Latest Post

Catatan Sebelum Festival Malioboro 2009

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 30 Oktober 2009 | Oktober 30, 2009


Tidak ada Kota Yogyakarta tanpa Malioboro. Ruas jalan yang selalu ramai oleh pedagang kaki lima, mahasiswa dan para seniman jalanan ini selalu menjadi tujuan wajib bagi mereka yang berkunjung ke Yogyakarta. Kota budaya, pelajar dan gudeg ini akan menggelar hajatan besar melalui Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bertajuk Festival Malioboro pada 6-8 November 2009.

Festival ini semoga menjadi reinkarnasi wisata budaya khususnya Malioboro masa lalu, saat ini dan masa mendatang. Selain mengedepankan performance art dengan sentuhan edukasi budaya, festival ini juga akan didominasi konfigurasi batik sebagai simbol budaya adiluhung Indonesia khususnya masyarakat Yogyakarta.

Sekian lama Yogyakarta berkepentingan ikut melestarikan warisan budaya batik sehingga batik tidak hanya menjadi suguhan wisata tetapi sebuah komoditas ekonomi yang laku dijual kepada para wisatawan. Even ini melibatkan seniman dan budayawan termasuk sebagian besar komunitas sanggar budaya di Yogyakarta.

Beberapa waktu lalu babak baru pembenahan Malioboro telah dimulai. Ribuan masyarakat dari 21 komunitas di sepanjang Jalan Malioboro dan Ahmad Yani diberi kesempatan untuk memberikan suara dalam pemilihan umum pengurus Lembaga Pemberdayaan Komunitas Kawasan Malioboro periode 2009-2011.

Lembaga Pemberdayaan Komunitas Kawasan Malioboro (LPKKM) ini bersinergi dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Malioboro yang juga baru dibentuk oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Kedua lembaga ini bersama-sama menata dan menangani kebersihan, perparkiran, dan masalah sosial lainnya.

Sebelumnya, kondisi Malioboro memang sempat dikeluhkan karena kualitasnya menurun. Banyak faktor yang menjadi penyebab, termasuk dari dalam komunitas itu sendiri. Keberadaan dua lembaga, yakni LPKKM dan UPT ini diharapkan menjadi jawaban atas semua persoalan tersebut. Yang unik, layaknya pemilu presiden dan legislatif, pada pemilu LPKKM ini juga digarap profesional. Ada tempat pemungutan suara (TPS) di tiga titik, masing-masing trotoar depan Kantor Dinas Pariwisata DIY, depan Kantor Pusat Informasi bagi Wisatawan, dan depan Toko Ramai.

Semoga saja ada ruang dan waktu bagi saya untuk kembali bisa berada di sana pada tanggal 6-8 Nopember 2009. Insya Allah.

Mereka Yang Terbunuh

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 29 Oktober 2009 | Oktober 29, 2009

Dari sebuah diskusi seni budaya yang cukup mencengangkan di Bulukumba beberapa waktu lalu terbetik kesimpulan bahwa para pengarang lokal kebanyakan terbunuh oleh keberadaan Dewan Kesenian di daerah masing-masing. Geliat sastra yang bisa dijadikan sebagai ajang untuk menggairahkan dunia penciptaan teks-teks sastra dan apresiasi publik tak pernah tersentuh. Untuk menerbitkan sebuah buku sastra, modal awal seorang penulis berkantong tipis tidak serta merta mudah dibantu oleh Dewan Kesenian setempat. Harus melalui proposal, misalnya. Itupun harus melalui birokrasi berbelit-belit. Jangan heran, akhirnya pemberontakan kreatif para penulis berbakat ini terpaksa "hanya" dialihkan ke dunia maya.

Padahal sejarah sastra kita harus selalu mencatat para pemberontak baru di setiap angkatan. Mereka yang melakukan pembebasan ”mitos” penciptaan teks-teks sastra. Pemberontakan mereka bukanlah ambisi melambungkan nama di tengah jagad kesastraan, tetapi lebih pada pencarian bentuk-bentuk yang sama sekali baru dan bisa memenuhi dahaga estetiknya. Bacalah, Marah Rusli lewat Siti Nurbaya pada masa Balai Pustaka, Armyn Pane lewat Belenggu pada masa Pujangga Baru, Sutardji Calzoum Bachri lewat antologi O, Amuk, Kapak, atau Danarto lewat kumpulan cerpen Godlob pada era 1970-an dan sederet lagi nama lainnya. Mereka adalah pelaku pemberontakan kreatif sehingga karya mereka amat diperhitungkan. Tapi di zaman yang sama sekali berbeda seperti sekarang pemberontakan serupa hanya dapat ditengok dalam sejarah.

Kondisi ini semakin memiskinkan pemberontakan kreatif para sastrawan muda. Kemudian makin memperkuat dugaan bahwa republik ini memang bukan ladang yang subur bagi pertumbuhan sastra. Terlebih pada tradisi kritik, apresiasi publik, dan penghargaan finansial terhadap dunia kesastraan.

Situasi semakin diperparah dengan langkanya penerbit yang memiliki idealisme untuk menghidupkan dan menggairahkan terbitnya buku-buku sastra. Para penerbit didominasi pertimbangan utama untung rugi secara finansial. Mereka masih lebih takut menerbitkan buku-buku sastra kalau pada akhirnya tidak dibeli masyarakat yang lebih senang membeli pulsa, misalnya. Padahal masyarakat seperti inilah yang harus diajak "memberontak" terhadap jebakan kolonialisme pasar.

Zara Zettira ZR Yang Tetap Setia Kepada Cinta

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 28 Oktober 2009 | Oktober 28, 2009


Bagi anda yang gemar menonton sinetron, pasti tahu sinetron berjudul Janjiku yang berhasil masuk dalam jajaran sinetron Indonesia berating tertinggi pada era awal jayanya sinetron di tanah air. Ibunda saya di rumah kebetulan juga adalah pengemar sinetron bernuansa ramadhan seperti Hikmah 1, Hikmah 2, Ikhlas, Zahra, legenda Malin Kundang, dan DIA yang bertahan selama tiga tahun masa penayangan yang panjangnya hingga 150 episode. Perempuan bernama Zara Zettira ZR ini adalah penulis skenario dari sinetron-sinetron tersebut.Zara Zettira Zainuddin Ramadai lahir di Jakarta 5 Agustus 1969. Almarhum ayahnya berdarah Minang - Jawa dan Ibunya berdarah Tionghoa. Jebolan Universitas Indonesia Fakultas Psikologi ini menyadari dirinya terpanggil untuk mendedikasikan diri pada dunia penulisan. Yang sangat khas dalam karya-karyanya adalah kesetiaan mengusung pemahaman mengenai hakekat cinta yang sebenarnya. Zara meyakini karena cinta manusia ada, karena cinta manusia berusaha dan karena cinta manusia saling berinteraksi satu dengan lainnya.

Jika ibunda saya mengakrabi nama Zara Zettira ZR melalui sinetron, saya pertama kali mengenal namanya melalui beberapa karyanya seperti Believe in Love, Rehab dan Every Silence Has A Story. Zara kini menetap di Canada bersama suaminya tercinta Zsolt Zsemba bersama dua anaknya di sebelah utara kota Toronto, Canada. Zara benar-benar menikmati indahnya menjadi ibu dan istri, mengurus keluarga, berkebun di kebun apel dan membesarkan 3 ekor anjing herder serta seekor cocker spaniel bernama Cinta yang lahir pada tanggal 5 Agustus, serupa dengan tanggal kelahirannya.Zara masih tetap disibukkan dengan penulisan sinetron selama 10 tahun terakhir ini sehingga nyaris lupa menulis novel. Novel-novel remaja karyanya diterbitkan Gramedia seperti Mimi Elektrik, Jodoh Kelana, Jejak Jejaka dan Rasta Bella dia tulis bersama Hilman "Lupus" serta Catatan Si Boy di era 80-an bahkan difilmkan.

Sampai saat ini seperti biasa apapun yang ditulisnya pasti tetap setia mengusung cinta. Zara Zettira ZR, namanya masih menjadi jaminan bagi karya-karya sastra pop yang berkualitas dan edukatif meski tetap menjadikan cinta sebagai arus utama inspirasinya.

Arie Dirgantara, Benteng Kokoh Dari Gerakan Kota Penyair

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 25 Oktober 2009 | Oktober 25, 2009


Penyair dan teaterawan muda berambut gondrong kelahiran Bulukumba, 5 November 1984, Arie M. Dirgantara kembali menjadi tamu dalam program sastra dan budaya "Ekspresi" di RCA 102, 5 FM, edisi hari ini, Minggu 25 Oktober. Tidak kurang dari lima bongkah puisi dia bacakan secara ekspresif di studio RCA setelah saya interview beberapa menit untuk menguliti pikiran-pikiran liarnya yang paling anyar. Arie juga suka memakai nama samaran "Sang Kelam" dan telah menulis puisi sejak mengenal aksara di masa kecil. Arie adalah adik kandung dari cerpenis Anis K. Al Asyari.

Saya melihat Arie masih sebagai salah satu benteng terkokoh dalam gerakan Bulukumba Kota Penyair di mana dia menjadi salah seorang deklarator pada Maret 2009. Sampai hari ini tetap giat menggeliat di berbagai organisasi dan komunitas seni. Rajin melata di panggung-panggung teater melalui Sanggar Merah Putih Makassar. Pendiri Komunitas Mahasiswa dan Pemuda Kreatif (Kompak) Batukaropa Bulukumba. Berlompatan dengan energik kesana kemari melalui Selatan-Selatan Institut dan P31 Cultural Insitute bersama penyair Andhika Mapasomba. Kini masih menjabat ketua umum Komunitas Rumpun Seni Budaya Kanre Ana' (organisasi penggemar acara-acara seni di RCA).
Membaca puisi-puisinya adalah seolah sedang membaca metafora tentang sunyi-sunyi yang dia rekam bersama jejak-jejak yang seringkali tak terendus oleh angin. Dia mengendusnya dengan caranya sendiri. Sangat khas. Di bawah ini salah satu puisinya yang diberi judul cukup sederhana. Tapi isinya mungkin tak dapat diendus oleh siapapun termasuk angin. Judul-judul puisinya kadang "menipu" bagi penikmat puisi polos.

Puisi Buat Sang Terkasih

aku bersamamu, hampir setiap waktu ini kita lewatkan
membelai angin, menidurkan kerinduan kita
semestinya, memang cinta adalah keinginan
keinginan atas semua yang sedang berlaku antara kau aku dan semesta
mencintaimu, bukan berarti menjadikan kau adalah pilihan
atau menjadikanmu hak atasku dan bagian dalam kisahku
tapi mencintaimu adalah kesetaraan istimewa terhadap penalaran hidup
saling berbagi, membelai dan mengecup kening

sebab aku tahu setelah mencintaimu akan ada luka
luka yang menjadikan semuanya indah

aku tuliskan puisi ini buatmu
saat-saat hatiku seperti sangat kecil
dan kau memilikinya utuh.

sang kelam cendana 2009
Cukup rindang di bawah terik matahari. Saya selalu membacanya seperti itu. Setiap kali mendengarkan Arie di bawah angin dan kemarau.

Invasi Dari Cinta

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 24 Oktober 2009 | Oktober 24, 2009


Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari ucapan iseng seorang teman. "Kebanyakan para penikmat karya seni yang bertema cinta justru adalah orang-orang yang tak kunjung memahami esensi cinta," katanya. Benarkah?
Diyakini bahwa tema cinta belum pernah tergeser sebagai pilihan favorit dari berbagai inspirasi karya seni. Lalu cinta menjadi genre yang istimewa dan kemudian disepakati sebagai aliran romantisme. Romantisme adalah sebuah aliran seni yang menempatkan perasaan manusia sebagai unsur yang paling dominan. Karena cinta adalah bagian dari perasaan yang paling mengagumkan, maka lambat laun istilah ini mengalami penyempitan makna. Sastra romantis pun diartikan sebagai genre sastra yang berisi kisah-kisah asmara yang indah dan penuh oleh kata-kata yang memabukkan perasaan dan kehidupan para tokohnya.
Genre inilah yang hari ini mendominasi dunia sastra populer di seluruh dunia. Bahkan, dominasi ini bukan hanya terjadi di dunia sastra, tetapi juga menginvasi semua lini, terutama film dan musik.
Ciri paling khas pada setiap produk sastra romantis adalah diletakkannya cinta (pada lawan jenis) sebagai kebenaran yang mutlak. Jika si Romeo dan si Juliet saling mencintai, maka kisah cinta mereka dianggap sebagai sesuatu yang suci dan abadi, tak terpisahkan oleh apapun. Di akhir cerita, keduanya akan menikah, atau minimal menjadi sepasang kekasih yang bahagia. Atau kalau pun keduanya menikah dengan orang lain, keluarganya tidak akan bahagia karena tidak didasari oleh cinta.
Gaya, bahasa dan pola yang digunakan dalam karya sastra romantisme biasanya lebih terbuka dan tidak metaforik. Para penulisnya langsung menyerang sasaran tanpa banyak simbolisasi seperti yang sering digunakan dalam karya sastra angkatan sebelumnya. Di sana dengan mudah ditemukan bahasa keseharian yang nyata. Tentu, itu kekuatan utamanya.
Lalu, hari ini. Ketika cinta dan romantisme menginvasi banyak karya seni termasuk sastra, dengan sajian yang mudah dicerna, pesan-pesan mengenai esensi cinta justru tak kunjung memberikan pencerahan tentang cinta itu sendiri terhadap sebahagian pembacanya. Semoga ucapan iseng teman saya itu tidak seluruhnya benar. Ada apa dengan cinta?
~~**~~


Tapi baiklah, dengan cinta dan keras kepala kita kabarkan saja cinta kepada segala. Salah satunya dengan membagikan award cantik ini buat semua. Terimakasih ya, mbak Fanny dengan award keren ini. Sebuah award yang menandai postingan ke-500 Sang Cerpenis kita. Saya bagikan kepada semua sahabat blogger dan siapapun yang pernah jatuh cinta. Ya, siapapun, harap diambil dan dibagikan kembali buat teman-teman yang lain ya.

Agen Perubahan Yang Mahal

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 22 Oktober 2009 | Oktober 22, 2009


Salah satu agen perubahan yang mahal adalah sastra. Buru-buru saya menyelesaikan tulisan ini ketika baru saja seorang anak tetangga berhasil memecahkan celengannya untuk membeli sebuah buku cerita. Harga dari buku yang diidamkan anak itu ternyata harganya semakin melambung tinggi ke langit. Seluruh hasil tabungannya kemudian ludes hanya untuk sebuah buku. Tapi anak itu senang. Buku itu berhasil dibelinya tanpa harus meminta uang kepada ayahnya yang hanya berprofesi tukang becak.

Apakah masih akan terus terus ditulis karya-karya sastra yang diyakini bisa meningkatkan kemanusiaan manusia? Sastra memiliki potensi besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, semacam perubahan sosial dan budaya. Sastra diakui dapat menjadi sumber spirit kebangkitan suatu bangsa, spirit cinta pada tanah air, dan sumber semangat patriotik untuk melawan segala bentuk penjajahan. Sastra adalah kekuatan moral bagi proses perubahan sosial-budaya dari keadaan yang terpuruk dan ‘terjajah’ ke keadaan yang mandiri dan merdeka. Lalu siapa saja yang yang mampu menikmati karya sastra ketika harga buku sastra semakin mahal saja, misalnya.

Abrams (1981) berdasarkan tujuan penciptaannya, mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekelilingnya, pembaca maupun pengarangnya.

Segala orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran pembacanya. Karya-karya besar seperti Max Havelar (Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower), dan sajak-sajak Rabindranat Tagore misalnya telah menginspirasi perubahan sosial di lingkungan masyarakat pembacanya masing-masing. Max Havelar menginspirasi gerakan politik etis di Hindia Belanda, sajak-sajak Tagore mendorong gerakan pembebasan bangsa India dari penjajahan Inggris, dan Uncle Tom Cabin menginspirasi gerakan anti-perbudakan di Amerika Serikat.

Sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan sangat mungkin menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda.

Di dalam khasanah sastra Islam, sajak-sajak Mohammad Iqbal juga disebut-sebut ikut mendorong proses rekonstruksi pemikiran Islam. Sedangkan sajak-sajak Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, dan Hamzah Fansuri, ikut mendorong proses rekonseptualisasi tasawuf.

Apakah sastra Indonesia kontemporer telah dapat memberikan sumbangan atau menjadi sumber inspirasi bagi proses perubahan social-budaya ke arah yang lebih baik? Siapa tahu, sastra di Indonesia hanya untuk kepentingan kelompok liberal dan pasar industri penerbitan. Di hari- hari ini, harga buku semakin mahal saja. Sungguh, agen perubahan yang mahal.

Catatan Sementara Dari Festival Phinisi Tanjung Bira 2009

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 19 Oktober 2009 | Oktober 19, 2009



Apa jadinya jika sebuah perhelatan budaya terpaksa diundur dengan alasan anggaran untuk itu belum mencukupi? Sebuah perhelatan budaya bertaraf internasional, Festival Phinisi Tanjung Bira, yang rencananya digelar di Kawasan Wisata Tanjung Bira, Bulukumba 25 Oktober tahun ini diundur hingga Desember 2009.

Festival Phinisi Tanjung Bira rencananya akan dihadiri 23 negara. Namun panitia mengumumkan perubahan jadwal dengan alasan keterbatasan anggaran.
Pemerintah Kabupaten Bulukumba berjanji mengupayakan untuk menggunakan dana di pos APBD Perubahan akhir tahun ini.
Festival ini dikemas sebagai rangkaian dari Expedition Taka Bonerate di Selayar yang mulai berlangsung Kamis 15 Oktober. Festival Phinisi Tanjung Bira digagas menjadi promosi secara besar-besaran kepada wisatawan domestik dan mancanegara tentang kawasan wisata Sulsel. Sejumlah kegiatan yang telah masuk item acara yakni, pembuatan atau penyusunan miniatur phinisi, pameran UKM dan makanan khas daerah, Fun Diving dan lomba memancing serta pagelaran seni dan Budaya Bulukumba.


Salah satu kunci jadi tidaknya perhelatan ini terpulang kepada para legislator yang bercokol di DPRD Bulukumba untuk menyetujui penggunaan APBD Perubahan. Sebuah perhelatan budaya akan ditentukan oleh perhelatan kepentingan? Sangat mungkin. Hari ini Bulukumba memang lagi demam Pilkada 2010. Para politisi dan kandidat bupati mendadak jago bicara seni dan budaya. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah mereka sentuh sama sekali. Seni dan budaya menjadi lahan basah di ranah politik.

Sekedar Catatan Dari Cross Culture Fest 2009

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 17 Oktober 2009 | Oktober 17, 2009


Sebuah pertemuan budaya secara massif dipertontonkan secara memukau di Cross Culture Fest 2009, sebuah perhelatan seni budaya yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Kota Surabaya di Galaxy Exhibitions Centre, Galaxy Mall, Surabaya. Pembukaan pada Kamis 15 Oktober dijadikan momentum manis bagi majemuknya beragam etnik kebudayaan antar bangsa.

Satu persatu seni tari, musik etnis dan seni tradisi disajikan dan terbukti mampu menjadi salah satu perekat antar budaya dunia. Suguhan seni tari yang terangkai dalam sebuah komposisi medley bertajuk Etnik Bersatu dipersembahkan oleh Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatara Utara. 

Tarian etnik bersatu yang mengelaborasikan ragam etnik di Sumatera Utara, amat terasa menguat saat kurang lebih delapan belas orang penari laki-laki dan perempuan asal Serdang Bedagai menyajikan ragam gerak tari bernuansa Melayu, Karo, Simalungun, Tapanuli Selatan dan Batak Toba.
Para penari dari Serdang Bedagai seolah bercerita tentang kekayaan seni etnik, khususnya tarian asal tanah Sumatera Utara yang sampai sekarang ini tetap hidup di tengah-tengah komunitas masyarakat pendukungnya.

Seniman musik etnis, Charlie Eagles asal Ekuador tampil memukau di atas panggung dengan mengusung komposisi berjudul Mother Forest yang dia mainkan solo dalam ritme musik tiup khas Indian, Amerika Serikat. Tiga perangkat alat musik tiup Sikus terdiri dari Pan Flute, Qenacho dan Zamponias, Charlie Eagle yang sudah melanglang buana ke pelbagai Negara, antaranya, Dubai, Qatar, Singapura, Thailand, Jepang, Malaysia, itu seolah mengajak apresian untuk sejenak mengenal sekaligus menikmati irama musik khas suku Apache, di negeri Paman Sam.

Sajian menarik lainnya menyemarakkan festival kebudayaan Cross Culture Fest 2009, dipersembahkan oleh Kabupaten Ponorogo dengan tarian Dompo, Kabupaten Pemalang dengan tarian Selendang, Kabupaten Langsa, Nangroe Aceh Darussalam membawakan tarian Rampu dan Ghuangzo, China mengusung musik etnik/tradisional Tiongkok.

Lintas interaksi seni budaya dari berbagai ras umat manusia ini memang bukan yang pertama kali digelar di dunia tapi setidaknya Indonesia dapat memetik satu keuntungan yaitu kesan bahwa negeri ini adalah tempat yang paling bersahabat dan sangat cocok bagi sebuah pagelaran seni budaya antar bangsa. Gaungnya mungkin tidak besar. Tapi sekedar menggigit salah satu sisi kesadaran kita bahwa kita tidak sendirian, bolehlah.

Seniman Australia di Benteng Rotterdam

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 16 Oktober 2009 | Oktober 16, 2009

Bisa jadi pembacaan puisi yang monoton membuat sebagian orang menjadi sedikit bosan. Stigma inilah yang ingin dipecahkan oleh seniman asal Australia Omar Musa. Seniman yang juga produktif membuat album musik rap ini tampil dengan nafas baru, Hip Hop Poetry. Dengan gaya ini, Omar tampil membacakan puisi ciptaannya di atas panggung dengan ritme hip-hop ala penyanyi rap.

Kehadiran Omar di Makassar merupakan rangkaian dari Ubud Readers and Writers Festival yang berlangsung di Bali, di mana para pembaca puisi mendapat kesempatan untuk melancong ke berbagai daerah di Indonesia. Omar, kebagian untuk hadir di Makassar. Dalam wawancara dengan sebuah koran lokal, Omar mengaku, "Saya melihat, kalau anak muda kebanyakan bosan jika mendengar pembacaan puisi. Karenanya, saya hadir dengan hip-hop poetry yang bisa lebih menyegarkan."

Ternyata ide dari penampilan yang menarik di atas panggung saat membacakan puisi ini datang dari almarhum seniman senior Indonesia, Rendra. "Saat itu saya masih umur sekitar delapan tahun. Saya mendengar Rendra berpuisi dengan penampilan yang sangat menarik di atas panggung," ujarnya. "Biasanya, saya melihat puisi itu dibacakan begitu saja sehingga sangat membosankan. Sejak saat itu tertanam di hati saya tentang penampilan Rendra yang menarik, dan menjadi inspirasi saya," kata pria blasteran Malaysia -Australia ini.

Sepanjang hari Kamis 15 Oktober kemarin, Omar tampil di sejumlah tempat di Makassar. Pukul 11.00 wita di Bengkel Seni UNM, pukul 13.30 wita di SMA Katolik Rajawali, pukul 15.30 wita di Unhas, dan pukul 19.30 wita di Festival Seni UNM di Benteng Rotterdam. Puisi yang dibawakan oleh Omar antara lain adalah puisi tentang tanah kelahirannya, Queabeyan, serta tentang masyarakat Aborigin, Aurukun. Acara seni ini digelar gratis.

Asdar Muis RMS, Pekerja Yang Berpikir

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 14 Oktober 2009 | Oktober 14, 2009


Asdar Muis RMS namanya. Pertama kali mengenal sosoknya ketika saya mendengar siarannya melalui program "Kolom Udara" di Radio Suara Celebes 90,9 FM Makassar. Sebuah acara radio yang bermuatan kritik sosial dan politik. Lelaki berbadan tambun kelahiran Pangkep, 13 Agustus 1963 ini dikenal sebagai esais, novelis selain sebagai penyiar radio.

Tulisannya pernah rutin dimuat di harian Pedoman Rakyat dan di Harian Fajar. Bila menulis karya sastra, suami Herlina ini kerap memakai berbagai nama samaran, antara lain Linaku Nunung Rosita.
Sejak awal 1984, ia menambahkan RMS pada namanya, singkatan dari “Rachmatiah Muis Sanusi”. Direktur Berita Radio Suara Celebes FM 90,9 Mhz dan staf pengajar Universitas Fajar Makassar ini menulis buku antara lain “Sepatu Tuhan” dan “HZB Palaguna : Jangan Mati Dalam Kemiskinan”. Yang fenomenal, novelnya "Eksekusi Menjelang Shubuh" yang terbit tahun 2009.

Di belantara jurnalistik, ia pernah menjadi Pemred Tabloid Harian Suaka Metro Jakarta, Redpel Manado Post, Redpel Tabloid Anak Wanita “Gita” Jakarta, redaktur Harian Berita Yudha, bekerja di Harian Fajar, koresponden MBM Tempo, Kepala Biro Harian Nusa-Bali di Jakarta, Direktur Pemberitaan Harian Pedoman Rakyat, dan beberapa media lainnya di Sulawesi dan Kalimantan.

Asdar Muis adalah pendiri “Komunitas Sapi Berbunyi” di Makassar. Jebolan Asdrafi (Akademi Seni Drama Indonesia) Yogyakarta, Fisipol Unhas dan sosiologi Pascasarjana Program Magister Universitas Hasanuddin ini setiap kali ditanya tentang pekerjaannya selalu menjawab secara serius: "berpikir!"

*disarikan dari berbagai sumber



Award Sahabat



Terimakasih banyak kepada Daeng Setiawan Dirgantara (pemadaman bergilir tidak akan memadamkan semangat ngeblog, daeng he he he) dan mbak Reni (maaf, telat boyong awardnya..biasa, mati lampu terus nih) atas awardnya yang keren-keren dan semoga tali persahabatan ini semakin erat terjalin. Saya bagikan kembali kepada semua sahabat blogger yang telah berkomentar di semua postingan Sastra Radio terhitung sejak edisi 1 Oktober 2009 sampai dengan edisi ke-222 ini. Harap diambil dan dibagikan kembali ya. Terimakasih. Salam budaya.

Perempuan Palembang

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 12 Oktober 2009 | Oktober 12, 2009

Seperti bunyi kecipak air telaga yang dijatuhi beberapa butir batu kecil di larut malam. Hanya beberapa butir namun memaksa telinga untuk lebih mengamati lebih jelas lalu membuka mata. Bunyi kecipak itu memang ditimbulkan oleh sesuatu. Seperti itulah pendengaran saya terhadap kecipak sastra dan perempuan di Palembang. 

Saya belum pernah menjejakkan kaki ke sana namun beberapa buku hasil karya penulis Palembang di rak buku, memaksa saya untuk ikut melemparkan sebutir batu kecil ke tengah telaga hening ketidaktahuan kita.

Di Palembang, ternyata ada beberapa sastrawan perempuan seperti Indah Rizky Ariani (penyair), Deris Afriani (cerpenis), Ikhtiar Hidayati (puisi/cerpen), Handayani (penyair), Dahlia (cerpenis, penyair, novelis) dan Duhita Ismaya Arimbi (penyair). Siapa yang tidak kenal novel bagus seperti Juaro dan Buntung karya T. Wijaya?

Di Palembang, sejak lama muncul gerakan pemurnian warna lokal dalam puisi, cerpen, drama, dan novel. Seperti Novel Buntung karya T. Wijaya, misalnya. novel ini bercerita soal masa depan Indonesia, sebuah prediksi (materialisme marxis) yang membenturkan kondisi sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan kepercayaan (agama) masyarakat Indonesia. Namun dengan mengambil setting “ Indonesia kecil” yakni Palembang, di mana Palembang memiliki sejarah yang panjang dan besar di nusantara, tentunya menjadi contoh ideal buat Indonesia.

Yang terakhir dan menghentak, adalah munculnya novel Jungut yang ditulis oleh seorang novelis perempuan bernama Dahlia Rasyad. Novel itu bercerita tentang perampasan tanah adat seluas 3000 Ha, yang pada gilirannya tanah itu menjadi hutan industri. Setting lokal sangat kuat mewarnai novel tersebut. Kemudian penulis lainnya, Purhendi mencoba mengetengahkan persoalan sosial budaya dalam novelnya Sang Duta.

Sesuatu memang telah terjadi di Palembang Sumatera Selatan. Sebuah gerakan pemurnian muncul sebagai semangat lokal sastra yang tidak ingin terus menerus dikuasai oleh hegemoni pusat. Bagaimana dengan semangat daerah lainnya di Indonesia?

Bunga Lampung: Iswadi Pratama

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 10 Oktober 2009 | Oktober 10, 2009


Dia salah satu bunga dari Lampung tapi dia bukan gadis. Saya mengenal karya-karyanya dari beberapa buku antologi puisinya yang dipinjamkan seorang teman pada sekitar tahun 2000. Dia bunga di halaman sastra Lampung. “Bunga tumbuh di halaman layu di hatiku.” Begitu penggalan salah satu kalimatnya yang terkenal. Sebuah kalimat yang dia ciptakan pada masa kanak-kanak yang lalu membawanya menelusuri pergumulan sastra di Indonesia. Iswadi Pratama lahir 8 April 1971 di Tanjungkarang, Bandarlampung. Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung dan selesai tahun 1996 ini mulai menulis dan suka membaca buku-buku karya sastra sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Salah seorang mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1992 ini juga sempat aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Bahasa dan Seni (UKMBS) pada tahun 1993, dan sebagai anggota pada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada tahun 1994.

Iswadi adalah seniman dua arah, sastra dan teater. Pada kedua genre seni inilah dia bisa mengekspolarasi ide-idenya. Karya Iswadi Pratama, selama tahun 1993 sampai 1996 dipublikasikan di berbagai media tanah air diantaranya, Republika, Media Indonesia, Horison, Koran Tempo, Kompas, Lampung Post, Jurnal Puisi, Swadesi, Serambi Indonesia, dan Teknokrat, surat kabar mingguan Salam. Berkat prestasinya yang cukup gemilang, ia pernah diundang pada acara Refleksi Kemerdekaan di Solo pada tahun 1995, diundang DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di TIM Jakarta (1996), temu penyair se-Sumatra di Jambi, di samping pertemuan teater di berbagai kota di tanah air.

Sebuah prestasi terbesar yang pernah diraihnya adalah pernah menjadi nominasi 10 besar lomba puisi kemerdekaan di stasiun televisi swasta (AN-Teve). Penyair-cum jurnalis di Lampung Post ini pernah mementaskan drama yang diilhami dari puisi-puisinya, diantaranya ”Nostalgia Sebuah Kota”. Sebagai penulis naskah dan sutradara, Iswadi pantas diacungi jempol, karyanya ”Nostalgia Sebuah Kota”, meraih peringkat ketiga GKJ (Gedung Kesenian Jakarta) awards 2003: Anugrah Festival Teater Alternatif se-Indonesia (Oktober 2003). Pada kegiatan itu, naskah “Nostalgia Sebuah Kota” didaulat sebagai naskah terbaik. ”Nostalgia Sebuah Kota: Kenangan Pada Tanjung Karang”, Iswadi malakukan pentas keliling ke tiga kota yaitu Bandung, Jakarta, dan Makasar, atas dana hibah Yayasan Kelola (September 2004). Sebelumnya, Iswadi Pratama bersama Teater Satu memperoleh hibah seni dari Yayasan Kelola pada tahun 2002. Dedikasinya yang besar terhadap teater di Lampung mengantarkannya merintis Festival Teater Pelajar dan Arisan Teater Pelajar di lampung.

Iswadi pernah mengikuti Festival Seni Tari Mahasiswa tingkat nasional Padangpanjang pada Januari 1993. Ia juga pernah mengikuti seminar pertunjukan Indonesia, temu ilmiah ke III Masyarakat Seni Pertunjukan di Taman Ismail Marzuki (TIM) November 1992, dan festival teater tingkat nasional pertama di Surabaya.

Beberapa karya puisi Iswadi Pratama yang telah terbit: Belajar Mencintai Tuhan, Daun-Daun Jatuh Tunas Tumbuh, Refleksi Setengah Abad Indonesia, Antologi Cerpen Dari Lampung, Antologi Cerpen Dari Bumi Lada Cetik, Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ)-Balai Pustaka (1996), Hijau Kelon dan Puisi 2002 (penerbit buku Kompas, 2002), Pertemuan Dua Arus (Jung Foundation, 2004), dan Matinya Cerita Pendek (DKJ)-Cipta (2007).

*disarikan dari berbagai sumber


Bunga silaturahmi dari Avior Clef:


Terimakasih ya, sobat. Award keren ini saya berikan lagi kepada: 136 followers Sastra Radio. Harap diambil dan disebarkan lagi kepada teman-teman yang lain.

Merebut Hegemoni Sastra dari Sastrawan dan Ahli Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 09 Oktober 2009 | Oktober 09, 2009

Pada dasarnya manusia sebenarnya secara alami sudah dibekali tuntunan menghargai seni dari rima bahasa sehari-hari dan panca indranya. Yang dibutuhkan bukan lebih banyak teori lagi, tapi cara mengupas dan menyerap esensi karya seni dengan cara sangat alami. Sastra sehari-hari semestinya adalah sastra yang ditekuni sebagaimana pekerjaan rumah lainnya.

Tujuan utama suatu karya seni adalah ia bisa dinikmati oleh segala lapisan dan dihargai lebih dalam sewaktu ia dikupas lapisan lain. Semua karya seni yang berhasil sukses karena semua elemen dalam karya itu bentuknya boleh tidak menyatu tapi konsisten dan mencerminkan visi individualisme sang pencipta.

Dengan membebaskan karya sastra dari akademisasi berlebihan, mungkin ia bisa berkembang lebih baik. Di masa yang didominasi oleh media elektronik dan mainan virtual ini, terdapat banyak penghalang bagi perkembangan sastra. Yang paling nampak adalah mengerucutnya para sastrawan ke dalam kelompok yang terorganisir secara sengaja ataupun tidak sengaja. Mereka cenderung membentuk kelompok elitis dan selebritas. Akhirnya sastra dianggap hanya dari, oleh dan untuk sastrawan dan para ahli sastra. Para penikmatnya berada dalam kelompok-kelompok tersendiri. Kebanyakan terisolir dari kesempatan publikasi karya. Sebab mereka secara alami hanya bermain di wilayah blog atau facebook, misalnya.

Saatnya merebut hegemoni sastra dari tangan para sastrawan dan ahli sastra. Sebahagian dari kita telah melakukan itu tapi mungkin lebih bagus lagi jika melakukan kudeta bersama.

Memahami Karya Sastra dari Alam

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 08 Oktober 2009 | Oktober 08, 2009


Tak akan pernah ada petunjuk khusus yang bisa lebih membantu memahami puisi selain mendengar dengan seksama segala bunyi yang dilontarkan oleh setiap puisi yang dibaca ataupun mendengarkannya dibacakan orang lain. Pengetahuan dari pendengaran kita untuk memahami satu larik puisi adalah pengetahuan pola bahasa yang sudah terbiasa pada kita sejak masih bayi. Pada intinya puisi bisa kita nikmati, sebagaimana kita menikmati percakapan, lagu, tanpa perlu pengetahuan khusus sebab puisi dan rima-rimanya mampu menggedor hati kita.


Bila ingin mempelajari metrik tradisional, kita hanya perlu baca kumpulan puisi William Butler Yeats atau Ben Johnson, misalnya. Untuk memahami free verse, baca dua volume kumpulan puisi William Carlos Williams dan Wallace Stevens. Untuk memahami linea pendek, baca kumpulan puisi Emily Dickinson. Tentang adaptasi metrik balada ke dalam puisi modern, baca kumpulan puisi Thomas Hardy.

Lee Siegel dalam pengantar novel DH Lawrence, The Lost Girl, mengatakan, “Sebagai akibat diakademikannya sastra, orang-orang literer ketika mengapresiasi fiksi menganggap perasaan dan persepsi merupakan ungkapan bagi seorang amatir. Bahkan di luar tembok universitas, dalam kritik sastra kita masih juga menemukan bahasan tentang alam sadar dan ironi, karakter dan karikatur, realisme sejarah dan realisme psikologis, dan lain sebagainya.

Terletaklah perbedaan persepsi seorang akademikus dengan seorang penulis. Bagi seorang penulis sastra, penulisan adalah reaksinya pada tempat, mood, waktu, dan kenyataan di sekelilingnya. Mereka menulis tanpa memikirkan teori, tanpa mengikuti metode pemahaman sastra baik dari buku sastra maupun dari kampus, sebab reaksi tiap penulis pada suatu kenyataan berbeda-beda. Hal kedua adalah bila penulis sastra menulis dengan “ekspresi kreatif sealami pernafasan”, maka menikmati karya-karya penulis sastra semestinya tak membutuhkan analisis yang memaksa pembacanya seolah terdampar di negeri asing.

Sealami nafas, puisi adalah denyut yang bersinggungan langsung dengan keseharian para penikmatnya. Yang tidak mampu menikmati, kebetulan mungkin hanya karena persoalan "ruang keinginan yang begitu sempit untuk menikmati."

La Galigo: Realitas Baru dari Idealisme Leluhur

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 06 Oktober 2009 | Oktober 06, 2009


Suku Bugis pada awalnya lebih dikenal karena karya sastra La Galigo, jauh sebelum dikenal sebagai bangsa pelaut ulung yang menjelajahi dunia dengan perahu phinisi. La Galigo adalah sebuah karya sastra yang lahir dari pertentangan dunia nyata dengan dunia ideal yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Para ahli meyakini La Galigo sebagai mahakarya sastra terpanjang di dunia. Lebih panjang dari kisah Mahabharata maupun Homerus.

Mungkin ada benarnya jika seorang sastrawan didefinisikan sebagai manusia yang berusaha lari dari realitas di lingkungannya dan berusaha membangun sebuah realitas baru yang ia yakini sebagai realitas yang ideal. Dari sastrawan ini lahir sebuah realitas baru dalam dunia sastra yang diyakini oleh semua orang sebuah realitas yang ideal dan mungkin saja sebagai sebuah kebenaran. Sastrawan-sastrawan Bugis kuno juga telah menunjukkan sisi penting ini.


Keberadaan La Galigo dalam masyarakat Bugis telah menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat Bugis sejak dahulu. Sebagai sebuah karya, sebagian para ahli melihat La Galigo dalam berbagai perspektif, antara lain sebagai karya sastra dan ada juga yang menganggapnya sebuah tulisan sejarah. Terlepas dari semuanya, La Galigo telah menempatkan dirinya sebagai sebuah karya yang menjadi pedoman hidup sebuah komunitas masyarakat yang hidup sampai saat ini.


Dalam bukunya Catalogus van de Boegineesche tot de I La Galigocyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteitbibliotheek yang diterbitkan oleh Universiteitbibliotheek
Leiden (1939 : 1), penulisnya, R.A. Kern menempatkan La Galigo sebagai karya sastra terpanjang dan terbesar di dunia setaraf dengan kitab Mahabarata dan Ramayana dari India, serta sajak-sajak Homerus dari Yunani­. Kenyataan ini pula diungkapkan Sirtjof Koolhof pada pengantarnya dalam buku I La Galigo yang diterbitkan atas kerjasama Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dan Penerbit Djambatan. (1995 : 1) mencapai lebih 300.000 baris panjangnya. Sementara Epos Mahabarata jumlah barisnya hanya antara 160.000-200.000 halaman. Keunggulan La Galigo sebagai karya sastra bukan hanya dalam bentuk tulisan, namun juga telah menyebar dalam bentuk lisan ke berbagai daerah, sebab terbukti tokoh utama dalam La Galigo, Sawerigading, secara mitologis dikenal pada berbagai etnik di Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia.


Sebagai karya sastra, La Galigo memiliki konvensi-konvensi yang terealisasi dalam estetika dan muatan etikanya. Keindahan La Galigo termanifestasi pada konvensi bahasa, sastra, metrum serta alurnya. Isinya meliputi berbagai macam sumber tradisi, norma-norma, serta konsep-konsep kehidupan masyarakatnya. Peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh dalam La Galigo bagaikan suatu pertunjukan tentang suasana kehidupan manusia Bugis beserta aktifitas sosial dan kulturalnya pada suatu zaman.


La Galigo adalah realitas baru dari idealisme leluhur. Selama berabad-abad terbukti La Galigo telah berfungsi sebagai realitas baru yang dianggap ideal yang dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan oleh masyarakatnya. Telah saatnya kesadaran akan kekayaan budaya sendiri dibangun sedemikian rupa agar mampu melihat diri kita sendiri. Kesadaran akan tingginya peradaban dan kebudayaan leluhur di sisi lain juga tak seharusnya sekedar menjaga teks, literatur dan kitab kuno melainkan penjagan terhadap kandungannya dalam keseharian.

Perjalanan Prajurit Para Komando

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 05 Oktober 2009 | Oktober 05, 2009


Judul Buku: "SINTONG PANJAITAN" : "PERJALANAN SEORANG PRAJURIT PARA KOMANDO"
Penulis: Hendro Subroto
Kata Pengantar: Prof. Taufik Abdullah
Buku ini menarik bagi para penggemar cerita militer dan kontroversi yang melingkupi para Jenderal. Inilah buku yang peluncurannya langsung menuai komentar dan kontroversi, utamanya bagi pihak-pihak yang bersinggungan dengan isi buku, antara lain mantan capres dari Partai Gerindra, Letnan Jenderal TNI Purn Prabowo Subianto dan mantan capres dari Partai Hanura, Jenderal TNI Purn Wiranto.
Sintong Hamonangan Panjaitan, nama lengkap sosok Jenderal yang menjadi orang kepercayaan mantan presiden BJ Habibie ini. Pengalamannya yang banyak berkisar pada operasi tempur mulai dari penumpasan Kahar Muzakar di Sulawesi, Operasi Anti Teror Woyla di Bandara Don Muang serta penumpasan gerilyawan Paraku di Kalimantan Utara dimana dia membawahi beberapa sosok populer di militer Indonesia membuatnya menjadi sosok yang cukup layak diperhitungkan.
Jenderal AM Hendropriyono yang merupakan mantan kepala BIN (Badan Intelijen Negara) misalnya, ia pernah menjadi anak buah Sintong saat penumpasan Paraku di Kalimantan Utara. Sintong yang kerap dipanggil Batak oleh sosok jenderal kontroversial Leonardus Benny (LB) Moerdani merupakan komandan penyerbuan dan pembebasan pesawat Garuda yang dibajak di Bandara Don Muang Thailand. Operasi yang sukses ini (meski menuai sinyalemen adanya campur tangan intelijen) melambungkan nama Sintong dan Kopassus, satuan dimana Sintong cukup banyak terlibat didalamnya.
Untuk memuaskan keingintahuan pembaca, Hendro Subroto, pengarang sekaligus wartawan perang dan militer bahkan menempatkan drama peran dan situasi pencopotan Letjen Prabowo Subianto dari Panglima Kostrad, keanehan situasi saat peristiwa Mei 1998 dan peran Jenderal purn Wiranto pada peristiwa genting yang mengawali kejatuhan mantan Presiden Soeharto ini.
Saat terjadi kerusuhan Mei 1998 misalnya, Sintong mempertanyakan mengapa Jenderal purn Wiranto bersama para pejabat teras ABRI pada tanggal 14 Mei 1998 tetap berangkat ke Magelang untuk mejadi inspektur upacara serah terima PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Divisi II.
Sintong juga mempertanyakan mengapa Jakarta seperti dibiarkan tanpa penjagaan meski pasukan-pasukan garnisun ibu kota sudah siap dan tinggal menunggu perintah.
Disisi lain, Sintong juga mempertanyakan mengapa Prabowo menolak dicopot dari Pangkostrad dan menimbulkan praduga kurang baik karena menempatkan pasukan-pasukan disekitar kediaman BJ Habibie sehingga Habibie yang khawatir dikudeta dan bisa menjadi korban terpaksa mengungsikan keluarganya serta memerintahkan Jenderal Wiranto untuk mencopot Prabowo hari itu juga meski orang kepercayaan Prabowo, yaitu Danjen Kopassus Mayjen Muchdi PR dan Kepala Staff Kostrad Mayjend Kivlan Zen sudah membawa surat dari Jenderal TNI Purn AH Nasution agar Prabowo diangkat sebagai KSAD, Subagyo HS sebagai Panglima TNI dan Wiranto sebagai Menhankam saja (dalam arti kata lain Wiranto dibuat agar tidak punya kendali pasukan)
Membaca buku Sintong untuk bagian kerusuhan Mei 1998 ini memang tidak akan lengkap jika kita sebelumnya belum membaca buku BJ Habibie, “Detik-Detik yang Menentukan”, Buku Wiranto “Bersaksi Ditengah Badai” dan buku Kivlan Zen bertajuk “Konflik dan Integrasi TNI AD”. Sebagai bahan pembanding agar tetap objektif menelusuri drama kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada tewasnya ratusan orang, porak porandanya Jakarta dan jatuhnya penguasa orba, Presiden Soeharto.
Yang menarik adalah adanya kisah mengenai Prabowo Subianto saat masih menjadi Kapten di Kopassus dan menjadi anak buah Letjen Purn Luhut Panjaitan (mantan Menteri Perindustrian dan Dubes RI di Singapura), yaitu tentang rencana Prabowo menangkap LB Moerdani dengan dugaan kudeta terhadap Presiden Soeharto. Kisah ini menarik karena melatar belakangi permusuhan antara Prabowo dengan orang terkuat kedua di Indonesia dimasa tahun 80-an tersebut. Kisah ini juga menarik karena bisa menjadi rujukan mengapa LB Moerdani yang menjadi orang kepercayaan presiden Soeharto tiba-tiba terpaksa dicopot dari posisinya sebagai Panglima ABRI dan digantikan Jenderal TNI Try Sutrisno menjelang Sidang Umum MPR 1998.
Bagi penggemar buku militer dan kisah-kisah TNI, buku Sintong Panjaitan ini cukup layak dikoleksi. Satu hal menarik yakni kebingungan yang tambah menjadi disebabkan pertanyaan penasaran mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah dari orang-orang yang berperan dimasa kritis Mei 1998.
Dirgahayu TNI Republik Indonesia. Di pundak bapak-bapak prajurit yang perkasa kami titip keselamatan republik ini!

HB Jassin, Paus Sastra Indonesia

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 04 Oktober 2009 | Oktober 04, 2009


Nama H.B Jassin selalu dihubungkan dengan dokumentasi sastra Indonesia dan H.B Jassin adalah orang yang secara penuh mencurahkan perhatiannya kepada kerja dokumentasi. Itulah sebabnya, orang yang bermaksud mencari informasi tentang sastra Indonesia tidak dapat melepaskan dirinya dengan hasil pengumpulan bahan dokumentasi yang disusun oleh H.B Jassin

Pada bulan Januari 1940, Jassin mendapat izin dari orang tuanya untuk memenuhi permintaan Sutan Takdir Alisjahbana. Pada bulan Februari 1940, H.B Jassin mulai bekerja di Balai Pustaka. Ia mula-mula duduk dalam sidang pengarang redaksi buku di bawah bimbingan Armijn Pane pada tahun 1940-1942 dan kemudian menjadi redaktur majalah Panji Pustaka tahun 1942-1945. Setelah Panji Pustaka diganti menjadi Panca Raya, ia menjabat wakil pemimpin redaksi di tahun 1943 sampai dengan 21 Juli 1947. Tanggal 21 Juli 1947 itulah akhir kariernya di Balai Pustaka.

Setelah keluar dari Balai Pustaka, H.B Jassin secara terus-menerus bekerja dalam lingkungan majalah sastra- budaya. Ia menjadi redaktur majalah Mimbar Indonesia ditahun 1947-1966, majalah Zenith ditahun 1951-1954, majalah Bahasa dan Budaya ditahun 1952-1963, majalah Kisah tahun 1953-1956, majalah Seni tahun 1955 dan majalah Sastra ditahun 1961-1964 dan tahun 1967-1969. 

Ia juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan Perum Balai Pustaka (1987-1994), anggota Panitia Pertimbangan Pemberian Anugerah Seni Bidang Sastra, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975), anggota juri Sayembara Kincir Emas oleh radio Wereld Omroep Nederland (1975), anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah yang disumpah (1979-1980), Extrernal assessor Pengajian Melayu, Universiti Malaya (1980-1992), anggota Komisi Ujian Tok-Vertlader, Leiden tahun 1972, peserta 29 tahun International Congress of Orientalist, Paris dari tanggal 16-22 Juli 1973, penasehat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditahun 1973-1982, anggota dewan juri Sayembara Mengarang Novel Kompas-Gramedia tahun 1978, ketua dewan juri Sayembara Novel Sarinah di tahun 1983, anggota dewan juri Pegasus Oil Indonesia pada tahun 1984 dan ketua dewan juri Sayembara Cerpen Suara Pembaruan ditahun 1991.
 
Pada tahun 1964, ia dipecat dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia karena keterlibatannya dalam Manifes Kebudayaan. Pemecatan itu berlangsung ejak dilarangnya Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno 8 Mei 1964 sampai meletusnya G30S/PKI tahun 1965.

Dalam dua periode memimpin majalah Sastra, H.B Jassin mengalami masing-masing satu musibah, cerpen Langit Makin Mendung yang kemudian menyeret H.B Jassin kedepan pengadilan. Pada tanggal 28 Oktober 1970 ia dijatuhi hukuman bersyarat satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
 
Sejak tahun 1940, H.B Jassin telah mulai membina sebuah perpustakaan pribadi. Pengalaman admisitrasinya selama ia magang di kantor Asisten Residen di Gorontalo sangat berguna bagi pendokumentasian buku

Pada tanggal 30 Mei 1970, lahirlah Yayasan Dokumentasi Sastra H.B Jassin yang menggantikan Dokumentasi Sastra, Sejak akhir September 1982 s/d sekarang bangunan itu berdiri dan menempati areal seluas 90 meter persegi dalam komplek Taman Ismail Marzuki, jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.

*disarikan dari berbagai sumber

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday