Home » » Ketika Sastra Melawan Korupsi

Ketika Sastra Melawan Korupsi

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 08 Februari 2010 | Februari 08, 2010


Di berbagai episode sejarah, zaman dan belahan bumi, karya sastra 'seburuk' apa pun bisa mendidik pembacanya untuk bersikap kritis dalam memilih dan memihak nilai-nilai moral yang disajikannya. Individu-individu maupun komunal yang dicuci otaknya  melalui moralitas karya sastra sebenarnya merupakan aset besar bangsa untuk memperbaiki sistem dan struktural. Hal itu bisa disebut sebagai sisi unik dari sastra. Sastra bisa digunakan sebagai salah satu alat untuk  melawan korupsi.

Korupsi  telah menjadi salah satu kata yang paling  populer di dunia. Kata itu telah berhasil menjadi makhluk paling menyeramkan sejak negara-negara di dunia menemukan realitas bahwa korupsi lebih menghancurkan dibanding  revolusi. Korupsi telah disepakati sebagai penghancur paling efektif bagi sebuah tatanan. Mulai dari ruang sosial sampai lingkup besar bernama negara. Hanya nilai-nilai spiritualitas yang selalu menjadi benteng terakhir untuk membendungnya. Dekadensi moral yang juga berhasil merangsek dan meminggirkan agama, menjadikan orang-orang mencari kekuatan kedua setelah agama. Kekuatan kedua yang masih bisa diharapkan adalah kebangkitan kembali apresiasi sastra.

Ketika sastra melawan korupsi maka akan terbayang teks-teks estetika yang berperang melawan sebuah bentuk kejahatan. Ini bisa juga disebut sebagai pertempuran klasik antara hitam dan putih. Sastra dengan gayanya yang khas mewakili wilayah gagasan, ranah ide dan moralitas di satu kubu lalu di kubu lainnya, korupsi yang mewakili dunia hedonisme. Sastra bisa tampil sebagai orator. Bentuk ini bisa ditemui dalam puisi-puisi protes dan semacamnya. Di waktu  yang lain sastra bisa muncul sebagai teks-teks  pencerahan  yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir secara halus.

Sastra dengan berbagai latar ideologi penulisnya ternyata sejak lama telah menyumbangkan energi perlawanan tegas terhadap korupsi. Pada dua dasawarsa abad ke-20 novel Hikayat Kadiroen telah ditulis oleh Semaoen. Dalam novel bergaya realisme-sosial ini terdapat ide-ide dasar komunis tentang perlawanan terhadap kaum borjuis dan upaya menuju kesetaraan kelas.

Jauh sebelumnya dari ideologi berbeda, pada tahun 1859 Multatuli pun ternyata telah menulis Max Havelaar of de Aoffieveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappiij (Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda) yang memuat kisah tentang penguasa-penguasa pribumi maupun kolonial yang korup. Multatuli alias Douwes Dekker akhirnya berhasil membukakan mata politisi dan masyarakat Belanda saat itu tentang kebobrokan di negeri jajahannya, Nusantara.

Eduard Douwes Dekker, seorang pegawai pemerintah yang kecewa di Hindia Belanda melalui buku ini mengkritik kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Buku tersebut merupakan bingkai dari berbagai jalinan kisah cerita. Bermula dari kisah tentang Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi dan contoh yang tepat tentang seorang borjuis kecil yang membosankan dan kikir, yang menjadi simbol bagaimana Belanda mengeruk keuntungan dari koloninya di Hindia Belanda. Suatu hari, mantan teman sekelasnya (Sjaalman) menjenguk Droogstoppel dan memintanya menerbitkan sebuah buku.

Selanjutnya –disela oleh komentar Droogstoppel- adalah kisah tentang buku itu yang secara garis besar menceritakan pengalaman nyata Multatuli (alias Max Havelaar) sebagai asisten residen di Hindia Belanda. (Sebagian besar adalah pengalaman penulis Eduard Douwes Dekker sendiri sebagai pegawai pemerintah.) Asisten residen Havelaar membela masyarakat lokal yang tertindas, orang-orang Jawa, namun para atasannya yang warganegara Belanda dan masyarakat lokal yang mempunyai kepentingan bisnis dengan Belanda, beramai-ramai menentangnya.

Sejumlah kisah tentang masyarakat lokal dirangkaikan dalam buku ini, misalnya, kisah tentang Saidjah dan Adinda. Di antara kalimat-kalimat tentang kisah cinta yang mengharukan, tersirat tuduhan tentang eksploitasi dan kekejaman yang menjadikan orang-orang Jawa sebagai korbannya. Pada bagian akhir buku ini, Multatuli menyampaikan permintaan secara sungguh-sungguh langsung kepada Raja William III, yang dalam posisinya sebagai kepala negara, adalah yang paling bertanggung jawab untuk kesewenang-wenangan dan korupsi pemerintahan di Hindia Belanda.

Pada awalnya, buku ini menerima banyak kritik, tetapi kemudian segera menimbulkan perdebatan dan dicetak ulang beberapa kali. Buku ini masih diterbitkan sampai sekarang dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 140 bahasa. Pada tahun 1999, penulis Indonesia Pramoedya Ananta Toer merujuk buku ini dalam the New York Times sebagai "Buku yang Membunuh Kolonialisme".

Pada tahun 1960 Pramoedya Ananta Toer menulis novel berjudul Korupsi yang berlatar belakang rezim orde lama. Novel ini diterbitkan pertama kali tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun 2002 oleh Hasta Mitra. Novel ini terdiri dari 14 bab dan bercerita tentang seorang pegawai negeri bernama Bakir. Tapi sayang sekali, generasi muda Indonesia tidak banyak mengenal karya Pramoedya dibanding pembacanya di luar negeri.

Di zaman Orde Baru muncul Ahmad Tohari dengan novel Orang-Orang Proyek. Tentang kisah seorang insinyur bernama Kabul yang  tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan sebuah proyek dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?

Memahami proyek pembangunan jembatan di sebuah desa bagi Kabul, insinyur yang mantan aktivis kampus, sungguh suatu pekerjaan sekaligus beban psikologis yang berat. "Permainan" yang terjadi dalam proyek itu menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan menjadi taruhannya, dan masyarakat kecillah yang akhirnya menjadi korban. Akankah Kabul bertahan pada idealismenya? Akankah jembatan baru itu mampu memenuhi dambaan lama penduduk setempat?

Setelah beberapa daftar karya sastra itu lalu tak terhitung lagi karya-karya lainnya yang membicarakan, mengkritik maupun secara tidak langsung menghipnotis pembacanya untuk memusuhi korupsi. Di bebagai zaman akan selalu terbit novel, cerpen, esai, puisi, drama dan sebagainya menantang korupsi melalui  estetika sastra.

Ketika sastra muncul sebagai kekuatan alternatif yang mampu membentuk pola pikir masyarakat maka masalah yang biasanya muncul adalah masih rendahnya minat dan apresiasi sastra dari masyarakat terutama di ruang-ruang edukasi. Sastra sebagai salah satu media informasi tentang masa lalu yang berkaitan dengan sejarah suatu bangsa  bisa menjadi spirit hidup dan yang bisa dikembangkan oleh generasi-generasi selanjutnya. Jika sejak kecil anak-anak kurang mendapatkan pendidikan tentang apresiasi sastra setelah agama, sangat sulit mengharapkan mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia yang memiliki kekayaan spiritualitas yang dapat membuatnya hidup terhormat.

Kekuatan spiritualis bisa terlahir dari mana saja. Gemblengan pendidikan agama yang dimulai dari rumah adalah contoh nyata. Tapi tidak semua orang beruntung pernah memperoleh pendidikan agama yang kuat dari keluarga.  Gempuran kultur hedonisme yang telah merangsek ke dalam lingkungan kita di hari –hari ini benar-benar menyulitkan untuk memberikan pencerahan akhlak individu yang telah terkontaminasi budaya materialisme.

Namun masih ada satu celah yang bisa disusupi. Gaya materialisme itu sebenarnya masih bisa ‘diracuni’ dengan menyuntikkan paham-paham yang ideal dari karya-karya sastra. Tinggal gerakan menumbuhkan minat baca yang harus semakin digenjot secara simultan.

Tingkat  apresiasi sastra yang rendah  di Indonesia dapat dikaitkan dengan maraknya kasus korupsi dan dekadensi moral lainnya. Tidak bisa disalahkan jika ada yang lantang menuding dengan tegas bahwa kurikulum pendidikan adalah biangnya. Dalam sistem  kurikulum pendidikan yang cenderung mengekang kreativitas anak didik di sekolah, khususnya yang berkaitan dengan apresiasi sastra, bangsa kita benar-benar menjadi bangsa yang miskin spiritualitas. Upaya meningkatkan apresiasi sastra (termasuk sastra klasik) untuk melawan korupsi dapat dimulai dengan membenahi  sistem dan kurikulum pendidikan dengan  benar.

Untuk menolong sistem dan kurikulum pendidikan yang lemah, mau tidak mau harus digenjot gerakan menumbuhkan minat baca. Telah terbukti di beberapa negara maju, minat baca jauh lebih efektif membangun  sumber daya manusia intelektual sekaligus moralis dibanding pendidikan formal. Keberpihakan pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan kondusif terhadap pendidikan non-formal semestinya telah membuka ruang-ruang yang sangat lapang.

Setelah agama sebagai kekuatan pertama, maka kekuatan kedua adalah apresiasi sastra untuk mengeliminir kasus korupsi. Apresiasi sastra hanya bisa tumbuh dengan baik dari sistem dan kurikulum pendidikan yang tidak kaku. Di samping sistem pendidikan, sumber daya manusia terdidik hanya bisa didukung dengan minat baca dan literatur yang berkualitas. Di ranah inilah karya-karya sastra harus menjadi salah satu menu utamanya.


Share this article :

51 komentar:

  1. korupsi penyakit manusia mendunia baik dari kalangan atas maupun kalangan bawah. dari zaman dahuluuuu kala ampe skrg (dan mgkn ampe ke depan). selama manusia mengutamakan nafsu daripada nurani, korupsi ga bakal bisa ilang di dunia.

    BalasHapus
  2. wah bner kle yah, dlu sempet kuliah di fakultas sastra. meski sastra inggris seh. tp kerjaannya demo muluk jadinya kluar deh...heheheh ga betah soalnya..

    BalasHapus
  3. memang kurikulum kita bagaimana yah masa pendais cuma 2 jam mulai dari SD sampai SMA

    BalasHapus
  4. sayangnya tak semua orang suka sastra, maka kurikulum pendidikan dan pola didik keluarga serta lingkungan yang berbasis budi pekerti menjadi sesuatu yang niscaya.

    Trims, sudah berbagi

    BalasHapus
  5. wah ini artikelyg diikutkan dlm lomba ya? semoga menang ya.

    BalasHapus
  6. Wah, kami ngedukungmu sob hehehehe...

    BalasHapus
  7. Sastra juga ikut2an melawan korupsi, semoga kita bisa ya Mas.
    (kok kayak kampanye sihhh) :)

    BalasHapus
  8. yup, akar segala permasalahan yang melanda bumi Indonesia memang pada pendidikan dan akhlak

    BalasHapus
  9. Ooo berarti virus Belanda nular ke Indonesia ya.Pantasan...di zaman orde baru adalah korupsi terbesar di Indonesia:D
    Btw,saya setuju dengan ide di atas.Tapi sayangnya syair-syair atau puisi-puisi mereka kebanyakan berbentuk kritikan,sindiran atau sentilan,bukan berbentuk didikan.Yang saya ketahui aja sih bro.Moga banyak juga yang berupa didikan ya.

    BalasHapus
  10. Wah...ternyata sastra bisa menjadi sarana yang efektif untuk melawan segala bentuk korupsi...

    BalasHapus
  11. pernah baca di blog temen (lupa)
    kalo anak di ajar sastra dari kecil
    maka budi pekertinya jadi bagus
    maka ga mau melakukan kejahatan
    apalagi korupsi

    BalasHapus
  12. berantas korupsi sampai keakar-akarnya.
    mari mereformasi diri dengan penanaman nilai agama sejak dini dalam lingkungan keluarga.

    Moga Artikelnya bisa terpilih Van..

    BalasHapus
  13. Mohon maaf baru sempat mampir..
    koneksi ditmpat saya lagi trouble.

    BalasHapus
  14. korupsi penyakit yang paling merusak nomer satu, dan Indonesia negara terkorup baik di bidang ekonomi maupun hukum. jadi, Indonesia negara rusak dong??

    BalasHapus
  15. korupsi=pencuri=perampok=pemerkosa

    BalasHapus
  16. Membersihkan Korupsi Di Indonesia Itu gak Bisa Dengan SAPU Kotor. Membasmi Korupsi harus dengan SAPU yang bersih. Di Indonesia, Korupsinya bukan hanya soal korupsi Uang. Melainkan Korupsi Yang Sistemik. Dan Proses ini di biarkan terus berjalan.

    BalasHapus
  17. Sukses ya kompetisinya...semoga.

    BalasHapus
  18. wow.. mantap bang, mencoba melawan korupsi lewat pembelajaran sastra.. ^^
    btw, thanks untuk partisipasinya yaaa.. ^^

    BalasHapus
  19. saya setuju bahwa sastra memberi pengaruh besar. dari sejarahnya sudah banyak bukti. dan semoga sastra makin berkembang, dan khusus untuk artikel korupsi semoga memberi kontribusi signfikan. salam kenal bro. saya follow ya.

    BalasHapus
  20. korupsi harus dilawan dgn sastra
    saya setuju dgn opini anda

    BalasHapus
  21. Minat baca memang agak sulit ditumbuhkan jika tidak dengan kesadaran diri.
    Padahal dengan membaca kita bisa melihat dunia.

    BalasHapus
  22. Sastra menggugah di setiap perjalanan sejarah manusia.

    BalasHapus
  23. kami muak dengan ketidak adilan dan keserakahan...jangan samakan tikus dengan para koruptor krn tikus lebih mulia dibandingkan para koruptor yg menjijikkan itu...

    BalasHapus
  24. met sore bang...
    tulisanku ttg korupsi belom jadi2 juga neh

    BalasHapus
  25. salam sejahtera
    saya sangat setuju bahwa sastra bisa melawan korupsi
    salut untuk bang Ivan
    saya tunggu karya yang berikutnya

    BalasHapus
  26. Bener sob, banyak cara yang bisa dilakukan untuk melawan tindak korupsi dan cara seperti sastra, lagu ataupun lainnya memang bisa dibilang cukup ampuh dan membuat kuping koruptor panas hehehe. Apalagi cara ini merupakan wujud kekecewaan dari dalam hati dengan menuangkannya pada sarana yang tepat dan kreatif. Jadi banyak pihak yang menghargainya. thank

    BalasHapus
  27. hancurkan korupsi.......!!!!!!!1

    BalasHapus
  28. saya suka dengan sastra yang bisa menginspirasi. disisi lain, saya juga suka sastra yang mampu menggerakan orang untuk memberantas korupsi

    BalasHapus
  29. Mas, ini untuk ikutan kompetisi di blog mas Joddie yah...??? keren banget tulisannya mas. Semoga menang yah.. Dan, saya segera menyusul karyanya. Insya Allah..

    BalasHapus
  30. Setuju, semua lini, semua bidang harus melawan korupsi. Sastra melawan korupsi, mantap dan gaung pasti menggelegar.

    BalasHapus
  31. Artikelnya mantap nih... aku malah belum kepikiran bisa melawan korupsi lewat sastra.
    Ide yang bagus, Bang.

    BalasHapus
  32. Ikutan lomba anti korupsi ya? Semoga menang deh.. karena artikel yang disajikan bener-2 mak nyuuuuss..

    BalasHapus
  33. sobat....kenapa web cerita inspirasi ndak bisa di akses?apa over load bandwidth nya yah? hebat bgt pengaruh kontes ini....oh ya.....rencananya sih aq mau submit artikel q yang baru...tapi masih belum bisa nih....

    BalasHapus
  34. sastra bisa jadi ampuh untuk mencegah korupsi seperti sastra pada revolusi perancis

    BalasHapus
  35. Sebuah ide yang mulia ini untuk kontes ya bang selamat yah mudah-mudahan menang

    BalasHapus
  36. Ayo semangat lagi nge-blog, apalagi jalan jalan pagi udah ketemu konten berharga seperti konten sobat yang ini, sobat… saya undang untuk follow-followan, semoga undangan ini bersambut baik

    BalasHapus
  37. haloooo banggggggggggg mampir lagi deeeh akhirnya

    BalasHapus
  38. KOrupsi adalah buldozer terhebat penghancur negeri...

    BalasHapus
  39. artikel yang mantap mas....moga sukses di kontes ini....salam persahabatan......

    BalasHapus
  40. Keren mas artikelnya. Semoga berhasil..

    BalasHapus
  41. sukses selalu, hidup sastra buat berantas korupsi :)

    BalasHapus
  42. kereeeennn..semangat launching sastra dimana mana yah :D
    heheh

    BalasHapus
  43. lawan korupsi dengan apa aja

    btw maaf ya mas baru berkunjung...istri baru sembuh nih..hehe..

    semoga menang mas lombanya...

    BalasHapus
  44. Terimakasih untuk semua. Mari berantas korupsi dengan memulai dari sendiri.

    BalasHapus
  45. ayo kita lawan korupsi dengan kejaaaaaaaaaaaaaammmmmmmmmmmmmmm

    BalasHapus
  46. Seperti kata pameo :
    Kalau politisi kotor,maka sastrawan yang membersihkan. Tapi jika sastrawan yang kotor, tak ada lagi yang mampu membersihkan!

    BalasHapus
  47. Korupsi, bisa dilawan dengan apa saja. dngn penegakan hukum, dengan demo, dengan Opini. tapi kalo Korupsi dilawan dengan Sastra akan menarik jadinya. karena beraSAl dari dunia yang berlawanan

    BalasHapus
  48. salam kenal mas bro dari bri :)

    BalasHapus
  49. All- terimakasih kunjungan dan komentarnya ya. Salam.

    BalasHapus
  50. Menarik sekali. Koruptorpun memakai pena untuk melakukan aksinya. Kenapa tidak, gerakan anti korupsi dapat pula melawannya dengan pena atau tulisan khususnya susastra. Sangat mungkin.
    Selamat ya...dan sukses selalu. Salam kenal.

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday