Home » » Dorothea Rosa, Perempuan Yang Menuliskan Perempuan

Dorothea Rosa, Perempuan Yang Menuliskan Perempuan

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 11 Desember 2009 | Desember 11, 2009


"Sampaikanlah tema-tema politik dengan bijaksana dan tenang." Kalimat seperti itulah mungkin yang ingin disampaikan Dorothea Rosa melalui karya-karyanya. Buku-buku kumpulan sajaknya adalah Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nyanyian Rebana (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999) dan Kill the Radio (2001) terpilih sebagai pemenang kedua Sayembara Kumpulan Puisi Terbaik 1998-2000 PKJ-TIM.
Sejak kecil bercita-cita menjadi psikolog tapi setelah dewasa yang kesampaian justru menjadi penulis. Ia masih duduk di bangku SMP ketika tulisan pertamanya dalam bentuk opini dimuat di majalah Hai. Ia suka membaca meski bukan berasal dari keluarga berada yang mampu membeli buku.
Perempuan penulis yang mengagumi Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, dan Arswendo Atmowiloto ini dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963. Sewaktu kuliah di Jurusan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, puisi-puisinya selalu menghiasi rubrik sastra di harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan.
Sempat beberapa tahun menjadi guru di SMA Gama Yogyakarta. Tapi akhirnya ia terjun total sebagai penyair dan penggiat kebudayaan. Pernah menjadi koresponden harian Suara Pembaruan, majalah Prospek, majalah Sarinah dan sejak tahun 1995 menjadi redaktur Jurnal Kebudayaan Kolong terbitan Magelang, Jawa Tengah.
Rosa pernah mengikuti Pertemuan Sastrawan Muda ASEAN di Philiphina tahun 1990, dan Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda tahun 1995. Tahun 2000, ia menjadi writer-residence di Australia.
Rosa mungkin begitu menyadari dirinya yang perempuan dan untuk itu Ia banyak menulis sajak untuk menggambarkan perempuan dari perspektif seorang perempuan. Citra perempuan Indonesia adalah salah satu sumber inspirasinya yang utama. Sebagaimana dalam dua sajaknya ini.


Surat dari Ibu
kutulis pada lipatanlipatan wajahku yang lelah kukisahkan kekecewaanku
pada sungai yang makin kering menjalari rusukrusuk kota kita. seperti urat
yang tak lagi rajin mengalirkan darah ke penjuru tubuhmu. setiap jatuh daun
dan pendar uap menyanyikan murungku pada hari yang selalu berjalan resah.
detikdetik berjajar melukiskan gairah rumput dan amarah batu yang bisu.
kutuliskan suratku, tak beralamat rindu. tahuntahun yang renta mengurung
perjalanan hati yang tak punya cinta. selongsong waktu yang kerontang
berserakan. harihari baru yang berlumut tumbuh di atas tanah tandus.
kutulis surat ini di atas lelangit cerah di lengkung jejalan setapak ruangkosong.
kereta bayi dan keranda tua beriringan seperti bergegas mencari alamat dan nama.
tak kukirimkan kepada sesiapa....
parkhotel am taunus, oktober 2008

Ibu Sembarang Waktusetiap pintu dan lapislapis tangga menembus igauan cahaya yang gelisah.
lalu di batas yang jauh sana tidak mudah kutebak bayangan menyingkap pendar udara.
langit mengatup pelahan. menyebarkan gerimis atau selinap embun yang bimbang.
ibuku melahirkan kegelapan dan bukit-bukit tandus. melahirkan kejahatan dan
kekacauan. tapi para dewa menghembuskan jiwa ke dalam cangkang-cangkang sunyi.
kehidupan merayap dalam jubahjubah para suci yang memanggul pedang dan
menenteng kepala. gelombang manusia menggulung dalam rintihan parasit di
pokokpokok pohon hutan asing. ibuku menuliskan kelahiran yang tidak berhenti....
rumahrumah ditinggalkan dalam dinding dan benteng yang renta. genangan sejarah palsu
mengubur lantailantai dan merapuhkan pintupintu dan meniupkan angin untuk
membangunkan geritnya. di langit yang tanpa warna burungburung nazar dan gagak liar
membesutkan
bayangan dan kabar keabadian derita.
ibuku menyusui jejakjejak gelap. gulungan waktu yang kering dan sepi. nyanyian pujian
dan ayat-ayat doa yang teramat jauh mendekap luka yang rindu pada keniscayaan.
anakanak durhaka dikloning dalam tebaran lalat dan serangga pencari darah dan nanah.
tubuhnya yang ditindih bermacam penyakit kelamin membekaskan jejak ludah tarantula tua.
sembarang bayi mengubur tubuhnya sendiri yang rapuh dengan tulangtulang lunak.
jarijari tangannya menggoreskan pesan rahasia: tak terbaca dalam kumpulan riwayat
dan doa pelepasan.
ibuku melahirkan sejarah gelap dan sakit. waktu bergerak memanjati bukitbukit ketakutan
dan detaknya menembus rerimba bisu yang mati. langkahlangkahnya menyanyikan gema
dan irama yang dingin dan sedih. bulan tua menuntaskan kalimat dalam sederet kisah luka.
sebagai telur yang gagal, aku membiarkan cangkangku retak dan menetaskan kesia-siaan....
oberursel, oktober 2008


Share this article :

28 komentar:

  1. Selamat ya, mbak Senja. Hehehe, begadang nih?

    BalasHapus
  2. kalo gitu aku yg ketiga dong hihihi

    BalasHapus
  3. hehehe,...iya mas.

    dua puisinya keren y mas ivan,hemmm...luar biasa kalimat2nya.

    iya nih,td sore udh bobo eh kebangun lagi nih.....

    BalasHapus
  4. aku pertamaxxxx...nih d blogny mas ivan. he,..

    BalasHapus
  5. ..itu adalah salah satu keuntungan bagi orang-orang yang terjaga di larut malam halah..hehhe

    BalasHapus
  6. walah.... gak dapet petromax ya g papa...


    mas ada awod buat mas di kandang sayah...

    BalasHapus
  7. Wah....penulis perempuan makin mantab saja.

    BalasHapus
  8. Perspektif puisinya memang mantap. Tak sekedar untaian kata-kata indah, tapi di dalamnya ada pergulatan pesan yang dalam. Rosa penyair yang juga penyiar, mirip Ivan juga kan.

    BalasHapus
  9. Wah, asyik banget sajaknya, Van...
    Jadi kepengen nulis sajak nih! Hihihi...

    BalasHapus
  10. keren banget sajaknya. pengen bisa nulis spt itu.

    BalasHapus
  11. emang terkadang jika kita bisa menmanfaati waktu di malam dng tidak tidur dan bikin karya akan lebih seruww dan mengasyiikkan :D

    BalasHapus
  12. keren ya beliau... huhuhu pengen deh bisa nulis kayak beliau...

    BalasHapus
  13. Sajak-sajak beliau selalu saya suka. benar-benar penyair handal.

    BalasHapus
  14. Terpesona saya membacanya,indah penuh makna dan kaya kata.

    BalasHapus
  15. Sajak Dorothea begitu indah..
    Aku baru kenal nama itu disini.
    makasih Van..

    BalasHapus
  16. Sapa lagi ini Mas Ivan? Puisinya sangat bagus, menyimpan makna tersembunyi tapi sayangnya saya ndak begitu mengenal namanya

    BalasHapus
  17. All- Makasih ya untuk kunjungan teman-teman. Oh ya saya mau minta tolong nih. Berhubung file gambar award2 dari teman2 hilang di kompi, saya minta teman2 yg telah memberi saya award dalam 2 bulan ini untuk infokan kpd saya, link masing2 award anda yg telah diberi ke saya. Maaf nih, ngerepotin. (ngarep.com)

    BalasHapus
  18. puisinya keren abis. bener-bener deh.

    aku juga bisa puisi nich..dengerin yach...
    hidup adalah hidup...
    kalau nggak hidup???
    pasti mati yoo...
    he..hee

    BalasHapus
  19. waduh... dalem... kadang anaa turut tenggelam dengan yang bernuansa seni dan sastra, thanks dah kunjungi blog sederhana anaa!

    BalasHapus
  20. komen saya, sepertinya disamakan aja ya Mas.. sama puisi2 di atas.. hehehe.

    Luar biasa indah dan penuh makna. Kagum atas semua lirik yang mencerminkan seni dan kecerdasan sastra yang mutlak..

    Kapan ya, bisa seperti itu...

    hmmmm...

    She's great!

    BalasHapus
  21. rekam jejak tokoh yang sangat menarik betul betul kaya dengan budayawan dan sastrawan negeri kita indonesia

    BalasHapus
  22. sorry ya mas Ivan selalu telat deh kesini

    BalasHapus
  23. masih muda udah punya buku kumpulan puisisebanyak itu... ckckckckck hebaatt!!

    BalasHapus
  24. ah... DOROTHEA emang sejak dulu membuatku kagum bang...

    BalasHapus
  25. Salam Sastra

    Kumpulan Puisi Acep Zamzam Noor, Artikel Budaya, Artikel Sastra, Artikel Sosial, Artikel Seni, Lukisan Acep Zamzam Noor dapat di update pada Blog http://acepzamzamnoor.blogspot.com

    Selamat Berapresiasi

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday