pojok

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 08 Maret 2009 | Maret 08, 2009


Hila Hila Bontotiro

tanah ini adalah ngarai-ngarai puisi
anak-anak petani mengurai bulir-bulir padi kesuburan jiwa
di atas pematang tanpa sawah,
anak-anak nelayan menjala keperkasaan ombak
di atas karang tanpa air laut,
perempuan-perempuan bertangan kokoh menyusui bayi-bayinya
menimang-nimang kecambah kesetiaan,
lelaki-lelaki berkaki hitam legam menghela senyap tanah rengkah
menanam batu-batu hitam di lembah kebijaksanaan.
aku sedang tidak di sini
tapi tanah ini telah memaksa mataku
mengerjap-ngerjapkan kekaguman
sebuah zaman telah mengalirkan sebuah sungai waktu
dari cahaya makam dato ri tiro
ngarai-ngarai puisi, batu-batu sunyi,
di tanah ini aku selalu bermimpi menjadi kanak-kanak lagi
meski kadang hujan tak kunjung turun
berderai-derai.

Bontotiro, 3 Oktober 2008



Desember Setapak Ingatan

-kepada musim


hujan tak henti-henti
ketika waktu dilipat-lipat kenangan
kamarku adalah bercak-bercak ingatan
musim ini adalah aku yang kembali ke masa kecil
berlari telanjang dada

rindu dikibarkan, setapak ingatan menuju sawah
desa adalah masih negeriku yang tersubur dalam hati

pematang-pematang puisi, pancuran-pancuran nurani,

sungai-sungai keikhlasan
sungguh masih jelas mengalir ke hari ini
ingatan tentangnya tak henti-henti.
rindu dibentangkan,
setapak ingatan di tengah ladang
aku ingin menjadi bocah kembali
yang memburu layang-layang di tanah lapang
teriakannya merdeka dengan atau tanpa cinta
atau bahkan tanpa kerja.
desa adalah masih negeriku yang tersubur dalam hati
rindu tak habis-habis,
setapak ingatan menuju sebuah rumah kayu
hujan tak henti-henti
kota yang rengkah menyerbu kamar
dan kepalaku.

Makassar, 27 Desember 2008


Esok Pagi, Masih Boleh Kita Mencicipi Revolusi?

di tanah airku tak ada airmata
di sini orang-orang dilukai bukan dengan senjata
tapi dengan batu bata yang dibangun menjadi kota-kota,
batako adalah hutan rimba.
kami tidak berair mata,
mereka tidak menembaki kami dengan senjata
tapi dengan jutaan kata
dari atas mimbar,iklan dan baliho.
tak akan ada yang berani terang-terangan membunuhi kami
sebab mereka pasti tahu bahwa kamilah yang membeli senjata,
peluru, seragam, kantor bahkan kotak suara untuk pemilu.
mereka bernasib beruntung menjadi orang-orang yang kami
bayar di negeri ini
lalu mereka pun setia mengunjungi kami sekali dalam
lima tahun!
setelah mereka kami bayar dengan pajak
hari ini mereka datang lagi untuk mengemis suara kami
tapi tak ada airmata
sebab kakek nenek kami adalah pejuang-pejuang sejati
di jamannya
yang bertempur gagah berani mencegat musuh
tanpa dibayar sepeser pun!
di tanah airku tak boleh ada airmata
kami hanya menyimpannya diam-diam dalam hati
sebagian kami simpan menjadi puisi dan orasi
sebagian lagi menjadi amunisi
tapi esok pagi,
masih bolehkah mencicipi revolusi?

Bulukumba, 21 Oktober 2008

Share this article :

2 komentar:

  1. puisi-puisi yang melelahkan setiap kali dibacakan di antara hedonisme.

    BalasHapus
  2. Sudah lama yah puisi ini oom?

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday