Home » » Luna Vidya, Monolog dari Danau Sentani Papua

Luna Vidya, Monolog dari Danau Sentani Papua

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 08 November 2009 | November 08, 2009


Dalam sebuah sidang pengadilan seorang TKW bernama Sumarah tertuduh telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya. Di depan sidang pengadilan itu, Sumarah bercerita tentang hari-hari dimana ia belajar menerima diskriminasi dalam seluruh dimensi kehidupan sosialnya sejak kecil karena satu penyebab: ayahnya dituduh sebagai anggota PKI. Ayah yang tidak pernah sempat dikenalnya.

Sumarah lulus SMA dengan nilai terbaik namun ijazahnya tak berguna apa-apa. Tak ada kesempatan menjadi pegawai negeri, bahkan petugas administrasi. Ia hanya boleh menjadi buruh pabrik. Nama bapaknya, adalah bayangan hitam yang terus menguntitnya di semua kesempatan. Bayangan itu menggelapkan bahkan impian Sumarah untuk menikah.

Dikucilkan, dirampas hak-haknya di negeri sendiri, menjadi TKW di Arab Saudi adalah kesempatan satu-satunya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kesempatan yang diperolehnya dengan memberi amplop. Sumarah menyangka, setelah bertahun-tahun menjadi rakyat setengah gelap di negeri sendiri, terselip dan tidak boleh mendongakkan kepala, ia akan bermetamorfosa dari ulat bulu menjadi kupu-kupu indah di negeri orang.

Balada Sumarah hanya satu titik di antara banyaknya peristiwa ketidakadilan lainnya yang terjadi di republik ini. Balada Sumarah ditulis oleh Tentrem Lestari dan pertama kali ditampilkan oleh Luna Vidya pada Festival Monolog Dewan Kesenian Jakarta 2005 di Teater Kecil-TIM. Lalu Luna menampilkannya di Paris, Prancis pada 7 Desember 2008. Saat itu sesi acara "Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia" menghadirkan Sitor Sitomorang, Richard Oh, Laksmi Pamuntjak, Djenar Maesa Ayu, Lily Yulianti Farid dan Luna Vidya di samping para pakar sastra dan indonesianis Paris dan Belanda serta para penerbit terkemuka Perancis seperti Gallimard dan Flammarion yang telah menerbitkan karya-karya Pramoedya A Toer, Ayu Utami serta Laksmi Pamuntjak. Kemudian beberapa kota besar lainnya di dunia juga pernah mengundang pemonolog ini.

Belantara yang rimbun, puncak-puncak gunung yang melelahkan dalam pendakian, danau yang alami serta alam yang keras telah berhasil mencetak seorang perempuan bernama Luna Vidya. Luna Vidya lahir di Sentani, Papua. Luna Vidya bermain teater sejak tahun 1984 di Makassar bersama berbagai kelompok teater, sejak datang ke Makassar setelah menamatkan SMAnya di Jayapura. Bergabung dengan Teater Kampus Universitas Hassanuddin, Ia makin mengokohkan dirinya sebagai salah satu pemain teater terbaik Sulawesi Selatan. Ia juga bekerja sebagai Communication Coordinator Sustainable Mariculture Project di Makassar, Sulawesi Selatan.

Ia bekerja pada ruang-ruang teater monolog, memainkan naskah-naskah orang lain maupun menulis naskahnya sendiri (Meja Makan, Pagar, Garis). “Makkunrai”, “Dapur” adalah naskah monolog yang ia sadur dari cerita-cerita pendek yang ditulis oleh Lily Yulianti Farid dalam kumpulan cerpen “Makkunrai.” Bersama Lily Yulianti Farid, Makkunrai menjadi titik awal bergulirnya Makkunrai Project (2007), sebuah proyek eksplorasi berdimensi gender lewat penulisan sastra dan teater.

LV, demikian salah satu panggilan akrabnya di Makassar. Ia juga melewatkan waktu dengan menulis puisi. Salah satu puisinya saya posting di sini. Sebuah puisi yang Ia tulis buat sahabatnya, Aan Mansyur.



Hujan Yang Kau Cintai

:aan

Hujan, dan kau berulang tahun.

Beberapa waktu lalu
hujan yang kau cintai jadi basah di wajahku.
Basah seperti lantai hutan yang menebal oleh daun gugur, rumput berkepala es,
Atau bangku-bangku taman
ketika sesaat matahari musim dingin mendekam. Melelehkan waktu yang beku.
Daun maple duduk di sana menemani tai merpati
Menemaniku
waktu mengalir, jadi sungai

dari rumput dan daunan beku di lantai hutan telanjang, dingin, kilaumatahari dalam kristal es, musim, cagak telanjang, kau belajar merayakan kenangan.
Kenangan tentang hujan, hijau dan matahari.
Tentang hidup yang tidak sederhana, tanpa banyak pilihan di kampung bermusim dua: kemarau dan hujan; berangin dua: barra' dan timmorro'.

belibis dan itik berenang di kanal dan sungai tua, goyang ekornya menguakku
ingatan meriak. mengelus belakang jalan veteran, berbagai bonto di bulukumba dan jeneponto,
di mana hidup ditertawakan dan dirayakan dalam tepian penuh plastik, sampah dan pestisida,
di mana keberanian di tenggelamkan dalam cahaya lampu dan galian-galian pembangunan

merayakan kenangan bersamamu,
kau jatuh ke dalam gelas plastik
bersama koin satu Euro, kenangan tentang ceplok matahari yang dikerumuni mulut lapar, dan ibu
kau terselip pilu di berlembar-lembar lapis baju
–petang itu tak ada hujan, tapi angin tikam-
Ketika gelas plastic di usung, pengemis perempuan menyodorkan dua tangan
Di bawah bayang Eiffel, menjemput koin dan kelam.

jauh. jauh dari sini beberapa waktu lalu
Di lantai hutan, kilau matahari kupatahkan dari ujung rumput,
Di belakang jalan veteran, anak-anak berenang merayakan alir buangan kota
Ditemani hujan, plastic dan tai. Warnanya meriah.

kau. tentu kau yang tersedu-tersedu di bahuku
melihat kenangan dan warna musim
mengalir berkilau.

2009


Tahun-tahun bergegas lewat dan saya tidak lagi pernah punya kesempatan menikmati pementasannya. Ia satu-satunya yang masih terbaik di Makassar dalam mementaskan teater monolog. Putri Sentani itu satu-satunya perempuan mengagumkan dari Papua, ujung paling timur yang masih bergolak hingga saat ini.


sumber: disarikan dari beberapa catatan lama di bangku kuliah

Share this article :

18 komentar:

  1. Luna Vidya. walau tidak tahu artinya tapi nama ini begitu unik. Hebatnya kreativitasnya berkembang justru di Un Hassanudin.
    Mambaca monolog terus terang sulit apalagi buat saya yang berlidah cadel. Mo mampir ke blognya.

    BalasHapus
  2. Ngomong-ngomong blognya dimana ya?

    BalasHapus
  3. Maaf nih mas, entahlan kalo Luna Vidya punya blog. Setahu saya, dia bukan blogger. Dia pemain teater dan penyair.

    BalasHapus
  4. Luna Vidya, baru tahu saya mas Ivan. Makasih infonya..

    BalasHapus
  5. Saya mau bilang hebat, perpustakaan sastra dunia maya, kita banyak tahu sastrawan hebat disini keep post daeng

    BalasHapus
  6. Senang membaca postingan ini van, benar-benar menambah khazanah. Saya jadi tau kiprah seorang pemonolog LV (Luna Vidya) ini. Menambah semarak ritual ngupi pagi saya.

    BalasHapus
  7. Yup siapapun dia yg pasti Negri ini gak akan kalah sama negri tetangga, kita menyimpan banyak potensi terpendam yg memang sangat layak di tampilkan.


    Mobile Blogging Tutorial

    BalasHapus
  8. Balada Sumarah yg diangkat kedalam tulisan oleh Luna vidya ,mewakili para Tkw dari nusantara yg bernasib tragis dinegeri orang...

    wah ..seperti biasa menambah wawasan saya tentang sastrawan ,jadi tahu Luna vidya...nice post...

    BalasHapus
  9. Jadi ingat Luna Maya, Van! Tapi jelas beda banget keduanya dong! Luna Vidya, sosok yang hebat dan berbakat.

    Tulisanmu tegas, tapi mendayu-dayu. Tulisanmu renyah, tapi meletup-letup; sebuah gaya yang menarik.

    Salam akrab, Van...

    BalasHapus
  10. saya kira luna maya. gak taunya luna vidya. fotonya gak ada ya, van?

    BalasHapus
  11. @All~ Terimakasih apresiasinya. Salam budaya.
    @Mbak Fanny~ Fotonya yg asli cuma satu yg di atas tuh, mbak.

    BalasHapus
  12. Luna Vidya.....pemain teater yang sahaja!!!Apalgi saat monologh.....Hidup Monologh!!!! soale aku seneng banget kalo disuruh monologh waktu kuliah dulu heehe alias orasi!!!

    BalasHapus
  13. saya pikir yg TKW di arab itu si penulisnya, tnyata salah satu cerita yg dbikin ama penulisnya ya
    hehe
    nice

    BalasHapus
  14. wah hebat.kok nggak di ceritakan waktu di hukum penggal sumarahnya?

    BalasHapus
  15. berkunjung ke blog mas nambah pengetahuan ku.thanks infonya.

    BalasHapus
  16. Hukum itu yah mestinya menghukum yang bersalah. Bukan yang nggak salah ikutan susah

    BalasHapus
  17. hi.. blog saya sudah tidak underconstruction lagi..
    jadi kalau mau berkunjung: silah!
    http://lunavidya.blogspot.com, terimakasih sudah membuat tulisan ini.

    BalasHapus
  18. Luna Vidya, terimakasih telah berkunjung ke sini. Salam budaya!

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday