Latest Post

Epos I La Galigo Akhirnya Pulang Kampung

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 26 Februari 2011 | Februari 26, 2011


Lebih lima tahun terakhir mengembara di berbagai negara, pentas teater kelas dunia I La Galigo akhirnya berlabuh di kota kelahirannya, Makassar. Pementasan ini akan berlangsung di Fort Rotterdam, 23-24 April mendatang berkat prakarsa Tanri Abeng, Yayasan Bali Purnati, Pemerintah Kota Makassar , dan Change Performing Arts (Italia).

Pementasan I La Galigo terinspirasi dari Sureq Galigo, hikayat kepahlawanan di Sulawesi Selatan. Lakon ini dipentaskan pertama kali di Singapura pada tahun 2003, lalu menyusul di antaranya di Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, New York, dan di Jakarta pada tahun 2005.
Di Makassar, pentas akan digelar dalam format opera di ruang terbuka dengan durasi dua sampai 2,5 jam. Setidaknya seratus pendukung acara, termasuk seniman Sulawesi Selatan, akan dilibatkan.

Penyelenggara saat ini masih mensurvei lokasi untuk menyiapkan detail tata panggung dan pencahayaan. Gladi bersih diperkirakan bisa dihelat dua minggu sebelum pementasan.

Kehadiran I La Galigo di Makassar merupakan penghormatan bagi mereka yang membuat epos ini dikenal hingga dunia. Tanri Abeng berhasil meyakinkan sutradara Robert 'Bob' Wilson untuk mementaskannya di Makassar.

Ke depan rencananya juga  akan dibangun perpustakaan dan museum I La Galigo yang lebih lengkap untuk menambah khazanah kebudayaan Sulawesi Selatan.

I La Galigo bersumber dari naskah Sureq Galigo yang ditulis dalam huruf lontara. Naskah asli berada di Leiden, Belanda, dengan tebal 6.000 halaman. Penerjemahan secara utuh sudah dilakukan oleh M Salim, dosen fakultas seni dan desain Universitas Negeri Makassar. Salim membutuhkan waktu lima tahun dua bulan untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia.

Dari 24 jilid yang diterjemahkan, baru dua jilid yang diterbitkan. Adapun pentas teater akan menampilkan tari, musik, dan dialog berbahasa Bugis klasik.


Rumata' , Rumah Budaya di Sulsel

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 19 Februari 2011 | Februari 19, 2011

Saatnya kita kembali ke rumah kita sendiri. Ketika kota begitu bising dan matahari menyengat kenyataan, masuklah ke dalam rumah yang ramah. Rumah yang ramah bagi seni budaya. Salah satu rumah yang ramah itu adalah Rumata.' 

Kata Rumata' dalam bahasa Makassar berarti 'rumah kita'. Rumata' merupakan rumah budaya sebagai pusat pertunjukan seni, teater serta berbagai bentuk kegiatan berekspresi kebudayaan lainnya di Sulawesi Selatan. 

Sutradara muda kelahiran Makassar, Riri Riza adalah penggagas di balik rumah budaya ini.
Sineas muda yang telah mendapat 10 penghargaan internasional itu akan mewujudkan mimpinya sejak dulu di antaranya di Rumata' para seniman bisa menggelar pameran dan festival film, foto dan lukisan, pidato kebudayaan, lokakarya hingga pengembangan kemampuan literasi dan seni rupa. 

Saat ini sejumlah program Rumata' telah disusun, antara lain Rumata' akan menerima seniman atau penulis dari luar Makassar bahkan Indonesia, untuk melahirkan karya dengan penyerapan nilai-nilai kearifan lokal. 

Rumata' juga akan membantu seniman atau kelompok seni lokal terpilih dalam merancang pengembangan dan pemberdayaannya sehingga bisa mencapai kemandirian proses berkesenian. Dalam proses ini, komunitas-komunitas kesenian, baik lokal maupun dari luar Makassar akan dikolaborasikan sehingga terjadi pertukaran wawasan kebudayaan. 

Sementara penulis Lily Yulianty Farid menjelaskan, peluncuran rumah budaya Rumata' di Makassar 18-21 Februari, diisi berbagai kegiatan. Antara lain pameran 40 foto "I Bring Melbourne to Makassar" karya fotografer Australia, Wendy Miller serta pertunjukan seni dan teater. 

Selain itu, mereka juga menggelar pemutaran film Riri Riza dan peluncuran buku kumpulan cerita "Family Room" karya Lily Yulianty Farid. Rangkaian acara akan ditutup dengan diskusi dan kuliah umum yang berlangsung di kampus Universitas Hasanuddin. 

Pendiri situs jurnalisme warga Panyingkul.Com itu menyatakan, Rumata' memiliki visi menjadikan seni dan budaya sebagai bagian penting bagi identitas Kota Makassar. Kehadiran Rumata' yang berlokasi di eks-rumah masa kecil Riri Riza itu diharapkan menjadi pemicu pertumbuhan kultural sebagai penyeimbang pertumbuhan material di kota Makassar.




(pelbagai sumber) 

Selamat Jalan, Ali Walangadi

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 14 Februari 2011 | Februari 14, 2011


Pelukis sekaligus pencipta logo Sulawesi Selatan, Ali Walangadi, meninggal dunia di usia 83 tahun, pukul 21.15 wita, Minggu (13/2/2011) malam. 

Ali Walangadi adalah salah satu perupa modern angkatan pertama yang pernah mengenyam pendidikan di ASRI Yogyakarta pada pertengahan tahun 1950-an. 

Seniman gaek ini meninggal karena komplikasi penyakit usus turun, stroke dan katarak, yang ia derita bertahun-tahun. Ia meninggalkan sembilan orang anak, dan satu istri.

Ali Walangadi mulai terkenal sejak tahun 1956, ketika ia menciptakan maha karya, dengan membuat logo Sulawesi Selatan. Logo Sulsel tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1972, yang menggambarkan unsur-unsur historis, kultural, patriotik, sosiologis, ekonomi, dan menunjukkan Sulsel merupakan bagian mutlak dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ali Walangadi juga pernah membuat heboh di tahun 1990-an ketika mengadakan pertunjukan unik yaitu aksi membakar lukisan-lukisan karyanya sendiri.

Pelangi Budaya II Mandar- Kajang di Tinambung

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 09 Februari 2011 | Februari 09, 2011


Dalam Islam, silaturahim adalah saling mengerti dan terlibat satu dengan yang lain. Keterlibatan menyebabkan seseorang memiliki keperdulian berintegrasi dan berinteraksi dengan manusia lain. Interaksi adalah budaya religi. Sementara dari kacamata budaya, silaturahim antar budaya-etnis juga mencuatkan tujuan itu, ritual saling memahami dan perduli antar seni budaya.

Ritual saling memahami dan perduli budaya ini juga dilakukan dalam Pagelaran Pelangi Budaya II, Silaturrahim Penggiat Budaya Mandar-Kajang yang berlangsung  tanggal 12-15 Pebruari 2011 di Tinambung Kabupaten Polewali Mandar. Salah satu komunitas dari Sulsel yang dipastikan hadir adalah Laskar Kelor dari Bulukumba.

Dilansir dari suaramandar.com, selain  pagelaran sastra dan musik, silaturrahmi budaya Mandar-Kajang ini juga diisi dengan ziarah ke sejumlah kantong-kantong seni di Mandar, workshop bersama, diskusi hingga rekaman musik puisi  karya Laskar Kelor dan Teater Flamboyant,

Dalam kiprahnya, Laskar Kelor lebih fokus pada garapan musik puisi. Sebahagian besar puisi garapannya diangkat dari karya-karya Dr. Ahyar Anwar, dosen UNM dan karya-karya Andika Mappasomba. Dalam lawatan Laskar Kelor ke Mandar kali ini, akan ditemani oleh Andika Mappasomba, putra Bulukumba yang memperistri gadis Mandar.

Ziarah Laskar Kelor selain ke beberapa komunitas seni di Tinambung juga akan ziarah ke Rumah Husni Djamaluddin salah seorang sastrawan nasional yang berjuluk 'panglima puisi' di Kandeapi, dan ke rumah para pelaku seni dan budayawan Mandar lainnya.

Kegiatan rekaman musik puisi karya Laskar Kelor dan karya Teater Flamboyant akan dilakukan di Aula SMP Negeri 1 Tinambung, dan pada tanggal 15, pentas Seni Musik Puisi Laskar Kelor, Teater Flamboyant dan Komunitas Seni Korumta Mekkatta.


Catatan Jingga, Sebuah Karya Untuk Bulukumba

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 05 Februari 2011 | Februari 05, 2011


Dari sebuah kerja luar biasa namun santai dan bersemangat, sineas muda Bulukumba dari Tunta Production berhasil merampungkan film berjudul "Catatan Jingga" yang akan diputar perdana pada Rabu 9 Februari 2011 di Lapangan Pemuda Bulukumba, Sulsel. Film ini adalah salah satu kado istimewa untuk Hari Jadi Bulukumba ke-51, 4 Februari 2011.

Catatan Jingga merupakan film fiksi pertama yang digarap oleh sineas Bulukumba. Catatan Jingga mengeksplorasi nuansa adat, budaya, wisata dan cinta. Film ini diproduseri oleh Andi Wasfaedy Alamsyah S.KM dengan sutradara Mardi Marwan S.sos.

Tunta Production sebelumnya telah sukses memproduksi beberapa karya, di antaranya film pendek, film dokumenter dan video klip band. Baru-baru ini salah satu film mereka mendapatkan antusias luar biasa dari penonton di Botol Music Hotel Quality Makassar.

Pemutaran film "Catatan Jingga" pada Rabu 9 Februari 2011 di Lapangan Pemuda Bulukumba juga didukung oleh  Sophie Paris, Hotel Nusa Bira Indah, Agri Restaurant, Fery Salon, Bira Beach Hotel, Gajah Mada Production dan Pemkab Bulukumba, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bulukumba.

Tunta Production bekerjasama RCA 102,5 FM sebagai media partner bersama Tabloid Remaja Yess, radio Pemkab Bulukumba  SPL (Swara Panrita lopi 95 FM) serta enam radio komunitas yakni Delstar FM, MD FM, Sugesthi FM, Jack Radio, Lereng FM dan  Lingu Peace Radio.

Film Catatan Jingga adalah satu dari barisan panjang film independen (indie) di Indonesia. Sebenarnya banyak film independen kita yang sudah berjaya di luar negeri, misalnya film Revolusi Harapan karya Nanang Istiabudhi yang mendapatkan Gold Medal untuk kategori Amateur dalam The 39th Brno Sexten International Competition of Non-Comercial Featur and Video di Republik Cekoslovakia (1998). Juga film Novi garapan Asep Kusdinar masuk nominasi dalam Festival Film Henry Langlois, Perancis (1998).
Di ajang Singapore Internasional Film Festival (1999), lima film pendek Indonesia ikut berlaga, yakni film Novi karya Asep Kusdinar, Jakarta 468 karya Ari Ibnuhajar, Sebuah Lagu garapan Eric Gunawan, Revolusi Harapan kreasi Nanang Istiabudhi, dan Bawa Aku Pulang buah karya Lono Abdul Hamid.

Film-film independen inilah yang mewakili Indonesia di forum-forum internasional. Akar film independen sebenarnya sudah ada sejak tahun tujuh puluhan. Jika fenomena ini merupakan suatu gerakan, bisa jadi nantinya pertumbuhan film independen tidak berlangsung lama sebab hanya sesaat sesuai dengan semangat sebuah gerakan. Akan tetapi, jika film independen ini dijadikan sebuah sikap bersama, seperti Manifasto Oberhausen (1962), Deklarasi Mannheim (1967), Deklarasi Hamburg (1979), dan Deklarasi Munich (1983), film independen Indonesia bisa jadi merupakan pre-condioning untuk kebangkitan sinema Indonesia baru.

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday