Sastra cyber atau sastra yang diposting di internet sangat berbeda sama sekali jika dibandingkan dengan tulisan purba Mesir yang terdapat di dinding piramid maupun buku-buku di zaman modern. Pada 10 tahun lalu sastra cyber masih dianggap baru. Lantas, sesuatu yang baru itu pernah dianggap "asing" (alien) dan mengerikan atau menjadi "hantu baru" dalam ranah sastra. Sekarang saja bagi sebahagian kalangan, berkarya di internet masih dianggap non-konvensional. Lalu pernahkah para penikmat sastra membayangkan sebuah zaman di mana kertas dan bahan bakunya telah habis di planet ini? Kira-kira di manakah letak sastra cetak di tengah kondisi seperti itu?
Mungkinlah sastra akan menemui kesunyian gara-gara segelintir sastrawan zaman sekarang mendewakan apresiasi "hanya" pada sastra cetak? Ketika sastra cyber dianggap mengancam stabilitas sastra cetak, maka sejak 2 tahun terakhir muncullah tandingan situs-situs yang mengatas namakan sastra internet yang resmi. Situs-situs itu mengadopsi tradisi sastra cetak di mana karya-karya disaring selayaknya redaksi koran atau penerbit di dunia nyata. Padahal sejatinya sebuah karya di internet tidak memerlukan dewan penyeleksi yang jumlahnya tidak akan bisa mewakili jumlah maupun selera pembacanya. Di internet, yang menjadi penilai adalah para pembacanya sendiri.
Bilamanakah sastra menjadi sunyi? Yang jelas bukan ketika para sastrawan senior telah meninggal dunia semua. Sastra bisa jadi adalah tugu kematian di dalam sebuah festival, kampung budaya dan semacamnya jika memang sastra kebetulan hanya berupa ruh gentayangan. Secara fisik mungkin dia tak ada lagi. Tapi syukurlah, masih banyak yang mau berbuat. Bahkan mampu berdarah-darah untuk itu semua. Ajaib, yang mau berdarah-darah justru adalah kebanyakan mereka yang mengunakan internet.
Sastra di Indonesia juga tak akan menjadi sunyi selama masih ada anak-anak muda yang paling tidak tetap rajin menulis karya sastra meski tak kunjung dimuat juga oleh penerbit manapun. Yang tidak bisa disepelekan adalah sastra cyber yang sebahagian besar malah tak mau bergantung kepada sastra cetak sebab internet adalah rumah yang nyaman bagi mereka.
pertamax gak yah...???
BalasHapusweh ternyata pertamax..... koment dulu akh,....
BalasHapusbetul pak... mau klasik, tulis maupun cyber... semoga sastra tidak menghilang dari kehidupan jiwa jiwa muda.... karena dengan sastra dunia akan lebih indah....
BalasHapuslumayan..... boleh nyepam kan pak...
BalasHapussekalian kelimaxnya deh... hihihihih
BalasHapus@RanggaGoBloG- hehehe, selamat ya..pertama sampe kelima.
BalasHapusbayangan akan makin ditinggalkannya dunia cetak mencetak dgn kertas sbg medianya sudah ada dibenak para penerbit surat kabar. sbg indikasi, kini beberapa surat kabar sdh membuat website sebagai langkah antisipatif dan untuk memanjakan sebagian pembacanya yang sudah terbiasa dgn dunia cyber. Sy setuju dgn mas ivan, dimanapun dan apapun media tempat kita menulis akan selalu ada yang akan membacanya tanpa harus melewati seleksi namun untuk menjaga kwalitas sebuah tulisan diharapkan penilaian yang jujur dari para pembaca agar seorang penulis dapat lebih terpacu membuat karya yang lebih baik lagi. wekk..! klo lg ngantuk2 gini ko malah bisa panjang ya komennya, mudah2an ga ngelantur ya mas...he..he
BalasHapusselama manusia masih mau menulis,sastra ngga akan hilang cuma pindah tempat dari kertas ke cyber
BalasHapusTidak usah nunggu 10 tahunpun ,sekarang saja sudah pada terdampar kesini membaca tulisannya .Karena tulisannya yang inspiratif dan penuh wawasan tentang sastra.
BalasHapus.Semoga sastra terus hidup walau pindah haluan kecyber
setuju banget mas... untuk saat ini menulis di internet sepertinya lebih menyenangkan karena kita nggak harus memikirkan apakah hasil tulisan kita ini 'layak muat' atau tidak... yang penting terus berkarya dan menghasilkan tulisan yang bermanfaat... thanks atas sharingnya mas...
BalasHapusbaru denger sastra ciber Thanks infonya
BalasHapusbaru denger sastra ciber Thanks infonya
BalasHapusbaru denger sastra ciber Thanks infonya
BalasHapusSastra sebagai sebuah nilai, sebuah jiwa, tidak pernah terusik. Meski kini ia menemukan bentuknya dalam berbagai rupa. Tidak hanya satra cetak, sastra cyber, sastra ada di warung kopi. Bahkan sastra ada di dalam jiwa siapa saja, juga dalam sehembusan angin atau sehelai daun yang jatuh ke bumi. Cuma pendapat pribadi ya van. Tulisanmu, tentu saja selalu mantap. Tentu juga saya menemukan nilai/jiwa sastramu disini.
BalasHapusiyah nih kang
BalasHapussekarang udah pada ganti ama namanya maya
tulis menulis pun makin jarang, kecuali di kelas (sekolah)
hehehe
transformasi teknologi inpormasi mungkin namanya, ato apalah aq juga gak paham
hehehehe
sastra tidak akan sunyi...karena ada ivan :) saya baru ketemu satu anak muda nih yg bersastra di internet..
BalasHapusga usah nunggu 10 tahun, mungkin 1 jam dari sekarang :)
tapi org lebih menilai karya yg diterbitkan di media cetak. buktinya, lbh bnyk yg bertanya kepada saya, udah terbitin novel blm? sampai capek deh.
BalasHapuscyber sastra merupakan media ke sekian saat sastra cetak kurang diapresiasikan.
BalasHapusSekarang liat aja sastra yan tercetak!! jarang sekali ada nama baru kalaupun ada pasti "plusminus" nya.
Cyber sastra adalah media yang tak perlu redaktur. Tak perlu seleksi. Dan aku yakin Cyber sastra isinya lebih bermutu dari pada cyber cetak. Lagian juga lebih murah!
apapun medianya Hidup Sastra!
Yang penting sudah menyalurkan apresiasi, kreasi, dan tidak menyadur.
BalasHapusYang penting sudah bisa nulis, tetap belajar, tetap latihan.
Yang penting tetap terdampar di blog ini, dan melanjutkan membaca, dan menulis.
Karena hanya itu alat untuk memberantas kebodohan.
Hidup Guru!
(ga nyambung ya Bang?)
wah blog yg penuh dengan berita hot
BalasHapustrlebih post yg satu ini: sastra
ajib!!!
keren om artikelnya ^_^
sebenarnya malah menambah keanekaragaman sastra, karena dengan begitu ruang untuk para penikmat dan pelaku sastra menjadi luas. sehingga akses akan mudah ditempuh dan diproses dengan sangat mudah..luas bgt kan..hehhe, semoga nyerempet ma judulnya..
BalasHapusTapi lebih nyaman baca buku kok daripada baca lewat layar monitor... enaknya ya itu.. tidak perlu tempat penyimpanan ekstra di rumah, gak takut rusak dimakan ngengat atw tikus..
BalasHapussekarang semua orang pada dibutakan oleh yang namanya tulisan Cyber... namun saya percaya ada suatu saat dimana pada akhirnya orang kembali menginginkan membaca koran yang dicetak dikertas... atau membaca buku yang dicetak dikertas...
BalasHapusbener sekali ada saatnya nanti kertas sudah tidak ada dan kita hanya menulis dan menyimpan dokumen di internet
BalasHapushalo bos ketemu lagi dengan eagleval..
BalasHapusaku ganti nama blog jadi ilang deh kemaren..
kunjungi lagi ya..
di
http://harijogja.blogspot.com/
salam sobat..
hidup sastra ...hehehe
BalasHapuswaaaaw..,sumpah, nice artikel bro..!
BalasHapussetuju saya dengan artikel ini. sastra akan terus berkembang, begitu juga dengan medianya. Jadi tidak ada alasan untuk menganaktirikan atau pun memandang remeh sastra cyber. Tentu kita berkarya karena ingin tulisan kita dibaca. sekarang sumberbacaan tidak hanya diatas kertas, tappi lewat monitor juga bisa bahkan lebih muarah.
Sastra cyber juga memiliki keunggulan dari sastra cetak, dimana lebih fresh dan berragam...
cybersastra.org sudah terbit lagi
BalasHapus