Sebelum terbit di media cetak maka pasti ada seleksi redaksi yang kita kenal sebagai praliterasi bagi sebuah karya sastra maupun bentuk tulisan lainnya. Sejak dulu tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari seleksi ketat sang redaktur sebuah media cetak. Tapi hari ini jika ada yang menganggap media cetak menjadi satu-satunya sumber untuk membentuk seseorang menjadi sastrawan maka itu opini yang menyesatkan. Akan muncul resistensi.
Sastra adalah dunia imajiner yang bebas diinterpretasikan oleh siapapun. Persoalan sastra cetak dan sastra cyber hanyalah persoalan medianya saja. Kalau sastra cetak selalu mengenal batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaksi dan selera pasar, sastra cyber tak mengenal batasan-batasan otoritas itu. Siapa saja bebas memiliki blog gratisan yang bisa dijadikan sebagai media untuk mempublikasikan karya-karyanya. Pembaca koran misalnya hanya kebetulan mereka yang berlangganan dan dibatasi oleh waktu penerbitan. Untuk rubrik sastra dan budaya biasanya terbit setiap hari Minggu yang acapkali hanya dijadikan pelengkap kolom-kolom dan rubrik konvensional. Berbeda dengan sebuah blog gratisan di mana updating bisa saja dilakukan setiap detik. Seorang penggemar puisi tidak perlu menunggu seminggu lamanya untuk bisa membaca sebuah puisi terbaru.