Latest Post

Sastra Mengadili Realitas Sosial yang Sakit

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 28 Januari 2011 | Januari 28, 2011


Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial.

Hari ini sastra sedang gelisah. Untuk menangkapi pertanda sekalipun itu hanya isyarat diam,  para pegiat sastra di Sulsel akan menggelar Pengadilan Sastra bertema "Sastra Mengadili Realitas Sosial yang Sakit." 

Mereka mengkampanyekan suara kegelisahan bersama atas keresahan sosial yang menyentak hati dan melukai realitas tanah pertiwi dengan bahasa yang beda.

Kalimat dari mulut Andhika Mappasomba, salah seorang pegiat sastra di Sulsel agaknya cukup mewakili kegelisahan itu, "bagi pegiat sastra dari Bulukumba  yang tak sempat pulang ke Bulukumba mengikuti perayaan Hari Jadi ke-51 Bulukumba yang dibiayai oleh pajak yang ditarik dari peluh dan air mata rakyat bulukumba, ada baiknya menghadiri acara ini. Gratis dan tidak menggunakan uang Pajak. Dengarkan lagu-lagu berbahasa Konjo Kajang dinyanyikan di Pengadilan Sastra ini."


 
Pengadilan Sastra menyuguhkan secara gratis pementasan karya sastra oleh Pegiat Sastra Makassar juga pentas musik oleh kelompok musik Laskar Kelor di Pelataran Kampus YPT. Al-Gazali Universitas Islam Makassar setelah shalat Jumat 4 Februari 2011.


Tumpahkan Sunyimu, Ri

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 23 Januari 2011 | Januari 23, 2011


-buat adikku, Riri

rindu jadi batu
lalu mewaktu
tumpahkan sunyimu, ri

rindu jadi waktu
lalu membatu
sunyikan cintamu, ri

bulukumba, ahad 23 januari 2011

Refleksi Seniman dalam Lagu Berbahasa Konjo

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 21 Januari 2011 | Januari 21, 2011


UNESCO telah menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Sebagai bagian dari masyarakat dunia yang memiliki banyak bahasa Ibu (bahasa daerah), mau atau tidak, bangsa kita perlu melakukan upaya refleksi dan re-evaluasi terhadap keberadaan bahasa Ibu.

Sebuah refleksi telah dilakukan oleh sekelompok sastrawan dan musisi Sulsel terhadap nasib sebuah bahasa daerah di Bulukumba, Bahasa Konjo.  Konjo merupakan bahasa Asli suku Kajang dan salah satu kekayaan khasanah budaya Nusantara.  Lagu berbahasa Konjo dengan aransemen musik kontemporer mereka launching di Makassar dengan performance kelompok musik Laskar Kelor, Sabtu, 22 Januari 2011.  Diharapkan dengan transformasi bahasa ini, Bahasa Konjo yang ada di Bulukumba dapat terus eksis dan tak senasib dengan begitu banyak bahasa lain di dunia yang punah karena kehabisan penutur.

Seperti dilansir dari lama RCA FM, Andhika Mappasomba, penyair yang juga pencipta lagu berbahasa Konjo mengatakan, "Ini adalah hasil kreativitas seniman yang melakukan transformasi perjuangan kebertahanan bahasa. Sebab tak dapat dipungkiri, Bahasa Konjo akan terancam punah ditinggalkan oleh penuturnya." 

Launching lagu berbahasa Konjo ini juga akan diramaikan oleh pembacaan puisi dan sastra lainnya oleh sastrawan Makassar dan juga pementasan seni lainnya oleh kelompok seni mahasiswa Makassar, seperti Wahana Kerja Mahasiswa Makassar (WKMM), Laskar Kelor Management dan Bulan Sabit Jingga (BSJ).

Launching akan digelar pukul 19:30 - 23:00 Wita di pelataran LPTQ Jln. Tala'salapang-Minasa Upa, Makassar. Untuk reservasi tiket, informasi dan sponsor dapat menghubungi panitia/WKMMatau Herman 085242915003.  Tiket tersedia hanya untuk 1000 orang. Acara ini dirangkaikan juga dengan perkenalan dengan lagu/puisi karya Ahyar Anwar dan "S" karya Andhika Mappasomba.
 

Sajak Menelan Kekuasaan

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 19 Januari 2011 | Januari 19, 2011


Republik Kebohongan

Inilah Republik Kebohongan
Yang dibangun dari puing kepura-puraan
Menjadi surga bagi para penjarah
Karena penguasanya juga bedebah
Tahukah kamu ciri-ciri para bedebah?
Itulah mereka
Yang kalau berkata isinya dusta
Kalau berikrar mereka ingkar
Kalau diberi amanat mereka khianat
Di Republik Kebohongan
Hukum hanyalah alat kekuasaan
Bagi mereka penjara hanya kata basi
Tak ada tembok apalagi terali besi
Maka bila bedebah rendah jatuh sial
Tak akan sungguh-sungguh masuk sel
Masih sanggup menjangkau semua pulau
Atau nebar daya pukau dan tetap disebut: beliau
Para bedebah akan tetap gagah dan menjarah
Karena orang baik hanya bisa berbisik-bisik
Sedangkan para imam hanya bisa menggumam
Sambil berharap Tuhan segera turun tangan
Padahal Tuhan sudah berfirman:
Tak akan mengubah nasib suatu bangsa
Kecuali rakyatnya bergerak berarak-arak
Meruntuhkan istana kebohongan

Indonesia – Januari 2011


Membaca sajak "Republik Kebohongan"  yang ditulis oleh Adhie M. Massardi adalah salah satu cara melihat Indonesia secara keseluruhan hanya dalam satu sajak dengan waktu hanya beberapa menit. 

Adhie M Masardi adalah mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid. Adhie mengambil gagasan sajak di atas itu dari refleksi pemerintahan SBY yang ia anggap sebagai “Republik Kebohongan”.  

Ini juga merupakan bukti bahwa sebuah sajak mampu menelan kekuasaan dengan teks-teksnya yang khas. Sebaliknya kekuasaan tidak mampu menelan sebuah sajak sependek apapun sajak  itu.


Dialektika dengan Teknologi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 15 Januari 2011 | Januari 15, 2011


Benarkah  teknologi membuat kita berjarak dengan ingatan masa lalu? Sudah saatnya teknologi tidak diterima sebagai sesuatu yang datang menyerbu kita begitu saja, termasuk internet.  Teknologi semestinya dimaknai lagi, ditampilkan dengan pendekatan baru. 

Pendekatan baru itu coba disampaikan oleh tiga perupa muda asal Bandung yang menamakan dirinya Tromarama. Mereka menggelar pameran tunggal kedua kalinya di galeri Tembi Contemporary, Bantul, Yogyakarta sepanjang 6-25 Januari ini. Sebelumnya mereka menggelar pameran tunggal untuk pertama kalinya di Mori Art Museum, Jepang.

Bertema "Kidult" -- paduan dua kata: kid dan adult -- dua kategori yang selama ini selalu dilihat sebagai oposisi binner, tak saling bersinggungan. Dalam pameran ini, Tromarama menunjukkan bahwa keduanya merupakan kategori yang saling melengkapi dan bisa beririsan. Pameran ini memamerkan 4 judul karya berupa video animasi berikut juga instalasi obyek.

Jika sebagian besar seniman video berkonsentrasi pada penggunaan kamera untuk merekam realitas, maka upaya ketiga perupa ini untuk terus bekerja dengan tangan merupakan satu bentuk dialektika dengan teknologi.

(pelbagai sumber) 


Sejarah dalam Wajah Avant-Garde

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 12 Januari 2011 | Januari 12, 2011


Periot, seniman dan sutradara Prancis kelahiran 1974, tampaknya ingin memperlihatkan film-film dokumenter ataupun pendek dengan bentuk lain: wajah avant-garde. Dia seakan mengaminkan: sejarah bisa kita kunyah-kunyah dengan garing melalui dokumentasi pendek.

Misalnya negara Prancis pada tahun 1940. Di sebuah lapangan terbuka, puluhan perempuan diarak. Semua mata memandang ke arah mereka. Tawa sinis, cemoohan, bahkan adu fisik dilimpahkan kepada perempuan itu. Tak jarang para lelaki memperlakukannya dengan sadis. Mereka dikumpulkan di sebuah teras gedung, didudukkan satu per satu menghadap khalayak, lalu digunduli.

Itulah cuplikan film pendek berjudul Eut-elle ete criminelle (Even If She Had Been A Criminal) ini adalah karya sutradara Prancis, Jean-Gabriel Periot. Video pendek itu satu di antara lima film pendek lain yang dipamerkan di Centre Culturel Francais (Pusat Kebudayaan Prancis), Salemba, Jakarta Pusat, hingga 14 Januari mendatang.

"Saya menemukan arsip video ini. Menarik bagi saya karena ini fenomena penting," ujar Periot. "Betapa perempuan-perempuan ini mengalami kekerasan. Bahkan tindakan kriminal itu tak dapat dijelaskan."

Menurut Periot, di tengah kondisi ekonomi Prancis yang morat-marit, kemiskinan di mana-mana, posisi perempuan seperti tak mendapat sedikit harapan. "Karya ini memperlihatkan sejarah Prancis yang tidak mudah kepada generasi muda," katanya.

Mereka menamainya L'épuration, pembersihan masyarakat Prancis dari pihak-pihak yang berkaitan dengan Nazi selama empat tahun. Dan perempuan itu tertuduh telah berhubungan seks dengan orang-orang Nazi. Namun mereka yang menghukum tak pernah bisa membuktikannya.

Sehari setelah digunduli, sebagian di antaranya dikurung atau dibuang di luar Prancis. Namun tak sedikit pula yang dibunuh ataupun digantung. Perempuan-perempuan itu, kata Periot, bisakah dikatakan berbuat kriminal hanya karena berhubungan seks dengan antek Nazi itu.

Periot memilih bagian-bagian tertentu, lalu ia susun menjadi video pendek berdurasi 15 menit. Karya itu ditampilkan sebagaimana adanya. Ia memakai teknik editing klasik yang diciptakan oleh Russian avant-garde, Dziga Vertov.

Maka kita akan melihat gambar-gambar bisu hitam-putih dengan banyak noise, dan tentu motion yang sedikit cepat. Di awal video, kita akan mendengar lagu kebangsaan Prancis berkarakter mars, bendera-bendera Prancis yang dipasang di kanan-kiri jalan, mengesankan setting yang kental dengan nasionalisme. Namun ternyata sarat dengan mimpi buruk.

Periot berusaha menceritakan perihal kekerasan yang terjadi sepanjang sejarah. Dan menunjukkan betapa penting melatih daya ingat untuk memahami masa kini ataupun masa depan dari kejadian-kejadian lalu.

Tak hanya itu. Periot juga menghadirkan film pendek yang ia buat pada 2005 berjudul Undo. Ini sebuah video yang cukup unik. Ia menangkap momen-momen yang sebetulnya adalah aktivitas keseharian. Kamera mulai membidik orang-orang yang sibuk berbelanja di supermarket membawa troli. Lalu mengambil gambar orang-orang yang sedang makan siang di sebuah kafetaria, hingga lorong-lorong kota dan fasade bangunan yang tak bergerak.

Karya Periot yang lain menampilkan muka berbagai macam jalan yang berbeda-beda. Ia mengemasnya dalam Dies Irae. Periot mengumpulkan beberapa arsip tentang gambar jalan ataupun gerbang yang berposisi sama. Lalu menumpuknya dan memperlihatkannya dengan sangat cepat. Efeknya seperti menghipnotis penonton.

Selamat Jalan Ibu Maemunah

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 08 Januari 2011 | Januari 08, 2011


Istri sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Hj Maemunah Thamrin, menghembuskan nafas terakhir dalam usia 82 tahun di kediaman pribadi, Jalan Multikarya 11 Nomor 26, Utan Kayu, Jakarta Timur, Sabtu, 8 Januari 2011, pukul 11.45 WIB.

Sebelum meninggal dunia, Maemunah sempat mendapat perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta karena menderita stroke. Stroke yang terakhir menyerang Maemunah pada September 2010.

Maemunah meninggal enam tahun setelah kepergian Pramoedya, seorang pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Satu-satunya penulis Indonesia yang pernah berkali-kali menjadi kandidat pemenang Nobel Sastra. Seorang penulis yang begitu dihargai di luar negeri namun justru dianiaya oleh pemerintah di negerinya sendiri. Itulah Pramoedya Ananta Toer (biasa disebut Pram saja).
Kisah asmara Pram juga tidak lepas dari pengaruh realitas kemiskinan yang bahkan masih jamak menghinggapi kehidupan para penulis dan seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian dan diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis yang belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. 

Sementara ia masih hidup tak menentu, suatu hari, meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi sebuah pameran buku pertama di Indonesia dan melihat salah seorang wanita penjaga stan yang menarik perhatiannya. Ia pun nekad datang dan berkenalan dengan wanita yang ternyata bernama Maemunah tersebut. 

Setiap hari ia berlama-lama menemani Maemunah duduk di stan itu layaknya seorang penjaga. Bahkan sampai ketika Presiden Soekarno juga mengunjungi dan melihat gadisnya tersebut, dengan bercanda ia gambarkan adegan itu sebagai "buaya kedahuluan buaya." Keteguhan dan pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah terbukti adalah istri yang selalu tetap setia mendampinginya dalam segala suka duka.

Lumpur Lapindo: Memori Di Bawah Tanah

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 05 Januari 2011 | Januari 05, 2011


Sejak  2008 tercatat sebanyak 10.106 kepala keluarga terpaksa meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka. Kampung halaman tercinta meninggalkan banyak kenangan. Jepretan dalam foto tak cukup untuk menerjemahkan kesedihan itu.

Lumpur Lapindo nyaris dilupakan orang bahkan oleh presiden SBY terlebih lagi Aburizal Bakrie. Tapi Lafadl Initiatives, sebuah lembaga nirlaba, menggelar pameran foto bertajuk “Memori Bawah Tanah: Mengingat dan Memotret Hak-Hak Dasar Korban Lumpur Lapindo”. Pameran yang bekerja sama dengan lembaga Hivos ini digelar di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sepanjang 5-7 Januari 2011.

Pameran foto ini adalah hasil dari workshop fotografi yang dilakukan sejumlah warga dari desa-desa yang terkena dampak lumpur Lapindo. Mereka menggambarkan kondisi hak-hak asasi manusia di Porong, Sidoarjo. Foto-foto yang dipamerkan lahir dari mata mereka yang terkena langsung dampak lumpur Lapindo.

Bencana lumpur Lapindo yang terjadi sejak akhir Mei 2006 setiap hari mengeluarkan sekitar 100.000 meter kubik material lumpur dari dalam perut bumi. Material semburan itu ditampung dalam tanggul seluas sekitar 800 hektare dan secara perlahan disalurkan ke sungai Porong. Bencana ini telah menyebabkan sebayak 4 desa di Sidoarjo, Jawa Timur – Kedungbendo, Siring, Jatirejo, dan Renokenongo – tenggelam oleh lumpur.

(pelbagai sumber)

Puisi Awal Tahun

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 03 Januari 2011 | Januari 03, 2011



tanpa tanda kutip
tanpa garis hubung
prakkk!!
desa dan kota:
meledak.
rasa dan kita:
pecah.
tanpa tanda kutip
dan garis hubung:
cinta dalam kurung

Bulukumba, Januari 2011
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday