Home » » Wajah Sastra Indonesia Mutakhir, Sebuah Tanah Lapang?

Wajah Sastra Indonesia Mutakhir, Sebuah Tanah Lapang?

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 21 Maret 2009 | Maret 21, 2009

Sastra bukanlah lempengan dari tembok sakral dan cuma bisa dipahat oleh manusia-manusia tertentu. Lalu apakah yang terjadi pada sastra hari ini? Sastra bukan lagi sebuah pusaka yang hanya pewaris tertentu mengawetkannya, rumit, hanya mampu disetubuhi sastrawan atau sebuah kebiasaan aneh. Erotika teknologi seketika menikam paradigma lama. Internet yang gemuruh dalam sepuluh tahun terakhir telah melahirkan sebuah fenomena baru: sastra cyber.

Jelajahilah dengan Google, akan mudah ditemukan segala yang berkaitan dengan sastra, entah puisi, cerpen atau esai. Sastra cyber pun telah melunturkan tembok anggapan bahwa sastra hanya dimiliki oleh mereka yang telah dibaptis sebagai sastrawan. Sastra, jasadnya kini lebih cair dan membumi. Entahlah jika lebih jauh ditelisik dengan mikroskop kesusastraan.Mereka telah datang berduyun-duyun dengan berbagai macam latar belakang, mulai dari mahasiswa, pejabat, karyawan hingga tukang kebun.

Kegesitan khas sastra cyber segera memangsa sekat-sekat pembatas bahkan pakem-pakem lama. Tak ada pengkotak-kotakan, wilayahnya satu ruang dan setara, tanpa embel-embel penulis ternama atau penulis pemula. Semuanya bebas menuangkan apa saja yang ada di kepalanya, mulai dari kata-kata puitis hingga sumpah serapah. Siapapun dengan mudah dapat mengakses penulis favoritnya dan bukan tidak mungkin penulis itu juga akan mampir ke blognya. Namun sastra cyber bukan semata-mata memindahkan tulisan sastra di koran atau majalah ke media cyber. Dunia cyber memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh media lain seperti bunyi atau gerak. Salah satu kelebihan sastra cyber adalah memangkas jarak antara penulis dan pembaca. Di media cetak sebuah karya harus melewati tahapan panjang seperti editor dan publisher, maka pada media cyber karya dapat langsung menyapa pembacanya.
Keganasan selama sepuluh tahun terakhir inilah yang membuat sastra cyber terasa lebih punya roh dibanding sastra koran atau majalah. Bila untuk sastra koran seorang penulis harus menunggu dalam hitungan minggu atau berbulan-bulan karyanya dimuat maka tidak demikian pada sastra cyber. Penulis hanya perlu menunggu dalam hitungan detik. Kemudahan yang diberikan oleh media cyber menghasilkan banyak karya dengan berbagai tingkat kualitas dari yang pantas diacungi jempol hingga yang hanya berupa "sampah"
(termasuk blog ini).

Bila pada media cetak sebuah karya disaring oleh seorang redaktur, maka pada dunia cyber pembaca dari berbagai pelosok dunia akan menjadi redaktur yang menilai kualitas sebuah karya. Dewan redaktur di dunia cyber terkadang lebih kejam dibanding dengan redaktur di media massa konvensional. Mereka tidak segan-segan melontarkan cacian apabila karya tersebut dianggap tidak berkualitas.

Seperti di media lain dalam dunia cyber juga terdapat seleksi alam di mana hanya karya berkualitas yang dapat bertahan, sementara sisanya akan terbuang ke jurang. Perkelahian yang teramat anggun dan cantik di dunia cyber itu tidak mudah karena setiap saat orang bisa memuji maupun memaki.

Dari sudut logika maupun estetika sastra cyber sungguh berbeda dengan sastra di media lain. Misalnya di media cetak sebuah karya dinilai terlebih dulu baru sampai ke pembaca, sementara pada media cyber karya sampai dulu ke pembaca baru kemudian dinilai. Logika dalam dunia cyber menciptakan keleluasaan lebih bagi para pembaca. Jika di media cetak selera pembaca ditentukan oleh redaktur (karena redaktur yang memutuskan karya apa yang dimuat minggu ini), maka pada media cyber pembaca bebas menentukan seleranya. Di dunia cyber pembaca benar-benar memiliki kekuatan mutlak untuk memilih dan menilai. Seorang teman yang rajin mengirimkan cerpen ke sebuah harian malah pernah bilang,"Di sana (sastra cyber) adalah rimba yang sesungguhnya. Sebuah rimba hitam yang asing namun petualangannya sungguh nyata."

Tidak hanya kebebasan atau kesetaraan, dunia cyber juga menawarkan kelebihan berupa jangkauan yang sangat luas sehingga dapat ikut membantu memperkenalkan sastra Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Jika melalui koran, sebuah karya hanya bisa diakses sampai negara tetangga atau negara yang terdapat kedutaan Indonesia, maka untuk media cyber jarak bukan sebuah masalah.
Tak dapat dipungkiri kelebihan-kelebihan tersebut yang kemudian memikat para penggiat sastra baik yang senior maupun pemula untuk menggunakan sebagai media ekspresif.
Berkaca pada perkembangan dunia cyber di Amerika yang begitu pesat, sastra cyber di Tanah Air tertinggal jauh. Di negeri Paman Sam tersebut seorang koki bisa menulis tips cara memasak makanan atau seorang desainer yang menulis tips cara berpakaian di blog. Berbeda di Indonesia blog masih digunakan sebagai catatan personal. Ketertinggalan itu tak lepas dari faktor penguasaan tehnologi di Indonesia yang masih rendah. Jaringan internet belum menjangkau seluruh pelosok negeri, bahkan komputer pun menjadi peranti yang belum dikuasai oleh semua elemen masyarakat.

Keterbatasan ruang untuk menggelontorkan ekspresi di media cetak memang menjadi fenomena tersendiri. Untuk koran misalnya, setiap minggu hanya ada satu cerpen dan beberapa puisi yang dapat dimuat. Tentu saja untuk dapat dimuat dan diapresiasi seorang penulis harus menunggu dalam waktu lama. Belum lagi hambatan senioritas, di mana penulis yang sudah terkenal akan memiliki kesempatan lebih besar untuk dimuat dibandingkan penulis baru. Hal yang sama juga dihadapi ketika ingin menerbitkan karya berupa buku. Para penerbit lebih memilih karya-karya populer yang akan lebih banyak dibeli oleh masyarakat umum, sedangkan karya sastra yang kualitasnya bagus jarang ditoleh karena sepi pembeli.

Di dunia cyber seseorang bebas menciptakan ruang sendiri untuk menampung karya-karyanya. Biaya yang dikeluarkan pun jauh lebih murah dan tidak mencekek leher. Para penggiat sastra cyber cukup merogoh beberapa lembar ribuan. Tapi masihkah kita bijak bila hanya memandang sastra cyber sebagai pelarian dari keterbatasan ruang di media cetak? Segelintir orang bersepakat bila maraknya sastra di dunia cyber hanya dipandang sebagai euphoria sesaat.Sebahagian lagi mencatat dengan yakin bahwa teknologi cyber akan terus berkembang dan melahirkan bentuk-bentuk baru. Jurnalisme warga yang bertutur mengenai cerita sehari-hari, tulisan seperti ini mungkin tidak tertampung di media cetak seperti koran atau majalah.
Hari ini, serasa ada yang sedikit melegakan. Sastra adalah sebuah tanah lapang yang sangat luas. Kembali kepada kita, akankah kita rajin dan rutin bermain bola setiap sore di dalamnya?

malam minggu ketika hujan reda, Bulukumba 21 Maret 2009
Share this article :

1 komentar:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday