Home » » Arena Wati, Sastrawan Besar di Negeri Orang

Arena Wati, Sastrawan Besar di Negeri Orang

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 26 Juni 2009 | Juni 26, 2009


Sampai hari ini beberapa daerah di tanah air masih terlalu kecil untuk dipetakan dalam peta sastra Indonesia. Tidak bisa dipungkiri sentralisasi sejak orde lama ke orde baru hingga kini berhasil mentradisikan keterpencilan sastra di daerah-daerah. Mungkin bukan masalah waktu tapi lebih pada niat untuk bangkit. Minimnya produktifitas karya sastra di daerah bisa jadi juga adalah buah dari periode panjang invasi sastra di pusat ke segala penjuru nusantara. Tapi tidak bijak menyalahkan sejarah semata.

Hari ini adalah juga sejarah yang mesti dibangun sendiri selama masih ada energi untuk menggeliat. Semisal di Sulsel kampung halaman penulis, mungkin hanya ada nama Aslan Abidin, Hendragunawan S.Thayf, Muhary Wahyu Nurba, dan Tri Astoto Kodarie serta beberapa nama lainnya yang bisa dihitung dengan jari. Itupun, Sulsel hanya lebih banyak dikenal sebagai gudang puisi dan penyair. Cerpenis, novelis, dramawan dan lainnya entah di mana.

Nama Arena Wati tentu tak bisa dimasukkan sebab beliau adalah warga Malaysia walaupun lahir dan besar di Jeneponto, Sulsel. Benarkah kultur yang ada di negeri sendiri telah menyebabkan sastrawan besar seperti Arena Wati lebih memilih berkiprah di negeri orang? Memang tidak banyak yang mengenalnya. 

Penulis sendiri baru pertama kali mendengar nama dan jejaknya ketika dikabarkan wafat pada 26 Januari 2009. Arena Wati adalah nama pena dari Muhammad bin Abdul Biang alias Andi Muhammad Dahlan bin Andi Buyung (lahir di Jeneponto, 20 Juli 1925 – wafat di Cheras, Malaysia, 26 Januari 2009 pada umur 83 tahun), sastrawan negara Malaysia asal Indonesia. Ia juga memakai nama pena lain seperti Duta Muda dan Patria. Selama tiga tahun (1986-1989) pernah menjadi dosen tamu di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Masa muda Arena ditempuhnya di Makassar. Ia menjadi pelaut sejak 1943 dan pada usia 17 tahun sudah jadi nahkoda kapal. Sekitar tahun 1954 ia telah menetap di Malaya dan bekerja di lingkungan penerbitan majalah "Royal Press" dan penerbitan "Harmy". Tidak lama kemudian, dia pindah ke Johor Baru bekerja pada penerbitan Melayu Ltd,, selama lima tahun. Tahun 1962-1974 bekerja di Pustaka Antara, Kuala Lumpur.

Novel pertamanya, Kisah Tiga Pelayaran, terbit tahun 1959 di Singapura. Setelah itu menyusul Lingkaran (1962), Sandera (1971), Bunga dari Kuburan (1987), Kuntum Tulip Biru (1987), Sakura Mengorak Kelopak (1987), Panrita (1993), Sukma Angin (1999), Trilogi Busa (2002), Trilogi Armageddon (2004), dan Trilogi Bara Baraya. Ia juga menulis buku-buku kajian sastra dan kebudayaan. Penghargaan tingkat internasional yang diraihnya adalah Penghargaan Sastra Asia Tenggara, SEA Write Award, dari Raja Thailand pada tahun 1985 dan Sastrawan Negara dari Pemerintah Malaysia tahun 1988. 

Arena Wati menikah dengan Halimah Sulong dan dikaruniai enam anak. Ia wafat akibat gangguan pada paru-parunya. Mungkinkah masih banyak sosok mengagumkan di berbagai bidang termasuk sastra selain Arena Wati di luar sana? Ada benarnya kondisi di negeri sendiri yang telah mempersempit mereka dan akhirnya lebih memilih bernafas bebas di negeri orang. Seorang teman yang kebetulan puluhan cerpennya tak pernah berhasil dimuat di koran nasional pernah berbisik,"Jangan pernah berhenti menyerbu kota!"


Share this article :

4 komentar:

  1. Dengan senang hati mas, mari kita bertukar banner. Maaf lama menjawabnya, Apa kabar kawan?

    BalasHapus
  2. Thanks, Dexter. Kabarku Alhamdulillah.

    BalasHapus
  3. Duh, sobat seneng rasanya bertemu denganmu.

    Beberapa waktu lalu, Rumah Pena Malaysia mengadakan sebuah acara. Tentang bedah karya sastra Alm. Arena Wati. Saya begitu berminat ingin mengikutinya. Sayang sekali, ketika melihat siapa pembicaranya, saya urungkan diri untuk menghadirinya. Padahal, ada kawan sesama bloger yang mempelawa saya.

    Sungguh sangat terkejut, ketika saya mengetahui, Arena Wati adalah seorang anak negeri sendiri. Miris hati saya.

    Di Malaysia, saya banyak mengalami keterkejutan. Bagaimana seorang Buya Hamka, ternyata di sini sangat di segani. Lihatlah karya-karyanya bertebaran sampai hari ini.

    Lebih terkejut dengan Syeikh Tahir Jalaludin, beliau, ternyata seorang kelahiran Bukit Tinggi. Lagi-lagi, anak negeri. Tapi, kenapa mereka lebih di kenal di luar negeri yah? apa saya yang baru melek? atau gimana...???

    hehehe... panjang amat tulisan saya. Sekarang2 ini, saya lagi berburu karya sastra. seneng bisa ketemu yang sealiran hehehehe.... kayak air aja.

    BalasHapus
  4. Thanks atas apresiasinya. Sepertinya memang kita sealiran ya. He he ok. Kit ahanyut saja di arus sungai yg sama kalo gitu.

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday