Latest Post

Tari Teatrikal Kostessas dan Teater Kampong: Arus Laut Yang Terdampar Di Karang

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 30 Oktober 2010 | Oktober 30, 2010


Dalam tajuknya “Menuju Masyarakat Informasi Indonesia”yang dimediasi Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informasi) Kelompok Studi Teater dan Sastra (Kostessas) mahasiswa STKIP Muhammadiyah Bulukumba mementaskan “Tari Teatrikal Panrita Lopi” berkolaborasi dengan Teater Kampong Bulukumba, Jumat (29/10). Lakon tersebut sebelumnya juga pernah dipentaskan dalam Festival Phinisi 2010 di Bira.

Mengambil stage natural di pelataran kampus STKIP Bulukumba pada waktu malam sehabis isya di antara lalu lalang mahasiswa, dosen dan masyarakat umum yang menjadi penonton dadakan. Ruang publik intelektual yang lapang dari kalangan civitas akademika dan mahasiswa seperti ini memang cukup kondusif bagi para pekerja seni yang terbiasa sulit memperoleh apresiasi secukupnya di tempat lain.

Pementasan tari teatrikal sebelumnya telah dipanaskan dengan musikalisasi puisi dari pemusik Kostessas. Segerombolan anak muda memainkan lagu-lagu balada dan puisi Jalaluddin Rumi. Perkusi dan gitar akustik pun menggema di dalam kampus. Musikalisasi puisi yang dibacakan oleh Pipi Hardiyanti, Narty Ugie dan kawan-kawan cukup berhasil menghangatkan apresiasi penonton yang sebahagian besar adalah mahasiswa yang baru saja selesai mengikuti perkuliahan.

Secara keseluruhan, pementasan teater Kampong dan Kostessas kali ini tidak begitu utuh jika menelusuri deadline jadwal pementasan yang agak telat dari rencana semula. Unsur penting lainnya dalam pementasan yang selalu menjadi momok adalah kualitas sound yang bandel. Namun sebagai kerja kreatif seni, Kosestas dan Teater Kampong masih yang paling unggul di ranah ini sebagai sebuah proses berkesenian di Bulukumba.

Dalam prolog naratifnya, Dharsyaf Pabotting, sang sutradara menyampaikan pesan,”Ini adalah salah satu bentuk penghargaan anak bangsa meski mungkin kecil terhadap Hari Sumpah Pemuda. Sembari kita menukik ke kedalaman tradisi budaya pembuatan perahu phinisi sebagai industri kreatif manusia pembuat perahu di tanah Lemo, Tanjung Bira, Bulukumba. Ikon industri lainnya yang kami tampilkan dalam proses kerja seni ini adalah tenunan tradisional di Butta Panrita Lopi yang digambarkan dalam tari teatrikal.Sudah saatnya semua elemen termasuk elemen seni memberikan kontribusi gerakanmaksimal untuk peningkatan dan pengembangan industri-industri kreatif tradisional itu. ”

Sebuah persoalan klasik akan selalu muncul, kerja-kerja seni seperti ini sekarang masih terasa sebagai arus laut yang terdampar di karang. Terasa deburnya, namun para pembuat kebijakan dan bahkan sebahagian kita hanya menikmatinya sebagai sekelebatan tontonan sebelum meninggalkan pantai. Kecuali jika penguasa bisa menangkap pesan dari pementasan itu. Industri-industri tradisional kreatif di Bulukumba, quo vadis?


Mochtar Pabottingi, Analisis Politik Yang Holistik Akibat Mencintai Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 29 Oktober 2010 | Oktober 29, 2010



Mochtar Pabottingi lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 17 Juli 1945. Buku kumpulan puisinya berjudul Dalam Rimba Bayang-bayang (2003). Ia bermukim di Jakarta.

Dia seorang Peneliti Senior di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dengan jabatan Peneliti Utama pada bidang Perkembangan Politik Nasional dengan fokus kajian Pemikiran Politik, Kelembagaan Politik. Pendidikan terakhir S3 University of Hawaii, jurusan Ilmu Politik, lulus tahun 1991

Ketegasan dalam setiap kali bertutur dan pilihan katanya yang asli diakui pria kelahiran sebuah desa di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 17 Juli 1954, sebagai buah dari kecintaannya kepada Republik. Ia mengakui rumah dan buku ikut membentuk kepribadiannya. Rumah telah membentuk karakternya seperti sekarang. Sementara buku membukanya pada keluasan cakrawala. Keduanya berjalan beriringan.

Kecintaannya pada buku bermula dari rumah orangtuanya yang terletak tiga kilometer dari Bulukumba. Pabottingi, ayahnya adalah gerilyawan penentang Belanda. Sebelum bergerilya, ayahnya membelikan buku pelajaran membaca berjudul Si Didi dan Si Minah ketika usianya genap lima tahun. Buku itu dilahap habis.

Kegemaran membaca, khususnya karya sastra, berlanjut. Mochtar yang ketika remaja tergolong nakal, jatuh hati pada puisi Soekarno berjudul "Berdiri Aku" yang bercerita tentang kecintaan kepada Tanah Air. "Saya hafal luar kepala puisi itu dan tetangga kerap minta saya membacakannya keras-keras di beranda," ujarnya mengenang, saat diwawancarai oleh sebuah media nasional.

Di tengah kesibukannya sebagai Kepala Pusat Penelitian Politik dan Kewilayahan LIPI, kegemaran masa kecilnya membaca karya sastra tetap berlanjut mulai dari angkatan Pujangga Baru sampai Milan Kundera. Intensitas bacaannya pada karya Kundera mengarah pada keterpesonaan. Pesan Kundera yang kental ditangkapnya adalah munculnya kecenderungan masyarakat untuk kembali kepada identitas atau mencari kembali identitasnya yang telah terkubur oleh ambisi materi atau kekuasaan.

Ketertarikan pada karya sastra itulah yang membuat analisis politiknya lebih holistik. Saat masih menjadi mahasiswa Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, dia aktif berpolitik bersama teman- temanya di Yogyakarta dengan membentuk kelompok studi politik "Juli 73". Dia tak pernah bisa meninggalkan puisi, sastra, dan politik. Dia mengakui adanya lingkaran unik keterkaitan sastra dan politik saat menemukan, menyukai dan hafal puisi Soekarno berjudul "Berdiri Aku".

(disarikan dari berbagai sumber)


Nostalgia Sebuah Kota Dipentaskan di Jerman

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 27 Oktober 2010 | Oktober 27, 2010



Teater dan teaterawan Indonesia tidak mati. Malah go internasional. Naskah "Nostalgia Sebuah Kota" karya Iswadi Pratama dari Teater Satu Lampung akan ditampilkan di Orangerie Theater, Koln, Jerman, pada 17-21 November 2010. Naskah yang diterjemahkan Sabine Mueller dari Koln sebagai "Nostalgie einer Stadt" itu dipentaskan sebagai bagian dari kolaborasi internasional antara seniman-seniman dari Jerman, Hungaria, Belanda, Afrika Selatan, dan Indonesia.

Lakon yang bertutur mengenai ingatan-ingatan tentang sebuah kota ini akan disutradarai Kristof Szabo (Hungaria) dan melibatkan beberapa seniman, seperti Gerburg Stoffel (perancang panggung) yang pernah bekerja untuk Pina Bausch di Tanz Theater dan Peter Papst; Gyula Berger (koreografi) merupakan senior master untuk Hungarian Modern Dance; Ivo Kovacs dan Laszlo Zsolt Bordos, dua sineas film animasi untuk layar lebar yang beberapa waktu lalu karyanya menjadi film pembuka untuk festival di Dubai. Adapun seniman Indonesia yang terlibat adalah Iswadi Pratama (penulis naskah) dan Budi Laksana (aktor), keduanya dari Teater Satu Lampung.

Dalam siaran persnya, Kristof Szabo mengatakan, dia tertarik dengan naskah Iswadi itu karena naskah tersebut memiliki perspektif yang sangat personal dan intim dalam melihat sesuatu. "Dengan intensitas bahasa yang sangat personal, naskah ini akan mengajak kita memasuki tema-tema yang sangat luas tentang kota, kenangan, benturan nilai, perubahan sosio-historis dan kultural sebuah masyarakat perkotaan. Gejala seperti ini bisa ditemukan hampir di setiap kota yang ada di dunia," kata Kristof.

Teater Satu Lampung berdiri pada 18 Oktober 1996. Hingga kini mereka telah mementaskan lebih dari 50 lakon, seperti Lysistrata karya Aristophanes, Kapai-Kapai karya Arifin C. Noor, Waiting for Godot karya Samuel Beckett, Antigone karya Jean Anouilh, Perempuan di Titik Nol, karya Nawal El Saadawi dan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

Naskah "Nostalgia Sebuah Kota" pernah dipentaskan Teater Satu Lampung di Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Utan Kayu beberapa tahun silam. Lewat pementasan itulah kelompok ini meraih meraih GKJ Award 2003 di ajang Festival Teater Alternatif Indonesia untuk kategori Naskah Terbaik I, Sutradara Terbaik III, Grup Terbaik III, dan Aktris Terbaik ke-II. Pada 2008 majalah Tempo menobatkannya sebagai Grup Teater Terbaik Indonesia.


Kain Sutra Bugis di Rusia

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 25 Oktober 2010 | Oktober 25, 2010



Peragaan busana Kain Sutra Bugis dipadukan dengan pertunjukan kesenian budaya Sulawesi Selatan berupa Tari Pa'rimpungan, Rabbana Jepeng, dan pertunjukkan prosesi adat berhasil memikat masyarakat kota di Vladimir, Rusia.

Sebanyak 250 penonton menikmati pertunjukkan yang digelar di gedung pertunjukan ekslusif Museum Vladimir-Susdal yang berjarak 210 km dari ibukota Rusia, kata Counsellor Pensosbud dan Pendidikan KBRI Moskow, Aji Surya, dikutip dari Antara London, Senin.

Pertunjukan disaksikan Wakil Gubernur Vladimir, Martinov Sergey dan Direktur Jenderal Museum Vladimir, Svetlana Mednikova serta Dubes RI untuk Rusia, Hamid Awaludin juga ditampilkan Appasiori Waju, Gandrang Bulo serta pertunjukkan simponi kecapi.

Menurut Dubes Hamid Awaludin, pemilihan Vladimir sebagai tempat pertunjukkan didasari pemikiran bahwa kota ini merupakan salah satu kota peradaban Rusia karena pernah menjadi ibukota pada zaman kerajaan di masa lalu

Irama gendang yang merupakan instrumen utama terdengar bertalu-talu terpadu manis dengan lengkingan alat tiup puik-puik serta diselingi gemuruh gong mengiringi tari-tarian yang lembut hingga enerjik. Pakaian para penari yang didominasi warna berani seperti biru, kuning dan merah menambah suasana panggung sangat semarak. Semua menjadi sajian yang menggambarkan budaya yang gagah berani namun mengedepankan kebijakan.

Penampilan peragaan busana rancangan Totok Supangat yang mengusung Sutra Bugis sebagai bahan utamanya, berhasil menarik perhatian karena kain-kain yang bermotifkan sarung atau paduan antara garis dan kotak-kotak dijadikan aneka busana wanita yang terlihat anggun dan menawan.

Keberaniannya memainkan warna kuat merupakan suatu eksperimen yang berani. "Sutra model ini memang sangat unik dan relatif lain sehingga menantang untuk dijadikan busana," ujar Totok. Totok mengatakan busana yang ditampilkan kali ini berupa pakaian yang cocok untuk musim semi hingga panas di Rusia.

Dengan bahan yang tipis dan dipadukan dengan warna cerah, membawa suasana kehidupan alam dengan mahatari yang terang. Adapun model busananya lebih berkarakter modern dan kontemporer semi eksperimental.

Uniknya dari pegelaran busana ini karena semua penari wanita yang berjumlah tujuh mahasiswi tersebut juga berperan sebagai peragawati. Dengan demikian, maka pergantian busana di balik panggung menjadi riuh dan serba cepat. Tidak jarang mereka terlihat begitu nervous karena harus segera manggung.

Setelah sukses di Vladimir, tim kesenian Sulsel akan mengelar pertunjukan ke kota Moskow, Kazan dan berakhir di St. Petersburg. Paket pentas seni yang dimotori Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dan KBRI Moskow ini berlangsung selama seminggu.

source: Antara
            sulsel.go.id
 

 

Tari Teatrikal Teater Kampong di Festival Phinisi 2010

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 24 Oktober 2010 | Oktober 24, 2010


Teater Kampong mementaskan "Tari Teatrikal Talenta Panrita Lopi" sebagai salah satu kerja kreatif seniman-seniman lokal dalam Festival Phinisi 2010 di Bira, Bulukumba. Festival Phinisi 2010 berlangsung sepanjang 22-25 Oktober. Perhelatan tersebut diwarnai mozaik kegiatan yang didominasi identifikasi perahu phinisi sebagai ikon acara tersebut. Semisal Pabbitte Passapu dan Lomba Miniatur Perahu Phinisi dan lain-lainnya.

Pementasan "Tari Teatrikal Talenta Panrita Lopi" disutradarai oleh Dharsyaf Pabottingi, instrumen musik oleh Mattawang Daeng Maddatuang dan kawan-kawan serta Umbo sebagai koreografer.

Pementasan Teater Kampong kali ini merupakan hasil kolaborasi dengan Kelompok Studi sastra dan Teater Kampus STKIP Muhamamadiyah Bulukumba. Teater Kampong masih seperti magma sebagaimana even-even sebelumnya. Sejak berdiri di Bulukumba pada tahun 1979 di bawah tangan dingin seniman-budayawan-teaterawan, Dharsyaf Pabottingi, Teater Kampong telah meraih berbagai penghargaan di tingkat regional dan nasional. 

Hingga kini Teater Kampong masih tetap rutin menyelenggarakan festival teater tahunan serta pelatihan teater pelajar dan mahasiswa di Bulukumba. Ketika dunia teater mengalami titik-titk cukup menyakitkan  dalam  kegelisahan global justru Teater Kampong masih seperti karang. Masih kokoh berjaga di bawah daun-daun kelapa, di atas pasir putih dan perahu Phinisi.

Sastra dan Seni di Balik Revolusi

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 21 Oktober 2010 | Oktober 21, 2010

Bagaimana pun Sastra dan seni pada umumnya tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik. Sastra dan seni memiliki kontribusi dalam perkembangan kebangsaan suatu negara. Semisal Gerakan Romantisme yang merupakan sebuah gerakan seni, sastra dan intelektual yang berasal dari Eropa Barat abad ke-18 pada masa Revolusi Industri. Gerakan ini sebagian merupakan revolusi melawan norma-norma kebangsawanan, sosial dan politik dari periode Pencerahan dan reaksi terhadap rasionalisasi terhadap alam, dalam seni dan sastra. 

Gerakan ini mengangkat seni rakyat, alam dan kebiasaan, serta menganjurkan epistemologi yang didasarkan pada alam, termasuk aktivitas manusia yang dikondisikan oleh alam dalam bentuk bahasa, kebiasaan dan tradisi. Ia dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Pencerahan dan mengagungkan medievalisme serta unsur-unsur seni dan narasi yang dianggap berasal dari periode Pertengahan. Nama "romantik" sendiri berasal dari istilah "romans" yaitu narasi heroik prosa atau puitis yang berasal dari sastra Abad Pertengahan dan Romantik.


Ideologi dan kejadian-kejadian sekitar Revolusi Perancis dan Revolusi Industri dianggap telah mempengaruhi gerakan ini. Romantisisme mengagungkan keberhasilan-keberhasilan dari apa yang dianggapnya sebagai tokoh-tokoh heroik dan seniman-seniman yang keliru dipahami, dan yang telah mengubah, masyarakat. Ia juga mengesahkan imajinasi individu sebagai otoritas kritis yang memungkinkan kebebasan dari pemahaman klasik tentang bentuk dalam seni. Dalam penyampaian gagasan-gagasannya gerakan ini cenderung untuk kembali kepada apa yang dianggapnya sebagai keniscayaan sejarah dan alam.

Bicara mengenai perubahan, sastra mestinya berusaha menggambarkan realitas dalam karya dengan cara mempertanyakan persoalan-persoalan yang tidak selesai dalam ranah politis dan mencoba menawarkan jalan, meski tidak harus. Upaya-upaya semacam ini perlu karena sejarah kadangkala sangat dekat dengan kekuasaan. Untuk mendeteksi hal-hal yang luput atau sengaja dihilangkan oleh rezim adalah tugas sastrawan.

Ada dua pilar penting yang menjadi ujung tombak revolusi sebuah negara. Itulah sebabnya sastra tidak bisa dilepaskan dari wilayah politik. Dua hal penting itu adalah sastra dan gerakan massa. Sastra selalu jujur mengungkap realitas sehingga ia bisa menjadi media untuk melawan. Dalam revolusi sosial diperlukan karya sastra yang bisa mendobrak zamannya dan berani mengungkap peristiwa-peristiwa yang dibungkam karena alasan politis dan karya sastra yang memiliki cita-cita pembebasan sosial.

Gelagat ini menunjukkan bahwa sastra memiliki harapan besar pada generasi muda kita. Tapi  generasi yang dimaksud mungkin masih memerlukan perdebatan  dan pertanyaan, “Apakah mereka memang telah lahir?”


Novel 'Bugisku Tak Sekadar Pinisi' Karya Jac

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 19 Oktober 2010 | Oktober 19, 2010





Memahami Bugis dalam sebuah novel? Tunggu saja Novel 'Bugisku Tak Sekadar Pinisi' Karya Jac. Jacqueline Tuwanakotta adalah novelis asli Ambon, Maluku. Jac, demikian namanya disapa, Ia mantan  pramugari pesawat Garuda. Sudah 15 tahun Jac menekuni profesi yang telah membawanya keliling Indonesia dan dunia ini. Rupanya, syndrome jenuh juga menghinggapinya sehingga memilih beralih profesi sebagai penulis novel.

Sudah sebulan lebih dia di Makassar untuk merampungkan novel yang ditulisnya sejak setahun lalu. Meski bukan asli Sulsel, namun memilih menulis novel mengenai budaya Bugis.

Novel itu diberi judul "Bugisku Tak Sekadar Pinisi", yang rencananya akan diluncurkan 12 November mendatang di Kampus Unhas. Jac  memang asli Ambon tetapi lebih tertarik menulis novel tentang kebudayaan Bugis. Alasan  Jac, di Indonesia hanya ada dua daerah yang kebudayaannya diakui dunia sangat unik dan tua yakni Bugis dan Batak.

Dalam novel setebal 200 halaman itu, Jac lebih banyak mengupas tentang pesan yang terkandung dalam epos I La Galigo.  Jac juga banyak menceritakan tentang kehebatan perahu pinisi yang menjelajahi dunia. Padahal, perahu tradisional tersebut tidak menggunakan paku, melainkan pacak sebagai alat untuk merekatkan kayu sebagai bahan utama perahu.
Daya tarik lainnya bagi Jac sehingga banyak bercerita soal pinisi, karena ternyata pinisi ini dibuat oleh orang Lemo, Bulukumba. Sementara yang menggunakan perahu tersebut adalah Sawerigading yang berasal dari Luwu.

Agar novel yang ditulisnya lebih mengena di hati para pembaca novel di daerah ini, Jac mengaku sempat menetap di Tanjung Bira, Bulukumba, selama sepekan. Dia lebih banyak bergaul dengan nelayan guna melengkapi referensi novelnya. Tak hanya di Bira, Jac juga sempat masuk ke kawasan Ammatoa Kajang. Untuk merampungkan novel tersebut, ia butuh waktu satu setengah tahun. Jac mengaku, menulis novel tentang Bugis ini cukup sulit.

Novel Biografis yang Digandrungi Wanita Amerika

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 18 Oktober 2010 | Oktober 18, 2010


Eat Pray Love, sebuah novel biografis karya Elizabeth Gilbert, mengukuhkan angka yang cukup fantastis dalam sejarah penerbitannya. Dalam sepekan penerbitannya, novel biografis karya wartawan dan novelis New York, Amerika Serikat, itu dicetak 35 ribu kopi.

Elizabeth mengatakan bahwa ia punya tiga “wasiat” kepada para wanita di Amerika. Pertama, setelah bangun tidur, tanyakan kepada dirimu apa yang sesungguhnya diinginkan. Kedua, rajinlah menulis apa yang menjadi kebahagiaanmu dan ulangi lagi untuk esok. Ketiga, tanamkan kata positif sebagai mantra pembangkit jiwa.

Novel biografis Elizabeth Gilbert bertengger di daftar New York Times Bestseller sepanjang 150 pekan. Novel itulah yang membuat para wanita di Amerika, terutama yang telah berumah tangga, sangat menggandrunginya. Dalam novelnya itu, Liz--sapaan akrab Elizabeth Gilbert--mengisahkan perihal dirinya yang acap terbangun pada pukul tiga dinihari dan mengisi hidupnya di dalam kamar mandi. Kebiasaan itu dijalaninya setelah ia bercerai dengan suaminya.

Dalam kegamangan hidupnya itu, Elizabeth kemudian memutuskan untuk melakukan perjalanan selama setahun ke tiga negara: Italia, India, Indonesia (Bali)--seperti diangkat dalam film yang dibintangi Julia Roberts dan Christine Hakim berjudul sama dengan novelnya: Eat Pray Love.
 
(berbagai sumber)


Pameran Celengan Museum Anak Kolong Tangga

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 17 Oktober 2010 | Oktober 17, 2010


Celengan bagi masyarakat nusantara tempo dulu merupakan suatu simbol seni, kepercayaan pada mitos dan kekuatan dari imajinasi manusia di beberapa daerah Indonesia.

Museum Anak Kolong Tangga Yogyakarta akan menggelar pameran bertajuk "Celengan, Simpan Satu Rupiah" di Benteng Vredeburg Yogyakarta pada 23 Oktober hingga 10 November 2010. Pameran akan menampilkan 500 koleksi celengan yang dimiliki museum anak pertama di Indonesia itu.


Ratusan koleksi celengan yang akan dipamerkan sebagian besar adalah artefak asli masa Majapahit. Salah satu koleksi  celengan  zaman Majapahit itu ada yang berbentuk babi. Celengan lain yang akan ditampilkan adalah kelinci terracota jawa, ayam, dan katak. Bentuk yang beragam dari celengan tradisional dan kuno itu memiliki nilai budaya masyarakat Indonesia, khususnya jawa.
Koordinator Humas Museum Anak Kolong Tangga Marisa Latifa, di Yogyakarta, menjelaskan, pameran juga akan menampilkan benda, artikel, dan dokumen yang ada kaitannya dengan celengan. Celengan bukan hanya sekadar salah satu kegiatan ekonomi semata, tetapi ada aspek lain yang belum banyak kita ketahui.


Pameran diselenggarakan sebagai wujud kepedulian Yayasan Dunia Damai sebagai pihak pengelola Museum Anak Kolong Tangga terhadap kebiasaan menabung anak-anak Indonesia. Selain itu, juga bertujuan untuk melestarikan fungsi celengan tradisional yang terbuat dari tanah liat dan memiliki sejarah yang begitu panjang sejak zaman Majapahit.


Festival Phinisi 2010 di Bira

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 15 Oktober 2010 | Oktober 15, 2010

Setelah sempat tertunda tahun lalu, akhirnya Pemkab Bulukumba, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan even organizer (EO) Makassar Promosindo menggelar kegiatan Festival Phinisi di Kawasan Wisata Pantai Bira, Kawasan Ammatoa Kajang, Desa Nelayan Pantai Kalumeme, serta Kawasan Pembuatan Perahu Pinisi Tanah Beru, pada 22 - 25 Oktober 2010.

Even budaya ini akan dihadiri Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI diwakili Direktur Promosi Pariwisata Dalam Negeri RI, serta Gubernur Sulsel beserta rombongan. Mereka akan disambut dengan pengalungan bunga, dan tabuhan gendang. Ada juga penampilan tarian tradisional Bulukumba (Salonreng dan Pabbitte Passapu), serta tari nelayan, Pembacaan Puisi dengan Visualisasi tentang potensi pariwisata Kabupaten Bulukumba, dan laporan Bupati Bulukumba.

Sebanyak 150 pengrajin perahu phinisi akan memperlihatkan kepiawaiannya dalam membuat miniatur perahu phinisi dari keping-kepingan kayu dan lempengan badan perahu sampai terbentuknya miniatur perahu phinisi yang utuh.  Bulukumba Expo sebagai bagian even ini akan dilaksanakan di lapangan tenis kawasan Pantai Bira, diikuti oleh instansi pemerintah dan swasta se-Sulawesi Selatan. 

 

Museum Radyapustaka Selamatkan 164 Naskah Kuno



Sebanyak 164 naskah kuno  yang kondisinya sudah memprihatinkan koleksi Museum Radyapustaka Solo diselamatkan dengan cara digitalisasi dan sebagian dikonservasi dan penjilidan ulang.
 
Kegiatan itu dilakukan museum itu bersama Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dalam memperingati 120 tahun Museum Radyapustaka.

Radyapustaka, yang merupakan museum tertua di Indonesia itu memiliki koleksi naskah-naskah kuno dan kondisinya pada umumnya sudah memprihatinkan. Digitalisasi dilakukan terutama terhadap naskah yang sudah rusak parah, memiliki nilai informasi tinggi, dan banyak dicari masyarakat.


(source: Antara)


Miss Universe Jadi Roro Jonggrang dalam Sendratari

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 13 Oktober 2010 | Oktober 13, 2010


Miss Universe 2010 Jimena Navarette memerankan Roro Jonggrang dalam sendratari "Rediscover the Legend of Roro Jonggrang" di panggung teater Wisnu kompleks Candi Prambanan, Yogyakarta, Selasa malam (12/10).

Pementasan sendratari dengan penata tari kenamaan Didik Nini Thowok itu, juga bertujuan untuk memperkuat citra Yogyakarta sebagai kota yang kaya unsur kebudayaan.

Miss Universe 2010 dalam sendratari ini tampil cukup singkat hanya di akhir cerita. Meskipun demikian, wanita yang berpredikat tercantik di bumi itu, berperan cukup vital, karena memerankan tokoh utama.

Selain Miss Universe 2010, rangkaian sendratari juga diisi dengan penampilan musisi internasional berdarah Ambon kelahiran Semarang, Daniel Sahuleka.

Miss Universe 2010 Jimena Navarette yang berasal dari Meksiko, mengakuin dirinya memang belum mengerti tenntang legenda Roro Jonggrang.

Menurut Jimena, dirinya langsung menyukai Yogyakarta meskipun belum lama berada di kota ini. "Yogyakarta adalah kota yang unik dan menarik dengan orang-orangnya yang sangat ramah, saya banyak berterima kasih untuk keramahan yang diberikan kota ini kepada saya. Yogyakarta juga memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam, salah satunya adalah Candi Prambanan dan legenda Roro Jonggrang," katanya.

Dalam cerita rakyat Jawa, Roro Jonggrang dikaitkan dengan asal muasal berdirinya Candi Prambanan. Di Candi Prambanan ada sebuah arca yang konon merupakan wujud Roro Jonggrang yang dikutuk oleh Bandung Bondowoso karena menggagalkan niatnya untuk membangun seribu candi.

 (berbagai sumber)

MTV Hidupkan Komik Digital

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 11 Oktober 2010 | Oktober 11, 2010


MTV membantu menghidupkan superhero baru Stan Lee, komikus legendaris yang turut melahirkan Spider-Man dan X-Men, dengan bergabung bersama POW Entertainment milik Lee. Mereka akan menciptakan serial komik digital baru The Seekers.

"Serial itu melibatkan para superhero, konsep plot yang sangat canggih, ceritanya seperti Anda belum lihat sebelumnya, dan dia merentang berabad-abad," kata Lee, dikutip dari MTV Geek.

The Seekers akan tersedia gratis di situs baru MTV Geek yang diluncurkan awal pekan lalu. Situs itu berisi berita-berita komik, horor, fiksi ilmiah dan permainan.



"Sesuatu yang Terlupakan" di Pasar Seni ITB

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 10 Oktober 2010 | Oktober 10, 2010


Perhelatan Art Fair di New York, Amerika Serikat, menjadi cikal bakal lahirnya Pasar Seni ITB yang untuk kesekian kalinya digelar pada 10 Oktober 2010 tepat jam 10 selama 10 jam. But Muchtar dan Abdul Jalil Pirous yang pernah ikut Art Fair pada 1970 itu kemudian mewujudkannya di Bandung pada 1972.

Menurut AD Pirous, ia merasa takjub ketika mengikuti Art Fair yang diadakan tiap musim gugur itu. Peserta hanya diminta membawa tongkat dan tali untuk memajang karya seni buatan mereka untuk dijual dengan harga murah. Acara itu diramaikan oleh seniman lama dan baru, juga ibu-ibu rumah tangga yang menghasilkan rajutan.

Walau harganya murah, penjual masih bisa untung. Pirous sendiri mengaku, dari penjualan karya grafisnya bisa membeli mobil bekas sepulangnya dari Amerika Serikat. Saat itu ia dikirim ITB untuk mengembangkan program studi baru.

Kemeriahan dan kesederhanaan Art Fair kemudian dibawa pulang ke Bandung. Bersama dosen Seni Rupa yang juga pematung, But Muchtar, ia kemudian menggagas Pasar Seni ITB pada 1972. 
Panitia saat itu menghadirkan karya pelukis A. Sadali, Mochtar Apin, Popo Iskandar, Rita Widagdo, dan para alumni Seni Rupa ITB lainnya. Selain itu, kata Pirous, mereka mendatangi para perajin dan seniman otodidak di sekitar Bandung agar ikut di Pasar Seni. "Suasananya ramai, sukses, jadi ditunggu-tunggu dan dibicarakan orang," katanya.

Selain menjadi arena jual beli, Pasar Seni perdana itu juga menampilkan pertunjukan. Menurut Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Biranul Anas, Pasar Seni saat itu pertama kali menampilkan rampak kendang dan mengangkat kembali kesenian tradisional daerah Subang, Jawa Barat. "Ketika itu juga mengenalkan kelompok musiknya Sawung Jabo," kata Anas yang pada 1972 itu masih mahasiswa Seni Rupa ITB. 

Sejak itu, Pasar Seni rutin digelar walau selang waktunya acak, yaitu 1976, 1980, 1984, 1988, 1990, 1995, 2000, 2006, dan 2010. Perhelatan yang ke-10 kali ini yang sengaja dibuat pada tanggal 10 bulan 10 tahun 2010 selama 10 jam, bertema "Sesuatu yang Terlupakan". Panitia ingin menghadirkan nilai-nilai dan seni tradisi masyarakat yang telah terlupakan.

 (berbagai sumber)

Sang Penanda Setelah Sang Pencerah

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 08 Oktober 2010 | Oktober 08, 2010



Film Sang Pencerah karya sutradara muda Hanung Bramantyo digadang-gadang akan dibikinkan film lanjutannya. Rencananya, film tersebut sudah bisa ditonton masyarakat Indonesia saat lebaran idul fitri tahun depan.

Film itu diberi judul Sang Penanda. Sang Penanda bercerita seputar sepak terjang KH Ahmad Dahlan di bumi nusantara, setelah Muhammadiyah lahir. Di film tersebut, pendiri Nahdatul Ulama, K.H, Hasyim Asyari dan Soekarno muda juga muncul. 

Dalam sequel ini akan ditampilkan sejarah Islam Indonesia secara utuh dengan tujuan agar tidak ada pengkotak-kotakan umat. Maka dimunculkanlah sosok K.H, Hasyim Asyari, pendiri NU dan Soekarno muda yang mewakili kaum nasionalis-moderat. Film lanjutan Sang Pencerah tetap dibesut Hanung Bramantyo. 

(berbagai sumber)

Mimbar Teater Indonesia 2010 Mengulas Putu Wijaya

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 05 Oktober 2010 | Oktober 05, 2010


Sepanjang Oktober ini Indonesia sedang merayakan pesta seni yang sesungguhnya dan tak hanya berlangsung di Jakarta, tapi juga di kantong-kantong budaya. Selama sepekan, Mimbar Teater Indonesia (MTI) akan mengadakan perhelatannya yang kedua di Solo. Festival teater  berlangsung mulai Senin, 4 hingga 10 Oktober mendatang di Taman Budaya Jawa Tengah.

MTI 2010 akan membahas satu tokoh seniman gaek, Putu Wijaya. Beberapa grup teater akan membawakan naskah Putu, termasuk Teater Mandiri, yang ia pimpin, yang akan membawakan lakon Kemerdekaan. Selain itu, Putu akan membawakan monolog pada festival tersebut.

Grup teater yang akan tampil nantinya adalah Teater Lungid (Surakarta), Kelompok Masyarakat Batu (Palu), Seni Teku (Yogyakarta), Teater Mandiri (Jakarta), dan Teater Tanah Air (Jakarta). Adapun beberapa penyaji monolog yang ikut meramaikan MTI 2010, di antaranya Butet Kartaradjasa (Yogyakarta), Herlina Syarifudin (Jakarta), Wawan Sofwan (Bandung), Ikranagara (Jakarta), dan banyak aktor lainnya.

Selain itu, sebagian karya Putu akan dibicarakan dalam seminar. Pembicara seminar yang akan berpartisipasi adalah Afrizal Malna (Yogyakarta), Benny Yohanes (Bandung), Cobbina Gillit (Amerika Serikat), Fahmi Shariff (Makassar), Michael Bodden (Kanada), Koh Yung Hun (Korsel), Aslan Abidin (Makassar), Tamara Aberle (Inggris), dan Nandang Aradea (Banten).



Siapakah Pemenang Nobel Sastra Tahun Ini?

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 03 Oktober 2010 | Oktober 03, 2010


Penyair Swedia, Tomas Transtromer termasuk difavoritkan memenangi Hadiah Nobel Sastra tahun ini. Dia disebut-sebut bersaing dengan tiga penyair lain yakni Adam Zagajewski dari Polandia, Ko Un dari Korea Selatan, dan Adonis dari Suriah.

Pengarang nonpenyair pertama di daftar taruhan itu adalah Nestor Amarilla, dramawan Paraguay yang dikabarkan telah masuk daftar pendek penerima Nobel Sastra, meskipun daftar calon masih dirahasiakan penuh oleh panitia Nobel.

Terdapat pula nama-nama pengarang Amerika Serikat, Thomas Pynchon dan Philip Roth. Empat pengarang perempuan yang juga dijagokan adalah Joyce Carol Oates, Margaret Atwood, Alice Munro dan A.S. Byatt.

Namun, Nobel Sastra diduga punya pandangan bias anti-Amerika dalam komitenya. Pada 2008, anggota komite, Horace Engdahl, dikutip telah menyebut sastra Amerika "terlalu picik", yang memicu tanggapan marah dari para pengarang terkenal Amerika.

Per Wastberg, pengarang Swedia dan ketua komite tempat Engdahl bergabung, membantah adanya sentimen Amerika di antara lima anggota komitenya. "Kami sangat berusaha untuk mempelajari dan mamasukkan semua daftar calon--Arab, Cina, Jepang, Indonesia, dan jelas sastra Amerika yang punya dampak semacam itu," katanya. 

Pemenang Nobel Sastra pada tahun ini akan diumumkan antara 7 atau 14 Oktober. 


 (berbagai sumber)





Hari Batik Nasional 2 Oktober

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 02 Oktober 2010 | Oktober 02, 2010


Setahun silam, Presiden SBY mencanangkan 2 Oktober sebagai Hari Batik. Setahun silam dunia mengakui batik sebagai hak milik Indonesia.

SBY mencanangkan 2 Oktober sebagai hari batik kala mengunjungi masyarakat korban gempa Padang Pariaman, di Balaikota Pariaman, Sumatera Barat, Jumat (2/10/2009).

United Nations Educational, Scientific, and Culture Organization (UNESCO) juga sudah mengakui batik sebagai milik Indonesia. Penghargaan juga langsung diberikan UNESCO di Abu Dhabi, 2 Oktober tahun lalu.

Pengakuan ini layak diapresiasi sebagai kebanggaan atas kemenangan budaya nasional. Sebab, batik adalah salah satu komoditas yang sudah mulai diproduksi oleh negara tetangga, Malaysia. SBY pun mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk tidak melupakan batik dan memakai batik tiap tanggal 2 Oktober.

"Kalau kita sudah mendapatkan, kita syukuri. Kedua, mari kita lestarikan, paling tidak memakai batik tiap tanggal 2 Oktober," imbau SBY, dikutip dari berbagai media nasional saat itu.

Apakah SBY dan kita semua telah memakai batik untuk menghormati Hari Batik di hari ini?


Q! Film Festival Layak Disensor

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 01 Oktober 2010 | Oktober 01, 2010



Seni termasuk film boleh diselenggarakan dalam berbagai bentuknya di tanah air. Kesemuanya boleh jika telah melalui proses aturan yang ada di tanah air.

Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik telah menegur penyelenggara Q-Film Festival terkait dugaan pornografi atau perilaku menyimpang dari kebudayaan Indonesia dalam sejumlah adegan film yang diputar dalam festival itu. Pihak penyelenggara harus bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri karena pemutaran film mendapat dukungan pusat kebudayaan negara asing.

Dipastikan film-film yang akan ditayangkan dalam fesival itu belum lulus sensor. Padahal, semua film yang akan diputar di Indonesia harus melalui tahap sensor oleh Lembaga Sensor Film.  Festival apapun boleh diselenggarakan tetapi harus disensor dulu.

Penolakan terhadap Q-Film Festival sebelumnya dilontarkan Front Pembela Islam. FPI melaporkan pengelola laman Qminity dan panitia Q-Film Festival ke Polda Metro Jaya.

(berbagai sumber) 
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday