Home » » Tari Teatrikal Kostessas dan Teater Kampong: Arus Laut Yang Terdampar Di Karang

Tari Teatrikal Kostessas dan Teater Kampong: Arus Laut Yang Terdampar Di Karang

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 30 Oktober 2010 | Oktober 30, 2010


Dalam tajuknya “Menuju Masyarakat Informasi Indonesia”yang dimediasi Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informasi) Kelompok Studi Teater dan Sastra (Kostessas) mahasiswa STKIP Muhammadiyah Bulukumba mementaskan “Tari Teatrikal Panrita Lopi” berkolaborasi dengan Teater Kampong Bulukumba, Jumat (29/10). Lakon tersebut sebelumnya juga pernah dipentaskan dalam Festival Phinisi 2010 di Bira.

Mengambil stage natural di pelataran kampus STKIP Bulukumba pada waktu malam sehabis isya di antara lalu lalang mahasiswa, dosen dan masyarakat umum yang menjadi penonton dadakan. Ruang publik intelektual yang lapang dari kalangan civitas akademika dan mahasiswa seperti ini memang cukup kondusif bagi para pekerja seni yang terbiasa sulit memperoleh apresiasi secukupnya di tempat lain.

Pementasan tari teatrikal sebelumnya telah dipanaskan dengan musikalisasi puisi dari pemusik Kostessas. Segerombolan anak muda memainkan lagu-lagu balada dan puisi Jalaluddin Rumi. Perkusi dan gitar akustik pun menggema di dalam kampus. Musikalisasi puisi yang dibacakan oleh Pipi Hardiyanti, Narty Ugie dan kawan-kawan cukup berhasil menghangatkan apresiasi penonton yang sebahagian besar adalah mahasiswa yang baru saja selesai mengikuti perkuliahan.

Secara keseluruhan, pementasan teater Kampong dan Kostessas kali ini tidak begitu utuh jika menelusuri deadline jadwal pementasan yang agak telat dari rencana semula. Unsur penting lainnya dalam pementasan yang selalu menjadi momok adalah kualitas sound yang bandel. Namun sebagai kerja kreatif seni, Kosestas dan Teater Kampong masih yang paling unggul di ranah ini sebagai sebuah proses berkesenian di Bulukumba.

Dalam prolog naratifnya, Dharsyaf Pabotting, sang sutradara menyampaikan pesan,”Ini adalah salah satu bentuk penghargaan anak bangsa meski mungkin kecil terhadap Hari Sumpah Pemuda. Sembari kita menukik ke kedalaman tradisi budaya pembuatan perahu phinisi sebagai industri kreatif manusia pembuat perahu di tanah Lemo, Tanjung Bira, Bulukumba. Ikon industri lainnya yang kami tampilkan dalam proses kerja seni ini adalah tenunan tradisional di Butta Panrita Lopi yang digambarkan dalam tari teatrikal.Sudah saatnya semua elemen termasuk elemen seni memberikan kontribusi gerakanmaksimal untuk peningkatan dan pengembangan industri-industri kreatif tradisional itu. ”

Sebuah persoalan klasik akan selalu muncul, kerja-kerja seni seperti ini sekarang masih terasa sebagai arus laut yang terdampar di karang. Terasa deburnya, namun para pembuat kebijakan dan bahkan sebahagian kita hanya menikmatinya sebagai sekelebatan tontonan sebelum meninggalkan pantai. Kecuali jika penguasa bisa menangkap pesan dari pementasan itu. Industri-industri tradisional kreatif di Bulukumba, quo vadis?


Share this article :

9 komentar:

  1. kerja-kerja seni yg bersemangat!

    BalasHapus
  2. Tambah kangen pengen pulkam neh hahahahayy...

    BalasHapus
  3. Sukses buat teater kampong dan kostesas. semoga di lain waktu kita bisa jumpa lagi dan berdiskusi tentang banyak hal.

    BalasHapus
  4. semangat..... terus berkarya .....

    BalasHapus
  5. Sukses untuk teater Kampong...

    Salam

    BalasHapus
  6. Sebuah karya dan judul yang sangat unik (Arus Laut Yang Terdampar Di Karang)pasti seru neh..Sayang waktu pementasan di Tanjung Bira g; sempat hadir.

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday