Di tanah air banyak bertebaran sajak-sajak religius. Namun tidak banyak penyair di tanah air seperti Hamid Jabar yang sebelum menulis sajak harus bersedia berlelah-lelah dahulu mengarungi perenungan spiritual yang sebenarnya. Budayawan dan penyair nasional Hamid Jabar meninggal dunia ketika sedang membaca puisi dalam acara dies natalis Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada 2004.
Diduga kuat ia meninggal karena serangan jantung. Hamid Jabbar penyair kelahiran Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat 27 Juli 1949 itu seorang tokoh sastrawan Angkatan 1970-an yang membangun kepanyairan spritual. Sejak remaja mulai 1972 menulis puisi di berbagai media, dan hingga wafatnya sudah berjumlah ratusan. Diantara buku-buku antologi puisinya yang fenomenal seperti Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975), dan Wajah Kita (1981).
Jika Amir Hamzah berjubah Pujangga Baru dengan bau kesusastraan Melayu. Lalu datang anak muda bernama Chairil Anwar sebagai pendobrak menuju puisi moderen, WS Rendra yang memaki realitas kritik sosial dengan puisi-puisi pamfletnya, Afrizal Malna yang mengusung konsep posmo, maka Hamid Jabbar datang dengan sajak liris yang musikal dengan ciri pengembaraan spritual.
Mungkin lebih tepat menyebutnya sebagai penyair profetik-sufistik jika menyimak beberapa contoh sajaknya berikut ini:
Beri Aku Satu Yang Tetap dalam Hidupku
Baik, aku akan mengembara menuju cahaya menguak angin
Baik, beri aku satu saja dari 73.000 kemungkinan ini
Baik, aku akan mengembara menghadang badai nerjuni api
Baik, beri aku Satu saja yangTetap dalam diriku:Iman
buat betah seabad buat Kiblat segala Niat: Islam
beri aku Satu yang Tetap dalam diriku: Allah
Padang 1975
Sebelum Maut itu Datang
sebelum maut itu datang yaAllah
kunantinanti hujan berkah-Mu
yaAllah yaAkbar
yaAllah yaAkbar
yaAllah yaAkbar
sebelum maut itu datang yaAllah
labuhkanlah badai imanku
Bandung, 1972/1973)
Dan
Dan pasir
sirna dalam laut
Dan laut
utuh dalam zikir
Dan zikir
kirim dalam berpaut
Pautan kalimah
LailahhaillAllah!
Padang - Jakarta,1998
Setitik Nur
di dalam waktu dan malam yang mengalirkan gairahnya
lahirlah aku setitik nur pijaranMu dan beranak-pinak
dari tanda tanya dan bagai kupu-kupu aku terbang dari
taman ke taman
hinggap di rimbunan daun kehidupan merendamkan muka
melepaskan dahaga mereguk embun yang turun bersama
cahaya bulan masuk ke dalam sejuta kembang kembara
atas putik harap dan bagai lautan merpati melayangkan
segala gelombang
dalam hempasan awan putih memagut layang-layang
mencariMu
akan jawab pasti pada pulau-pulau yang meratap dan
merayap di lubuk hati
bumi yang dipijak dan terisak dan tak kuasa mengelak
dari kuasaMu selalu sampai-sampai jua aku
pada batas itu batas tetap seperti semula
Bandung-Padang, 1973
Hamid Jabar adalah pengembara metaforik spiritual yang tidak muncul begitu saja. Kultur religius dalam lingkungannya mungkin telah membentuknya menjadi seperti itu. Menjadi yang seharusnya. Sayang sekali, Hamid Jabar telah tiada. Tapi karya-karyanya masih dicari orang-orang di mana-mana.
Mungkin lebih tepat menyebutnya sebagai penyair profetik-sufistik jika menyimak beberapa contoh sajaknya berikut ini:
Beri Aku Satu Yang Tetap dalam Hidupku
Baik, aku akan mengembara menuju cahaya menguak angin
Baik, beri aku satu saja dari 73.000 kemungkinan ini
Baik, aku akan mengembara menghadang badai nerjuni api
Baik, beri aku Satu saja yangTetap dalam diriku:Iman
buat betah seabad buat Kiblat segala Niat: Islam
beri aku Satu yang Tetap dalam diriku: Allah
Padang 1975
Sebelum Maut itu Datang
sebelum maut itu datang yaAllah
kunantinanti hujan berkah-Mu
yaAllah yaAkbar
yaAllah yaAkbar
yaAllah yaAkbar
sebelum maut itu datang yaAllah
labuhkanlah badai imanku
Bandung, 1972/1973)
Dan
Dan pasir
sirna dalam laut
Dan laut
utuh dalam zikir
Dan zikir
kirim dalam berpaut
Pautan kalimah
LailahhaillAllah!
Padang - Jakarta,1998
Setitik Nur
di dalam waktu dan malam yang mengalirkan gairahnya
lahirlah aku setitik nur pijaranMu dan beranak-pinak
dari tanda tanya dan bagai kupu-kupu aku terbang dari
taman ke taman
hinggap di rimbunan daun kehidupan merendamkan muka
melepaskan dahaga mereguk embun yang turun bersama
cahaya bulan masuk ke dalam sejuta kembang kembara
atas putik harap dan bagai lautan merpati melayangkan
segala gelombang
dalam hempasan awan putih memagut layang-layang
mencariMu
akan jawab pasti pada pulau-pulau yang meratap dan
merayap di lubuk hati
bumi yang dipijak dan terisak dan tak kuasa mengelak
dari kuasaMu selalu sampai-sampai jua aku
pada batas itu batas tetap seperti semula
Bandung-Padang, 1973
Hamid Jabar adalah pengembara metaforik spiritual yang tidak muncul begitu saja. Kultur religius dalam lingkungannya mungkin telah membentuknya menjadi seperti itu. Menjadi yang seharusnya. Sayang sekali, Hamid Jabar telah tiada. Tapi karya-karyanya masih dicari orang-orang di mana-mana.
Syukron jazakumullah khairon kastiro ,aku bangga penyair yg aku kagumi tampil di blog sastra radio ini.Aku teringat ketika pertemuan kami dirumah &waktu itu kami makan siang bersama.berkelakar.seolah semua itu bukan pertemuan terakhir .Untuk Mbak Yulia istri beliau salam hangat selalu dariku...
BalasHapusHamid Jabar, beliau penyair hebat. Semoga muncul penyair lain dengan soosk spseri beliau.
BalasHapusAda Award buat anda bila senantiasa berkenan silakan diambil ya...Terimakasih.
BalasHapuswooowww langsung di respon....siip reviewnya...
BalasHapusbener2 blog sastra nih. Hamid J memang hebat.
BalasHapushmm, sebenarnya tidak juga sebab mungkin ada saja beberapa bagian dari rumah sederhana ini yg bukan sastra lho mbak Fanny.
BalasHapusom akan selalu dihati kami....
BalasHapus