Home » » Husni Jamaluddin, Panglima Puisi dari Mandar

Husni Jamaluddin, Panglima Puisi dari Mandar

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 18 Juli 2009 | Juli 18, 2009


Emha Ainun Nadjib menyempatkan membaca puisinya di Pemakaman PWI Sudiang di mana penyair ini dikebumikan. “Husni Memasuki Alam Terang dan Menjadi Cahaya ,” begitu lantun Puisi Cak Nun saat itu. Husni Djamaluddin lahir di Mandar, Sulawesi Barat, 10 November 1934. Husni wafat pada 24 Oktober 2004 dan beberapa karya besarnya diwariskan untuk Indonesia antara lain: Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku (1973), Anu (1974), Toraja (1979), Sajak-sajak dari Makassar (1974), Bulan Luka Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan antologi Puisi ASEAN Buku III (1978).

Kampung halamannya, Sulawesi Barat tidak terlepas dari peranan besar dari penyair, kolumnis, wartawan senior dan politikus ini. Sampai-sampai Husni datang dengan menggunakan kursi roda hanya untuk mendengarkan pengesahan Sulawesi Barat menjadi provinsi, padahal beliau dalam keadaan sakit parah waktu itu. Ternyata kata Malaqbiq yang kini menjadi ikon provinsi ternyata lahir dari pemikiran sang beruang dari mandar ini. Malaqbiq terpancar jelas pada putra Tinambung yang sempat menjabat ketua dewan pembentukan provinsi Sulawesi barat ini.


Penyair energik kelahiran Tinambung ini mengibaratkan dirinya adalah benang putih. Benang yang ditenun oleh wanita Mandar dengan sangat sabar, dan menjadikan sarung mandar terkenal ke penjuru nusantara. Ada keikhlasan dan kesabaran di dalam benang putih kampung kelahiran almarhum Husni djamaluddin sang bannang pute. Indi tia to muane bannang pute sarana meloq di bolong melok di lango-lango satu dari sebelas kalindaqdaq kamuanean (puisi patriotisme). Artinya aku ini pahlawan, adalah benang putih, siap basah dan siap diberi warna. Penggalan kata “bannang pute” yang berarti benang putih kini melekat menjadi julukan buat almarhum Husni Jamaluddin “Sang bannang pute”.
Menikmati puisi-puisi Husni Jamaluddin adalah ibarat melakukan perjalanan wisata di tengah alam yang sejuk dan melintasi sejarah-sejarah yang pernah ada. Diksi dan kemahirannya memilih metafora sangat dikagumi oleh penyair nasional lainnya.

BUDHA DALAM STUPA

kuintip kau dalam stupa
kuraba lenganmu yang luka
Budha
kita alangkah
beda
kau
alangkah tenteram
dalam stupa
alangkah mantap
dalam pengap
duduk bersila
duduk
yang khusuk
aku
alangkah sangsi
dalam berdiri
di muka bumi
alangkah khawatir
dalam getir
hidup sehari-hari
alangkah gelisah
dalam melangkah
ke arah
entah
langit kaurebut bumi kaududuki
dengan damai dalam semadi
langit dan bumi lebur menyatu
dalam debur jantungmu
dalam utuh
ruh
dan tubuh
langit aku rindu langit biru terbentang jauh diatas sana
bumi yang kuhuni bumi yang tak kutahu peta urat nadinya
langit tetap teka-teki diatas ubun-ubunku
bumi tetap menggerutu di bawah telapak kakiku
debar jantungku deburnya sendiri
cemasnya sendiri
kurasakan sendiri
karena pecah
jiwa
dan raga
di matamu bulan memancar
bila malam terkapar
di wajahmu muncul matahari
ketika pagi menanti
mataku adalah jendela dari sukma yang compang-camping
wajahku adalah cuaca siang ketika matahari hilang
adalah cuaca malam ketika bulan tak datang
Budha
alangkah bedanya
kita
kau
adalah batu
batu yang diam
batu yang hening
batu yang semadi
dalam stupa

dalam diammu
dalam heningmu
dalam semadimu
dalam stupa
aku merasa
seperti kausindir
sebab kutahu
dari mulutku
telah mengalir
beribu kata
tanpa
sebutir
makna
sedang dari kau
yang batu itu
yang diam itu
yang hening itu
yang semadi itu
dalam stupa itu
telah memberi
beribu makna
tanpa
sebuah
kata
Budha
kita alangkah
beda
(25 Oktober 1979)
SAAT SAAT TERAKHIR MUHAMMAD RASULULLAH

demam itu demam yang pertama demam yang terakhir
bagi rasul terakhir
jam itu adalah jam-jam penghabisan
bagi Utusan Penghabisan
dalam demam yang mencengkram
betapa sabar kau terbaring di selembar tikar
dalam jam-jam yang mencekam
betapa dalam lautan pasrahmu

ada kulihat
matamu berisyarat
adakah gerangan
yang ingin kau pesankan
dalam jam-jam penghabisan
wahai Nabi Pilihan
maka kuhampirkan telingaku yang kanan
dimulutmu yang suci
maka kudengar ucapmu pelan:
dibawah tikar
masih tersisa sembilan dinar
tolong sedekahkan
sesegera mungkin
kepada fakir miskin
mengapa yang sembilan dinar
mengapa itu benar
yang membuatmu gelisah
ya Rasulullah
sebab kemana nanti
kusembunyikan wajahku
dihadirat Ilahi
bila aku menghadap dan Dia tahu
aku meninggalkan bumi
dengan memiliki
duit
biar sedikit
biar cuma sembilan dinar
ke bumi aku diutus
memberikan arah ke jalan lurus
tugasku tak hanya menyampaikan pesan
tugasku adalah juga sebagai teladan
bagi segala orang yang mencintai Tuhan
lebih dari segala dinar
lebih dari segala yang lain
miskin aku datang
biarlah miskin aku pulang
bersih aku lahir
biarlah bersih hingga detik terakhir
sembilan dinar
pelan-pelan kuambil dari bawah tikar
bergegas aku keluar
dari kamarmu yang sempit
kamarmu yang amat sederhana
bergegas aku melangkah ke lorong-lorong sempit
diatas jalan-jalan pasir tanah Madinah
mensedekahkan
dinar yang sembilan
kepada orang-orang
yang sangat kau sayang
orang-orang miskin seperti kau
orang-orang yatim seperti kau
dan demam itu demam yang pertama demam yang terakhir
bagi Rasul terakhir
dan jam itu adalah detik penghabisan
bagi Utusan Penghabisan
Muhammad
kau tak di situ lagi di tubuh itu
tinggal senyum di bibirmu
tinggal teduh di wajahmu
Rasulullah
miskin kau datang miskin kau pulang
bersih kau lahir bersih hingga detik terakhir
(Makassar, 28 Oktober 1979)

SALIB
Yesus turun dari tiang salibnya
di bukit Golgotha
tanpa luka ditubuhnya
tanpa darah dijubahnya
tanpa dendam dihatinya
dari bukit itu
Yesus memandang Yerusalem
dengan mata rindu
dan sebelum melangkah turun menuju
Kota Suci
ia menitipkan mahkota duri
pada serdadu Romawi
yang dulu
menyalibnya
di perbatasan kota
Ia dicegat tentara Israel :
kamu Arab atau Yahudi
dan Yesus menjawab lugu:
aku orang Nazaret
ibuku Maria
ayahku Yosef tukang kayu
kau boleh terus
kata tentara Israel yang Yahudi Polandia
masuklah ke Yerusalem
kota yang telah kita rebut
setelah ribuan tahun kita tinggalkan
masuklah dengan rasa bangga didalam hati
karena kamupun pemuda Yahudi
Yesus langsung ke sebuah apartemen
tempat tinggal Menachen
anggota parlemen
dari fraksi
yang paling fanatik Yahudi
adakah keresahan
yang ingin kaukemukakan
wahai anak muda
sambut Menachen
dengan ramah
dan Yesus mengimbau dengan sopan
bolehkah aku dipertemukan
di Yerusalem ini
dengan seseorang
yang bernama Yasser Arafat?
Siapa? Anwar Sadat?
tanya Menachen yang kupingnya agak gawat
oh dia sudah pernah kesini
sekarang dia tentu sedang di Kairo
kalau tidak sibuk menghitung pasir di Sinai
tapi gampang
kalau kau perlu sekali bertemu
beres
kita bisa telepon dia setiap waktu
bukan
bukan Anwar sadat
tapi Yasser
Yasser Arafat
kata Yesus dengan suara yang lebih dikeraskan
mendengar itu
Menachen merah matanya meledak teriaknya
kau gila anak muda
Yasser Arafat kau tahu siapa
dia pemimpin Arab Palestina
musuh Israel nomor satu
musuh kita yang paling kepala batu
mintalah yang lain
jangan yang itu
tak mungkin
tak bakalan lagi kita biarkan
satu sentipun tanah Israel yang sudah kita rebut
untuk disentuh oleh Yasser Arafat
Yesus
kembali ke Golgotha
melewati Via Dolorosa
kepada sedadu Romawi
yang dititipi mahkota duri
Yesus berbisik :
salibkan aku
sekali lagi
(Makassar, Natal 1979)
Dikutip dari buku kumpulan puisi Husni Djamaluddin “BULAN LUKA PARAH”
Penerbit : Pustaka Jaya


Dalam puisi-puisinya yang khas Husni Djamaluddin telah berhasil meluluhlantakkan kata dengan bangunan eksotisme sejarah, alam dan kenyataan zaman untuk membangunnya kembali menjadi renungan dan tindakan."
Sebagaimana yang dilakukannya selama ini untuk kampung halamannya dan Indonesia. Meski ia pernah bertanya bingung dalam salah satu puisinya "Indonesia, masihkah engkau tanah airku?


INDONESIA, MASIHKAH ENGKAU TANAH AIRKU
Indonesia tanah airku
tanah tumpah darahku
di sanalah aku digusur
dari tanah leluhur

Indonesia tanah airku

tanah tumpah darahku

di sanalah airku dikemas

dalambotol-botol aqua
Indonesia tanah airku
di sanalah aku berdiri
jadi kuli sepanjang hari
jadi satpam sepanjang malam
Indonesia tanah airku
Indonesia di manakah tanahku
Indonesia tanah airku
Indonesia dimanakah airku
Indonesia tanah airku
tanah bukan tanahku
Indonesia tanah airku
air bukan airku
Indonesia, masihkah engkau tanah airku ?
Tuhan, jangan cabut Indonesiaku
dari dalam hatiku

Share this article :

4 komentar:

  1. Husni jamaludin ...wah pantas beliau disebut panglima puisi.aku terkesima dengan puisinya SAAT SAAT TERAKHIR MUHAMMAD RASULULLAH ..eh dibawahnya tertulis puisinya SALIB ditulis pd natal .Tapi itulah seorang sastrawan dengan wawasan luas mereka mengekpresikan dng penanya ...

    BalasHapus
  2. Siip, beliau penyair hebat. Terimakasih sduah merekam jejaknya disini.

    BalasHapus
  3. ~ateh75_ya, sangat plural tapi tetap mengedepankan objektifitas.
    ~Newsoul_kopi asli dari kampung masih ada gak ya, bunda Elly?

    BalasHapus
  4. Ahmad Husein HarahapSelasa, April 20, 2010

    Puisi "Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airk" sungguh memberi pukulan telak bagiku, siapa saja ( pejabat kaya dan orag pintar di Indonesia) Salut untuk panglima puisi!

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday