Home » » Pamflet Cinta Dan Para Pembangkang

Pamflet Cinta Dan Para Pembangkang

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 11 Maret 2010 | Maret 11, 2010


Puisi bagi seorang demonstran adalah juga spanduk kata, alat pengeras suara untuk orasi, bahkan lebih anarkis daripada batu yang dilemparkan kearah tank tentara ketika tak ada lagi celah untuk sebuah kompromi. 

Puisi bagi demonstran di berbagai belahan dunia manapun kerap masih jadi ritual intelektual di tengah-tengah aksi di bawah terik matahari. Mereka yang membangkang demi perubahan namun sesekali bisa juga manis dan romantis. Anak-anak muda yang puitis tapi sebahagian besar di antara mereka kadang ditembaki.

Soe Hok Gie berorasi dengan puisi dari sela-sela buku hariannya,"Lebih baik mati, daripada memperkosa kebenaran!" Demonstran itu mengecap romantisme perjuangan idealisme sebagai mahasiswa sejak orde lama hingga peralihan orde baru. Setiap zaman mencatat buku hariannya sendiri termasuk Soe Hok Gie. Sangat puitis dan realistis. Tapi tidak semua demonstran adalah penyair. Wiji Thukul berbeda dengan Soe Hok Gie. Rendra berbeda dengan Ronggowarsito.

Pamflet Cinta
(W.S. Rendra)

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang-kabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindui wajahmu.
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.
Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjadi kaca.
Bunga-bungaan yang ajaib bertebaran di langit.
Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.
Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.
Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian
Dan lalu muncul wajahmu.
Kamu menjadi makna.
Makna menjadi harapan.
… Sebenarnya apakah harapan?
Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma!
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.
Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
*Punggungku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang…
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.
Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
Aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.
Lalu muncullah kamu,
Nongol dari perut matahari bunting,
Jam dua belas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmatku turun bagai hujan
Membuatku segar,
Tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma!
Yaaahhhh, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
Dan sedih karena kita sering terpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?
Bahagia karena nafas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena fikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.
Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.


Terlanjur bahasa seni adalah juga pamflet cinta seperti yang ditulis WS Rendra. Pada setiap angkatan muda yang memberontak di tengah berbagai bangsa yang menuntut perubahan, selalu ada puisi di samping berbagai bentuk seni lainnya. Keanehan yang sangat menarik untuk dikaji. Benarkah ada takdir bahwa estetika bahasa sastra yang bertema protes adalah pencerminan kompromi terhadap realitas yang tak mampu dilawan dalam tempo sekejap?

Share this article :

15 komentar:

  1. menikmati jadi yang pertama dulu

    BalasHapus
  2. puisi yang begitu menggelorakan semangat melawan ketidakadilan

    BalasHapus
  3. Puisinya bikin aku nangis bro...

    BalasHapus
  4. wow... puisinya memang bener-bener dahsyat mas...

    BalasHapus
  5. Puisinya emang bener-2 keren. WR Rendra emang jago buat puisi... ^_^

    BalasHapus
  6. Keras dan lembut selalu bersisian.., begitu juga demonstran dan puisi seringkali berjalan bersamaan.

    BalasHapus
  7. tiap penyair punya perjuangan sendiri.
    tapi saya pribadi agak kaget saat tau ternyata buku harian soe hok gie tidak secanggih yang saya kira.

    BalasHapus
  8. Puisi Itu Bisa Menjadi Alat Perlawanan.

    BalasHapus
  9. "Lebih baik mati daripada memperkosa kebenaran!"

    Keren... keren...

    BalasHapus
  10. Wah, si Burung camar rupanya. Meski beliau sudah meninggal, tapi karya karyanya tetap menjadi sumber inspirasi yah..?

    Beberapa waktu lalu sy sempat baca puisi ini, tp entah di mana. di koran atau di internet yah..?

    BalasHapus
  11. Pujangga yang tak lekang oleh waktu...sampai kapanpun hasil karya mereka tetap dapat di nikmati...

    Sungguh indah untaian puisi di atas....

    Oh izin seroran malam dulu di sini

    BalasHapus
  12. puisinya keren.....gambarnya keren!! kekasihku sejak jama kuliah hehehehehe Gie....sang demokrat yang puitis!

    BalasHapus
  13. saya pernah mbaca biografinya Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66.
    Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya..

    BalasHapus
  14. Luar biasa! Puisi yang dikemas dengan pilihan diksi yang menyentak, tapi tetap halus. Paradoks yang menggetarkan...

    Salam budaya!

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday