Pamflet Cinta
(W.S. Rendra)
Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang-kabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindui wajahmu.
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindui wajahmu.
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.
Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjadi kaca.
Bunga-bungaan yang ajaib bertebaran di langit.
Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.
Sepi menjadi kaca.
Bunga-bungaan yang ajaib bertebaran di langit.
Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.
Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.
Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian
Dan lalu muncul wajahmu.
Suara lautan adalah suara kesepian
Dan lalu muncul wajahmu.
Kamu menjadi makna.
Makna menjadi harapan.
… Sebenarnya apakah harapan?
Makna menjadi harapan.
… Sebenarnya apakah harapan?
Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma!
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma!
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.
Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
*Punggungku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang…
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.
*Punggungku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang…
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.
Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
Aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.
Aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.
Lalu muncullah kamu,
Nongol dari perut matahari bunting,
Jam dua belas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmatku turun bagai hujan
Membuatku segar,
Tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma!
Nongol dari perut matahari bunting,
Jam dua belas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmatku turun bagai hujan
Membuatku segar,
Tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma!
Yaaahhhh, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
Dan sedih karena kita sering terpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
Dan sedih karena kita sering terpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?
Bahagia karena nafas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena fikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.
Bahagia karena nafas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena fikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.
Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.
Terlanjur bahasa seni adalah juga pamflet cinta seperti yang ditulis WS Rendra. Pada
setiap angkatan muda yang memberontak di tengah berbagai bangsa yang
menuntut perubahan, selalu ada puisi di samping berbagai
bentuk seni lainnya. Keanehan yang sangat menarik untuk dikaji.
Benarkah ada takdir bahwa estetika bahasa sastra yang bertema protes
adalah pencerminan kompromi terhadap realitas yang tak mampu dilawan
dalam tempo sekejap?
menikmati jadi yang pertama dulu
BalasHapuspuisi yang begitu menggelorakan semangat melawan ketidakadilan
BalasHapusPuisinya bikin aku nangis bro...
BalasHapuswow... puisinya memang bener-bener dahsyat mas...
BalasHapusPuisinya emang bener-2 keren. WR Rendra emang jago buat puisi... ^_^
BalasHapuskeren puisinya.
BalasHapusKeras dan lembut selalu bersisian.., begitu juga demonstran dan puisi seringkali berjalan bersamaan.
BalasHapustiap penyair punya perjuangan sendiri.
BalasHapustapi saya pribadi agak kaget saat tau ternyata buku harian soe hok gie tidak secanggih yang saya kira.
Puisi Itu Bisa Menjadi Alat Perlawanan.
BalasHapus"Lebih baik mati daripada memperkosa kebenaran!"
BalasHapusKeren... keren...
Wah, si Burung camar rupanya. Meski beliau sudah meninggal, tapi karya karyanya tetap menjadi sumber inspirasi yah..?
BalasHapusBeberapa waktu lalu sy sempat baca puisi ini, tp entah di mana. di koran atau di internet yah..?
Pujangga yang tak lekang oleh waktu...sampai kapanpun hasil karya mereka tetap dapat di nikmati...
BalasHapusSungguh indah untaian puisi di atas....
Oh izin seroran malam dulu di sini
puisinya keren.....gambarnya keren!! kekasihku sejak jama kuliah hehehehehe Gie....sang demokrat yang puitis!
BalasHapussaya pernah mbaca biografinya Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66.
BalasHapusGie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya..
Luar biasa! Puisi yang dikemas dengan pilihan diksi yang menyentak, tapi tetap halus. Paradoks yang menggetarkan...
BalasHapusSalam budaya!