Dari sebuah diskusi seni budaya yang cukup mencengangkan di Bulukumba beberapa waktu lalu terbetik kesimpulan bahwa para pengarang lokal kebanyakan terbunuh oleh keberadaan Dewan Kesenian di daerah masing-masing. Geliat sastra yang bisa dijadikan sebagai ajang untuk menggairahkan dunia penciptaan teks-teks sastra dan apresiasi publik tak pernah tersentuh. Untuk menerbitkan sebuah buku sastra, modal awal seorang penulis berkantong tipis tidak serta merta mudah dibantu oleh Dewan Kesenian setempat. Harus melalui proposal, misalnya. Itupun harus melalui birokrasi berbelit-belit. Jangan heran, akhirnya pemberontakan kreatif para penulis berbakat ini terpaksa "hanya" dialihkan ke dunia maya.
Padahal sejarah sastra kita harus selalu mencatat para pemberontak baru di setiap angkatan. Mereka yang melakukan pembebasan ”mitos” penciptaan teks-teks sastra. Pemberontakan mereka bukanlah ambisi melambungkan nama di tengah jagad kesastraan, tetapi lebih pada pencarian bentuk-bentuk yang sama sekali baru dan bisa memenuhi dahaga estetiknya. Bacalah, Marah Rusli lewat Siti Nurbaya pada masa Balai Pustaka, Armyn Pane lewat Belenggu pada masa Pujangga Baru, Sutardji Calzoum Bachri lewat antologi O, Amuk, Kapak, atau Danarto lewat kumpulan cerpen Godlob pada era 1970-an dan sederet lagi nama lainnya. Mereka adalah pelaku pemberontakan kreatif sehingga karya mereka amat diperhitungkan. Tapi di zaman yang sama sekali berbeda seperti sekarang pemberontakan serupa hanya dapat ditengok dalam sejarah.
Kondisi ini semakin memiskinkan pemberontakan kreatif para sastrawan muda. Kemudian makin memperkuat dugaan bahwa republik ini memang bukan ladang yang subur bagi pertumbuhan sastra. Terlebih pada tradisi kritik, apresiasi publik, dan penghargaan finansial terhadap dunia kesastraan.
Situasi semakin diperparah dengan langkanya penerbit yang memiliki idealisme untuk menghidupkan dan menggairahkan terbitnya buku-buku sastra. Para penerbit didominasi pertimbangan utama untung rugi secara finansial. Mereka masih lebih takut menerbitkan buku-buku sastra kalau pada akhirnya tidak dibeli masyarakat yang lebih senang membeli pulsa, misalnya. Padahal masyarakat seperti inilah yang harus diajak "memberontak" terhadap jebakan kolonialisme pasar.
Dewan Kesenian.....di mana-mana kayaknya perilaku mereka hampir sama. Tak hanya urusan cetak-mencetak literasi sastra mas, hampir di banyak hal. Mereka masih birokratis. Ga mampu menampung ide-ide kreatif para pegiat seni yang seharusnya mereka wadahi.
BalasHapushaduh jangan..jangan..jangan biarkan mereke terbunuh:(
BalasHapusmas'e dulu pelajaran sastranya dapet brapa to, ndak pernah mbolos mesti ki, lah cinta banget sama dunia sastra hehehe
mungkin untuk menyalurkan ide harus kaya dulu, baru bisa ya daeng ? mengapa tidak ada orang peduli dengan orang-orang hebat, hidup penulis.
BalasHapusHegemoni kekuasaan beberapa gelintir dewan kesenian, dewan sastra, komunitas sastra, atau apapun namanya, konon banyak terjadi. Mungkin itu tidak benar-benar membunuh kreativitas para seniman muda, kalau saja mereka bangkit mengasah kreativitas, menempa diri, memberontak dengan cara yang benar. Entahlah. Ini cuma pendapat pinggir jalan saya.
BalasHapusternyata birokrasi sdh ada dalam dunia sastra kita..??
BalasHapusrepot kalau gini..
bisa2 nanti bakal ada juga ide2 yg "disetir" oleh dewan sastra.
atau "penyunatan" ide ,yg akhirnya jelas bisa mematikan ide2 orisinil dr para penggiat sastra di tanah air.
Kapan ya kita akan terbebas dari birokrasi gak perlu yang jadinya malah membunuh kreatifitas anak bangsa..?
BalasHapusBegitu miris dengan kenyataan untuk dunia sastra,dunia maya sebagai pelarian untuk menuangkan karya2 para sastrawanpun mungkin akan terbunuh oleh virus yg berkeliaran ,semoga kreatifitas mereka tak terpengaruh oleh waktu yg tak bersahabat.
BalasHapusduh, kejamnya dibunuh. hehehe..tapi memang byk penerbit yg gak mo terbitin karya sastra atas pertimbangan untung rugi. namanya juga bisnis.
BalasHapusBirokrasi dimana-mana birokrasi, di dunia sastrapun ada juga birokrasi, kejam..
BalasHapusKreatifitas para sastrawan lokal terbunuh oleh keberadaan Dewan kesenian......
BalasHapusBirokrasi yang telah mengkebiri nasib mereka sehingga cenderung termarginalkan.
dewan yang seharusnya membangkitkan sastra Indonesia malah mengebirinya.
BalasHapusperlu perombakan
wah, jangan sampe deh karya bangsa cipta jaya rasa terbunuh .....
BalasHapusDan Masih Banyak Kisah Dari Berbagai Penjuru Tanah Air Tentang Mereka Yang Terbunuh Sia2. Baik itu soal sengketa Tanah Sampai Perlawanan Akibat Ketidakadilan dalam pembangunan.
BalasHapus