Home » » Seniman dan Kapitalisme

Seniman dan Kapitalisme

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 14 Juni 2009 | Juni 14, 2009


Menjadi seniman adalah pilihan. Minimal orang yang bekerja memproduksi karya seni memproklamirkan diri sendiri sebagai seniman. Tapi julukan seniman malah menjadi aneh ketika seniman itu mendeklarasikan diri sendiri sebagai seniman. Bukankah gelar seniman diperoleh dari para penikmat karya seni? Sebutan seniman sama halnya dengan sebutan ulama yang tidak bisa diproklamirkan begitu saja. Ada dua jenis species seniman. Yang pertama seniman yang berorientasi pasar dan yang kedua adalah species unggul, seniman idealis.

Wabah kapitalisme yang individual, liberal, materialistik, dan mengeksploitasi hampir semua sudut di sekeliling kita merambah dalam kultur dan gaya hidup masyarakat dunia. Indonesia adalah bagian dari itu, sekarang. Sangat wajar, di mana-mana lahir orang-orang yang mengaku dirinya seniman. Mulai penyanyi, musisi, pelukis, pemain teater, sastrawan dan lain-lainnya. Para pelaku seni ini mempunyai konsekuensi yang berbeda. Apakah dia akan dimangsa pasar atau mampu selamat karena mempertahankan pasar.

Kapitalisme telah berhasil merayu bahkan berselingkuh dengan dunia seni. Ini tantangan berat bagi para seniman yang setia mengusung idealisme. Karena banyak seniman yang terjebak memilih jalan instan atau mengorbankan segalanya hanya untuk mencapai satu tujuan. Yaitu kesenangan materi, tanpa memperhitungkan kualitas berkesenian mereka.

Hidup itu penuh pilihan, menjadi seniman pun juga pilihan. Kalau seniman pasar, sudah jelas mereka mementingkan pasar, tanpa memperhitungkan eksistensi mereka dalam berkesenian atau proses kreatifitas dan kualitas berkesenian. Yang terpenting bagi mereka adalah membuat karya seni yang laku di pasar sehingga menghasilkan uang banyak. Berbagai cara dilakukan hanya untuk mendapatkan materi. Sebuah wabah kapitalisme di depan hidung kita.

Ketika seorang seniman bergegas bangun pagi hari untuk mandi lebih cepat dari biasanya, apa yang muncul dari benaknya? Agenda pagi itu, dia diminta menjadi pembicara dalam sebuah workshop seni. Apakah setitik pikiran materialistik yang bercokol di benaknya? Ataukah murni kesadaran membagi ilmu kepada mereka anak-anak muda pencinta seni, peserta workshop itu?

Share this article :

1 komentar:

  1. diman seniman mesti berdiri dan mencari makan untuk anak istri????

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday