Home » » Seniman Jalanan Kota Wina

Seniman Jalanan Kota Wina

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 29 April 2009 | April 29, 2009



Apapun bisa menjadi inspirasi. Artikel ini siapa tahu juga bisa jadi sumber ide berkesenian bagi siapa saja. Saya dapatkan dari berbagai sumber termasuk dari sebuah acara di sebuah stasiun televisi luar negeri. Tentang keseharian sebuah kota di Eropa bernama Wina.
Wina, sebuah kota penuh inspirasi. Kota yang dikenal sebagai kota pengamen jalanan, kota musik dan kota puisi. Terdapat beberapa sekolah tinggi musik dan beberapa gedung pertunjukan konser dari komponis Mozart digelar di Wina. Di setiap sudut kota serombongan anak muda memperagakan gerakan tarian akrobatik dengan irama rancak musik Techno. Di depan atraksi yang dilingkari penonton itu juga ada anak muda sendirian memainkan alat berbentuk yoyo yang bisa dilempar ke atas dengan ketinggian mencapai 23 meter. Kemudian dia tangkap lagi yoyo itu hanya dengan tali di tangan. Tepuk tangan riuh membanjiri altar katedral.
Disela-sela penonton seeorang mempertunjukkan atraksi pantomim. Orang itu kaku berdiri berdandan bak patung "Liberty" di New York. Dia hanya bergeming atau tersenyum, bila ada lemparan koin pada kaleng di bawahnya. Lima meter dari situ ke arah kiri, digelar tarian suku Aztek dari Meksiko. Tarian suku Indian lengkap dengan bulu-bulu burung elang melingkar di kepala, serta tubuhnya dipoles warna-warni diiringi musik kendang dan seruling serta nyanyian bernada melankolis. Kelompok penari dari Meksiko itu menamakan dirinya sebagai Yankuik Anahuak International. Seorang penyelenggara, mungkin orang Jerman membagikan selebaran sambil berpidato di tengah kerumunan massa: „Kami dari suku Aztek datang ke Wina, ingin mengambil mahkota raja Aztek yang disimpan oleh pemerintah Austria di museum Wina. Kami ke sini untuk menagih, berapa tahun lamanya usaha diplomasi lewat PBB dan badan lain sia-sia. Mahkota itu milik kami, jangan disimpan di museum." Kemudian seorang perempuan suku Aztek rambutnya terkepang dua, berkeliling menengadahkan kotak kayu ukiran untuk sumbangan sukarela.
Di sebelah kanan dari tempat itu ada atraksi boneka yang dimainkan seseorang dengan lucu. Ini atraksi yang berbeda lagi. Boneka berkepala anjing itu duduk di kursi kecil sambil tangannya bergerak-gerak lincah seolah-olah memencet tuts piano. Karena tangan dan kaki serta kepala boneka diikat benang yang dihubungkan ke tangan orang yang memainkan. Boneka itu terus bergerak sesuai irama musik kaset di sebelahnya. Sungguh sebuah atraksi sederhana yang hidup. Utamanya anak-anak kecil mengerubuti dan tak mau beranjak pergi. Tentu saja ibu-ibu mereka harus mengalah kehendak sang anak. Kaleng kosong di depan boneka itu cepat terisi koin Euro. Yang menarik lagi, ketika atraksi boneka usai, anak-anak kecil di situ juga akan segera pergi. Mereka maju ke depan menyodorkan tangan ingin berpamitan dengan boneka tadi. Pemain boneka itu menyunggingkan senyum dan menggerakkan tangan boneka dengan posisi menyodorkan tangan. Tangan boneka itu segera diremas ringan oleh anak-anak yang berpamitan. Kontan penonton tertawa dengan kejadian itu. Maklum dunia anak-anak melihat boneka bergerak dengan musik pengiring, fantasinya melambung seperti boneka hidup sungguhan.
Sekitar tujuh meter ke arah kiri dari tontonan boneka jalanan itu, ada bangunan yang sedang direnovasi. Persis di bawah bangunan tersebut ada tempelan kertas foto kopian kecil-kecil. Tulisannya berbunyi: "Pungutlah Sebuah Puisi"(Pflück ein Gedicht), "Ambillah Sebuah Puisi" (Nimm ein Gedicht), "Pungutlah Beberapa Puisi" (Plückt ein Paar Gedichte), "Sastra untuk Dipungut" (Literatur zum Pflücken), "Ambilah Teks-Teks Ini" (Nimm Tekte). Wina adalah mungkin satu-satunya kota di dunia yang ada puisi dipajang di jalanan. Potongan kopian puisi itu hanya ditempel pada tiga isolasi panjang warna cokelat. Sangat kreatif.
Para pejalan kaki dari anak-anak muda, ibu-ibu, bapak-bapak dan kakek-nenek tersandung sajak di situ. Mereka awalnya menoleh, memperpendek langkahnya, lalu berhenti dan membaca satu persatu. Ada anak muda yang sengaja membaca berloncatan, sesuai selera hatinya. Kalau puisinya cocok maka dia berlama-lama atau memetiknya. Puisi-puisi itu tidaklah panjang dan berbaris-baris, hanya beberapa baris saja. Ada pula orang setelah membaca, kemudian pergi. Ada orang yang mengambil beberapa potong puisi dan disimpan di saku atau tasnya. Sebuah aksi sastra jalanan yang fantastik penuh artistik. Dan tahukah anda? Di Wina ada berapa orang penyair yang bisa ditelepon dan silahkan mendengarkan beberapa potong puisi yang dia bacakan lewat telepon.


Share this article :

1 komentar:

  1. Waktu ke Wina aku pernah lihat seniman yg pake baju dari perak gitu dan mukanya dibedakin sampai putih banget. lalu mereka diam spt patung. baru bergerak bila ada orang yg kasih uang ke kaleng kecil di sebelah kaki mereka.

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday