Latest Post

Berenang di Samudera Puisi, Berenang di Samudera Ilahi

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 07 Agustus 2013 | Agustus 07, 2013

Inilah geliat sekumpulan anak muda penggila sastra dan salah satu penanda ingatan usia 11 tahun program Ekspresi di RCA 102,5 FM Bulukumba.

Pada Ahad malam, 4 Agustus 2013 pukul 20.30-23.00 Wita, Sekolah Sastra Bulukumba (SSB) bersinergi dengan Program Ekspresi RCA 102,5 FM menggelar hajatan sastra bertajuk "Tadarus Puisi Ramadhan" bertema "Berenang Di Samudera Puisi, Berenang Di Samudera Rahasia Illahi".

Acara ini disiarkan secara live dari pelataran studio RCA FM Jl Pepaya, No.1 Bulukumba melalui tiga media sekaligus, yaitu RCA 102,5 FM, RCA TV Online di http://www.rca-fm.com/ dan http://rcafm.listen2myradio.com/

Di tengah temaram cahaya beberapa obor, dua buah properti unik berupa radio tua dan vespa tua di depan panggung,  satu persatu santri dan santriwati SSB tampil membacakan puisinya penuh magis. Diselingi pembacaan puisi dari beberapa orang penonton dan dipandu oleh dua host, Andy Satria dan saya sendiri, Ivan Kavalera, suasana semakin mencair dan penuh keakraban ketika pelataran RCA semakin ramai oleh para penonton. Suasana semakin meriah ketika salah seorang pendengar RCA bernama Tantri Wimayoga menelepon dan ikut membacakan puisi.


Salah seorang santri SSB, Try Juanda mengungkapkan bahwa sastra seharusnya merakyat dan berhasil ditunjukkan melalui kegiatan tersebut.
"Setiap perubahan besar di dunia pada dasarnya tidak alpa dari peranan puisi," katanya, Selasa (6/8/2013).

Dewi Arlianti Daeng Makarra, salah seorang santriwati SSB menambahkan, puisi berhasil membuktikan bahwa puisi dapat dinikmati oleh berbaga kalangan. 
"Terbukti kegiatan tersebut dipadati penonton dan didengarkan banyak wara masyarakat. Bukan hanya di Bulukumba tapi juga di berbagai belahan dunia," jelasnya.

Kegiatan Tadarrus Puisi Ramadhan SSB didukung pula oleh Laskar Kelor, Malewa, Butiq Dhika Pandawa, Cempaka Fans Community (CFC), Warkop Teras Bambu dan Temanta' Semua. Selain menghadirkan para pesastra tanah air dan internasional, kegiatan ini juga diikuti oleh umum yang ingin tampil membaca puisi. Beberapa peserta dari luar SSB yang turut tampil baca puisi di antaranya, Edy Manaf (Wakil Ketua DPRD Bulukumba), Arie MD (Ketua CFC) dan Anto, seniman dan pemilik Warkop Teras Bambu.

Nampak hadir pula di tengah penonton, para pesastra Bulukumba di antaranya Anis Kurniawan, seorang cerpenis. Tadarrus puisi berakhir klimaks dengan penampilan penutup dari Direktur SSB, Andhika Daeng Mamangka didampingi aksi teatrikal putranya di sampingnya yang masih berusia satu tahun. (*)

Sumber: RCA FM 

Menyetubuhi Kembali Tradisi dalam Festival Budaya Tu Karama Sampeang Bulukumba

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 05 Juni 2013 | Juni 05, 2013

Sekali waktu, kembalilah ke masa silam untuk menyetubuhi tradisi yang esok hari mungkin tak ada lagi. Setelah sukses menghadirkan dua sastrawan dan budayawan nasional,  KH. Zawawi Imron dan Ahyar Anwar pada Mei lalu, di bulan Juni ini kembali sebuah geliat dari gerakan kebudayaan dihelat di Bulukumba. Berlokasi tidak jauh dari kampung kelahiran saya, Palampang. Tepatnya di Desa Karama Sampeang, sahabat saya, Andhika Mappasomba yang  sastrawan dan budayawan muda Bulukumba menjadi salah satu penggagasnya.


Di zaman ini di mana segala sesuatu semakin tanpa bentuk, maka revitalisasi kebudayaan sangat diperlukan. Salah satu revitaliasi yang dapat dilakukan adalah dengan melombakan tradisi masyarakat yang pernah eksis di masa silam. Misalnya permainan rakyat ataupun kegiatan rakyat lainnya semisal berburu.

Sebagai salah satu upaya revitalisasi budaya atau tradisi tersebut, Forum Pemuda Karama Sampeang, bekerjasama dengan DPD KNPI Bulukumba, Laskar Kelor, Sekolah Sastra Bulukumba, dan Sanggar Seni Al Farabi Bulukumba menggelar Festival Budaya Kampong Tu Karama Sampeang Bulukumba dengan menggelar beberapa kegiatan yang diharapkan dapat menumbuhkan kembali kecintaan masyarakat terhadap tradisinya.

Tema kegiatan tersebut adalah "Kami Cinta Kampung dan Adat Kami." Festival ini dihelat pada hari Jumat 21 Juni 2013 sampai dengan hari Ahad 23 Juni 2013 di wilayah Desa Karama, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba.


Berikut Lomba-Lomba Festival yang akan digelar:
1. Lomba Mewarnai Gambar untuk siswa Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar pada hari Jumat, 21 Juni 2013, pukul 08.00 Pagi – selesai
2. Lomba Jalan Sehat, pukul 15. 30 (Sore – selesai) star di perbatasan Desa Swatani-Desa Karama sampai Perbatasan Desa Karama-Desa Bonto Haru lalu ke Finish di Lapangan Makkantu Pajjenekang (Pa’lappassang toayya-Dusun Katangka Desa Karama)
3. Ritual Art (Pementasan Seni) oleh Sanggar Seni Budaya Al Farabi Bulukumba di Sungai Mannyoleng (Depan Lapangan Pa’lappasang Toayya)
4. Pementasan Seni; Malam Usai Shalat Isya
5. Foto dan Film aktivitas desa
6. Lomba Cokki-Cukke digelar pada hari Sabtu, Pukul 09 Pagi- Selesai di Lapangan Pa’lappassang Toayya (Makkantu Pajjenekang)
7. Lomba Melempar Tombak (Ammoke) digelar pada pukul 15. 00 (Sore) Sampai selesai (Lurayya-Sekitar Makam Tau Karama’a ri Sampeang)
8. Penerimaan Hadiah dan Pementasan Seni serta Pemutaran Film Foto Kegiatan
9. Pada hari Ahad, digelar kegiatan Ammaurang Bahi (Berburu Babi) bersama Masyarakat Sampeang. 


Saatnya memulai dari kampung kecil kita masing-masing. Revitalisasi kebudayaan bermula dari sana.(*)

Penjaga Bumi di Bulukumba Bawa Ma'jaga Lino ke International Performing Art

Posted By Alfian Nawawi on Jumat, 12 April 2013 | April 12, 2013

Dimulai dari semesta kesadaran menjaga bumi, para penjaga bumi dari Bulukumba melakukan kontemplasi di tengah alam. Kelahiran, kematian, bencana, realitas zaman dan perjuangan manusia diurai menjadi sebuah karya monumental berjudl "Ma'jaga Lino". Inilah sebuah ritual ribuan tahun lalu di Bulukumba yang kemudian dipindahkan ke dalam rekonstruksi seni teater bernama Ritual Art Performance.

Sanggar Seni Al Farabi Bulukumba akan mementaskan "Ma'jaga Lino" karya Ichdar Yeneng Al Farabi, teaterawan muda Bulukumba di International Performance Art "Taman Srawung Seni Segara Gunung" Musium Manusia Purba Sangiran, Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 18 dan 22 April 2013.

Dalam bahasa Bugis-Makassar, Ma’jaga Lino artinya 'menjaga bumi'.  Pementasan teater dengan genre Ritual Art Performance memang identik dengan Al Farabi, sanggar seni yang telah berdiri sejak enam tahun lalu di Bulukumba.

Sebagai bagian dari  pra-kondisi termasuk meminta restu dari masyarakat dan pemerintah Bulukumba, Al Farabi lebih dulu menggelar karya mereka di Gedung PKK Kabupaten Bulukumba, Kamis malam (11/4/2013). Dengan dihadiri ratusan penonton, Bupati Bulukumba melepas secara resmi tim kesenian Bulukumba ini ke Jawa Tengah untuk pentas di sebuah ajang internasional.

Berikut ini sejarah singkat Sanggar Seni Budaya (SSB) Al-Farabi Bulukumba, dikutip dari laman mercusuarnews.com

Al-Farabi lahir  sebagai sebuah wadah untuk mengasah, menampung, dan menyalurkan bakat generasi muda di bidang seni dan budaya baik itu seni tradisional maupun modern.

SSB AL-Farabi berdiri pada tanggal 5 agustus 2007 oleh sekelompok pemuda yang di motori oleh Ichdar Yeneng alias Ichdar Al Farabi yang selanjutnya dipercayakan untuk menjadi ketua pada saat Musyawarah Besar kelompok tersebut.

SSB Al-Farabi-Bulukumba terdiri dari empat divisi kekaryaan diantaranya divisi Teater, Tari, Penulisan, Kerajinan (Rupa). Seiring berjalannya waktu, SSB Al-Farabi telah mementaskan karyanya di berbagai even, baik yang dilaksanakan sendiri oleh organisasi maupun Pemerintah Kabupaten dan pihak-pihak lain diantaranya :
1. Festival Musik Pelajar yang diadakan tiap tahun sejak berdirinya SSB Al-Farabi
2. Pagelaran seni Kolaborasi seni modern dan tradisi, 10 september 2007 di Kecamatan Rilau Ale, Bulukumba
3. Berpartisipasi pada hari jadi Bulukumba tahun 2008, mementaskan keseniaan tradisional Orkes Turiolo
4. Pementasan teater SANG PEWARIS sutradara Ichdar Yeneng pada bulan maret 2008 di lapangan pemuda Bulukumba, Pertunjukan Seni, Salam lebaran dan Halal Bi Halal
5. Pelaksana dan pengisi acara Indonesia Bangkit tahun 2008
6. Ketua umum SSB Al-Farabi ( Ihdar Yeneng ) terpilih mewakili Sul-Sel pada ajang temu Komposer Muda se Indonesia di Bandung tahun 2009
7. Pementasan Teater Sang PewARIS 2, tahun 2009 di lap. Pemuda Bulukumba
8. Pementasan Tari kreasi tradisi “ Papanambe “ dan “ Pajaga Bine “ koreografer Erna NIngsih SPd, agustus 2009
9. Pementasan seni Akhir tahun “ Setangkai Mawar Untuk Bulukumba “ 2009
10. Pengisi acara di ajang Pesta Rakyat Simpedes II dan III yang diadakan BRI unit Bulukumba
11. Pementasan seni pertunjukan “Ode Bulukumba-Ku” tesk dan sutradara Ihdar Yeneng dipentaskan pada puncak peringatan hari jadi Bulukumba, Februari 2010
12. Pementasan teater jalanan “ Kepada Sang Pembunuh Seni budaya “ april 2010, di bundaran Pinisi Bulukumba
13. Seni pertunjukan “ Bulukumba Damai “ Maret tahun 2010, Bundaran Phinisi Bulukumba
14. Pementasan seni pertunjukan “ Zhimphony Tanah Merdeka “ dipentaskan pada acara Resepsi Kenegaraan HUT RI ke 65, di halaman rujab Bupati Bulukumba
15. Pertunjukan seni ritual Appa Sulapa ri salo Bijawang ( mappano ri wae ) sejak tahun 2011.
16. Pertunjukan seni massal Spirit of Dato Tiro pada penutupan STQ tingkat Provinsi Sulsel
17. Emergenci Culture ( kepada sang pembunuh seni budaya ) I, II tahun 2011 2012
18. Kidung Senja Pantai Bira ( ritual art ) 2011
19. Pertunjukan Musik Harmoni Bulukumba pada puncak hari jadi Bulukumba 2012
20. Kolaborasi kerja Perkampungan Budaya Bersama Laskar Kelor dalam Festival Pinisi tahun 2011 dan 2012
21. Pementasan "Sejarah Pengislaman Masyarakat Bulukumba oleh dato Ri Tiro" dalam Peringatan 605 tahun Dato Tiro, di Hila-Hila Bontotiro, 2013.

Itulah sebahagian karya yang telah dihasilkan oleh Sanggar Seni Al-Farabi dalam menggeliatkan seni budaya dan memberi makna bagi lingkungannya. (*)

Ketika Si Kecil Membaca Dongeng Lalu Mulai Mendongeng

Posted By Alfian Nawawi on Jumat, 29 Maret 2013 | Maret 29, 2013

Bismillah. Bersama tiga orang senior sekaligus kawan yang luar biasa: Anis Kurniawan, Andi Mahrus, Abdul Haris kami berempat mulai melakukan gerakan kecil-kecilan dimulai sejak satu tahun lalu. Sebuah perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Prosesnya menghabiskan cukup banyak energi.

Ilustrasi
Selama hampir satu tahun, kami berusaha mengumpulkan bahan-bahan lisan cerita rakyat yang tercerai berai kemana-mana. Bahan-bahan lisan itu sebahagian besar hanya menyisakan materi  yang jauh dari utuh. 

Kami harus memulainya dari metodologi sederhana seperti wawancara di kampung-kampung, pengembaraan mencari literatur-literatur kuno yang nyaris sudah tanpa sisa, hingga merekonstruksi imajinasi yang tercecer.

Pada akhirnya, kami berhasil mengumpulkan 16 cerita rakyat asli Bulukumba, Sulawesi Selatan. Alhamdulillah, saya sendiri diberi kesempatan oleh Allah SWT mengumpulkan sepuluh cerita rakyat. Kawan-kawan dalam tim kecil ini juga memberikan kepercayaan kepada saya untuk menggarap ilustrasinya. Kemudian semua bahan lisan dan ilustrasi  itu dipindahkan ke dalam bentuk teks. Proses ini memakan waktu selama tiga bulan. 

Akhirnya, dengan melalui proses pemilah-milahan yang sangat sulit, jadilah dua belas cerita rakyat Bulukumba kami kumpulkan. Teman yang bertindak sebagai editor  lalu melakukan proses penyuntingan selama satu bulan. Sebahagian besar cerita rakyat tersebut agak panjang jika dipindahkan ke dalam bentuk bentuk teks. Kami harus memperpendeknya agar mudah dikonsumsi anak-anak nantinya. Kami pun mesti merancangnya agar orang dewasa  bisa ikut menikmatinya.

Setelah itu, kami berpikir lagi untuk melanjutkan gerakan kecil ini dengan sebuah hajatan. Hajatan inilah yang sengaja dikaitkan dengan "World Story telling Day" atau "Hari Mendongeng Sedunia" 6 Maret 2013.

Beruntung ada sponsor yang mau membantu kami. Kami menggandeng Penerbit P3i Press Makassar, P3i Intermedialine, Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Bulukumba dan RCA 102,5 FM Bulukumba menggelar "Lomba Mendongeng Antar Sekolah Dasar Se-Kabupaten Bulukumba".


Meski hadiahnya tidak begitu istimewa namun kami berharap semoga dapat membahagiakan para pendongeng cilik itu. Hadiahnya berupa Tabungan BRI Britama Junio ratusan ribu rupiah bagi juara satu sampai juara harapan tiga.

Pendaftaran pun dibuka mulai hari Rabu  27 Maret 2013 sampai satu jam sebelum acara digelar pada pukul 07.30 Sabtu pagi 6 April 2013 di Gedung JSN '45 Bulukumba.

Insya Allah dan tolong doakan kami agar kedua belas cerita rakyat daerah Bulukumba itu segera dapat kami persembahkan dalam bentuk sebuah buku antologi cerita rakyat Bulukumba yang juga dapat dinikmati di seluruh penjuru republik ini. Di samping itu kami memang memproyeksikannya untuk menjadi bahan muatan lokal di semua sekolah dasar di Bulukumba. Semoga bisa menjadi sekumpulan teks yang bermanfaat bagi semua, terkhusus anak-anak. Amin Ya Rabb.

Hujan Lentik-lentik di Januari

Posted By Alfian Nawawi on Selasa, 01 Januari 2013 | Januari 01, 2013

Hujan lentik-lentik di Januari. Oii, aku 
menangkapinya di sini. Tanah gembur dan sepasang burung 
kecil tak sepi-sepi
menghuni
pepohonan, belukar dan angin yang berpelukan.
Senyummu riak-riak di telaga. Oii, aku dijatuhi 
cinta.

Bijawang, Bulukumba 1434 Hijriah


Puisi yang saya tulis di atas tentu saja sangat subjektif. Puisi di atas belum bisa mempresentasikan sepotong surga kecil di bawah ini. Secara obyektif, kita lihat puisi yang sesungguhnya dalam bentuk foto-foto.

Lokasi wisata masa depan di Bumi Parita Lopi. Bayangkan jika di sini dibangun villa, lesehan, restauran, waterboom 150 meter, telaga tempat memancing ikan, arung jeram dengan rute darat yang pendek dan jalur sungai yang panjang. Cocok juga dibangun Playing Fox. Pepohonan yang rindang dan berbagai species burung dan hewan lainnya. Dilengkapi dengan lansdscap persawahan. Jaraknya 7 kilometer dari kota Bulukumba, Sulawesi Selatan. Berada di pinggir jalan nasional. Sangat mudah diakses. Tinggal menunggu investor. BERMINAT? SILAHKAN HUBUNGI  PEMILIKNYA: ABDUL KHALIK, S.Ag HP 085242555667.







Jejak-jejak senyap memukau dalam "Something In Bulukumba"

Posted By Alfian Nawawi on Kamis, 22 November 2012 | November 22, 2012



Resensi:

Judul Buku  : “Something In Bulukumba”
Penulis        : Anis Kurniawan
Penerbit      : P3i Press
Cetakan      : Pertama
Tahun          : 2012
Tebal           : 105 halaman


Kampung halaman yang eksotik bernama Bulukumba itu terletak di ujung  selatan Propinsi Sulawesi Selatan. Sejak dulu terkenal dengan industri perahu Phinisi, legenda hidup Suku Ammatowa di Kajang yang berpakaian serba hitam dan pasir putih Bira yang menawan. Terletak pada kondisi empat dimensi yakni dataran tinggi kaki Gunung Bawakaraeng dan Gunung Lompobattang, dataran rendah, pantai dan laut lepas menjadikan Bulukumba sebagai tempat mengasyikkan untuk jappa-jappa (jalan-jalan dalam bahasa Bugis) menelusuri kekhasan alam, perangai, local genius dan lekuk liuk sejarahnya.

Ilustrasi
Dalam buku ”Something In Bulukumba” yang ditulis oleh Anis Kurniawan  tertuang perihal berbagai sudut di Bulukumba yang ternyata selama ini merupakan kekayaan yang ‘terbenam’ dan belum pernah sebelumnya terekspose ke hadapan publik. Intelektual muda, cerpenis dan novelis alumnus S1 Fakultas Sastra UNM Makassar dan S2 Ilmu Komunikasi Politik UGM Jogjakarta ini berhasil memberitahu banyak orang melalui caranya ‘memotret’ Bulukumba pada banyak sisi yang selama ini tersembunyi.

Ditulis dengan bahasa ringan, menukik ke kumparan jurnalisme sastra, lebih tepatnya disebut begitu namun juga terjebak citizen reporter, perjalanannya menjelajah kampung-kampung di Bulukumba membangkitkan rasa  penasaran  untuk menerjemahkan makna-makna di balik suatu realitas, objek wisata atau situs budaya yang dia jelajahi. Seperti jejak-jejak senyap  yang entah apa tapi memukau.

Kemungkinan yang paling masuk akal,  buku ini pada mulanya terdiri dari catatan singkat atas pengalaman pribadi penulisnya. Prosesnya bisa dimulai ketika mengunjungi suatu tempat kemudian terkumpul beberapa tulisan lainnya yang juga meneropong sisi-sisi terdalam berbagai objek untuk ‘dipotret’ tanpa beban metodologi tertentu. Rentetan perjalanan memukau dalam buku ini sebenarnya bukan catatan sejarah yang detail, komprehensif terlebih lagi penelitian ilmiah yang teoritik dan komplit.

Objek-objek yang diangkat dalam  buku ini kebanyakan berada di pelosok-pelosok desa bahkan sebagian termasuk teralienasi. Rasanya agak sulit membayangkan betapa otentitas suatu situs budaya, cerita, jejak tokoh masih tersimpan di ingatan warga sekitarnya. Lalu itu semua dipaparkan dengan gaya citizen reporter bahkan jurnalisme sastra.

Anis tidak memakai metodologi penelitian tertentu, tidak pula bertendensi memecahkan masalah tertentu secara kompleks dan analitik. Justru dengan santai penulis menghindar dari klaim sebagai peneliti, lalu lebih memilih cara penulisan dan penelusuran fakta-fakta secara bebas dan lepas. Tendensi terhadap fenomena atau objek yang dituliskan murni untuk sekedar membeberkan pengalaman personal atas apa yangdia tangkap secara subjektif. Bisa jadi kumpulan tulisan perjalanan ini merupakan provokasi atau inspirasi atas kenyataan terdekat yang luput dari pengamatan di sekitar kita.

Sebagian besar catatan di buku ini merupakan potensi-potensi pariwisata yang seharusnya bisa dimaksimalkan menjadi potensi ekonomi. Bisa ditengok pada bab di mana penulis melanglang buana ke sepotong surga di Bulukumba bernama danau kahayya. Potensi eco-wisata di kahayya akan mengundang perhatian banyak wisatawan di tengah kerinduan dan minat tinggi masyarakat terhadap wisata alam. Lalu menyusuri Pantai lemo-lemo, salah satu alternatif wisata pantai yang belum dibenahi secara maksimal. Pantai yang di sekitarnya ada Taman Hutan Raya (Tahura) ini oleh sebagian besar masyarakat Bulukumba sendiri belum terlampau dikenal. Padahal pantai ini berpotensi menjelma menjadi wisata pantai terpadu yang mendatangkan pendapatan bagi daerah.

Yang juga sangat menarik, penulis buku ini juga memaparkan tentang sebuah radio legendaris di Bulukumba, Radio Cempaka Asri (RCA) 102,5 FM. Radio yang eksis hingga kini sebagai radio yang sangat merakyat dinilai menginspirasi masyarakat Bulukumba selama ini. Sejak berpuluh tahun silam masyarakat Bulukumba bahkan di selatan-selatan Sulawesi Selatan diperdengarkan dengan siaran-siaran berkualitas dan sehat.Terbetik pemahaman bahwa kebutuhan akan media lokal yang kental akan semangat local genius dan nilai-nilai kebangsaan selalu didambakan publik.

Begitupun dengan sisi-sisi humanis dalam masyarakat yang mengalami pengalaman akulturasi turun temurun pada masyarakat Mandar dan Konjo di Turungan Beru. Atau kedekatan emosional masyarakat Bone dan pribumi Ulutedong di Desa Garanta Kecamatan Ujung Loe. Atau cerita tentang masuknya tentara di Sampeang desa Swatani yang melahirkan banyak cerita-cerita menarik tentang pasar dan sebuah desa yang dihuni banyak pensiunan tentara.

Kelihatannya penulis memang sengaja tidak berminat mengeksplorasi sisi-sisi pariwisata secara lengkap di Bulukumba, terutama informasi tentang tempat-tempat wisata yang sudah ternama. Buku ini hanya ingin mengatakan bahwa Bulukumba sebenarnya tidak hanya memiliki Pantai Bira yang eksotik dengan pasir putihnya yang menawan. Inilah sebuah kabupaten yang kaya akan potensi pariwisata dan memiliki kekhasan tersendiri dalam dinamika sosialnya. Sebagai kabupaten dengan pantai terpanjang di Sulsel, potensi wisata pantai di Bulukumba memiliki banyak pilihan selain Pantai Bira yang sudah mendunia antara lain; pantai Panrang Lahu, Pantai Marumasa, Pantai Mandala Ria, Pantai Kasuso, Samboang dan juga Lemo-Lemo. Sebagian dari pantai ini hanya dikembangkan secara alami tanpa perencanaan wisata yang maksimal.

Bulukumba juga memiliki potensi wisata alam sangat variatif antara lain; air terjun Bravo, permandian alam limbuaq Hila-Hila, gua Malukua, gua Passea, gua Pasohara, puncak Pua Janggo dan Kahayya sendiri. Termasuk potensi wisata agro seperti; perkebunan karet dan agro wisata tambak.

Sayangnya memang dari potensi yang demikian besar itu, perhatian dan political will dari pihak pemerintah untuk mengembangkannya sebesar-besarnya demi kesejahteraan masyarakat belum sepenuhnya terlihat. Masyarakat yang bermukim di sekitar pantai Lemo-Lemo bisa menjadi contoh betapa keinginan mereka untuk hidup lebih baik belum kesampaian, meski mereka hidup di sekitar pantai yang istimewa.

Buku ini akan membuka mata hati kita bahwa rupanya ada begitu banyak hal yang tiada ternilai harganya di sekitar kita. Keunikan dan kekayaan yang ada itu harusnya memang dijaga bahkan dikembangkan. Dan yang paling penting adalah memperluas informasinya ke luar bahkan ke dunia internasional agar ada keinginan bagi orang lain untuk berkunjung ke Bulukumba.

Penulis tidak sempat mengangkat semua sisi menarik yang jumlahnya memang cukup banyak di tiap kecamatan di Bulukumba. Tetapi dengan alasan tertentu tetap berusaha untuk merepresentasikan seluruh catatan dari keberadaan sepuluh kecamatan di Bulukumba. Di kecamatan Rilau-Ale misalnya tertuang cerita tentang pasar tantara’ dan penyebaran agama Islam yang pertama kali di Bulukumba Bahagian Barat.
Khusus kecamatan Bulukumpa pembaca bisa menelusuri tradisi berdemokrasi di batu tujua serta kepercayaan masyarakat terhadap bukit karaeng-puang, serta potensi wisata di Balantaroang. Ketiganya merupakan tempat yang menarik namun luput dari pantauan banyak orang.

Di Kecamatan Kajang, kita akan terkesima dengan tradisi pengambilan keputusan dalam konflik sosial di kawasan Adat Kajang serta saksi bisu jembatan gantung Raowe yang hingga kini belum direhabilitasi meski usianya sudah dua dekade. Selain pantai Lemo-Lemo yang berada di kecamatan Bontotiro, penulis juga menulis catatan kecil tentang mesjid tertua yang diinisiasi oleh Dato Tiro’ sejak abad 17 silam.

Eksotisme Bunga Santigi di Bira  sengaja juga  diangkat karena kekhasan bunga ini. Bunga Santigi harganya sangat mahal dan bernilai ekspor, sayangnya belum ada akses informasi secara luas tentang keberadaan bunga tersebut.

Masih terlampau banyak yang nampaknya memang sengaja belum ditulis di buku ini. Ada banyak cerita dan perihal di Bulukumba  yang semestinya ‘mencubit-cubit’ perhatian. Puluhan objek-objek menarik di Bulukumba yang suatu saat harus terdokumentasi semuanya: tentang cerita di balik penamaan desa-desa, cerita di balik sungai-sungai bahkan cerita tentang sejumlah situs penting di Bulukumba antara lain; Makam Tonrang Gowa, Makam Matinroe Ri Puranga, Makam Maddikae Ri Barabba, Kompleks Makam Raja-Raja Gowa Ri Campagaya, Leang Passea, Leang Lajaya, Tempat Persemedian Puang Janggo, Kompleks Makam Sengngeng Lampe Uttu, Makam Lambere Dodoa, Situs Pra Sejarah Sapa Bessi, Makam Karaeng Sapohatu, Makam Massarussung Dg. Palinge, Kompleks Makam Boto Dg. Pabeta, Kompleks Makam Sugi Dg. Manontong, Kompleks Makam Possi Tana, dan banyak lagi situs penting lainnya. Inilah kekayaan lokal genius yang memukau dan tersembunyi. (*)

Selalu Ada Ternyata Yang Tak Sepagi Kita Tunggu

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 21 Oktober 2012 | Oktober 21, 2012

- buat  bi

menyanyikanmu atau menuliskanmu dalam bentuk huruf-huruf kecil,
bacalah: "tibalah waktunya kau menerjemahkanku."

seperti kelopak bunga, teh manis, pena dan kisah-kisah yang mencintaimu
 sebagai ribuan paragraf yang tanpa henti mengepung 
seperti itu, titik. tapi tetap menulis koma


pada deru - deru atau matahari yang telat menyambangi kamar berdua
selalu ada ternyata yang tak sepagi kita tunggu.

bulukumba, 20 oktober 2012.

‘Bumi Manusia’ Pramoedya di Festival Sastra Ubud

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 03 Oktober 2012 | Oktober 03, 2012


Karya besar Pramoedya Ananta Toer "Bumi Manusia" kembali digagas untuk dibahas oleh para sastrawan. Puluhan penulis dan budayawan akan mengapresiasi karya besar Pramoedya itu dalam sebuah festival sastra di kawasan wisata Ubud, Gianyar, Bali.  Festival sastra bertajuk Ubud Writers and Readers Festival kembali digelar sejak Rabu (3/10/2012). 

Festival Sastra di Ubud ini digelar di beberapa venue terpisah, di antaranya di Museum Neka, Indus, Left Bank Lounge, dan Rumah Baca serta Museum Puri Lukisan Ubud. Demikian melalui siaran pers, dikutip dari kompas.com. 

Festival ini juga menghadirkan penulis muda dari pelosok Nusantara untuk bergabung dengan penulis ternama dari Indonesia dan dunia internasional dari 30 negara. 


Selain malam apresiasi karya sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, festival sastra yang dibuka resmi pada Kamis (4/10/2012) dan berlangsung sampai akhir pekan ini juga diisi dengan sejumlah kegiatan, di antaranya diskusi dan pemutaran film. (*)

Lontara Rindu: Lazim dan Berani

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 03 September 2012 | September 03, 2012

Sebahagian teman yang pernah membacanya mengatakan, novel ini genit dan memukau. Sebenarnya Novel "Lontara Rindu" karya S. Gegge Mappangewa ini sepintas biasa saja. Bahkan cenderung mengikuti gaya novel sebelum-sebelumnya yang mengambil setting lokasi daerah di Indonesia. 

Panorama sejarah dan lukisan palung-palung budayanya adalah asal mula adat istiadat Bugis terbentuk dan terbukukan dalam lontara. Genit dan memukau yang dihadirkan dalam bentuk kisah abadi Nenek Mallomo, sehingga menjadi adat yang dipatuhi oleh banyak generasinya sampai saat ini.

Setting lokasinya adalah tanah Bugis, Sulawesi Selatan. Hal itu terjadi mengingat wilayah Indonesia yang memiliki ragam budaya yang berbeda tetapi ada kemiripan di berbagai sisi. Keistimewaan novel baru terasa setelah memasuki bagian dua pertiga novel hingga tamat.

Lontara Rindu
Tanah Adat Bugis yang menjadi setting lokasi novel ini merupakan kontribusi khususi bagi dahaga primordialisme Bugis. Di sisi lain bisa jadi merupakan setitik pencerah bagi 'gurun gersang' penulis-penulis Sulawesi Selatan.

Yang termasuk biasa tentunya, novel ini juga menampilkan 
setting psikologis yang menggambarkan pergumulan batin para tokohnya.

Seperti biasa tokoh-tokohnya tidak digambarkan secara utuh, di mana seseorang yang baik akan terus baik dari awal sampai akhir, tetapi digambarkan hitam-putih, bahkan abu-abu. Ilham yang dulunya pengecut, di akhir hayatnya digambarkan menjadi orang baik dan menyesali perbuatannya masa lalu. Pak Japareng yang dulunya baik, berulah ingin menjadi penjual ballo’ (tuak) karena tergiur uang yang banyak. Halimah yang dulunya taat orang tua, digambarkan membangkang, dan kembali menjadi muslim yang baik lagi. Vito yang aslinya baik, penyayang orang tua, tetapi karena sedang galau, dia banyak berulah dan sering berdusta.

Sebagai novel yang lazim, sangat biasa. Sebagai 'keberanian' maka S.Egge Mappangewa sangat istimewa dan berhasil memaparkan Bugis yang cukup rumit. Luar biasa, novel ini laku keras di Makassar. (*)



Sastra Islam dan Gejala Kita

Posted By Alfian Nawawi on Sabtu, 28 Juli 2012 | Juli 28, 2012


Sejujurnya saya tidak punya otoritas berbicara tentang Sastra Islam. Terlebih lagi ketika lebih jauh Sastra Islam harus dibawa ke meja polemik yang menggugat eksistensi bahkan keabsahannya yang terlanjur hadir di tengah masyarakat (yang sekuler). Namun dengan referensi beberapa ahli paling tidak kita bisa mencoba memahami Sastra islam. 

Ilustrasi Karya Sastra Islam
Sastra dalam Islam disebut dengan adab. Dalam keseharian, kita bisa menyebutnya sebagai kesopanan, kesantunan, atau dengan istilah kelembutan kata. Sebuah keniscayaan jika menilai sikap dan tingkah laku seseorang kita harus melihatnya dengan adab. Baik dengan melihat kesopanannya, kesantunannya, atau dengan kelembutan tutur katanya saat bicara. 

Menurut Shauqi Dhaif, adab (sastra) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan kemanusiaan, yang di dalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran. Dalam Islam, sastra haruslah mendorong hasrat masyarakat untuk menjadi pembaca yang baik. Masyarakatlah yang menjadi target utama pemahaman kesusastraan. Jadi sastra Islam lebih mengarah pada pembentukan jiwa.

Sedangkan definisi seni dan sastra Islam menurut Said Hawa dalam bukunya Al Islam, adalah seni/sastra yang berlandaskan kepada akhlak Islam. Senada dengan Said Hawa, menurut Ismail Raja Al Faruqi, seni Islam adalah seni infiniti (seni ketakterhinggaan), di mana semua bentuk kesenian diakomodir pada keyakinan akan Allah. Ia juga menyatakan bahwa ekspresi dan ajaran Alquran merupakan bahan materi terpenting bagi ikonografi seni/sastra Islam. Dengan demikian seni Islam dapat dikatakan sebagai seni Qurani atau seni Rabbani.

Lalu siapakah para penikmat Sastra Islam? Dalam menelusuri ranah ini kita jauh lebih gelap lagi. Tapi sebagai acuan, untuk menelisik wilayah penikmat Sastra Islam maka kita wajib memahami esensi adab dalam konsep Islam.  Penikmat dan Pembaca berada di dua ranah yang berbeda. Adab individu menentukan apresiasi kita terhadap Sastra Islam. Demikian halnya jika dikaitkan dengan Sastra Non-Islam. 


 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday