Home » » Kudeta Sastra

Kudeta Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 22 Mei 2009 | Mei 22, 2009

TAPI

aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih

aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi

aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir

aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau

tanpa apa aku datang padamu
wah!

1976

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981

BATU

batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?

Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai se-
dang lambai tak sampai. Kau tahu?

batu risau
batu pukau batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1

HERMAN

herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa

di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1

TANGAN

seharusnya tangan bukan hanya tangan tapi tangan yang memang tangan tak cuma tangan tapi tangan yang tangan pasti tangan tepat tangan yang dapat lambai yang sampai salam

seharusnya tangan bukan segumpal jari menulis sia se kedar duri menulis luka mengusap mata namun gerimis tak juga reda

walau lengkap tangan buntung walau hampir tangan bun tung walau satu tangan buntung walau setengah tangan buntung yang copot tangan buntung yang lepas tangan buntung yang buntung tangan buntung

segala buntung segala tak tangan hanya jam yang lengkap tangan menunjuk entah kemana

1976

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1

WALAU

walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak

kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak

tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu

walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah

1979

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1


Puisi-puisi Sutardji adalah magma tersendiri dalam jagad sastra Indonesia. Penulis tak akan menyentuh tentang puisinya yang kata orang adalah puisi mantra. Penulis hanya ingin menuliskan sebuah puisi berisi dua kata kepada Sutardji Calzoum Bachri (entahlah jika kebetulan dia sempat menemukan blog dan tulisan ini):

Kakek Tardji

kudeta

sastra

!?

Bulukumba, 22 Mei 2009


Penyair berwajah brewok ini pernah memproklamirkan diri sebagai presiden penyair Indonesia pada dekade 1980-an. Sungguh, dia sebongkah ide bagi siapa saja yang pernah belajar puisi atau sekedar pernah mampir di buku sejarah puisi tanah air. Sutardji pernah mengkudeta makna kata hingga kata terbebas dari belenggu makna. Bisa dipastikan, perbuatannya bukan termasuk subversif.


Sutardji menggali mantra dari rahim bumi nusantara. Lahirlah puisi-puisi mantra. Tidak terlalu banyak orang yang suka dengan puisi Sutardji. Juga tak ada mantra untuknya dari penyair angkatan muda. Itu pasti, Barangkali ada juga beberapa orang anak muda yang pernah menganyam sebait pengharapan bercampur kegamangan: kapan lagi ada kudeta sastra seperti yang pernah dilakukan kakek Tardji?


Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday