Latest Post

Muhammad Salim, Maestro Penterjemah I La Galigo

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 29 Maret 2011 | Maret 29, 2011


Tidak banyak orang yang mengenal namanya. Muhammad Salim, 75, padahal ternyata dia adalah seorang pembaca lontara sekaligus penterjemah (aksara Bugis) yang ulung.

Dialah yang menterjemahkan naskah I La Galigo dari aksara lontara kuno ke Bahasa Indonesia yang kemudian dijadikan sebuah pementasan oleh sutradara ternama Robert Wilson menjadi pertunjukan yang terkenal di penjuru dunia.

La Galigo adalah sebuah karya sastra yang terbentang sepanjang zaman. Epos yang panjangnya melebihi Mahabharata ini berisi kisah di abad lalu yang sempat menjadi kepercayaan di antara masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan yang lama terpendam di perpustakaan negara Belanda dan akhirnya diterjemahkan oleh Salim.

Dari 12 jilid naskah La Galigo yang diterjemahkannya selama lima tahun dua bulan tersebut, belum ada satu pun hasil terjemahannya yang dibukukan. Padahal itu menjadi cita-cita utamanya.

"Dia sangat antusias sekali bercerita bahwa Bapak Tanri Abeng berencana membukukan naskah La Galigo terjemahannya setelah pementasan La Galigo April nanti di Benteng Makassar," jelas Hamdan, anak ketiga Salim.

Menurut Jamiah, istri Salim, pria kelahiran Kabupaten Sidrap 1936 dan menikah dengannya 1957 tersebut, tidak pernah mengeluh sakit meski usianya sudah tua. Tapi, Minggu (27/3) setelah berwudhu untuk shalat magrib, dia mengaku sakit di bagian dadanya sebelum memejamkan mata dengan tenang untuk selamanya.

Muhammad Salim telah memiliki ketertarikan terhadap epik I La Galigo sejak kecil. Putra Sidrap kelahiran Allakuang, 4 Mei 1936 silam ini selalu terpikat saat Sureq I La Galigo didendangkan oleh sesepuh di kampungnya yang masih memahami bahasa Bugis kuno. Sureq I La Galigo mengisahkan prosesi penciptaan dunia versi Bugis purba.


Tokoh sentral dalam kisah ini adalah Sawerigading, putra penguasa dunia tengah, ksatria sakti mandraguna dan seorang pengelana. Sedangkan I La Galigo merupakan salah seorang putra Sawerigading yang mewarisi kesaktian dan jiwa pengembara sang ayah.


Kisah Sawerigading yang begitu fantastis membuat Salim terus mencari dan mengumpulkan naskah-naskah yang ada. Namun bukan pekerjaan mudah menyusun kisah itu. Bayangkan saja, manuskrip lontarak I La Galigo terpencar di desa-desa di Sulsel. 


Untung saja, kerja keras Salim mengejar naskah-naskah I La Galigo ini, diketahui pihak Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal Leiden (KIVTL), Belanda. Pihak perpustakaan kemudian mengundang Salim ke Belanda untuk menerjemahkan tumpukan naskah I La Galigo yang juga tersimpan di sana.


Manuskrip Sureq I La Galigo di Leiden merupakan naskah yang disusun oleh Arung Pancana Toa yang kemudian dibawa oleh Dr B.F Matthes ke Belanda pada masa kolonial. Pada 1987,  Salim terbang ke Belanda.


Di Perpustakaan KITVL, Salim memulai misinya menerjemahkan naskah lontarak I La Galigo yang oleh orang-orang Bugis di masa kini, mungkin sudah susah diartikan. Bagi dia sendiri, bahasa Bugis terbagi pada tiga klasifikasi, yaitu Bugis Pasaran, Bugis Podium dan Bugis Lontarak.  


Di Leiden, Salim menghabiskan waktu hampir dua bulan. Meski seluruh biaya hidupnya selama di Leiden ditanggung oleh pihak Kerajaan Belanda, kerja Salim tetap saja tidak mudah. Bagaimana tidak, sekitar 200 lembar lontarak sudah rusak parah. Mikrofilm yang dipakai untuk memperjelas huruf-huruf yang sudah berusia lebih 1,5 abad itu pun sudah tidak terlalu banyak membantu. Akhirnya, pihak perpustakaan melakukan autopsi huruf.

Saat itu, Salim memperkirakan terjemahan akan memakan 1500 lembar kertas folio. Salim lalu kembali ke Makassar dengan membawa kopian Sureq.

(pelbagai sumber)

Koin Untuk Paus Sastra Indonesia

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 25 Maret 2011 | Maret 25, 2011


Sebuah kerugian besar bagi bangsa ini jika Gedung Pusat Dokumentasi Sastra HB Yasin terancam ditutup karena kurang dana. Padahal, bangunan yang telah berdiri sejak 34 tahun itu merupakan pusat dokumentasi sastra terbesar di dunia.  Di dalamnya terkumpul 50 ribu sejarah dan hasil karya sastrawan besar Indonesia. 

Diberitakan berbagai media nasional, Menteri Pendidikan Nasional M Nuh telah mengirimkan tim untuk memverifikasi permasalahan yang dihadapi Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. M Nuh mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk membantu PDS HB Jassin agar tetap dapat eksis. Syukurlah, meski terhitung terlambat. Itupun setelah dipancing dengan gerakan koin para mahasiswa untuk pengumpulan dana gedung tersebut.

Gedung HB Yasin tampak sangat bersahaja. sama sekali berbeda 180 derajat dengan bagunan teater modern di sampingnya. Meski demikian, keindahannya masih terpancar. Begitu pintu dibuka, sebuah foto HB Yasin, sang Paus Sastra Indonesia terpajang gagah. Foto tersebut tetap dijaga untuk mengenang sang pendiri gedung dan pencinta sastra.

Gedung HB Yasin tidak hanya aset Indonesia semata. Karya-karya sastra di dalamnya kerap menjadi inspirasi mahasiswa dunia untuk belajar tentang sastra.

Namun, semua keindahan itu hampir sirna seiring keluarnya Surat Keputusan Gubernur 16 Februari lalu. Pasalnya, keputusan untuk memangkas dana bantuan pengelolaan menjadi Rp50 juta per tahun dirasa tidak mencukupi untuk membayar pegawai dan perawatan barang.

Ini pelajaran berharga bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Kita baru merasa kehilangan sesuatu jika sesuatu itu sudah tiada.


Tanpa Tanda Titik Dua

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 17 Maret 2011 | Maret 17, 2011


seperti membangunkanmu 
dengan cinta yang tidak lagi lengkap
aku hanya ingin mencuri perihal-perihal dirimu
termasuk sejak awal tentang 
pekarangan tubuhmu yang 
bunga
yang belum sempat juga 
kau ceritakan:
tanpa tanda titik dua
semesta penjelasan cinta tak pernah berbeda:
  aku kini hanya merasa begitu lengkap dengan   bunga                  
di salah satu pekarangan hatimu.
       
         
 bulukumba, 17 maret 2011




Contemporary Archeology Chapter Two

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 13 Maret 2011 | Maret 13, 2011


Contemporary Archeology Chapter Two mulai Sabtu 12 hingga 27 Maret  digelar SIGIarts Gallery, Jakarta. Ini adalah pameran bersama para seniman patung muda Indonesia, antara lain, Dita Gambiro, Faisal Reza, Hary Mahardika, Itsnataini Rahmadillah,Rangga Aditya, Rini Maulina, Risa Astrini, dan Teguh Agus Priyatno.

Arkeologi secara etimologis berarti "sejarah kuno", dari "masa lalu". Karena itu istilah contemporary archeology terdengar paradoks, yaitu arkeologi yang merujuk pada masyarakat masa kini. 

 Arkeologi  adalah disiplin ilmu yang berupaya memahami sejarah manusia dan masyarakat masa lalu melalui analisis terhadap benda-benda atau artefak buatan manusia. Arkeologi terutama terfokus pada masyarakat prasejarah, di mana tak tersedia catatan tertulis bagi para sejarawan untuk memahami masyarakat di zaman yang berbeda.

Karya-karya seni rupa kontemporer memang dipercaya merefleksikan situasi dan kondisi kebudayaan kontemporer. Karena itu karya seni dianggap bernilai karena konten representasinya. Dengan kata lain karya seni berharga karena potensinya sebagai "penanda" bagi persoalan yang diperkarakan oleh seniman.

Karya-karya para seniman dalam pameran ini bukan hanya bisa membangkitkan sensasi kepuasan estetik  namun juga membangkitkan kadar konseptual dan intelektual penikmatnya.

(pelbagai sumber)

Maluku Kobaran Cintaku diluncurkan Secara Nasional

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 11 Maret 2011 | Maret 11, 2011


Ratna Sarumpaet memposisikan kesenian sebagai alat perjuangannya, menyuarakan penolakannya atas kebijakan-kebijakan Negara yang dianggapnya menyimpang. Serta pemihakannya pada orang-orang yang tersudut oleh kebijakan kebijakan itu. Novel Maluku Kobaran Cintaku, karyanya yang terbaru juga mempertegas idealismenya. 

Karya-karyanya yang lain (drama/film), seperti Rubayat Umar Khayam, Dara Muning, Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah, Pesta Terakhir, Terpasung, Marsinah Menggugat, ALIA, Luka Serambi Mekah, Anak-anak Kegelapan, Jamila & Sang Presiden. 
 

Sebelumnya novel Maluku Kobaran Cintaku telah  launching di beberapa negara seperti di Belanda, Prancis, dan secara lokal di Maluku. Kali ini peluncuran novel secara nasional  dilakukan di Taman Ismail Marzuki, pada Jumat 11 Maret 2011.

Peluncuran  diikuti dengan diskusi terbuka yang menghadirkan, Prof Dr. Ahmad Syafii Maarif, Pendeta Gomar Gultom (Sekjen PGI), dan Usman Hamid (Kontras). Diskusi akan mengangkat tema-tema kemanusiaan, toleransi, dan HAM. Peluncuran novel ini juga dipastikan akan dihadiri sejumlah tokoh lainnya, seperti mantan Wapres H.M. Jusuf Kalla, Prof Dr. Musdah Mulia, dan R.D.P benny Susetyo.

Peluncuran novel ini juga dimeriahkan dengan musik dan tari-tarian Maluku. Ikut menampilkan Glend Fredly, sebagai putra Maluku, pembacaan nukilan oleh Tere Pardede, Imam Soleh, Harris Priyadi Bah dan Chimey Gozali.

Dikutip dari salah satu media di Maluku, Ambon Ekspress, Ratna Sarumpaet menyatakan, novel ini bisa disebut, satu dari sedikit karya sastra yang berlatar konflik Maluku, sebuah episode paling muram dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia dekade ini. Berkisah tentang sekelompok anak muda (Mey, Ali, Melky,Ridwan, Peter dan Aisah) yang terjebak dalam pusaran sebuah konflik yang menggerus kerukunan antar suku dan agama.

Disuguhkan dengan dramatis, dengan narasi sangat filmis, melalui novel ini Ratna mengingatkan kita, bahwa di tengah konflik Maluku ada pihak yang terus mencari keuntungan dengan tetap memelihara konflik itu untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Meski novel ini karya fiksi, penerima "The Female Special Award for Human Rights" (1999) dari The Fondation of Human Rights in Asia ini, dua tahun merelakan waktu, pikiran dan tenaganya melakukan riset dan menulis novel ini. Ia bolak-balik Jakarta – Maluku dan Maluku Utara untuk mendapat gambaran utuh mengenai konflik.


Pencipta Gambar Che Guevara Ajukan Hak Cipta

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 04 Maret 2011 | Maret 04, 2011


Di kamar jutaan anak-anak muda di seantero dunia, di tembok kota, di jaket, kendaraan dan sebagainya, gambar yang satu ini begitu akrab. Tokoh dalam gambar itu benar-benar menginspirasi banyak kaum radikal-progresif dan revolusioner di planet ini. Profesor Martin Kemp, sejarawan seni di Oxford University, bahkan memasukkan gambar ini ke dalam 10 gambar ikonik sepanjang sejarah (Lukisan Mona Lisa berada di urutan pertama).

Gambar klasik siluet hitam Che Guevara berambut gondrong dan berbaret dengan latar merah itu sudah sangat terkenal di mana-mana. Gambar itu turut pula diusung para demonstran dalam unjuk rasa di Mesir beberapa waktu lalu dan juga hadir dalam berbagai demonstrasi di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Seorang seniman Irlandia kelahiran Dublin 65 tahun yang lalu, Jim Fitzpatrick,  kerap kali menyatakan,"Seringkali tak ada yang percaya bahwa akulah pembuatnya."

Setelah empat dekade membiarkan karyanya itu dicetak ulang secara gratis, Fitzpatrick kini memutuskan untuk mengajukan klaim pemilikan hak cipta atas karya tersebut. "Ini bukan soal mencari uang, ini soal bagaimana memastikan agar karya itu digunakan secara benar... tidak dipakai untuk tujuan-tujuan komersial yang kasar," kata perupa dan fotografer yang telah membuat sampul album untuk grup-grup musik Irlandia, Thin Lizzy dan Sinead O'Connor.

Dalam sebuah wawancara dengan Reuters, gambar itu diakui dibuat Fitzpatrick berdasarkan foto karya Alberto Korda. Ketika menciptakannya pada 1968, dia tak pernah mengajukan hak ciptanya. Malahan, gambar itu disebar untuk digunakan oleh kelompok-kelompok revolusioner di Eropa. Dalam tempo singkat, gambar itu diadopsi oleh para mahasiswa kiri, yang menempatkannya di kaos dan poster, sehingga turut mengangkat citra Che sebagai lambang pemberontakan global. Tapi, gambar tokoh revolusi Marxis, yang membantu Fidel Castro berkuasa di Kuba pada 1959, itu telah pula diambil oleh para produsen cangkir, tongkat baseball, dan bahkan pakaian dalam. 

Masalah rumit dari kasus ini adalah fakta bahwa karya Fitzpatrick itu berdasarkan foto yang diambil fotografer Kuba, Alberto Korda, di sebuah pemakaman di Havana. Fitzpatrick kini mengajukan dokumen untuk membuktikan dialah pemilik hak cipta gambar itu. Dia juga berencana untuk ke Havana tahun ini untuk menyerahkan kepemilikan hak cipta itu kepada keluarga Guevara.

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday