Home » » Sastra Lisan Tradisional

Sastra Lisan Tradisional

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 05 April 2009 | April 05, 2009

Sejenak mari menjelajahi sejarah. Sastra lisan di Indonesia ternyata berkembang lebih pesat bila dibandingkan dengan sastra tulisan dan literatur manapun. Sastra adalah sebuah dunia tersendiri yang diciptakan oleh pengarang untuk diterima, diserap dan ditanggapi oleh masyarakat. Demikian juga sastra lisan berkembang di masyarakat, karena masyarakatnya menerimanya.

Mengacu pada rumusan Politik Bahasa hasil seminar politik bahasa pada tahun 1999 di Bogor, sastra daerah, sastra berbahasa daerah dan merupakan unsur kebudayaan daerah, merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Sastra daerah merupakan bukti historis kreativitas masyarakat daerah. Menurut Edwar Djamaris (1993) di Meseum Nasional Jakarta, hanya ada 953 naskah. Berarti sedikit sekali bila dibandingkan dengan luasnya nusantara dan ribuan hasil karya sastra budaya daerah. Karena itu, sastra lisan perlu didokumentasikan, sehingga sastra lisan tidak hilang dan punah ditelan zaman. Sastra lisan didokumentasikan merupakan bagian dari pelestarian kesusastraan daerah. Di dalam tulisan cerita rakyat harus memiliki;

Estetika. Cerita rakyat yang ditulis memiliki estetis, sehingga pembaca menikmati cerita rakyat dan memiliki rasa estetis. Ini penting sekali untuk mengelola cerita rakyat itu sendiri.

Imaji. Sebagai hasil karya sastra berasal dari sastra lisan, imaji bagian terpenting di dalamnya. Sebab cerita rakyat sifatnya abstrak dan lebih banyak ke imaji dibandingkan dengan realita kehidupan masa lalu.

Majas. Menghasilkan cerita rakyat berasal dari sastra lisan, penting sekali mengembangkan majas. Sebab majas wujud bahasa gambaran tetapi dijelaskan secara apik dan jelas bagaimana cerita yang terkandung di dalamnya.

Pesan. Cerita rakyat memiliki pesan yang mendalam di dalam kehidupan kita. Pesan yang ditampilkan menggambarkan persoalan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakatnya.
Etika. Cerita rakyat bagian dari sastra lisan, karena itu cerita rakyat harus mengandung etika. Etika ini bagian terpenting di dalam pesan-pesan yang disampaikannya, sehingga cerita rakyat tidak retorika belaka. Omong kosong tiada bermakna dalam pesan. Estetika. Membaca atau mendengar cerita rakyat memang harus estetika. Di dalamnya mengandung keindahan berbeda dengan keindahan alam. Keindahan cerita rakyat adalah keindahan bathin.

Logika. Cerita rakyat memang 99% isinya imajinasi. Bisa juga dologikakan bila suatu peristiwa dikaitkan dengan cerita. Logika memang sulit dibicarakan, tapi imajinasi yang menguasai cerita rakyat. Dinamika. Cerita rakyat memang cerita berkembang di tengah-tengah masyarakatnya. Dinamika cerita terus dinamis sesuai dengan perkembangan zaman.

Sastra lisan hadir sebagai bagian dari sastra daerah. Etika di dalamnya bagian terpenting untuk disajikan kepada pembacanya. Menurut Geogre Sand penyair Prancis abad ke-19, seni itu bukan studi tentang hakikat yang positip. Dia mencari kebenaran ideal. Karya sastra lisan seperti cerita rakyat mengandung tiga unsur. Pertama, unsur keindahan, kejujuran dan kebenaran.

Unsur keindahan ini harus, agar cerita rakyat berkembang dan dapat dinikmati sesuai dengan selera pembacanya. Karya sastra lisan tidak hanya keindahan saja, harus ada kejujuran. Kejujuran apa yang pernah berkembang di tengah masyarakatnya. Cerita rakyat boleh jadi cermin dari masyarakat pada zaman dahulu bisa juga cermin pada zaman sekarang. Kemudian unsur kebenaran tidak terpisahkan dalam unsur keindahan dan kejujuran tadi. Kebenaran tidak membohongi masyarakat.

Cerita rakyat memang terjadi apa adanya, tidak diadakan. Kebenaran itu merefleksi kehidupan manusia. Sastra adalah ungkapan kreatif terpilih manusia, mengandung inti pati pikiran, hasrat, suatu cita-cita yang diberi bentuk. Tidak secara gamblang menunjukkan inti pati. Sastra lisan, hasil dari kultural masyarakatnya. Menurut Jurij M. Lotman menyatakan, realitas kultural dan historis kita sebut karya sastra tidak berhenti di dalam teks. Teks hanya salah satu unsur dalam suatu relasi. Cerita rakyat dikembangkan dan didokumentasikan bukan menghilangkan makna sastra lisan.

Sebab sastra lisan tetap berkembang di masyarakatnya. Makna yang ada bukanlah makna simbolik, tapi makna yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya. Siegfried J. Schmidt berpendapat, resepsi merupakan proses menciptakan makna, menyadari instruksi-instruksi yang diberikan dalam penampilan linguistis teks tertentu. Dalam cerita rakyat memang makna yang terjadi di tengah masyarakatnya sendiri.

Sastra lisan Sumatera Utara berupa cerita rakyat, bisa menceritakan asal usul suku, asal usul wilayah, asal usul marga, asal usul kejadian, asal usul kota, asal usul binatang, asal usul manusia, asal usul masyarakat dan sebagainya. Banyak yang bisa diceritakan termasuk cerita rakyat sejarah. Peristiwa sejarah bisa dikatagorikan cerita rakyat. Ceritanya berkembang di tengah-tengah masyarakat, walau nantinya terjadi suatu kebenaran dan realitas. Cerita rakyat menceritakan asal usul kota dan sejarahnya juga bagian dari sastra lisan Sumatera Utara.

Dalam buku Monigrafi Budaya Melayu Langkat, (Depdikbud) melukiskan pantun anak-anak, jenaka, pantun nasehat, pantun muda-mudi, pantun dagang dan pantun teka-teki. Dalam puisi Melayu terdapat pantun, yakni bagian dari karya memiliki visi dan misi sesuai dengan penulisnya. Di dalamnya juga terdapat perumpamaan, perbandingan, ungkapan dan harapan. Pantun mulai dari seuntai (sekerat) sampai pada kelapan kerat atau lebih.

Kemudian pantun teka-teki (kuntai) merupakan karya yang banyak dihasilkan oleh masyarakat Melayu Kuntai artinya aku beri beruntai atau kau beri berumbai. Maksudnya memberi kesempatan untuk menjawab, kuntai yakni bahasa Melayu asli, teka-teki adalah bahasa yang diambil dari bahasa sansekerta yang artinya=coba cari.

Demikian juga masyarakat Melayu gemar peribahasa, sebab memiliki nuansa yang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Di dalamnya terdapat kata-kata yang harus dijawab dengan bahasa yang akrab, namun bukan teka-teki.

Dalam puisi lama yang terjadi pada suku Melayu juga terdapat gurindam. Gurindam sajak (puisi) yang terdiri atas dua baris tiap baitnya. Sedangkan disebut pantun telah dikupas di atas juga bagian dari puisi lama yang saat ini masih terus hidup dan berkembang bagi suku Melayu.

Menurut T.M. Lah Husny, pantun mengandung pengertian: perumpamaan, perbandingan, ungkapan dan harapan. Selain pantun menurut pembagian tujuannya ada pula pembagian pantun pada banyak jumlah barisnya, mulai dari seuntai (sekerat) sampai kelapan kerat atau lebih. Contoh Pantun sekerat (pepatah) 1. Ikut rasa, binasa. 2. Ikut hati, mati dan 3. Kata itu, kota.

Pantun mempunyai tujuan yang hendak dicapainya. Visi dan misinya sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pantun mempunyai tujuan masing-masing dan fungsinya, antara lain:
Pantun adat, pantun agama, pantun nasehat, pantun semangat/obat, pantun dendam berahi, pantun pergulan, pantun teka-teki, pantun anak-anak dan sebagainya. Pantun teka-teki atau kuntai jumlahnya paling banyak dibandingkan dengan pantun lainnya. Sebab kuntai adalah bahasa Melayu asli, teka-teki adalah bahasa yang diambil dari bahasa sansekerta yang artinya coba cari. Ada kuntai seuntai, ada dua uai, tiga untai dan empat untai.

Jejak sastra lisan masih bisa dijumpai pada banyak suku di tanah air. Yang termasuk fenomenal adalah sastra tutur suku Bugis Bulukumba. Bahkan bukan hanya sastra tutur.Penjelajahan sejarah dan antropologi suku Bugis oleh para ahli banyak dibantu dengan adanya warisan cerita sejarah berupa lisan secara turun temurun.

Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday