Struktur bangunan puisinya cenderung fragmentaris dan absurd, cenderung tak hendak menyerupai suatu bangunan bahasa yang integral dan cocok dengan segala hukum representasi. Sepertinya bagi penyair nyentrik ini bahasa mungkin merupakan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah. Bahasa adalah sebuah ciptaan yang harus dijajah bukannya menjajah. Tapi tentu tidak semua orang punya kemampuan seperti Afrizal.
Afrizal juga berkali-kali diganjar sederet penghargaan di antaranya dari Radio Nederland, majalah sastra Horison dan lain-lain. Afrizal adalah satu-satunya penyair yang kemungkinan besar tidak pernah berniat menjadikan puisinya menjadi cantik tapi jusrtu itulah kesalahannya yang terbesar. Sebaliknya, siapapun pasti bisa menikmati sajaknya. Coba saja kita kunyah salah satu sajaknya:
BERI AKU KEKUASAAN
Mereka pernah berjalan dalam taman itu, membuat wortel, semangka, juga pepaya. tetapi aku buat juga ikan-ikan plastik, angsa-angsa kayu dari Bali, juga seorang presiden dari boneka di Afrika. Kemana saja kau bawa kolonialisme itu, dan kau beri nama : Jakarta 1945 yang terancam. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk berkuasa.
Kau lihat juga tema-tema berlepasan, dari Pulo gadung ke Sukarno Hatta, atau di Gambir : Jakarta 1957 yang risau. Sepatuku goyah di situ. Orang bicara tentang revolusi, konfrontasi Malaysia, Amerika dan Inggris dibenci pula. Sejarahku seperti anak-anak lahir, dari kapal kolonial yang terbakar. Mereka mencari tema-tema pembebasan, tetapi bukan ayam goreng dari Amerika, atau sampah dari Jerman.
Begitu saja aku pahami, seperti mendorong malam ke sebuah stasiun, membuka toko, bank dan hotel di situ pula. Kini aku huni kota-kota dengan televisi, penuh obat dan sikat gigi. Siapakah yang bisa membunuh ilmu pengetahuan siang ini, dari orang-orang yang tak tergantikan dengan apapun. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk kekuasaan. tetapi sepatuku goyah, menyimpan dirimu.
Mereka pernah masuki tema-tema itu, bendera terbakar, letusan di balik pintu, jerit tangis anak-anak, dan dansa-dansi di malam hari. Lalu : Siapakah yang mengusung tubuhmu , pada setiap kata…………
1991Penyair yang lebih suka berkepala plontos ini terakhir kali ke Sulawesi Selatan pada Mei lalu dalam acara Sastra Kepulauan 2009 di Kabupaten Barru. Seorang teman yang beruntung bernama Musa Manurung sempat menjadi muridnya. Afrizal Malna, penyair paling antik di Indonesia, liar dan dia bertumbuh dari instalasi kata yang misterius. Sebuah khazanah unik yang telah ikut memperkaya dunia perpuisian kita.
woooow kenal lagi ama sastrawan keren lagi...siiip mas, berdasarkan karya yang baru aku baca ini...emang nyentrik ya bang afrizal
BalasHapusgayanya yg nyentrik agak mirip dg nyentrikny akang buwel. he he he. thanks apresiasinya sepagi ini.
BalasHapusAfrizal Malna merumuskan dan memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata. Struktur bangunan dan logika puisinya cenderung fragmatis dan sering absurd. Tapi tetap dia hebat. Perdebatan sastra kontekstual (1986), Yang berdiam dalam kirofon (1990), arsitektur hujan (1995). Nice posting.
BalasHapusBertambah cintanya saya kesastra dengan adanya tampilan 2 sastrawan yg dihadirkan diblog ini...Trimakasih bnyk info2nya yg sangat bermanfaat didunia seni & sastra...nice post.
BalasHapusBerjiwa seni tinggi nih pasti orang..!
BalasHapusRicky,..dan dia antik
BalasHapusLagi2, saya terisi dengan pengalaman baru. Makasih yah... jangan lupa, pesenan saya, tentang Buya hamka. Atau ia malah sudah di cerita
BalasHapus