Khrisna Pabichara, ia masih saja seorang motivator dan penggiat sastra. Seorang trainer dan motivator pengembangan kecakapan belajar. Puluhan tahun mengembara di dunia pendidikan alternatif, menemani para siswa sekolah menengah dan mahasiswa. Nafasnya tetap aktif menggeliat dengan berbagai artikel tentang pendidikan dan pola asuh anak di media massa dan dunia maya. Selain berkhidmat di Komunitas Sastra Jakarta (KOSAKATA), juga bergiat sebagai penulis buku, dan penyunting di Rumahkata Publishing.
Krishna Pabichara juga seorang blogger yang 'khusyu'. Ia dan sebahagian besar pikirannya dapat ditemui di http://dusunkata.blogspot.com/. Saya menangkapnya sebagai salah seorang lelaki yang termasuk paling 'bicara' dalam ruang humanisme ketika membaca dua contoh puisinya berikut ini.
Perjalanan Rindu
Perjalanan Rindu
Rindu berdiri di halaman hari. Matahari masih mengepul di mata sepinya. Mata pengap: menjerang air mata dan senyap. Kupu dan serangga berloncatan: melenting, menggelinding. Dukanya tanak, mengepul di cangkir kopi: menguapi cinta yang sederhana.
Rindu sekarang berjalan di beranda senja. Langkahnya ringan menapak pucuk rumputan sunyi. Wajahnya masih sama: tenang-terang, hening-bening. Detik dan menit berlomba-melaju: melompat, menjingkat. Rindu yang sepi menimang-nimang kenangan: menjaga cinta yang sederhana.
Rindu pulang ke pangku malam. Matahari sampirkan letih di kening bulan. Rindu gemeretak menahan gigil, berderit di telikung pilu. Malam ini ingin sekali dia menangis. Sudah lama dia tidak menangis: terakhir dia menangis ketika pacarnya pergi selepas merampok selembar selaput dara. Dan dia tercatat sebagai bekas perawan: meratapi cinta yang tidak sederhana.
Lelaki Paling Puisi
Lelaki Paling Puisi
Aku, lelaki paling sepi, menyelam ke perut laut. Memetik ingatan mencari kenang yang dulu karam di cangkang karang. Mengeruk arus. Menandai wajah ibu: ada rindu terdampar di pantai. Berkali-kali.
Hari ini, kubangun rumah pasir. Membayangkan ibu duduk tenang di salah satu lengang ruang, menyulam rabuk perahu yang lapuk ditulah usia. Tapi gelombang selalu menyapu rumah itu, bahkan sebelum aku usai memasang atapnya.
Aku, lelaki paling puisi, melepas matahari ke rahim laut. Agar tak ada lagi senja atau camar yang riang mengajak pulang. Sepanjang siang aku menjala kenangan: ibu, dulu dirimbun bakau, aku selalu membuang risau. Sekarang, sunyi:
Menghitung sesak.
Puisinya sungguh indah, namanya Khrisna Pabichara ?
BalasHapus*Mampir malam setelah selesai utak atik blog toko online, alhamdulillah selesai juga berkat doa sahabat semua.
Indah banget puisinya. Salut....
BalasHapusKrishna Pabichara ini asalnya darimana ya, Van? (icham)
BalasHapusselamat pagi mas ivan...
BalasHapuspuisinya keren bgt^^
kapan y bisa bikin puisi keren gt **
bagus juga puisinya
BalasHapusRekam jejak yang mantap. Senang membaca kiprah anak muda yang begitu kreatif seperti si Khrisna ini.
BalasHapusmelihat karyanya,...
BalasHapusmemang pantas disebut Pabichara, tambahan nama itu gelaran yah Van?
pakah dia orang Bugis....
Indah..!!!
BalasHapussalut deh :D
Wah..mantap tuh bang Krisna, makasih mas infonya...segera meluncur kesana tuk belajar ....
BalasHapuskeren banget puisinya.
BalasHapussip banet sahabat ^_^
BalasHapusSemakin mantap saja kawan.
BalasHapuspabichara itu artinya pembicara dan pandai berbicara ya?
BalasHapuscocok sekali dengan namanya
pengen bisa bikin puisi mas.. :(
BalasHapuspengen ke blognya langsung setelah membaca review yang menarik ini.
BalasHapusNamanya unik banget... udahan dulu ya, pengen mampir ke blognya juga nih.
BalasHapusbagus banget !!
BalasHapussepertinya belajar kata darinya akan meperbanyak kosa kataku ni, langsung meluncur ah!!^_^
http://ikhsanu.blogspot.com/
BalasHapusKalo bicara masalah jejak sastra, sama bang Ivan selalu oke
BalasHapussubhanallah...indah banget puisinya ya? bener2 indah...namanya juga unik, thanks ya bro infonya :)
BalasHapuswoow.. mantap puisinya.. ^^ harus belajar nih
BalasHapusmampir melihat sebuah tokok sastra lagi
BalasHapus@Ivan Kavalera: Terima kasih berkenan merekam jejak "sederhana" saya di ruang yang lapang ini. Tak terduga, tak ternyana. Selaku orang yang sedang giat belajar "menulis", senang kiranya nama saya terpajang di sini. Semoga bisa berbagi inspirasi. Salam paling takzim.
BalasHapus@Sahabat Sastra Radio: Terima kasih atas komentarnya. Saya bukanlah sesiapa. Mantan gembala kerbau di sebuah kampung kecil yang tak terlihat di peta, Borongtammatea-Jeneponto. Pabichara adalah nama yang disematkan beserta doa semoga bisa menjadi juru bicara, atau pembicara. Salam takzim...
permisi kang
BalasHapusudah ke sini ternyata. lagi cari artikelmu yg blm dikomentarin nih
BalasHapus