Home » » Pakarena dan Multi Tafsirnya

Pakarena dan Multi Tafsirnya

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 25 September 2010 | September 25, 2010


Sepuluh penari perempuan berpakaian baju kurung sederhana melingkar mengepung enam lelaki penabuh perkusi. Genderang bertalu sangat rampak, menjadikannya riuh dan emosional. Bukan kemarahan, tetapi justru sebuah kegembiraan.

Para penari itu tak berdendang riang, tetapi justru bergerak pelan. Walaupun ritmik musik perkusinya sangat padat, tak juga menggoda penari-penari itu menggerakkan kaki dengan lincah.

Itulah Akkarena Sombali, sebuah tari kontemporer yang berangkat dari tradisi Makassar, Sulawesi Selatan. Tarian ini diciptakan oleh koreografer Wiwiek Sipala . Tarian ini kerap menghiasi panggung-panggung seni di berbagai even nasional. Terakhir menjadi sajian pertunjukan dalam pembukaan Festival Salihara Ketiga di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Kamis malam lalu.

Sebuah paradoks. Begitulah Wiwiek menyajikan tarian yang ditafsir ulang dari Pakarena, tari ritual masyarakat Makassar sebagai rasa syukur kepada dewa. Musik yang sangat ritmis tak selalu linier dengan gerakan yang riang. Justru gerakan penari-penari itu diciptakan lebih kontemplatif. Secara visual, terkesan mencekam namun terbentur oleh musik yang sangat padat. 

Pakarena biasanya diselenggarakan 3 sampai 7 hari, yang dimulai dari sore hingga menjelang fajar. Tapi, Wiwiek memadatkannya menjadi sekitar 28 menit saja. Tentu, riset yang panjang terhadap tari ini telah ia lakukan sejak 1978. Garapannya lebih fokus menafsirkan Pakarena sebagai tarian ritual yang lebih menggambarkan syukur, doa, dan keikhlasan

Pakarena terdiri atas 12 babak. Tetapi dalam tafsir ulang ini, Wiwiek hanya memasukkan 9 babak. Selebihnya belum ia jamah dan dirasa belum perlu untuk garapan ini. Konsep geraknya sangat sederhana, tetapi justru membutuhkan penjiwaan yang matang untuk melafalkan gerakan-gerakan itu. Wiwiek selalu memaknai setiap gerakan yang ia buat. Misalnya, sikap tubuh penari yang condong ke depan dan kemudian menarik diri menjadi tegap lagi, di situ Wiwiek sedang berbicara tentang kehidupan manusia.

Wiwiek juga menafsir ulang musik yang dipakai. Dulu, mereka memakai dulang, yaitu piringan logam yang fungsinya mirip dengan kentongan. "Saya mencari warna musik yang sama, karena alat ini sekarang sudah tidak ada," katanya. Musik pengiring lebih bersifat perkusif. Hanya terompet kecil yang sesekali mengisi kalimat-kalimat melodisnya.


Share this article :

9 komentar:

  1. selalu ada saja info mengenai seni dan budaya yg bisa aku ambil jika berkunjung ke rmh virtual mas ivan :)

    apa kabar mas,lama baru BW nih....^^

    BalasHapus
  2. wiiihhhh......pertamaxxxx......

    BalasHapus
  3. kangen pengen liat tarian ini, klo ga salah tarian ini aku tonton waktu semasa SMP dulu

    BalasHapus
  4. Satu lagi seni tari asli Indonesia yang diulas disini. Semoga saja tetap lestari dan tidak di klaim Malaysia lagi,,,

    BalasHapus
  5. Bangga dengan Tari Pakarena, dulu sempat belajar waktu masih SMP. Semoga Budaya kita makin maju dan tidak lagi di klaim oleh Negara lain.

    BalasHapus
  6. Pakarena biasa ditampilkan selama 3 sampai 7 hari ? Maksudnya satu tarian memakan waktu sekian lama ? Terus penarinya gak boleh berhenti ?

    BalasHapus
  7. Jadi penasaran pengen lihat Pakarena yang 12 babak... :)

    BalasHapus
  8. Pakarena?kayaknya pernah denger deh.Tapi lupa-lupa ingat lho?Nice info,bro.

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday