Home » » Wilayah Selangkang dari Sastra

Wilayah Selangkang dari Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 12 Juni 2009 | Juni 12, 2009


Sangat sulit menemukan titik temu antara sastra dan etika. Geliat sastra berbau seks, telanjang, selangkang dan semacamnya telah muncul sejak manusia berhasil menciptakan tulisan. Sejak zaman baheula kita mengenal karya para penulis zaman kuno yang menciptakan kitab Kamasutra di India. Jelajahilah sejarah sastra China dan Jawa kuno. Aroma wilayah selangkang mungkin bisa tercium dari serat Gatoloco, Centhini, Darmogandul, Arjuna Wijaya, Arjuna Wiwaha, Bharatayudha, Sumanasantaka, dan Sutasoma.

Moammar Emka menulis Jakarta Undercover pada tahun 2003 silam lalu berlanjut dengan sekuel-sekuel yang lebih telanjang. Penulis sejenis Emka tetap rajin berzikir dengan zakar (maaf) karena wilayahnya memang di sana. Lahan cari duitnya siapa tahu memang berasal dari sastra wilayah selangkang. Banyak judul-judul buku yang merangsang libido baca tingkat tinggi semisal Wajah Sebuah Vagina (Naning Pranoto), Saman (Ayu Utami), Jangan Main-main dengan Kelaminmu (Djenar Maesa Ayu), Ode untuk Leopold von Sacher Masoch (Dinar Rahayu), dan sederet lagi lainnya bisa memenuhi rak perpustakaan pribadi anda. Tapi tentunya, jangan sesekali biarkan anak-anak di bawah umur di rumah anda memegangnya.

DH. Lawrence, seorang pengarang Inggris yang menulis novel Lady Chatterly’s Lover (1885-1930) dianggap teks sastra paling mesum karena terlalu berani mengeksploitasi seks. Novel itu dilarang beredar di Inggris pada 1928. Walau penulis lainnya membela seperti Richard Hoggart yang menulis bahwa novel tersebut bukan karya kotor, tetapi benar-benar bersih, estetik dan mendidik. Menurutnya, Lawrence sudah berusaha keras untuk menampilkan Lady Chatterley’s Lover, mengatakan apa yang harus dikatakannya secara terbuka, jujur dan lembut. Jika pembaca menganggap karya itu kotor, maka pikirannyalah yang kotor, bukan karya tersebut, dan bukan pula Lawrence . Hal sama juga dialami oleh Madame Bovary, karya Flaubert dan Ulysses, karya James Joyce yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis karena dianggap novel porno. Sedemikian tabukah teks sastra semacam itu di Eropa? Jika di Eropa saja ada batasan nilai didengungkan di tengah masyarakatnya yang sekuler maka kita tak akan habis pikir sebenarnya jenis birahi apakah yang telah merasuki inspirasi para penulis porno di tanah air?

Untuk urusan sastra seks yang dianggap tak senonoh, konon penyair Taufik Ismail tak sudi menyebutnya sebagai karya sastra, melainkan pornografi. Jujur di satu sudut, sastra seks juga berfungsi sebagaimana sastra sosial. Jika sastra sosial menggambarkan kobobrokan moral kekuasaan, maka sastra seks menggambarkan kemunafikan dan kebobrokan moral seks masyarakat. Pembelaan terhadap teks sastra pernah dikemukakan Ribut Wijoto pada 2002. Menurutnya kesulitan terbesar bagi sastra adalah karena sastra diukur berdasarkan sudut pandang etika, bukan ditelaah dan dikaji berdasarkan perspektif pencapaian estetika sastrawi. Etika menciptakan pagar, sementara sastra membongkarnya. Sastra merayakan kerapuhan, sementara etika memperkokohnya kembali. Sastra bukanlah referensi dari langit sebagaimana kitab suci. Ribut Wijoto mungkin melihatnya sebagai dua kutub yang memang ditakdirkan berbeda selaku estetika di satu titik dan etika di titik lainnya.

Dari obyektiitas tak ada salahnya menelusuri literatur kitab-kitab kuning yang sangat akrab dengan wacana seks. Bacalah kitab Qurrat al-Uyun yang amat detail mengurai perihal tipe-tipe perempuan berdasarkan perspektif seks, juga membahas tentang ilmu persenggamaan suami-istri. Begitu pun buku Kitabun Nikah, Uqudullijain, dan Ushfuriyah yang sudah tak asing lagi bagi para santri di pesantren mana pun. Sesungguhnya seks bukan sesuatu yang tabu dan terlarang dibicarakan di wilayah terbuka apalagi dalam bentuk teks sastra. Mata pelajaran tentang seks di pesantren, tak ada bedanya dengan mata pelajaran tentang Tarikh, Aqidah-Akhlak, Tasawwuf, Nahwu, Syaraf dan Balaghah. Namun satu kesalahan besar bagi spesies penulis sejenis Ayu Utami yang pasti berbeda halnya dengan buku Assikalaibineng misalnya. Bagi penulis sastra wilayah selangkang, seks terlanjur dieksploitasi sebagai orgasmus pencapaian estetika sastra. Sementara makna-makna, nilai dan edukasi terabaikan dalam teks-teks sastra.

Share this article :

1 komentar:

  1. Silahkan saja mas, dan maaf tidak ada nama besar bagiku, namun jiwa besar yang selalu aku cari...

    Salam Air.

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday