Latest Post

Cap Go Meh Di Makassar

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 28 Februari 2010 | Februari 28, 2010



Kota Makassar hari ini ramai dengan perayaan Cap Go Meh. Hajatan pesta prosesi ini adalah agenda pariwisata Pemkot Makassar yang telah dijadikan sebagai kalender event tahunan. Sejumlah ruas jalan di kawasan perayaan Cap Go Meh mengalami kemacetan.

Ketua Panitia Pelaksana Arak-arakan Prosesi Cap Go Meh, Charles Teriandy, memohon maaf kepada seluruh masyarakat pengguna jalan, khususnya di kawasan Pecinan Makassar. Penutupan jalan-jalan Pecinan tersebut dari pukul 07.00 hingga pukul 15.00.

Khusus malam hari sebentar sepanjang Jl Sulawesi akan dijadikan pusat Pesta Rakyat yang sekaligus menandai puncak acara Cap Go Meh. Arak-arakan prosesi Cap Go Meh 2561 diikuti 26 barisan yang terdiri dari barisan Bhinneka Tunggal Ika, tokoh-tokoh berbagai lintas agama, wakil-wakil daerah dan kerajaan yang ada di Sulselbar, sejumlah Klenteng, Vihara dan Cetya yang akan mengarak Patung Dewa Dewinya dan satu rombongan yang berasal dari klenteng Manado. 



Jazz@Fort Rotterdam (JFR) 2010

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 27 Februari 2010 | Februari 27, 2010


Seratusan musisi jazz di seluruh Indonesia akan kumpul dan tampil di Makassar. Kehadiran para musisi jazz ini dalam rangka perhelatan Jazz@Fort Rotterdam (JFR) 2010 yang bakal digelar 31 Juli-1 Agustus mendatang.

Dikemukakan oleh pimpinan One Note Entertainment, Hendra Sinadia, beberapa musisi papan atas, yakni Fariz RM, Idang Rasyidi, dan Edy Zahroni dipastikan akan tampil. Setelah sebelumnya  ketiga musisi ini menggebrak  D'liquid Hotel Clarion, Kamis (25/2) malam lalu.

Menurut Hendra, kehadiran ketiga musisi itu di Hotel Clarion merupakan bagian dari pemanasan JFR 2010 nanti. Apalagi, menurutnya, JFR tahun lalu mendapat tanggapan positif dari banyak kalangan. Ia juga menilai bahwa ajang seperti ini sebagai bentuk motivasi untuk mengembangkan seni musik khususnya jazz untuk kemajuan daerah.


Prosa Puitik Dan Puisi Yang Naratif

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 26 Februari 2010 | Februari 26, 2010


Salah satu kecenderungan baru sejak sepuluh tahun terakhir di jagad sastra tanah air adalah  prosa yang puitik dan puisi yang naratif. Penulis-penulis mutakhir Indonesia seperti Puthut EA, Nukila Amal, Nova Riyanti Yusuf, Radhar Panca Dahana, dan  Ayu Utami mungkin telah  menemukan cara tutur puitik yang dimaksud. Misalnya dalam kumpulan cerpen Sarapan Pagi Penuh Dusta karya Puthut EA. Dalam antologi ini dapat dilihat kepiawaian Puthut dalam menyampaikan isi cerita dengan pilihan kata-kata puitik yang walaupun rumit, namun tetap memukau. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut:   

Aku memasuki rumah ini seperti memasuki diriku sendiri, seperti memasuki ingatanku sendiri. Sebagaimana aku pernah berdsusta dan berkhianat pada diriku sendiri, berdusta pada ingatanku sendiri, aku juga pernah berdusta dan berkhianat pada rumah ini (Rumah, hal. 39).

Sementara Puthut, Nukila Amal dalam novelnya Cala Ibi, pun berhasil menyeret emosi pembaca untuk terus mengikuti jalan cerita dengan pilihan kata-kata berirama serupa puisi. Mengutip Budi Darma, dalam novelnya ini Nukila berjuang keras, agar bahasa (yang didedahkan) benar-benar puitik (kata penutup dalam Cerpen Pilihan Kompas 2005).

Lalu puitika yang bertutur ala Nova Riyanti Yusuf yang  berusaha memikat pembaca dengan memasukkan kata-kata puitik dalam ceritanya, seperti yang terlihat dalam penggalan berikut:
Kucari-cari dia
Semakin tak sabar
Kupanggil dia
Tidak ada jawaban
(Imipramine)
  
Walaupun kata-kata yang dipilih adalah sesuatu yang umum, namun disanalah letak kepuitisannya. Kesederhanaan yang dipilih Nova cukup memikat dan juga dalam jika ditinjau dari segi makna.

Selain Afrizal Malna, penyair yang termasuk dalam barisan  ini antara lain, Wendoko, Oka Rusmini dan sederetan nama lainnya. Dalam karya-karyanya, mereka tampak memasukkan beberapa ciri narasi yang dimaksud, misalnya dengan memakai kata-kata biasa serta percakapan seperti prosa. Dengan bentuk puisi yang demikian tidak serta merta menjadikan puisi mereka menjadi puisi polos namun tetap  dalam dan tajam. Para penulis yang disebutkan terakhir bahkan telah menemukan semacam bentuk-bentuk baru instalasi kata. 

(berbagai sumber)

Di Tanah Pemakaman Memori

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 24 Februari 2010 | Februari 24, 2010

 di bulan ini
pada pertengahan 
musim 
hujan 
ternyata
aku hanya ingin
selalu singgah 
di tanah 
pemakaman memori,
seperti sebutanmu
di waktu lampau.
tapi pernah juga 
kita menyebutnya 
sebagai stupa cinta 
sesunyi telaga.

bulukumba, 24 februari 2010

 
ilustrasi: Agus Sarwono

Hanya Puisi Kecil Di Sela-sela Kerja

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 23 Februari 2010 | Februari 23, 2010

kaca-kaca jendela yang memaki hujan. sebuah revolusi yang dimulai dari secangkir kopi.
tapi
ingatanku hanya mengepul kepada ibu.  hanya puisi kecil di sela-sela kerja kukirimkan untuknya sejak pagi. 

ia perempuan setengah baya yang mencuci kebaya coklat
tua.
ia
yang telah mengajarkan cinta tanah
kelahiran.
mengajarkan bagaimana cara bangun pagi
lalu memanen rindu di atas rerumputan. 

kaca-kaca jendela yang memaki hujan. ibuku yang  menjadi puisi di sela-sela kerja,
maafkan anakmu.
sebuah revolusi pagi ini berangkat menuju halaman rumah
calon menantumu
yang kesekian.
mungkin
sebuah revolusi dalam hati. kataku diam-diam.

bulukumba,  23 februari 2010

Sutan Takdir Alisyahbana, Tasik Yang Tenang

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 21 Februari 2010 | Februari 21, 2010

Ia adalah tasik yang tenang, tiada beriak. Sutan Takdir Alisyahbana namanya. Di pelataran sastra Indonesia ia adalah jaminan bagi sejarah perkembangan perpuisian dan ide-ide mencengangkan bagi humanisme. Bagi saya pribadi, membaca puisinya sungguh sulit. Chemistry, diksi dan gaya kepenyairannya memang beda. Tapi heran, ia  menginspirasi begitu banyak generasi sesudahnya. 

Salah satu puisinya "Menuju Ke Laut" sungguh sulit dipahami lagi dalam bahasa Indonesia modern tapi masih menjadi sumber rujukan sebagai puisi dengan diksi yang revolusioner bagi banyak penyair-penyair di zaman sekarang.

 

MENUJU KE LAUT

Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat :

“Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit
Pasir rata berulang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.”

Sejak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa penggalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerah segala apa mengadang.

Gemuruh berderau kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya,
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pekik dan tempik sambut menyambut

Tetapi betapa sukarnya jalan,
badan terhempas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
ketenangan lama tiada diratap

Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat


Free Download Mp3 Sastra Digital

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 19 Februari 2010 | Februari 19, 2010


Sastra sebahagian besar sebenarnya dinikmati tanpa teks. Sejak dulu entah berapa kapan yang lampau, sastra adalah juga audio dan visual. Salah satu bentuknya adalah 'sastra-digital' Entah siapa yang pertama kali menamainya seperti itu. Saya akan berbagi sastra tanpa teks kali ini. Anda bisa mendownload beberapa 'sastra-digital' di bawah ini yang berhasil  direkam ketika dibacakan dalam beberapa edisi di program sastra Ekspresi dan Sembilu di RCA 102,5 FM. Sebahagian  di antaranya termasuk  karya dari beberapa orang sahabat blogger.

Cerpen "Memahat Lelaki" oleh Faradina Izdihary.mp3
Puisi-puisi Widji Thukul (voice: Arie Dirganthara.mp3)
4 Bongkah Puisi oleh Andhika Mapasomba.mp3
Puisi lama "Menuju Ke Laut" oleh Sutan Takdir Alisyahbana (voice Ivan Kavalera.mp3)
Puisi Kolaborasi Andhika Mappasomba dan Tantri.mp3

Mawar dan Penjara, Tragedi Yang Nyaris Terlupakan

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 16 Februari 2010 | Februari 16, 2010


Ia adalah juga magma dari gunung berapi yang berpotensi meletus setiap saat. Penyair muda kelahiran Bulukumba, 1980 yang selalu melakukan perjalanan sunyi di tengah alam tapi senantiasa alam menyambutnya gemuruh. Di jagad kepenyairan khususnya di kawasan timur republik ini, Andhika Mappasomba tidak asing lagi. Sosoknya  juga pernah diulas di weblog ini. Dalam beberapa kali pertemuan saya dengannya ia kerap mengucapkan kalimat, "kumpulan puisiku; Mawar dan Penjara adalah tragedi yang nyaris terlupakan." 

Tapi seperti dugaan saya jauh sebelumnya, tragedi itu tak akan pernah terlupakan sebab kumpulan puisi itu akhirnya segera terbit tahun ini. Ini adalah buku kedua setelah bersama cerpenis Anis K. Al Asyari, dia pernah menggebrak  dengan menerbitkan buku Ingin Kukencingi Mulut Monalisa (2003).

Andhika menuliskan beberapa larik pikirannya di facebook hari ini, Selasa 16 Februari. Catatan lengkapnya berikut ini:

akhirnya, setelah enam tahun menunggu hari itu, impian itu pun sudah di depan mata. kumpulan puisi tunggalku akan segera terbit dan sekarang sedang dalam proses cetak.

beberapa puisi memang pernah dimuat di media cetak lokal.dan beberapa puisi sengaja tak pernah dipublikasikan.
setelah hampir setahun berburu ide sampul buku, akhirnya aku memutuskan untuk tak memberinya ornamen apapun di sampulnya. beberapa kawan yang saya mintai pertolongan tak kunjung memberikan hasil. yah, hanya sebuah buku dengan gagasan bentuk yang klasik. tidak seperti buku dengan gaya kontemporer. hanya sebuah buku merah degan guratan huruf berwarna hitam.

Mawar dan Penjara adalah judul buku itu. di dalamnya penuh dengan catatan kesedihan dan catatan perjalananku, catatan cara pandangku menatap semesta dan isinya. aku menuliskan beratus-ratus nama di dalamnya. bahkan puluhan nama yang tak pernah kutemui wujud pemiliknya.
beberapa hanya bertemu di Facebook, imajinasi mimpi dan nama-nama masa kecil.

selama sepuluh tahun belakangan, aku pernah bertualang kemana saja. melintasi dan juga menginap di sudut-sudut yang aku tak kenal lalu menuliskan puisi. mungkin itu kampung anda. atau pernah kutuliskan sebuah peristiwa kecil. mungkin itu juga peristiwa anda.

buku kumpulan puisi ini, pengantarnya dituliskan oleh DR Ahyar Anwar, sahabat yang sekaligus Guru yang banyak menemaniku dalam perjalanan menuju alam sastra tujuh tahun belakangan ini.

puisi Mawar dan Penjara adalah puisi yang aku tulis di sebuah sel Polsekta di makassar pada tahun 2002. dan juga puisi pertama yang saya bacakan buat kanda Ahyar Anwar saat pertama kali berjumpa di Gedung Jurusan BS Unm lantai dua di akhir tahun 2003. puisi ini juga adalah puisi yang dibacakan oleh kanda saya Andi Mappasomba di kantor LBH Makassar, ketika itu di Jalan Macan Makassar, sebelum menyerahkan diri ke POLDA Sulsel atas pertanggungjawabannya melakukan perlawanan bersama petani kajang tahun 2003, melawan PT LONSUM. bahkan puisi ini telah digubah menjadi lagu oleh UKM SB 9 Univ. Islam Makassar.

buku ini, juga alhamdulillah akan menjadi MAHAR PERNIKAHAN saya, insya allah jika Allah Meridhai. perempuan itu telah ditemukan.

semoga siapapun yang telah menjadi inspirasi dari penulisan semua puisi ini, selalu mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari Allah yang Maha Agung dan Pemurah.

buku puisi ini belum akan dijual dan diedarkan di toko manapun. buku ini, akan saya berikan secara khusus, kepada mereka yang memiliki sinergi hati dan kesamaan warna hidup dalam memandang kenangan. mereka yang selalu mau menghargai peristiwa kecil dan kisah kecil dalam kehidupan mereka. aku akan mengantarkan sendiri buku ini untuk mereka.

tak ada peristiwa yang betul-betul sama terulang dalam waktu

salam cinta dariku yang sedang sakit!

Andhika Mappasomba


Beberapa hari lalu Andhika membacakan puisi di hadapan Pansus Century yang datang ke Makassar. Bukan hanya puisi, Andhika juga menyerahkan sebilah badik kepada Akbar Faizal, salah satu anggota pansus, sebagai simbol keberanian. 

 
Andhika yang tertidur di pantai

Perempuan Di Bawah Pohon Pinus Yang Menangkapi Angin Dari Arah Pantai

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 15 Februari 2010 | Februari 15, 2010


-catatan kecil buat sahabatku, dhea. lalu dhea menyebut ini sebagai prosa romantik yang terakhir.

ia perempuan di bawah pohon pinus. perempuan yang pernah bermimpi menelan bulan. si jabang bayi kini terasa menendang-nendang dinding perutnya. sebagaimana para perempuan lainnya yang menunggu kelahiran bayi dari buah cintanya, perempuan itu merasakan hatinya bertambah cantik. ia memulai pagi dengan embun yang berbutir-butir di atas rumput halaman rumah. ia menyudahi senja dengan angin dari arah pantai. sebenarnya ia hanya berusaha menangkapi angin dan siluet kenangan tepat di keningnya. 
kenangan begitu rutin menyambanginya di bawah pohon-pohon pinus. lelaki dalam siluet itu tak kunjung bisa diusir. ia tidak habis mengerti. lelaki itulah manusia yang paling ia cintai sekaligus yang  paling ia benci. 
perempuan yang pernah menelan bulan dalam salah satu mimpinya. perempuan yang menangkapi angin dalam kenangan. ia menemukan tubuhnya sendiri di waktu lampau berputar-putar di depan cermin dalam kamar. ia baru saja mengetahui aroma tubuh seorang lelaki yang sesungguhnya. ia mengingat wajah, nama dan segala apa yang terdapat dalam diri lelakinya melebihi ingatan dan perhatiannya terhadap musim, bunga dan pohon pinus di halaman rumahnya. ia selalu berharap wajah lelakinya tiba-tiba muncul dari jendela kamar yang selalu dibiarkannya terbuka hingga separuh malam. tetapi lelaki itu tidak pernah datang.  lelaki yang menjadi rahasia terbesar dalam lipatan-lipatan hatinya.  lelaki yang ternyata  tidak akan pernah datang dari balik  jendela kamar di masa lalu maupun mengetuk di pintu rumahnya di masa depan. kecuali ia hanya seorang lelaki yang pernah berhasil menitipkan benih cinta ke  dalam rahimnya. 
tidak lama lagi  buah hatinya akan lahir ke atas bumi. sejak perempuan itu mengerti tentang kehidupan baru kali ini ia merasa yakin bahwa wajahnya juga purnama. ternyata si jabang bayi kini menyita begitu banyak ruang-ruang dalam cintanya. ia tidak peduli jika bayinya nanti adalah juga lelaki. ia perempuan yang menemukan tubuhnya sendiri sekali lagi di waktu lampau. tapi di bawah pohon pinus ia masih menangkapi angin dari arah pantai.

bulukumba, tanggal yang tak tercatat di 2005

 
ilustrasi: award dari Kang Enes

Sajak Perjalanan Melayari Batu

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 13 Februari 2010 | Februari 13, 2010

-buat Nayla

berangkatlah sebagai burung camar,
matahari yang separuh baya dan hari ini terdiri dari
tiang-tiang kapal atau jangkar.
aku tahu kamu yang tahu tentang ombak
yang sejak dulu menjadikan pelaut sebagai
burung rajawali
di mana sayapnya pasti terbuat dari bendera.
dalam perjalanan melayari batu
tidak usah bersahabat dengan cuaca,
pelaut-pelaut ulung akan selalu menemukan pulau
dan terbiasa berdebat dengan karang
sebagaimana apa kata badai
sebagaimana apa kata cinta
sampai jumpa lagi 
di tengah jala ataupun
laut sunyi.

bulukumba, 05 agustus 2006 

 
     ilustrator:   Agus Sarwono

"Nayla, adikku yang tidak lulus di SPMB (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) pada saat puisi ini aku tulis sebagai pemantik api semangatnya. Sejak itu Nayla selalu ingat SPMB adalah akronim dari Sajak Perjalanan Melayari Batu. Lalu Nayla harus menunggu satu tahun berikutnya untuk lulus."

Menulis Sajak Cinta

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 12 Februari 2010 | Februari 12, 2010

tidak seperti biasanya,
aku memerlukan ijin darimu untuk mencoba lagi menulis
sebuah sajak cinta
sementara kamu melukis pantai sebagai mimpi 
sebuah hutan yang indah, gelap dan rimbun
aku tak akan berhenti berjalan di dalamnya
sebelum kamu tertidur.

bulukumba, jumat 12 februari


 
  ilustrasi: http://agus-sarwono.blogspot.com/                                     

Yang Mencintaimu

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 10 Februari 2010 | Februari 10, 2010

kami yang mencintaimu dari atas pematang-pematang
sawah. sepulang belajar dari bangunan sekolah yang hampir
roboh.
kami yang mencintaimu dari tengah empang
setelah menangkap  ikan dan berenang.
kami kurang mengerti apa itu kasus dana talangan
kami hanya ingin memahami makna semangat berjuang
sebagaimana yang diajarkan 
jenderal soedirman
dalam biografinya, satu-satunya buku yang masih utuh di perpustakaan 
sekolah kami. tapi kami tidak akan korupsi waktu.
beberapa tahun bersekolah harus digunakan untuk belajar 
sambil mengabdi pada alam, sekolah yang hampir roboh dan 
cuaca yang berubah tak menentu. sambil
menuliskan riwayat hidup sederhana yang 
tidak dicemooh sejarah.


 


Ketika Sastra Melawan Korupsi

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 08 Februari 2010 | Februari 08, 2010


Di berbagai episode sejarah, zaman dan belahan bumi, karya sastra 'seburuk' apa pun bisa mendidik pembacanya untuk bersikap kritis dalam memilih dan memihak nilai-nilai moral yang disajikannya. Individu-individu maupun komunal yang dicuci otaknya  melalui moralitas karya sastra sebenarnya merupakan aset besar bangsa untuk memperbaiki sistem dan struktural. Hal itu bisa disebut sebagai sisi unik dari sastra. Sastra bisa digunakan sebagai salah satu alat untuk  melawan korupsi.

Korupsi  telah menjadi salah satu kata yang paling  populer di dunia. Kata itu telah berhasil menjadi makhluk paling menyeramkan sejak negara-negara di dunia menemukan realitas bahwa korupsi lebih menghancurkan dibanding  revolusi. Korupsi telah disepakati sebagai penghancur paling efektif bagi sebuah tatanan. Mulai dari ruang sosial sampai lingkup besar bernama negara. Hanya nilai-nilai spiritualitas yang selalu menjadi benteng terakhir untuk membendungnya. Dekadensi moral yang juga berhasil merangsek dan meminggirkan agama, menjadikan orang-orang mencari kekuatan kedua setelah agama. Kekuatan kedua yang masih bisa diharapkan adalah kebangkitan kembali apresiasi sastra.

Ketika sastra melawan korupsi maka akan terbayang teks-teks estetika yang berperang melawan sebuah bentuk kejahatan. Ini bisa juga disebut sebagai pertempuran klasik antara hitam dan putih. Sastra dengan gayanya yang khas mewakili wilayah gagasan, ranah ide dan moralitas di satu kubu lalu di kubu lainnya, korupsi yang mewakili dunia hedonisme. Sastra bisa tampil sebagai orator. Bentuk ini bisa ditemui dalam puisi-puisi protes dan semacamnya. Di waktu  yang lain sastra bisa muncul sebagai teks-teks  pencerahan  yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir secara halus.

Sastra dengan berbagai latar ideologi penulisnya ternyata sejak lama telah menyumbangkan energi perlawanan tegas terhadap korupsi. Pada dua dasawarsa abad ke-20 novel Hikayat Kadiroen telah ditulis oleh Semaoen. Dalam novel bergaya realisme-sosial ini terdapat ide-ide dasar komunis tentang perlawanan terhadap kaum borjuis dan upaya menuju kesetaraan kelas.

Jauh sebelumnya dari ideologi berbeda, pada tahun 1859 Multatuli pun ternyata telah menulis Max Havelaar of de Aoffieveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappiij (Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda) yang memuat kisah tentang penguasa-penguasa pribumi maupun kolonial yang korup. Multatuli alias Douwes Dekker akhirnya berhasil membukakan mata politisi dan masyarakat Belanda saat itu tentang kebobrokan di negeri jajahannya, Nusantara.

Eduard Douwes Dekker, seorang pegawai pemerintah yang kecewa di Hindia Belanda melalui buku ini mengkritik kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Buku tersebut merupakan bingkai dari berbagai jalinan kisah cerita. Bermula dari kisah tentang Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi dan contoh yang tepat tentang seorang borjuis kecil yang membosankan dan kikir, yang menjadi simbol bagaimana Belanda mengeruk keuntungan dari koloninya di Hindia Belanda. Suatu hari, mantan teman sekelasnya (Sjaalman) menjenguk Droogstoppel dan memintanya menerbitkan sebuah buku.

Selanjutnya –disela oleh komentar Droogstoppel- adalah kisah tentang buku itu yang secara garis besar menceritakan pengalaman nyata Multatuli (alias Max Havelaar) sebagai asisten residen di Hindia Belanda. (Sebagian besar adalah pengalaman penulis Eduard Douwes Dekker sendiri sebagai pegawai pemerintah.) Asisten residen Havelaar membela masyarakat lokal yang tertindas, orang-orang Jawa, namun para atasannya yang warganegara Belanda dan masyarakat lokal yang mempunyai kepentingan bisnis dengan Belanda, beramai-ramai menentangnya.

Sejumlah kisah tentang masyarakat lokal dirangkaikan dalam buku ini, misalnya, kisah tentang Saidjah dan Adinda. Di antara kalimat-kalimat tentang kisah cinta yang mengharukan, tersirat tuduhan tentang eksploitasi dan kekejaman yang menjadikan orang-orang Jawa sebagai korbannya. Pada bagian akhir buku ini, Multatuli menyampaikan permintaan secara sungguh-sungguh langsung kepada Raja William III, yang dalam posisinya sebagai kepala negara, adalah yang paling bertanggung jawab untuk kesewenang-wenangan dan korupsi pemerintahan di Hindia Belanda.

Pada awalnya, buku ini menerima banyak kritik, tetapi kemudian segera menimbulkan perdebatan dan dicetak ulang beberapa kali. Buku ini masih diterbitkan sampai sekarang dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 140 bahasa. Pada tahun 1999, penulis Indonesia Pramoedya Ananta Toer merujuk buku ini dalam the New York Times sebagai "Buku yang Membunuh Kolonialisme".

Pada tahun 1960 Pramoedya Ananta Toer menulis novel berjudul Korupsi yang berlatar belakang rezim orde lama. Novel ini diterbitkan pertama kali tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun 2002 oleh Hasta Mitra. Novel ini terdiri dari 14 bab dan bercerita tentang seorang pegawai negeri bernama Bakir. Tapi sayang sekali, generasi muda Indonesia tidak banyak mengenal karya Pramoedya dibanding pembacanya di luar negeri.

Di zaman Orde Baru muncul Ahmad Tohari dengan novel Orang-Orang Proyek. Tentang kisah seorang insinyur bernama Kabul yang  tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan sebuah proyek dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?

Memahami proyek pembangunan jembatan di sebuah desa bagi Kabul, insinyur yang mantan aktivis kampus, sungguh suatu pekerjaan sekaligus beban psikologis yang berat. "Permainan" yang terjadi dalam proyek itu menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan menjadi taruhannya, dan masyarakat kecillah yang akhirnya menjadi korban. Akankah Kabul bertahan pada idealismenya? Akankah jembatan baru itu mampu memenuhi dambaan lama penduduk setempat?

Setelah beberapa daftar karya sastra itu lalu tak terhitung lagi karya-karya lainnya yang membicarakan, mengkritik maupun secara tidak langsung menghipnotis pembacanya untuk memusuhi korupsi. Di bebagai zaman akan selalu terbit novel, cerpen, esai, puisi, drama dan sebagainya menantang korupsi melalui  estetika sastra.

Ketika sastra muncul sebagai kekuatan alternatif yang mampu membentuk pola pikir masyarakat maka masalah yang biasanya muncul adalah masih rendahnya minat dan apresiasi sastra dari masyarakat terutama di ruang-ruang edukasi. Sastra sebagai salah satu media informasi tentang masa lalu yang berkaitan dengan sejarah suatu bangsa  bisa menjadi spirit hidup dan yang bisa dikembangkan oleh generasi-generasi selanjutnya. Jika sejak kecil anak-anak kurang mendapatkan pendidikan tentang apresiasi sastra setelah agama, sangat sulit mengharapkan mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia yang memiliki kekayaan spiritualitas yang dapat membuatnya hidup terhormat.

Kekuatan spiritualis bisa terlahir dari mana saja. Gemblengan pendidikan agama yang dimulai dari rumah adalah contoh nyata. Tapi tidak semua orang beruntung pernah memperoleh pendidikan agama yang kuat dari keluarga.  Gempuran kultur hedonisme yang telah merangsek ke dalam lingkungan kita di hari –hari ini benar-benar menyulitkan untuk memberikan pencerahan akhlak individu yang telah terkontaminasi budaya materialisme.

Namun masih ada satu celah yang bisa disusupi. Gaya materialisme itu sebenarnya masih bisa ‘diracuni’ dengan menyuntikkan paham-paham yang ideal dari karya-karya sastra. Tinggal gerakan menumbuhkan minat baca yang harus semakin digenjot secara simultan.

Tingkat  apresiasi sastra yang rendah  di Indonesia dapat dikaitkan dengan maraknya kasus korupsi dan dekadensi moral lainnya. Tidak bisa disalahkan jika ada yang lantang menuding dengan tegas bahwa kurikulum pendidikan adalah biangnya. Dalam sistem  kurikulum pendidikan yang cenderung mengekang kreativitas anak didik di sekolah, khususnya yang berkaitan dengan apresiasi sastra, bangsa kita benar-benar menjadi bangsa yang miskin spiritualitas. Upaya meningkatkan apresiasi sastra (termasuk sastra klasik) untuk melawan korupsi dapat dimulai dengan membenahi  sistem dan kurikulum pendidikan dengan  benar.

Untuk menolong sistem dan kurikulum pendidikan yang lemah, mau tidak mau harus digenjot gerakan menumbuhkan minat baca. Telah terbukti di beberapa negara maju, minat baca jauh lebih efektif membangun  sumber daya manusia intelektual sekaligus moralis dibanding pendidikan formal. Keberpihakan pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan kondusif terhadap pendidikan non-formal semestinya telah membuka ruang-ruang yang sangat lapang.

Setelah agama sebagai kekuatan pertama, maka kekuatan kedua adalah apresiasi sastra untuk mengeliminir kasus korupsi. Apresiasi sastra hanya bisa tumbuh dengan baik dari sistem dan kurikulum pendidikan yang tidak kaku. Di samping sistem pendidikan, sumber daya manusia terdidik hanya bisa didukung dengan minat baca dan literatur yang berkualitas. Di ranah inilah karya-karya sastra harus menjadi salah satu menu utamanya.


Pakarena

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 07 Februari 2010 | Februari 07, 2010


Tarian Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum detik-detik perpisahan, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi. 

Sebagai seni yang berdimensi ritual, Pakarena terus hidup dan menghidupi ruang batin masyarakat Gowa dan sekitarnya. Meski tarian ini sempat menjadi kesenian istana pada masa Sultan Hasanuddin raja Gowa ke-16, lewat sentuhan I Li’motakontu, ibunda sang Sultan. Demikian juga saat seniman Pakarena ditekan gerakan pemurnian Islam Kahar Muzakar karena dianggap bertentangan dengan Islam. Namun begitu tragedi ini tidak menyurutkan hati masyarakat untuk menggeluti aktifitas yang menjadi bagian dari hidup dan kehidupan yang menghubungkan diri mereka dengan Yang Kuasa.

Belakangan ini tangan-tangan seniman kota dan birokrat pemerintah daerah (pemda) telah menyulap Pakarena menjadi industri pariwisata. Dengan bantuan tukang seniman standar estetika diciptakan melalui sanggar-sanggar agar bisa dinikmatin orang luar. Untuk mendongkrak pendapatan daerah, alasannya. Sebagian seniman mengikuti standar resmi dan memperoleh fasilitas pemda. Tapi sebagian seniman lain enggan mengikuti karena dianggap tidak sesuai tradisi adat setempat, meski menanggung resiko tidak memperoleh dana pembinaan pemda atau tidak diundang dalam pertunjukan-pertunjukan.

Sikap batinnya hening, penuh kelembutan, dedikatif, itulah kesan yang tersirat dari gemulainya gerakan penari ini. Tari Pakarena yang dibawakan penari ini adalah tarian kas masyarakat Sulawesi Selatan. Setiap penari harus melakukan upacara ritual adat yang disebut jajatang, dengan sesajian berupa beras, kemeyan dan lilin. Ini dimaksudkan untuk memperoleh kelancaran sepanjang pertunjukan berlangsung.

Pakarena adalah bahasa setempat berasal dari kata Karena yang artinya main. Sementara ilmu hampa menunjukan pelakunya. Tarian ini mentradisi di kalangan masyarakat Gowa yang merupakan wilayah bekas Kerajaan Gowa. Ini dulunya, pada upacara-upacara kerajaan Tari Pakarena ini dipertunjukkan di Istana. Namun dalam perkembangannya, Tari Pakarena ini lebih memasyarakat di kalangan rakyat. Bagi masyarakat Gowa, keberadaan Tari Pakarena tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka sehari-hari.

Kelembutan mendominasi kesan pada tarian ini. Tampak jelas menjadi cermin watak perempuan Gowa sesungguhnya yang sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama terhadap suami. Gerakan lembut si penari sepanjang tarian dimainkan, tak urung menyulitkan buat masyarakat awam untuk membedakan babak demi babak. Padahal tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Gerakan yang sama, nyaris terangkai sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip dilakukan dalam setiap bagian tarian.

Sesungguhnya pola-pola ini memiliki makna khusus. Gerakan pada posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam. Menunjukkan siklus kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu sekitar dua jam.

Tidak salah kalau seorang penari Pakarena harus mempersiapkan dirinya dengan prima, baik fisik maupun mental. Gerakan monoton dan melelahkan dalam Tari Pakarena, sedikit banyak menyebabkan kaum perempuan di Sulawesi Selatan, tak begitu berminat menarikannya. Kalaupun banyak yang belajar sejak anak-anak, tidak sedikit pula yang kemudian enggan melanjutkannya saat memasuki jenjang pernikahan. Namun tidak demikian halnya seorang Mak Joppong. Perempuan tua yang kini usianya memasuki 80 tahun ini, adalah seorang pelestari tari klasik Pakarena.

Mak Joppong adalah seorang maestro tari khas Sulawesi Selatan ini. Ia seorang empu Pakarena. Mak Joppong sampai sekarang masih bersedia memenuhi undangan. Untuk tampil menarikan Pakarena yang digelutinya sejak usia 10 tahun ini. Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh, lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang mengambarkan kelembutan perempuan Gowa.

Di Februari Yang Hujan

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 05 Februari 2010 | Februari 05, 2010

sedang mencoba saja melipat-lipat ingatan, pertemuan 
dan februari yang hujan. 
"itu metafora dari dialektika kesunyianmu, bukan?" tanyamu.
masih di sini kita bertangkupan dengan angin dari arah pantai.
seharusnya tak berjarak. seharusnya tak cemas.
sebuah hari mungkin akan tiba dan mengabarkan pertemuan berikutnya
dan seharusnya tak terduga. 
untuk sementara
beberapa dari hari-hariku lebih memilih menyiapkan garis-garis hujan
siapa tahu kelak diperlukan oleh kelopak matamu
sebagai airmata yang tak terencana. 

bulukumba, 5 Februari 2010



    ilustrasi:  http://agoez.carbonmade.com/

Di Negeri Pembuat Perahu

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 04 Februari 2010 | Februari 04, 2010


anak-anakmu hanya ingin melabuhkan rindu
di negeri para pembuat perahu.
menjaga jemuran rumput laut dari atas lego-lego
menjaga tanggul-tanggul pemecah ombak
selincah tangan para pengrajin gula kelapa
selincah tangan para pemanen padi dan pembakar jagung
mali' siparappe, meddung sipatokkong
sipakatau, sipakalebbi'
tallang sipahua' 

anak-anakmu hanya ingin melabuhkan rindu
sekuat tali jala pattikkeng bale 
sekokoh destar hitam ammatowa.
rantau anak-anakmu akan selalu melabuhkan rindu.
mali' siparappe, meddung sipatokkong
sipakatau, sipakalebbi'
tallang sipahua'

negeri para pembuat perahu,
di mana tanjung biramu yang dahulu
kemana terumbu karangmu.

bulukumba, 4 februari 2010


Selamat Hari Jadi Bulukumba yang ke-50, Kamis 4 Februari 2010


Rumit Juga Memulai

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 03 Februari 2010 | Februari 03, 2010


tidak rumit mencintai. semestinya hanya membutuhkan seunggun kayu bakar
yang kita nyalakan di musim dingin. api memulainya
di bawah sepotong bulan, keju, roti dan secangkir kopi panas di beranda
atau seserpih matahari di jendela yang sengaja lupa kita tangkapi.

tapi rumit juga memulai. sepotong matamu yang satunya lagi 
belum  kutemukan
di wajah bulan malam ini.

bulukumba, 3 Februari 2010


 

 

Launching Aku Di Sebuah Novel

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 02 Februari 2010 | Februari 02, 2010


Launching novel berjudul Aku Di Sebuah Novel karya Ramli Palammai dijadwalkan hari Rabu jam 10 pagi di pendopo rumah jabatan Bupati Bulukumba. Novel itu adalah novel pertama yang terbit dan ditulis oleh penulis di Bulukumba. 

Ramli Palammai, novelis kelahiran 1985 ini menyatakan, Bulukumba sengaja dijadikan tempat launching dan  bukannya Makassar. Alasan utama Bulukumba dipilih yaitu berkaitan dengan peringatan Hari Jadi Bulukumba yang ke-50 pada Kamis, 4 Februari 2010. Alasan lainnya adalah karena Bulukumba merupakan kampung kelahiran Ramli. 

Novel Aku Di Sebuah Novel adalah  satu dari trilogi karya Ramli yang diterbitkan oleh p3i Makassar. Rencananya dalam pertengahan tahun ini novel keduanya juga akan segera diterbitkan. Tapi judulnya masih dirahasiakan. Sosok Ramli Palammai bisa ditelusuri di sini. Resensinya bisa dibaca di  sini.

Palampang

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 01 Februari 2010 | Februari 01, 2010




meniup harmonika dari sela-sela akasia
berenang jauh ke rawa-rawa kenangan.
sebelum malam kami tiba di pundak bukitmu
menepuk-nepuk senja.
saatnya menggarap kembali lahan  ingatan  
cerita dari tanah purba 
ketika ibu meracik kemiri untuk dijadikan pelita.  
jatuh kami ke lubuk sejarah.
 bau humus daun-daun lontar
 masih terasa di sepanjang sisi danau.
kini jauh ke hulu sungai pasti bertemu sisa hutan dan limbah. 
ibu, kemana wangi daun pandan yang dahulu?

palampang, 31 januari 2010 


 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday