Di berbagai episode sejarah,
zaman dan belahan bumi, karya sastra 'seburuk' apa pun bisa mendidik pembacanya
untuk bersikap kritis dalam memilih dan memihak nilai-nilai moral yang
disajikannya. Individu-individu maupun komunal yang dicuci otaknya melalui moralitas karya sastra sebenarnya
merupakan aset besar bangsa untuk memperbaiki sistem dan struktural. Hal itu
bisa disebut sebagai sisi unik dari sastra. Sastra bisa digunakan sebagai salah
satu alat untuk melawan korupsi.
Korupsi telah menjadi salah satu kata yang
paling populer di dunia. Kata itu telah
berhasil menjadi makhluk paling menyeramkan sejak negara-negara di dunia
menemukan realitas bahwa korupsi lebih menghancurkan dibanding revolusi. Korupsi telah disepakati sebagai
penghancur paling efektif bagi sebuah tatanan. Mulai dari ruang sosial sampai
lingkup besar bernama negara. Hanya nilai-nilai spiritualitas yang selalu
menjadi benteng terakhir untuk membendungnya. Dekadensi moral yang juga
berhasil merangsek dan meminggirkan agama, menjadikan orang-orang mencari
kekuatan kedua setelah agama. Kekuatan kedua yang masih bisa diharapkan adalah
kebangkitan kembali apresiasi sastra.
Ketika sastra melawan korupsi
maka akan terbayang teks-teks estetika yang berperang melawan sebuah bentuk
kejahatan. Ini bisa juga disebut sebagai pertempuran klasik antara hitam dan
putih. Sastra dengan gayanya yang khas mewakili wilayah gagasan, ranah ide dan
moralitas di satu kubu lalu di kubu lainnya, korupsi yang mewakili dunia hedonisme. Sastra bisa tampil sebagai orator. Bentuk ini bisa ditemui dalam puisi-puisi protes dan semacamnya. Di waktu yang lain sastra bisa muncul sebagai teks-teks pencerahan yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir secara halus.
Sastra dengan berbagai latar
ideologi penulisnya ternyata sejak lama telah menyumbangkan energi perlawanan
tegas terhadap korupsi. Pada dua dasawarsa abad ke-20 novel Hikayat Kadiroen
telah ditulis oleh Semaoen. Dalam novel bergaya realisme-sosial ini terdapat
ide-ide dasar komunis tentang perlawanan terhadap kaum borjuis dan upaya menuju
kesetaraan kelas.
Jauh sebelumnya dari ideologi
berbeda, pada tahun 1859 Multatuli pun ternyata telah menulis Max Havelaar of
de Aoffieveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappiij (Lelang Kopi
Perusahaan Dagang Belanda) yang memuat kisah tentang penguasa-penguasa pribumi
maupun kolonial yang korup. Multatuli alias Douwes Dekker akhirnya berhasil
membukakan mata politisi dan masyarakat Belanda saat itu tentang kebobrokan di
negeri jajahannya, Nusantara.
Eduard Douwes Dekker, seorang pegawai pemerintah yang kecewa di Hindia
Belanda melalui buku ini mengkritik kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Buku tersebut merupakan bingkai dari berbagai jalinan kisah cerita. Bermula dari kisah tentang Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi dan contoh
yang tepat tentang seorang borjuis kecil yang membosankan dan kikir, yang
menjadi simbol bagaimana Belanda mengeruk keuntungan dari koloninya di Hindia
Belanda. Suatu hari, mantan teman sekelasnya (Sjaalman) menjenguk Droogstoppel
dan memintanya menerbitkan sebuah buku.
Selanjutnya –disela oleh komentar Droogstoppel- adalah kisah tentang buku
itu yang secara garis besar menceritakan pengalaman nyata Multatuli (alias Max
Havelaar) sebagai asisten residen di Hindia Belanda. (Sebagian besar adalah
pengalaman penulis Eduard Douwes Dekker sendiri sebagai pegawai pemerintah.)
Asisten residen Havelaar membela masyarakat lokal yang tertindas, orang-orang
Jawa, namun para atasannya yang warganegara Belanda dan masyarakat lokal yang
mempunyai kepentingan bisnis dengan Belanda, beramai-ramai menentangnya.
Sejumlah kisah tentang masyarakat lokal dirangkaikan dalam buku ini,
misalnya, kisah tentang Saidjah dan Adinda. Di antara kalimat-kalimat tentang
kisah cinta yang mengharukan, tersirat tuduhan tentang eksploitasi dan
kekejaman yang menjadikan orang-orang Jawa sebagai korbannya. Pada bagian akhir
buku ini, Multatuli menyampaikan permintaan secara sungguh-sungguh langsung
kepada Raja William III, yang dalam posisinya sebagai kepala negara, adalah
yang paling bertanggung jawab untuk kesewenang-wenangan dan korupsi
pemerintahan di Hindia Belanda.
Pada awalnya, buku ini menerima banyak kritik, tetapi kemudian segera
menimbulkan perdebatan dan dicetak ulang beberapa kali. Buku ini masih
diterbitkan sampai sekarang dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 140 bahasa.
Pada tahun 1999, penulis Indonesia Pramoedya Ananta Toer merujuk buku ini dalam
the New York Times sebagai "Buku yang Membunuh
Kolonialisme".
Pada tahun 1960 Pramoedya Ananta
Toer menulis novel berjudul Korupsi yang berlatar belakang rezim orde lama. Novel
ini diterbitkan pertama kali tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun 2002 oleh
Hasta Mitra. Novel ini terdiri dari 14 bab dan bercerita tentang seorang pegawai
negeri bernama Bakir. Tapi sayang sekali, generasi muda Indonesia tidak
banyak mengenal karya Pramoedya dibanding pembacanya di luar negeri.
Di zaman Orde Baru muncul Ahmad
Tohari dengan novel Orang-Orang Proyek. Tentang kisah seorang insinyur bernama Kabul yang tak bisa menguraikan dengan baik hubungan
antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan sebuah proyek dengan
keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah kejujuran dan kesungguhan
sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih
karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan
bersama?
Memahami proyek pembangunan
jembatan di sebuah desa bagi Kabul,
insinyur yang mantan aktivis kampus, sungguh suatu pekerjaan sekaligus beban
psikologis yang berat. "Permainan" yang terjadi dalam proyek itu
menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan menjadi taruhannya, dan
masyarakat kecillah yang akhirnya menjadi korban. Akankah Kabul bertahan pada
idealismenya? Akankah jembatan baru itu mampu memenuhi dambaan lama penduduk
setempat?
Setelah beberapa daftar karya
sastra itu lalu tak terhitung lagi karya-karya lainnya yang membicarakan,
mengkritik maupun secara tidak langsung menghipnotis pembacanya untuk memusuhi
korupsi. Di bebagai zaman akan selalu terbit novel, cerpen, esai, puisi, drama
dan sebagainya menantang korupsi melalui
estetika sastra.
Ketika sastra muncul sebagai
kekuatan alternatif yang mampu membentuk pola pikir masyarakat maka masalah
yang biasanya muncul adalah masih rendahnya minat dan apresiasi sastra dari
masyarakat terutama di ruang-ruang edukasi. Sastra sebagai salah satu media
informasi tentang masa lalu yang berkaitan dengan sejarah suatu bangsa bisa menjadi spirit hidup dan yang bisa
dikembangkan oleh generasi-generasi selanjutnya. Jika sejak kecil anak-anak
kurang mendapatkan pendidikan tentang apresiasi sastra setelah agama, sangat
sulit mengharapkan mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia yang
memiliki kekayaan spiritualitas yang dapat membuatnya hidup terhormat.
Kekuatan spiritualis bisa
terlahir dari mana saja. Gemblengan pendidikan agama yang dimulai dari rumah
adalah contoh nyata. Tapi tidak semua orang beruntung pernah memperoleh
pendidikan agama yang kuat dari keluarga.
Gempuran kultur hedonisme yang telah merangsek ke dalam lingkungan kita
di hari –hari ini benar-benar menyulitkan untuk memberikan pencerahan akhlak
individu yang telah terkontaminasi budaya materialisme.
Namun masih ada satu celah yang
bisa disusupi. Gaya
materialisme itu sebenarnya masih bisa ‘diracuni’ dengan menyuntikkan
paham-paham yang ideal dari karya-karya sastra. Tinggal gerakan menumbuhkan
minat baca yang harus semakin digenjot secara simultan.
Tingkat apresiasi sastra yang rendah di Indonesia dapat dikaitkan dengan
maraknya kasus korupsi dan dekadensi moral lainnya. Tidak bisa disalahkan jika
ada yang lantang menuding dengan tegas bahwa kurikulum pendidikan adalah
biangnya. Dalam sistem kurikulum pendidikan
yang cenderung mengekang kreativitas anak didik di sekolah, khususnya yang
berkaitan dengan apresiasi sastra, bangsa kita benar-benar menjadi bangsa yang
miskin spiritualitas. Upaya meningkatkan apresiasi sastra (termasuk sastra
klasik) untuk melawan korupsi dapat dimulai dengan membenahi sistem dan kurikulum pendidikan dengan benar.
Untuk menolong sistem dan
kurikulum pendidikan yang lemah, mau tidak mau harus digenjot gerakan
menumbuhkan minat baca. Telah terbukti di beberapa negara maju, minat baca jauh
lebih efektif membangun sumber daya
manusia intelektual sekaligus moralis dibanding pendidikan formal. Keberpihakan
pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan kondusif terhadap pendidikan
non-formal semestinya telah membuka ruang-ruang yang sangat lapang.
Setelah agama sebagai kekuatan
pertama, maka kekuatan kedua adalah apresiasi sastra untuk mengeliminir kasus
korupsi. Apresiasi sastra hanya bisa tumbuh dengan baik dari sistem dan
kurikulum pendidikan yang tidak kaku. Di samping sistem pendidikan, sumber daya
manusia terdidik hanya bisa didukung dengan minat baca dan literatur yang
berkualitas. Di ranah inilah karya-karya sastra harus menjadi salah satu menu
utamanya.