Home » » Politisi Kutu Loncat

Politisi Kutu Loncat

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 04 April 2009 | April 04, 2009



Berapa usia demokrasi di republik ini? Anak-anak Indonesia yang paham sejarah niscaya akan menghitungnya sejak pemilu pertama ketika republik ini menggelar pemilu tahun 1955. Tapi tentu saja sebuah tatanan demokrasi tidak hanya harus diukur dari jumlah pemilu yang telah diselenggarakan. Bagi yang masih peduli dengan nasib negeri ini bersiaplah untuk bergidik ngeri. Sesekali cobalah menghitung biaya pemilu pertama sampai yang terakhir. Bandingkanlah dengan hasil-hasil yang telah dicapai buat rakyat. Tidak usah berkecil hati. Siapapun pasti setuju, selama ini semua itu ternyata jauh lebih besar pasak daripada tiang. Lalu muncul pertanyaan konyol, sudah berapa usia kita dalam hal kedewasaan berpartai? Maka hampir pasti yang muncul adalah segala jawaban kusut. Tapi suaranya bising.

Di negara manapun membincang partai politik adalah berarti menukik pada persoalan ideologi, platform, visi misi dan sebagainya dari partai politik. Telah berhasilkah semua parpol di Indonesia dengan perjuangan programnya? Sebatas kursi, jawabannya adalah ya! Jawabannya tidak jika ditelisik pada perjuangan platform partai. Mari mengamati kutu loncat. Seekor kutu loncat akan selalu mendaratkan kaki hanya pada tempat yang dianggapnya aman sekaligus nyaman. Ketika tempatnya sudah tak nyaman lagi maka tunggulah sebentar lagi dia berjumpalitan dan bermanuver segala macam. Hingga akhirnya berhasil mendarat di tempat yang sama sekali baru. Muncullah istilah ‘politisi kutu loncat’ yang sehari-hari mudah kita temui di mana saja. Seorang politisi berpindah partai adalah berita yang sangat lumrah. Tapi sebaliknya memalukan bagi nilai-nilai kesantunan dalam politik. Seorang bocah TK saja pasti sudah dapat menganalisa bahwa tetangganya, misalnya yang kebetulan caleg partai anu mendadak pindah ke partai lain. Otak sederhana bocah itu menyimpulkan bahwa itu tidak lain dan tidak bukan hanya karena persoalan peluang memperoleh kursi.

Lalu apa yang terjadi dengan ideologi? Ternyata nasib ideologi tidak lebih baik dari konstituen pemilih parpol. Ideologi-ideologi parpol hari ini ibarat cat luntur yang dipaksakan menempel untuk memperkenalkan identitas kelompok. Hanya sebatas itu. Alhasil, kedewasaaan berpartai kian kabur. Yang turut memperparah keadaan justru sistem kaderisasi partai. Karena rakyat pun katanya semakin cerdas maka ideologi dan program partai bukanlah persoalan prinsipil. Yang penting mereka bisa ambil bagian dan memberikan andil menurut ukuran mereka. Kader-kader partai tidak lebih dari sekumpulan massa yang mencari naungan dan kelompok. Mengikuti trend politik hari ini adalah juga harus mengikuti permainan elite. Setidaknya itu menurut beberapa pemilih yang mengaku cerdas. Seorang pemuda pemabuk sah-sah saja jika fanatik kepada sebuah partai yang konon memperjuangkan islam. Atau seorang kakek pengurus masjid yang bisa saja tidak begitu peduli jika caleg jagoannya ternyata pemakai narkoba. Seorang ibu yang kebetulan berpaham sekuler tak akan mempersoalkan partai agamis di mana keponakannya ‘mengadu nasib’ jadi caleg. Kesimpulannya aman.Tidak ada problem ideologi pada arus bawah. Nilai-nilai kekerabatan masih memegang kunci di kalangan pemilih. Tapi kesimpulan terakhir, Parpol belum mendewasakan konstituennya sendiri. Jika ideologi maupun platform bisa terbengkalai, maka lebih parah lagi dengan janji.

Mungkin tidak pernah terjadi kesalahan sejarah. Sebaliknya yang sering terjadi adalah amnesia sejarah. Kita lebih banyak lupa dengan apa yang telah berlangsung puluhan tahun. Satu lagi, sebab kita adalah termasuk bangsa yang begitu pemaaf. Rakyat Indonesia punya tradisi senantiasa memaafkan kesalahan para pemimpinnya. Masihkah rakyat yang cerdas akan memilih partai yang juga diawaki orang cerdas? Namun nilai kecerdasan sebuah parpol hanya diperoleh dari proses alamiah. Kedewasaan berpartai adalah kedewasaan yang ditempa perjuangan bersama akar sejarah partai yang dihela bersama . Parpol adalah kendaraan untuk memperoleh jatah di jantung-jantung kekuasaan. Paling tidak parpol bisa mengaduk-aduk arah kebijakan penguasa. Ideologi, program dan visi misi adalah panglima yang sesungguhnya pada sebuah parpol. Yang paling sering dilupakan justru adalah amanah sang panglima. Tujuan-tujuan akhir masih seringkali disepelekan. Yang mengherankan, justru situasi konyol semacam itu yang membuat nyaman bagi politisi kutu loncat.

Perhelatan bangsa lima tahunan itu semoga makin membuat dewasa siapa saja.Di mana rakyat tak lagi sekedar memaknainya dengan nasi bungkus, baju, uang bensin gratis, nonton artis dan amplop. Semua politisi sudah menganggapnya sebagai legitimasi yang mulia. Lima tahun selanjutnya, juga semestinya sudah ditemukan sejenis racun pembunuh kutu loncat. Siapa tahu kita tiba-tiba mengidap amnesia sejarah pada hari pencontrengan?

Share this article :

1 komentar:

  1. terimakasih buat harian RADAR Bulukumba yang telah bersedia memuat tulisan ini di edisi Senin 6 April 2009.

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday