Home » » Instalasi Kata Bernama Afrizal Malna

Instalasi Kata Bernama Afrizal Malna

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 05 Juli 2009 | Juli 05, 2009

Pertama kali penulis membacakan tiga potong puisi Afrizal Malna di radio pada 2005 silam dan sejak itu ada kesadaran bahwa penyair ini memang tak lazim. Afrizal Malna memang memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata bahkan lukisan abstrak yang tak selalu saling punya hubungan linier ataupun ikatan antarkata dan antarfrasa yang tertib dan masuk akal.

Struktur bangunan puisinya cenderung fragmentaris dan absurd, cenderung tak hendak menyerupai suatu bangunan bahasa yang integral dan cocok dengan segala hukum representasi. Sepertinya bagi penyair nyentrik ini bahasa mungkin merupakan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah. Bahasa adalah sebuah ciptaan yang harus dijajah bukannya menjajah. Tapi tentu tidak semua orang punya kemampuan seperti Afrizal. 

Bagi Afrizal puisi telah berada dalam tingkatan di mana terdapat ruang yang sesungguhnya dalam kata. Benda-benda sekitar membangun bahasa imajinasi tersendiri yang khas, menyusun rangkaian-rangkaian pengucapan yang membawa asosiasi pembaca ke sebuah wilayah yang bernama urban. Afrizal Malna tidak mengandalkan misal kabut, batu, langit, daun, angin, atau bulan, yang biasa dipakai penyair kita kebanyakan selama ini. Ia menulis puisi lewat lingkungan bahasanya dan kosmosnya sendiri, yang dia kenali dan akrabi secara alami, yaitu lingkungan urban.

Afrizal Malna seorang penyair antik kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957. Pernah menimba filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tapi tidak selesai. Buku-bukunya yang pernah terbitdi antaranya Abad Yang Berlari (1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990); Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari TemanSesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang Malas Menceritakan Manusian (2004), Lubang dari separuh langit (2005). Gara-gara puisinya Afrizal pernah mengembara hingga di Swiss dan Hamburg, memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam rangka pertunjukan Teater Sae (Mei-Juni 1993) yang mementaskan naskahnya. Baca dan workshop puisi di Den Haag, 1995, dalam forum penyair Indonesia-Belanda. Mengikuti Poetry International Rotterdam, 1996. November 1997 mengikuti pertemuan Sastra Asia Pasifik di Kuala Lumpur. Sempat ikut dalam kegiatan Urban Poor Consortium (UPC). April 2002 mengikuti Puisi Internasional Indonesia di Makassar dan Bandung. 

Afrizal juga berkali-kali diganjar sederet penghargaan di antaranya dari Radio Nederland, majalah sastra Horison dan lain-lain. Afrizal adalah satu-satunya penyair yang kemungkinan besar tidak pernah berniat menjadikan puisinya menjadi cantik tapi jusrtu itulah kesalahannya yang terbesar. Sebaliknya, siapapun pasti bisa menikmati sajaknya. Coba saja kita kunyah salah satu sajaknya:


BERI AKU KEKUASAAN

Mereka pernah berjalan dalam taman itu, membuat wortel, semangka, juga pepaya. tetapi aku buat juga ikan-ikan plastik, angsa-angsa kayu dari Bali, juga seorang presiden dari boneka di Afrika. Kemana saja kau bawa kolonialisme itu, dan kau beri nama : Jakarta 1945 yang terancam. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk berkuasa.

Kau lihat juga tema-tema berlepasan, dari Pulo gadung ke Sukarno Hatta, atau di Gambir : Jakarta 1957 yang risau. Sepatuku goyah di situ. Orang bicara tentang revolusi, konfrontasi Malaysia, Amerika dan Inggris dibenci pula. Sejarahku seperti anak-anak lahir, dari kapal kolonial yang terbakar. Mereka mencari tema-tema pembebasan, tetapi bukan ayam goreng dari Amerika, atau sampah dari Jerman.

Begitu saja aku pahami, seperti mendorong malam ke sebuah stasiun, membuka toko, bank dan hotel di situ pula. Kini aku huni kota-kota dengan televisi, penuh obat dan sikat gigi. Siapakah yang bisa membunuh ilmu pengetahuan siang ini, dari orang-orang yang tak tergantikan dengan apapun. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk kekuasaan. tetapi sepatuku goyah, menyimpan dirimu.

Mereka pernah masuki tema-tema itu, bendera terbakar, letusan di balik pintu, jerit tangis anak-anak, dan dansa-dansi di malam hari. Lalu : Siapakah yang mengusung tubuhmu , pada setiap kata…………
1991

Penyair yang lebih suka berkepala plontos ini terakhir kali ke Sulawesi Selatan pada Mei lalu dalam acara Sastra Kepulauan 2009 di Kabupaten Barru. Seorang teman yang beruntung bernama Musa Manurung sempat menjadi muridnya. Afrizal Malna, penyair paling antik di Indonesia, liar dan dia bertumbuh dari instalasi kata yang misterius. Sebuah khazanah unik yang telah ikut memperkaya dunia perpuisian kita.


Share this article :

7 komentar:

  1. woooow kenal lagi ama sastrawan keren lagi...siiip mas, berdasarkan karya yang baru aku baca ini...emang nyentrik ya bang afrizal

    BalasHapus
  2. gayanya yg nyentrik agak mirip dg nyentrikny akang buwel. he he he. thanks apresiasinya sepagi ini.

    BalasHapus
  3. Afrizal Malna merumuskan dan memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata. Struktur bangunan dan logika puisinya cenderung fragmatis dan sering absurd. Tapi tetap dia hebat. Perdebatan sastra kontekstual (1986), Yang berdiam dalam kirofon (1990), arsitektur hujan (1995). Nice posting.

    BalasHapus
  4. Bertambah cintanya saya kesastra dengan adanya tampilan 2 sastrawan yg dihadirkan diblog ini...Trimakasih bnyk info2nya yg sangat bermanfaat didunia seni & sastra...nice post.

    BalasHapus
  5. Berjiwa seni tinggi nih pasti orang..!

    BalasHapus
  6. Lagi2, saya terisi dengan pengalaman baru. Makasih yah... jangan lupa, pesenan saya, tentang Buya hamka. Atau ia malah sudah di cerita

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday