, penulis kamus—yang menuliskan istilah “muckrake” untuk mengartikan: “mencari-cari, menyoroti, atau menunjukkan adanya korupsi, dengan bukti nyata atau hanya berdasarkan dugaan, oleh publik dan badan usaha.”
Sementara itu, kalangan pers AS pada era Roosevelt justru banyak yang membenarkan sikap presidennya yang lebih menyukai sistem pengawasan pers secara seimbang dengan mengutamakan kepentingan semua pihak. Kala itu, Roosevelt memang dikenal sebagai Presiden AS yang dekat, bahkan akrab dengan pers. Buktinya, semua anggota Korps Wartawan Kepresidenan AS dapat bermain-main dengan cucu Roosevelt di Gedung Putih.
Namun, banyak wartawan AS yang kemudian –pasca-Roosevelt—berpendapat: “Kini masalahnya sudah berubah. Apakah semua Presiden bisa akrab dengan pers seperti Roosevelt?”
Bahkan, secara lebih tegas Joseph Alsop pernah mencatat: “Semua pemerintahan menyebarkan dusta, bahkan beberapa di antaranya berdusta lebih banyak daripada yang lain.” Inilah salah satu puncak ungkapan jenis pekerjaan di kalangan wartawan peliputan selidik di AS.


Sementara itu, Albert L. Hester selaku wartawan senior dan pakar ilmu komunikasi dari Universitas Georgia (AS) yang menaruh minat terhadap perkembangan pers di negara-negara berkembang mengemukakan bahwa peliputan selidik cenderung lebih sulit dilakukan bila sistem pers menjadi bagian yang erat menyatu dengan pemerintahan nasional.
“Meskipun di Dunia Ketiga pers terpisah dari pemerintah nasional, namun ide untuk benar-benar melakukan ‘penyelidikan; menjadi sesuatu yang selalu mengernyitkan kening,” catatnya dalam buku “Handbook for Third World Journalists”, terbitan The Center for International Mass Communication Training and Research, Universitas Georgia, pada 1987.
Walaupun demikian, menurut Hester, peliputan selidik di negara berkembang tetap dapat dilakukan. Bahkan, wartawan peliputan selidik di negara berkembang seringkali memiliki kegigihan yang tak kalah dibanding rekan mereka di negara yang lebih mapan.
Lebih jauh, Hester membedakan peliputan selidik dengan peliputan biasa. Hal itu disusunnya atas dasar bahwa peliputan selidik adalah:
1. Biasanya dilakukan dengan pikiran bahwa hasilnya akan menimbulkan satu tindakan dengan asumsi dasar: “Perubahan harus dilakukan.” Namun, peliputan selidik ada kalanya justru memperteguh apa yang sudah dilakukan dan dihargai oleh masyarakat.
2. Biasanya format laporan (tertulis maupun foto) peliputan selidik lebih panjang dan memerlukan waktu penyelesaian lebih panjang, serta dana lebih banyak.
3. Biasanya peliputan selidik memerlukan kesatuan pendapat di kalangan manajemen lembaga pers dimana wartawan peliputan selidik bekerja. Hal ini banyak berkaitan dengan risiko tanggung jawab yang pada akhirnya harus ditanggung.
4. Biasanya peliputan selidik juga menyangkut “paket promosi” dari media massa sebagai satu bagian dari wujud pers industrialis.
5. Biasanya peliputan selidik akan memanfaatkan pula foto dan illustrasi guna mempermudah pemahaman masyarakat untuk menerima sesuatu yang sulit diterima akal, atau dengan kata lain mengungkap fakta, data, dan informasi dengan berbagai cara agar hasil liputan menjadi akurat dan lengkap.
6. Biasanya para redaktur dan penananggungjawab peliputan selidik lebih melibatkan wartawan terbaiknya, karena kegiatan ini senantiasa dianggap berisiko dan memerlukan kreativitas tinggi.
Al Hester dalam serangkain catatannya itu paling tidak menyiratkan bahwa mereka yang terlibat dalam peliputan selidik –wartawan, redaktur, hingga pemimpin redaksi-- senantiasa sepakat bahwa yang mereka kerjakan adalah kerja tim (team work) yang penuh risiko yang memeras keringat, menghabiskan waktu dan dana.
Selain itu, peliputan selidik senantiasa mementingkan “proses” dan “hasil” dalam posisi yang sama pentingnya, sehingga mereka yang terlibat harus benar-benar orang yang terlatih bekerja di bawah tekanan (under pressure person).
Peliputan selidik di negara berkembang, dalam penilaian Hester, terbuka peluangnya bila temanya berkaitan dengan permasalahan lingkungan hidup –seperti pencemaran, pemanfaatan pestisida, dan kebakaran hutan— ancaman musnahnya kebudayaan pribumi, urbanisasi, kedudukan kaum wanita, serta keluarga berencana.
PELIPUTAN SELIDIK BERETIKA
Wartawan peliputan selidik bernama Brit Hume pada tahun 1973 pernah berkomentar bahwa pekerjaan yang dilakukannya lebih banyak untuk mengungkap sejumlah “kebusukan” berkaitan dengan dusta dan korupsi. “Kebusukan itu harus dibongkar. Demi kepentingan masyarakat umum dan demi kepentingan kita sendiri,” tegasnya.
Dalam upaya mengungkapkan “kebusukan” tersebut, wartawan peliputan selidik pada tahap awal seringkali harus berhadapan dengan “konflik batin” akibat “konflik kepentingan”. Kepentingan di antara “kepentingan pribadi”, “kepentingan lembaga pers-nya”, “kepentingan publik”, dan “kepentingan nara sumber.”
Konflik semacam itu akan dengan mudah muncul, karena wartawan peliputan selidik lebih banyak harus “membuka sesuatu yang ditutup-tutupi”. Oleh karena itu, mereka untuk membuka kasusnya seringkali harus mendapatkan infomasi mulai dari cara “meminta”, “membeli”, “memaksa”, atau bahkan “mencuri” -nya.
Berangkat dari pekerjaan semacam itulah, wartawan peliputan selidik dituntut memiliki “etika di dalam maupun di luar etika”. Hal tersebut dapat diartikan bahwa mereka harus memiliki kreativitas untuk melakukan kegiatan pencarian data/informasi secara sah, dan bila harus melanggarnya, maka harus pula memiliki kreativitas lain guna menutupinya sekaligus mencari alasan yang jauh lebih cerdas dari kemungkinan tuduhan yang akan datang.
Untuk lebih memahami posisi tugas yang beretika di dalam maupun di luar etika, maka sejumlah wartawan peliputan selidik berpegang ke pendapat Edward R. Murrow:
“Agar meyakinkan, kita harus dapat dipercaya.
Agar dipercaya, kita harus dapat diandalkan.
Agar diandalkan, kita harus jujur.”
Sikap “meyakinkan, dipercaya, diandalkan, dan jujur” itulah yang sering diperankan oleh wartawan peliputan selidik. Dalam hal ini, mereka biasanya dengan mudah pula menilai apakah nara sumber yang ditemuinya memiliki kredibilitas atau tidak, berkompeten atau tidak, bahkan memiliki informasi penting atau tidak. Hal inilah yang oleh banyak orang disebut bahwa wartawan adalah penonton sekaligus pemain dari karakter kemanusiaan. Apalagi bagi wartawan peliputan selidik.
Dalam memainkan peran yang meyakinkan, dapat dipercaya, diandalkan, dan jujur, maka wartawan peliputan selidik dituntut mampu menempatkan dirinya bukan hanya sekedar “journalist” alias pelapor suatu peristiwa atas dasar kejadian/fakta. Namun, ia dituntut pula mampu menempatkan diri sebagai “agent” untuk menggali data/informasi penting, sekaligus menjadi “lobbyist” yang mampu bergaul dengan nara sumber penting.
Agar posisinya lebih luwes, wartawan peliputan selidik dalam mencari bahan berita/karangan khas/foto juga perlu memahami sejumlah kesepakatan dengan nara sumbernya. Kesepakatan itu antara lain berupa:
1. On the Record. Dalam hal ini wartawan dapat mengutip semua hal tentang nara sumber dan segala informasi yang dikemukakannya.
2. On Background. Dalam hal ini wartawan dapat mengutip semua hal menyangkut informasi yang diberikan nara sumber, namun jati diri nara sumber harus benar-benar dilindungi dengan alasan tertentu. Biasanya, wartawan cukup menyebutkan: “menurut sumber di Departemen X, …..”
3. On Deep Background. Dalam hal ini wartawan hanya dapat mengutip inti dari informasi yang didapatkan, tanpa dapat mengutip dalam kalimat langsung –dengan tanda kutip—informasi itu. Sementara itu, jati diri nara sumber harus dilindungi.
4. Off the Record. Dalam hal ini wartawan mendapatkan informasi yang sama sekali tidak boleh dipublikasikan dalam bentuk apapun. Bahkan, wartawan tersebut terikat etika untuk tidak mengembangkan informasi yang didapatkannya itu.
Empat kesepakatan di antara wartawan dengan nara sumbernya itu menjadi bagian etika pers yang senantiasa dijunjung tinggi. Dalam peran penuh “ikatan” –demikian wartawan sering menyebutnya—itu dapat diartikan sebagai “harga mati”.Namun demikian, pada perkembangannya banyak wartawan yang justru membatasi dirinya “hanya menerima kesepakatan nomor satu (On the Record) dan nomor dua (On Background)”, serta meninggalkan dua kesepakatan berikutnya. Mereka dengan berani langsung mengatakan, “Maaf, saya punya informasi lain” manakala ada nara sumber yang ingin menerapkan kesepakatan ketiga (On Deep Background) atau bahkan kesepakatan keempat (On the Record).
Mengapa wartawan itu bersikap demikian? Situasi dan kondisi semacam itu dilakukan oleh wartawan peliputan selidik untuk menghindari menerima informasi subyektif yang mengecoh. Oleh karena, kesepakatan untuk membuat berita hanya dengan mengetahui latar belakang tanpa ada nara sumber yang jelas menjadi “hal tercela, dan mengurangi kredibilitas” dari kaidah nilai-nilai jurnalistik bagi wartawan profesional. Hal ini pula yang antara lain melatarbelakangi sebagian besar Kantor Berita untuk menghindari publikasi berita tanpa nara sumber yang jelas.
“Katakanlah kebenaran, tetapi dengan membengkokkannya,” demikian pendapat Emily Dickinson menanggapi tentang pekerjaan politikus dan petugas hubungan masyarakat. Dan, hal ini pula yang senantiasa diwaspadai oleh wartawan peliputan selidik.
PELIPUTAN SELIDIK BERSASTRA
Dalam manajemen media massa modern ada istilah “proses dan hasil” peliputan selidik menempati posisi yang sama penting, karena keduanya adalah rangkaian pekerjaan yang penuh risiko dengan azas “demi kebenaran pers yang mengutamakan kepentingan publik”.
Bahkan, di kalangan pers ada guyonan sarkatis: “Jika saja ada orang lembaga pers yang menilai proses dan hasil pekerjaan peliputan –apalagi peliputan selidik— tidak dalam posisi penting, maka bisa dipastikan dia bukanlah bagian dalam sistem kerja jurnalistik atau bidang keredaksian, atau pun loper yang meneriakkan berita penting di keramaian jalan.”
Guyonan ala pers itu timbul, antara lain sebagai dampak dari pers industri yang seringkali menempatkan segi menarik keuntungan –sebagai bagian “hasil kerja” —menjadi lebih penting dibanding susah payahnya para wartawan –sebagai bagian “proses kerja” —berjungkir balik mecari bahan berita/karangan khas/foto.
Selain itu, pers dalam tatanan industri cenderung semakin menempatkan kolom iklan sebagai unsur pendapatan yang menopang kehidupan karyawan di organisasi pers bersangkutan. Padahal, sejarah pers belum pernah mencatat ada media massa khusus iklan, karena pariwara semacam itu justru hadir bila publik menyukai berita yang disajikan media massa.
Kecintaan publik terhadap media massa, antara lain karena mereka merasa mendapatkan informasi yang tepat, berkaitan dengan kepentingan mereka, ada informasi baru, memberikan hiburan, bahkan berisikan tentang berita-berita yang jujur. Dalam situasi dan kondisi semacam inilah peliputan selidik mendapatkan tempat, bahkan terhormat. Kenapa? Oleh karena, manusia secara naluriah tidak suka dibohongi, sehingga mereka ingin mengetahui rahasia orang lain.
Dalam kondisi penuh persaingan itu pula, wartawan –terutama wartawan liputan selidik—mendapat “beban” tambahan, yaitu bagaimana senantiasa dapat bekerja demi kepentingan organisasi media massanya sekaligus membuktikan diri bahwa dirinya sebagai “orang lapangan”-lah yang paling tahu tentang makna “demi kepentingan publik”.
Bagi wartawan peliputan selidik permasalahan terakhir yang tak kalah rumitnya dengan proses pencarian bahan berita/karangan khas/foto-nya adalah bagaimana menuangkan tulisan dari berbagai informasi penting.
Pola penulisan hasil peliputan selidik cenderung menjadi karangan khas (feature) karena mengutamakan kedalaman, berlatar belakang, dan memeras segala kemampuan berbahasa –terutama memainkan “diksi” atau pilihan kata—agar hasil karyanya dapat lebih dicerna publik, sekalipun permasalahan yang dikemukakan relatif rumit.
Banyak orang –termasuk wartawan pemula—beranggapan bahwa peliputan selidik senantiasa bertema dan mengundang permasalahan besar atau mengandung kontraversi, sehingga penulisannya pun lebih sulit.
Padahal, wartawan peliputan selidik akan lebih mudah menulis laporannya dengan lebih mengutamakan permasalahan kecil. Dengan kata lain, mereka justru memilih permasalahan yang terdekat dengan kepentingan umum.
“Think globally, act locally” (berpikir kesejagatan, bertindak lokal). Hal inilah yang lebih sering diikuti oleh wartawan peliputan selidik. Mereka berangkat menggali gagasan penulisan dari permasalahan keseharian, walaupun informasi yang mereka miliki bisa berdampak luas.
Tatkala harus mengemukakan permasalahan berat dengan bahasa ragam jurnalistik, maka wartawan tersebut akan lebih mudah jika mereka memanfaatkan perkalimatan bergaya bertutur, ada anekdot, memainkan alur cerita klimaks dan anti klimaks, sehingga pembaca seakan berhadapan dengan novel yang berangkat dari cerita asli.
Dari gejala semacam itulah, kalangan pers dan sejumlah pengamat mereka menyebut adanya Jurnalistik Sastra (literacy journalism).
Wai Lan J. To yang bekersama dengan Albert L. Hester menulis dan menyunting buku bunga rampai “Handbook for Third World Journalist” (1987) berpendapat bahwa jurnalistik sastra adalah salah satu upaya sistem pers untuk memperluas ruang lingkup dan keterampilan jurnalistik mereka setelah bergerak ke arah peliputan selidik.
Jurnalistik sastra di AS, menurut dia, dapat ditelusuri sampai ke tahun 1937 manakala Edwin H. Ford menyusun buku bertitelkan “A Bibliography of Literacy Journalism” terbitan Burgess Publishing Company, Minneapolis (AS).
Ford mencatat bahwa jurnalistik sastra dapat dirumuskan sebagai tulisan yang masuk dalam “kawasan senja” (batas akhir) yang memisahkan sastra dari jurnalisme. “Jurnalisme sastra adalah penghubung surat kabar dan sastra.”
Pada gilirannya, masyarakat AS pada era 1960-an menyebut langgam jurnalistik sastra sebagai Jurnalistik Baru (new journalism). Mereka agaknya lupa bahwa sejarah persnya melalui Edwin H. Ford sudah pernah menyebut kaidah yang sama.
Norman Sims dalam buku bunga rampai “The Literacy Journalists” terbitan Ballentine Books, tahun 1984, menulis bahwa jurnalistik sastra ataupun jurnalistik baru --seperti disebut pada era 1960-an-- tidak dirumuskan oleh kritikus, namun para penulisnya sendiri sudah menyadari bahwa karya mereka memerlukan pendalaman struktur, “suara”, dan ketelitian.
Dalam pengertian yang lebih mudah, pendapat Sims itu menunjukkan bahwa dasar dari jurnalistik sastra tidak berbeda dengan peliputan selidik, yaitu memiliki metoda ilmiah yang bertujuan memaparkan satu permasalahan kepada publik setelah menjalani kajian pembenaran. Kalangan pers mengenal salah satu bagian metoda ilmiahnya adalah “check and rechek” (periksa dan periksa lagi).
Secara terpisah, dalam penilaian Wai Lan J. To , di China jenis jurnalistik sastra juga berkembang relatif baik. Masyarakat pers China menyebutnya “Bao Gao Wen Xue” (literacy journalism atau jusrnalistik sastra).
Sebagaimana di AS, jurnalistik sastra di China juga merupakan proses kreatif para wartawan untuk mengungkap permasalahan yang perlu diketahui oleh publiknya dengan cara penyampaian menggunakan gaya bersastra. “Mereka menggunakan langgam sastra untuk mengungkapkan fakta aktual bernilai berita,” catat Wai Lan J. To.
Paling tidak, keberadaan peliputan selidik dan penuturan berlanggam jurnalistik sastra adalah upaya pers untuk memuasi kepentingan publiknya yang senantiasa haus akan kebenaran dan kejujuran, seperti juga kalimat bijak berikut ini:
Seiring dengan pers yang bertanggung jawab, harus ada pembaca yang bertanggung jawab.” (Arthur Hays Suzberger)


“Pers selalu merangsang keingintahuan. Tak seorang pun pernah meletakkannya tanpa rasa kecewa.” ##


Seorang Teman Lama

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 13 Maret 2009 | Maret 13, 2009


Beberapa titik air hujan menetes dari wajahnya. Dia seorang lelaki yang berjalan sendirian di emperan toko. Kota ini seperti telah mati di matanya walau hiruk pikuk nyata di telinganya yang sedikit ditutupi rambut hitam agak ikal panjang. Beberapa uban memutih tampak jelas tapi bukan pertanda dia menua. Barangkali hanya karena sering berganti merk shampo atau terlalu banyak berpikir atau entahlah menurut pakar rambut. Tapi yang jelas dia masih begitu muda. Aku yakin dengan itu sebab sebuah ransel lusuh bergambar che ghuevarra sangat mantap dan sepadan dengan tubuhnya.
Secangkir kopi yang direguk hampir tanpa sisa di sebuah warkop depan pasar membuatnya sedikit lebih punya energi untuk berjalan lagi. "Namaku, Sakou," suaranya berat tapi lembut. "Sakou?"pikirku aneh. Nama yang agak aneh sebab tidak ada bahkan belum pernah ada orang di kota ini yang mirip dengan nama itu. Mirip dengan nama orang Jepang! Mungkinkah dia orang Jepang? Tapi ternyata dia mengelak. Sakou mengaku bahwa dia orang asli Solo.
Sakou, pemuda asal kota Solo. Entah benar entah tidak tapi aku percaya saja. Di kamarku yang cukup sempit Sakou bercerita banyak tentang dirinya dan juga melontarkan banyak pertanyaan tentang kotaku. Tujuannya ke kota kecil ini belum juga kuusik. Aku membiarkan pemuda itu beristirahat beberapa jam di rumahku. Hari menjelang maghrib ketika Sakou pamit pulang justru ketika aku masih menyimpan banyak pertanyaan untuknya. Sebungkus rokok kretek di kamarku mungkin sengaja dia tinggalkan buatku. Kejadian itu aku masih ingat, hari yang terlupa tapi yang pasti di bulan maret 2007.
Di pagi penuh hujan, hari Rabu 11 Maret 2009. Cuaca hampir mirip ketika Sakou datang ke kota ini beberapa tahun lalu. Di internet dengan sedikit bantuan insting mencari informasi seputar seni secara tidak sengaja aku melihat berita dari sebuah situs resmi sebuah koran nasional. Isinya, entah mengapa tak pernah bisa membuat aku bisa menulis puisi tentangnya kecuali mungkin cerpen yang benar-benar pendek ini. Judul berita itu "Sakou, pemuda Jepang kolektor lukisan abstrak paling sukses tahun ini." Tapi, kira-kira dia dalam rangka apa ya di kotaku dua tahun lampau? Di kotaku tidak ada sama sekali lukisan abstrak ataupun pelukis. Tapi jika orang-orang mencari anak jalanan, pasti banyak.


Bulukumba, 13 Maret 2009

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday