Home » » Setelah Agama, Seni dan Cinta

Setelah Agama, Seni dan Cinta

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 20 Juni 2009 | Juni 20, 2009


Tiga pilar pencerahan dunia yakni agama, cinta dan seni (termasuk sastra) masih diyakini sebagai sistem nilai yang ampuh di dalam mengawal peradaban dan kebudayaan. Cara membedakan hitam putih masih dapat ditelusuri jika merujuk pada ketiga pilar itu. Yang sering menjadi persoalan hanya terletak pada sejauh mana manusia berminat terhadapnya. Terkhusus sastra, bagaimanakah minat masyarakat kita?

Jika harus jujur, manusia Indonesia sebagaimana di beberapa negara berkembang lainnya masih sangat tertinggal. Salah satu penyebabnya adalah karena masyarakat kita masih menganggap sastra adalah bidang yang hanya harus digeluti para sastrawan. Mereka menganggap sastra hanya wajib dipelajari oleh mahasiswa fakultas sastra, pelajar di kelas-kelas bahasa, para peminat yang yakin bahwa sastra adalah profesinya, amatiran yang menggilainya sebagai sekedar kegemaran, dan sebagainya. Paradigma ini terus berlangsung hingga hari ini. Tanpa sadar bahwa sejak puluhan tahun lampau petani-petani di India menyempatkan diri membaca kitab-kitab sastra kuno sekali seminggu. Tradisi petani India tentunya bukan untuk menjadi sastrawan. Sebaliknya sistem nilai dalam sastra kuno itulah yang selama ini mampu menjaga peradaban dan kebudayaan mereka dari generasi ke generasi.

Beberapa tahun lampau Taufiq Ismail pernah melakukan survei sederhana yakni dengan mewawancarai tamatan SMU dari 13 negara. Apa yang dilakukan Taufiq hanya semacam snapshot, potret sesaat, untuk menangkap gejala yang muncul ke permukaan. Pertanyaan diarahkan pada persoalan seputar kewajiban membaca buku sastra, bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di SMU tempat mereka belajar. Hasilnya? Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, sementara di Jepang dan Swiss 15 buku, serta siswa SMU di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia-setelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal, pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra. Telah gagalkah pengajaran apresiasi sastra di sekolah? Sedemikian parahkah minat baca kaum muda kita terhadap buku-buku sastra?

Ya, setelah masyarakat gagal menjadi kekuatan kontrol terhadap seks bebas, permanisme, kriminalitas, institusi pendidikan idealnya mampu menjalankan fungsinya sebagai benteng terakhir terhadap serbuan segala macam bentuk pembusukan dan anomali sosial. Namun, tampaknya institusi pendidikan kita pun dinilai telah gagal menjalankan fungsinya dengan baik. Pengajaran sastra yang seharusnya lebih banyak mengajak siswa didik untuk mengapresiasi teks-teks sastra, ruang-ruang kelas pun telah berubah menjadi ruang untuk menghafalkan teori sastra dan nama-nama pengarang. Para siswa tidak pernah diajak untuk “menikmati” keindahan dan keagungan nilai luhur yang tersirat dalam teks sastra.

Dalam kondisi pengajaran sastra yang semacam itu, bagaimana mungkin siswa bisa terlatih memiliki kepekaan terhadap segala macam nilai luhur hakiki? Padahal, di dalam teks sastra terdapat berbagai kandungan gizi yang mampu menjadi santapan rohaniah anak-anak bangsa negeri ini sehingga bisa menjadi media “katharsis” dan pencerah peradaban. Bisa jadi, kaum muda kita yang doyan mengumbar selera purba dan nafsu-nafsu primitif, seperti seks bebas, drugs, tawuran, dan ulah-ulah tak terpuji lainnya itu lantaran mereka tak pernah membaca karya sastra. Demikian yang pernah dilontarkan oleh sastrawan Danarto beberapa tahun yang silam.

Setelah agama, seni dan cinta maka tak ada lagi pilar pencerahan lainnya yang bisa dipercaya mengawal peradaban dan kebudayaan besar sebuah bangsa. Terkecuali jika ada pilar baru lainnya yang berhasil ditemukan manusia di masa depan.



Share this article :

4 komentar:

  1. masyarakat kita masih menganggap sastra adalah bidang yang hanya harus digeluti para sastrawan...

    memang begitulah kenyataan yg ada

    BalasHapus
  2. cerminan masyarakat kita. tapi jika 40 % saja manusia indonesia sebagaimana bung ahmad, wah keren..

    BalasHapus
  3. Membaca artikel bagus seperti biasa...

    Apa kabar mas Ivan ?

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday