"..dengan cinta dan keras kepala kita kabarkan pada segala." Begitulah sepotong dari sajaknya yang sampai hari ini masih penulis ingat dan menjadikan kalimat itu sebagai salah satu motivasi. Penyair yang lebih sering muncul dengan wajah agak brewok ini adalah alumnus Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Makassar.
Muhary Wahyu Nurba dilahirkan tanggal 5 Juni 1972 di Makassar. Malang melintang di belantara kepenyairan sejak 1990-an. Aktif dalam Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) Makassar dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Jakarta. Sajak-sajaknya mengucur deras di beberapa media seperti Harian Pedoman Rakyat (Makassar), harian Fajar, koran kampus Unhas Identitas, Jurnal Puisi (Jakarta) dan Pelangi Magazine (Australia).
Buku-bukunya yang telah terbit antara lain Meditasi (1996), Jadilah Aku Kabut Jadilah Aku Angin (1997, beberapa antologi bersama penyair lain dalam Sekuntum Cahaya (1999), ININNAWA, Sajak-sajak dari Sulsel (1997), RESONANSI INDONESIA (2000), puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, Antologi Puisi dwi-bahasa, Antologi Puisi Indonesia (1997), dan Ombak Makassar (2000). Muhary juga mengasuh jurnal sastra GALERI PUISI disamping tugasnya sebagai sekretaris pada Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin Divisi Budaya dan Humaniora.
Atas Nama Cinta
sewaktu engkau terjaga, ribuan kupu-kupu yang tertawan di masa silamku berhamburan dari manik matamu. aku pun tersenyum ke arahmu ketika kusaksikan anak-anak angin dengan riangnya berdansa memainkan alismu. lalu kubayangkan engkau adalah bidadari yang akan menjengukku pada malam-malam cahaya. tapi mengapa begitu tiba-tiba, ketika atas nama cinta kau petikkan kedua biji matamu itu sambil berseru: "inilah rahasia yang kau cari!"rahasia memang bermula dari sini: seorang pencinta yang puas mereguk anggur tuhan seringkali mengubur keriangan dan memilih syair kepiluan. antara kenangan dan airmata, burung-burung murai bersenandung menyunting kabut, menggaris cakrawala. di taman, kupu-kupu kini kembali belajar isyarat bunga rekah kemudian merahasiakannya. tapi cukupkan kepiluan ini, ketika atas nama cinta aku pun memekik sembari mengunyah kedua biji matamu: "maka inilah cinta"
mailing list Gedong Puisi, 1997
Kusebut Kenanganmu
kusebut kenanganmu daun-daun merah yang menjenguk letih pada tubuh penatku seusai mencarimu suatu siang. kusebut tiap lembar kenanganmu adalah nyanyian ketika merambah dan mengelus mimpi pada tidur pulasku hingga pada suatu sentakan aku pun terjaga: hei, engkaukah itu yang membetulkan letak kecemasan yang menutup sebab kesedihan yang membiarkan sibuk degupan yang bersiap-siap menerima sujud terbakar
Matahari Itulah
meski sudah aku pahami bahwa matahari itulah yang sempurna membakar seluruh rangkaian percintaanku dan usia nampaknya telah mengibarkan bendera atas bayang-bayangku atas jasadku yang tidur kelak tapi aku tak pernah berhenti membayangkanmudan seperti sediakala selalu tak bisa aku mengucap selamat tinggal pada semua kenangan yang pernah mengharukanku: sayup suara yang meluncur dari arah menara mendesirkan darahku lagi padamu1997
Postingan yang mantap. Saya jadi tau kepenyairan seorang Muhary Wahyu Nurba. Senang membaca riwayat para penyair hebat seperti ini.
BalasHapusSetelah beberapa hari mas Ivan tidak posting ,ternyata ada info lagi postingan baru tentang penyair hebat seperti Muhary Wahyu...salam sastra .
BalasHapusNewsoul, ateh75, terimakasih. Iya nih beberapa hari tidak bisa posting karena tugas di luar kota. Tapi lelah hilang setelah OL lagi terutama jika menjelajah blog para sahabat termasuk blog mbak berdua.
BalasHapuswah seru juga web anda. salam.
BalasHapusWah, akhirnya daeng Muhary tiba di sini juga. He he, maaf senior. Gak minta ijin lebih dulu merepiu daeng.
BalasHapus