Dialah Mahrus Andhis. Satu-satunya penyair-birokrat yang langka, demikian penulis menyebutnya diam-diam. Gaya penulisan yang prosais dan ritmis mejadi pilihan manis bagi pengungkapan puitiknya. Beranjaknya usia kadang menggiringnya ke arah penulisan puisi-puisi sufistik.
Usianya tak lagi muda dan kini paling dituakan di kalangan seniman di Bulukumba. Keakraban Mahrus Andhis dengan lingkungan alam kerap membuatnya mahir menuai kata beraroma khas perkampungan dalam sebahagian puisinya. Baca saja salah satu puisinya Di Atas Pematang kala masih mahasiswa.
Di Atas Pematang
menapak rengkah pematang
cicit burung pipit merenyuh
jauh ke ceruk gua
(lenguh sapi di kandang belakang
mengiris duka bukit
mengepul asap
retak dalam doa Wak Sule
menapak bencah pematang
ribuan ekor katak berlompatan
ke jantung sungaiku
bunga-bunga rumput dan bau walangsangit
meredam dukarindu gadis tetangga
(lahan siang malamku merekah
dan Halimah
mencuci rambut di atas batu)
Bulukumba, 1988
Sungguh sebuah puisi yang selalu memaksa orang-orang yang lebih dulu beranjak ke kota untuk segera pulang menengok kampung halaman. Mahrus Andhis adalah salah satu sosok penyair produktif yang lahir di Ponre Kabupaten Bulukumba, 20 september 1958. Pemilik nama lengkap Drs. Andi Mahrus Syarief ini pernah mengasuh acara Serambi Budaya di RRI Makassar dan Apresiasi Budaya di TVRI stasiun Makassar (1982-1984). Konon amat energik semasa menjadi aktivis mahasiswa di Universitas Hasanuddin Makassar. Sempat menjadi asisten dosen kemudian memutuskan pulang kampung. Salah satu tempat mangkalnya dulu adalah Dewan Kesenian Makassar hingga 1986.
Mahrus banyak menulis puisi, cerpen, naskah drama dan artikel budaya. Beberapa bukunya yang telah terbit dan bahkan beredar sampai Malaysia dan Brunei di antaranya Sajak Sajak Panrita Lopi, Bulukumbaku Gelombang Berzikir (2001) dan beberapa antologi bersama penyair lainnya. Sejak 2005, puisi-puisinya selalu menghiasi program Ekspresi di RCA 102, 5 FM Bulukumba. Cuma, satu hal yang kurang adalah penyair senior ini belum pernah punya waktu untuk diwawancarai atau baca puisinya sendiri di radio. Agak aneh juga sebab beliau orang Bulukumba. Entahlah nanti setelah tulisan ini dibaca sendiri oleh beliau.
Satu hal lagi yang aneh. Mahrus Andhis sampai kini justru tak habis-habis berkarya meski telah menjadi pejabat sebagai Asisten I di lingkup Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Sebaliknya karyanya mengucur deras dari lantai birokrasi. Mantan Camat Ujungbulu, Sekkab, anggota DPRD, dan kepala Dinas Sosteklinmas ini juga dikenal sebagai seorang muballigh kondang. Memang sangat sibuk tapi tak mengusik kegiatan lainnya di antaranya sebagai kolumnis di harian Radar Bulukumba. Puisi-puisinya terus mengucur dari lantai birokrasi. Namun tetap kritis, romantis dan memaksa pembacanya merindukan alam yang lampau. Salah satu puisinya yang pernah penulis bacakan di radio adalah Batuppi. Sebuah nama kampung di Bulukumba.
Batuppi
kemana lengkingan anak-anak
telanjang
memainkan gemerincing batu kecil
cekikikan membayang
wajahnya terseret ke hulu
kemana perempuan naima
yang selalu tersipu membawa cucian
ketika ia tahu
siul salengke menghadangnya
di kelopak bunga-bunga rumput
kemana desahku mengalir
ketika sungai pasir menampung luka
dan mesin gerobak kian gemuruh
berpacu dengan keringat matahari
Bulukumba, 1999.
Hingga kini, penulis secara diam-diam masih tetap menyebutnya sebagai penyair-birokrat yang langka. Mungkin juga saking langkanya, maaf jika tulisan ini tidak menyertakan foto Mahrus Andhis sebab memang sungguh sulit menemukan fotonya yang asli.