Latest Post

Swara Kebun yang Santun

Posted By Redaksi on Minggu, 12 Maret 2023 | Maret 12, 2023

Sebuah catatan kecil dari pertunjukan seni eksperimental "Swara Kebun" Al Farabi Bulukumba pada Sabtu, 4 Maret 2023.

Swara Kebun Al Farabi Bulukumba

Bukan rumah mewah. Ruang paling kaya dan merdeka adalah kebun. Para -perempuan itu menari dalam wilayah yang bisa kita sebut sebagai area tandus bagi moralitas. Lantaran mereka memang sengaja menari di bagian kebun yang tanpa rumputan. 

Sebuah periuk tanah liat yang tergantung di tiga batang bambu yang sebenarnya bisa saja ada api di bawahnya  itu harusnya menyentak kita. Simbol pangan itu tanpa api. Manusia sedang berada di ujung tanduk. Tak ada yang tahu apa isi periuk itu. Tak ada nyala api. Kita seharusnya bersiap menghadapi krisis pangan. Di sisi lain, krisis moral.

Sebelum terjadi Perang Dunia I banyak orang di dunia tak percaya bakal terjadi huru hara itu. Mereka harus mengungsi dan kembali ke alam. Pengulangan terjadi saat Perang Dunia II. Padahal banyak yang tak percaya akan terjadi karena kehancuran di Perang Dunia I. Kini, banyak yang tak bersiap terhadap Perang Dunia III. Lebih tepatnya, tak bersiap kembali ke alam ketika itu terjadi. Kita mau tak mau mencari 'kebun-kebun yang aman' di pelosok-pelosok saat huru hara terjadi. Adakah pesan itu dalam pertunjukan seni eksperimental Swara Kebun oleh Al Farabi Squad? Secara tegas, ya. Keseluruhan pertunjukan ini menunjukkan satu benang merah: kembali ke alam. Saat itu mungkin tak ada lagi internet dan kita harus menguasai cara bertani hingga berburu.

Lalu perempuan yang membawa kipas? Angin sejuk adalah kepunyaan kebun! Seharusnya para penjilat kekuasaan merasa tersindir. 

Ada pula perempuan yang meletakkan kursi kayu ke atas kepalanya. Dia terus menari. Ah, kekuasaan memang serakah. Entahlah, oligarki ataukah 'raja-raja  kecil" yang dia maksud melalui adegan itu? 

Musik magis yang ritmis, gitar akustik yang berdenting ditingkahi tiupan alat musik dari kerang, menambah keyakinan kita bahwa kekuasaan memang kerap lupa moral. Apakah terlalu rumit untuk mendengarkan senandung lirih dari simbol itu? Pertama, seni eksperimental dibawa ke dalam kebun karena ruang berkesenian semacam ini nyaris sulit ditemukan di kota. Apalagi mau berbicara tentang gedung kesenian. Kedua, musik etnis adalah ritual paling estetis dalam menghirup bunyi.

Dengarkan iramanya yang tanpa lirik. Terjemahannya secara eksperimental berbunyi: "Barangkali ada air yang sudah tidak lagi bisa mengairi persawahan petani akibat pengerukan tambang galian C di sungai?" Dan ini hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang pernah tenggelam dalam etnomusikologi.

Penegasannya bisa kita lihat pada gerak meliuk-liuk seorang lelaki di atas sebuah kursi. Lalu mengapa hanya dia yang berbaju warna putih? Warna semiotis itu benar-benar menampar kita yang lebih doyan mengagungkan jabatan. 

Peradaban manusia telanjur meletakkan kebun sebagai awal mula manusia mengenali hidup yang disokong  pangan. 

Begitulah, dari kebun -  simbolnya mewakili juga sawah dan ladang-  hidup kita pun beranjak penuh semangat saat rerumputan masih dibasahi embun. Bukan sebagian besar dari kita, melainkan petani kopi di kebun kopi, petani teh di kebun teh, petani cabe di kebun cabe, dan seterusnya. 

Entah dari mana awalnya, kebun tetiba saja menjadi simbol keserakahan penguasa. Lebih tepatnya simbol kekayaan. Sesiapa pun tahu, kebun adalah ruang bagi pangan. 

Kebun pun adalah ruang paling tematis bagi manusia yang mencari arti dan merekonstruksi realita, sebagaimana yang diperbuat seniman-seniman Al Farabi Bulukumba. Mereka menyindir hidup melalui bunyi dan gerak tapi mereka terlalu 'santun'.

Iqra' Bismirabbik

Posted By Redaksi on Kamis, 29 Oktober 2020 | Oktober 29, 2020

 Puisi Maulid: Mahrus Andis


Salam padamu, ya Muhammad
Salam padamu, ya Nabi
Salam padamu, ya Rasul
Salam padamu
Salam padamu
Salam padamu
Ya, Habiiib
Telah turun cahaya kepadamu
Muhammad Al Amin
Pendamai Barat
Pendamai Timur
عَطِّرِ اللّهُمَّ قَبْرَهُ الْكَرِيْمَ بِعَرْفٍ شَذِيٍّ مِنْ صَلَاة ٍوَ تَسْلِيْمٍ.
Semoga Tuhan menyemerbakkan dan mewangikan pusara Baginda
Dengan wangi-wangian aneka puspa
Berupa doa restu serta salawat kepadanya
Salam atasmu wahai umara'
Salam atasmu wahai ulama'
Salam atasmu wahai fuqaha'
Salam atasmu
Salam atasmu
Salam atasmu
Wahai muslimin
dan muslimat
Telah diutus pemimpin kepadamu
Ikutlah ia
Sepanjang di jalan kebenaran
Salam bagimu para kiyai
Salam bagimu para pendidik
Salam bagimu para tentara dan polisi
Salam bagimu para pelajar dan mahasiswa
Salam bagimu para seniman dan gelandangan
Salam bagimu
Salam bagimu
Salam bagimu
para nelayan
dan petani
Telah dinobatkan kehadiranmu di atas bumi
Khalifatan fil ardhi
Penyebar kasih
Penyubur cinta
اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَق
Bacalah dengan lafal Tuhanmu
Bacalah langit dan bumi
Bacalah bulan, bintang dan matahari
Bacalah gunung, laut dan lembah belantara
Bacalah kupu-kupu
dan bunga-bunga rumput
Iqra'
Bacalah matamu bacalah mulutmu bacalah rindumu
dan bacalah dosa-dosamu
Iqra' bismirabbik
Bacalah perutmu bacalah perutmu bacalah perutmu dan perut orang-orang miskin
Iqra'
Bacalah kedudukanmu
dan kedudukan
orang-orang di sekitarmu
اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَق
Bacalah maujud kefanaanmu
Dan sujuuuuuud ...!
Bersujudlah
Di hadapan Kursi Kerajaan Langit
dan
Bumi.

-1988 react 2020-

Sebut Lagi Aku Mahiya

Posted By Redaksi on Rabu, 28 Oktober 2020 | Oktober 28, 2020

Oleh: Nurfathana S.

Aku bersandar pada bahu senja
Antara Adzan dan Iqamah
Di sujud terakhir dan ketika turun hujan pagi tadi
Hingga sepetang ini..
Namamu terjerembab dalam benakku
Terima kasih untuk segala cinta
Maaf untuk segala kurang
Meski pernah kupercaya dalam cinta tak ada maaf dan terima kasih
Kamu tetap saja cinta untuk segala maaf dan terima kasihku
Aku menganut kepercayaan baru
Ketika cinta disebut-sebut sebagai nama lain dari kebebasan
Aku bebas mencintaimu bukan?
Dengan caraku, aku menunggu
Agar kau tidak tidak terganggu
Dengan lugu, aku merindu
Kau sebut Mahiya
Mahiya-mu, pada hari naskah-naskah janji terucap, pada penutupan bulan yang terus beranjak di tahun yang cukup rumit untuk tetap berdiri.

Diksi-Diksi Prematur

Posted By Redaksi on Rabu, 14 Oktober 2020 | Oktober 14, 2020

Esai Sastra: Mahrus Andis

Apakah yang dimaksud "diksi" puisi? Seorang calon penyair, atau anggaplah dia penyair, menjawab pertanyaan itu. Dia katakan, diksi ialah kata yang secara morfologis mengandung arti tertentu. "Kurang tepat," jawab saya. Wajahnya cemberut dan hatinya kecut. Mungkin orang itu merasa diteror kemerdekaan berpikirnya.

Kemudian saya melanjutkan. Diksi puisi ialah kata, atau kumpulan kata yang sudah melewati proses selektifitas secara intens di puncak perenungan batin, dan telah diputuskan menjadi konsep diri untuk mewakili ideologi puitik penyairnya.
"Itu artinya kata pilihan," seruduknya.
"Bukan ! Itu yang disebut "pilihan kata", jawab saya. Dia menatap saya dengan bolamata yang tajam. Bagai pisau silet, matanya mengiris otak kecil saya.
"Di mana letak perbedaan antara keduanya ?" Tanya dia.
"Di kepalamu," jawab saya santai. Wajahnya semakin cemberut, pasti hatinya kian kecut.
"Maksud saya, otak di kepalamu berbeda dengan konsepsi pemikiran saya." Sesaat kemudian, saya pun tuntaskan penjelasannya. Saya katakan bahwa "kata pilihan" hanyalah produk otak yang dipersiapkan untuk menyusun bahasa komunikasi dari hari ke hari. Sedangkan "pilihan kata" adalah hasil olahan batin ( otak + nurani + kesadaran estetik ) sebagai dasar membangun struktur puisi untuk bahasa komunikasi dari hati ke hati.
"Tapi bagaimana jika sebuah kata dalam puisi tidak diolah seperti itu ?" Selidiknya
"Itu namanya kata yang gagal mendiksi, " sambar saya.
"Maksudnya ?"
"Maksudnya; Diksi Prematur", kunci saya. Sang calon penyair, atau anggaplah penyair, itu terperangah.

Di kampung saya, prematur dalam bahasa Bugis artinya "loccoq", yaitu janin yang keluar dari rahim wanita sebelum tumbuh menjadi bayi. Diksi prematur ialah kata yang gagal menjadi diksi puisi. ***

- Makassar, 13 Oktober 2020 -

Indonesia Tanpa Pancasila

Posted By Redaksi on Minggu, 04 Oktober 2020 | Oktober 04, 2020

oleh: Mahrus Andis

Indonesia tanah leluhur
Detak-detik jantung
Nafas segar mengalir
ke sumsum hari-harimu
Indonesia tanah yang gembur
Dari perutnya engkau makan dan menyusu
Di angin bukit mengalun
Indonesia lelapkan tidurmu
Tawarkan mimpi masa depan anak-anakmu
Indonesia ladang yang subur
bagi segenap rakyat bersatu
Tanpa Indonesia
Apa lagi yang engkau miliki ?
Petani dan nelayan kehilangan sawah-lautnya
Pelajar dan mahasiswa
akan bangkit menjadi pesilat lidah;
sepi dari ilmu
sunyi dari mimbar akademik
Tanpa Indonesia
Pegawai dan karyawan menjadi pengangguran
Para penganggur akan hidup terluntah-luntah dalam kehancuran
Tanpa Indonesia
Anak-anak yang engkau banggakan
kehilangan senyum
yang setiap waktu membuatmu bahagia
Istri-istri tersayang diamuk cemas menanti suami
sembul dari kepulan asap pemberontakan
Para suami didera gelisah
khawatir istri yang cantik diculik gerombolan perusuh
Indonesia adalah benteng paling kukuh
bagi negeri yang damai
Tanpa Indonesia
Sayap-sayap burung garuda
luruh satu-satu
Manik-manik kebangsaan yang engkau agungkan bertahun-tahun
terburai berantakan
Tanpa Indonesia
Panca Sila akan musnah tenggelam ke dalam comberan
Indonesia
tanpa Panca Sila
Ke langit siapa
engkau bersumpah ?
Indonesia
tanpa Panca Sila
Jangan bermimpi;
Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat
yang lapar.
 
-Blk, 30 September 2020-

Antara WIT dan WIB

Posted By Redaksi on Rabu, 23 September 2020 | September 23, 2020

 Oleh: Assyifa Barizza


Seperti hari-hari sebelumnya, setiap senja, di antara gemuruh ombak dan angin sore, aku selalu duduk di sini, di tepi pantai Tugulufa memandang langit yang berwarna kuning keemasan. Burung-burung camar beterbangan dengan siulannya yang menyejukkan hati, para muda-mudi, bercengkrama di sisi pantai dengan riang.

Di gazebo, aku mengeluarkan laptop dan mendudukkannya di meja. Mulai merangkai aksara demi aksara, hingga menjadi kalimat dan terangkum dalam cerita yang indah. Aku bukan penulis yang pandai memainkan diksi, hanya seorang perempuan yang hobi menulis dan mengirimnya pada koran dan majalah untuk dimuat. Beberapa kali sering ditolak, tapi aku tak pernah menyerah. Hingga sekarang tulisanku sudah mulai dilirik.

Sore ini, otak beku. Tak ada ide yang muncul. Apakah aku harus menulis kisahku sendiri? Tentang kisah percintaan yang dipisahkan oleh jarak yang selalu menciptakan rindu!

Benar saja, saat mengingat sang Kekasih yang tengah menimba ilmu di kota gudeg, Yogyakarta, rindu pun tak terelakkan. Bayangannya datang mengusik jiwa yang gundah. Ah, apa yang harus kulakukan? Memandangi fotonya saja, tidak pernah cukup bagiku.

Dua tahun yang lalu, di tempat ini. Dia mengajakku menikmati sunset, kemudian mengabadikan diriku dalam kamera miliknya. Siapa sangka, dia akan pamit untuk melanjutkan studi di kota WIB, propinsi yang berbeda waktu dua jam dari timur.

"Aku akan ke Jogja, Veena," ucapnya kala itu yang menimbulkan kabut di mataku. "Aku akan melanjutkan S2."

Aku berusaha kuat, mencoba tersenyum tegar, walau ada sedikit ketidak relaaan. Namun, apa hakku untuk menghalangi cita-citanya yang ingin menjadi seorang dosen?

"Pergilah, Kak Raka. Raih cita-citamu."

"Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu, gadis manis-ku?" sahutnya sembari menggemgam tanganku berjalan menyusuri tepi pantai sembari menatap langit yang berwarna jingga.

"Bukankah kita bisa saling video call?" Aku tersenyum padanya dan dia balas dengan elusan lembut di pipiku.

"Berjanjilah untuk menungguku, Veena."

Aku mengangguk. Lalu saling menautkan tangan. Berjanji untuk saling setia. Di saksikan sunset langit timur, kita saling berpandangan, tak ada kata yang terucap, hanya mata yang berbicara.

"Veena?"

Terdengar suara berat, membuat lamunanku terjeda dan memilih untuk menutupnya. Karena cerita tentang Kak Raka, tak pernah ada habisnya. Selalu indah untuk dikenang. Lelakiku, yang selalu menemaniku saat dia masih berada di sini.

"Kak Dave?" Aku menjawab sapaan dari laki-laki yang langsung duduk di hadapanku. Dia ini adalah sahabat dekat Kak Raka, jadi kami cukup akrab.

"Kau sepertinya menyukai tempat ini."

"Iya. Di sini, kadang aku menemukan ide untuk menulis."

"Bukan karena alasan lain?"

Sejenak aku menghela napas, memalingkan muka ke arah laut, memandang perahu nelayan yang mulai berseliweran. Tak bisa kutampik ucapan Kak Dave, alasan lain ke tempat ini, untuk mengenang kisah dengan Kak Raka. Kekasih yang sudah dua tahun di rantau.

"Apa kau yakin Raka masih setia padamu?" Apa yang baru saja terlontar dari mulut Kak Dave, membuat keningku berkerut.

"Apa maksudmu, Kak? Aku tidak pernah meragukan cintanya."

"Jangan terlalu naif jadi perempuan, Veena."

"Stop, Kak Dave. Jangan pernah menjelekan dia di hadapanku." Suaraku agak kutekan, berusaha untuk tidak memperlihatkan emosi yang langsung hadir saat ini juga.

"Aku hanya mengingatkan. Karena … aku tidak ingin kau disakiti."

"Sudahlah, Kak. Aku lebih tahu tentang Kak Raka daripada kamu." Segera kumatikan laptop, lalu berkemas untuk pulang. Langit sudah mulai gelap, pertanda siang akan segera berganti malam.

Perlahan aku meninggalkan pantai, tidak peduli dengan Kak Dave yang sepertinya masih ingin berbicara denganku. Namun? Apa maksud dia menjelekkan Kak Raka? Bukankah mereka adalah sahabat sejak dari bangku putih abu-abu?

Lagipula, mana mungkin Kak Raka tidak setia? Sejak dia di Yogyakarta, hubungan kami baik-baik saja. Setiap ada waktu luang, dia selalu berbicara tentang makanan khas Jogja, jalan Malioboro, pasar Beringharjo, candi Borobudur, candi Prambanan, dan tempat-tempat wisata yang dia kunjungi.

"Suatu saat, aku akan mengajakmu ke sini." Begitu selalu ucapnya setiap mengakhiri perbincangan via telepon. Tentunya, ucapan itu selalu aku aminkan, semoga suatu saat terkabul.

***

 

Malam kian beranjak, mata masih enggan terpejam. Kembali aku membuka laptop, menuangkan ide yang ada di pikiranku saat ini. Renjana, itu tema yang aku akan tulis. Tentang kerinduan yang berlebih pada sang kekasih. Bukankah ini menggambarkan suasana hatiku sekarang?

Sejenak, aku membuka galeri foto di ponsel, menatap wajah tampan sang Pujaan yang tersenyum. Hatiku menghangat, tatkala puas menatapnya. Lalu, ide mulai bermunculan, tangan pun dengan lincah menari di atas keyboard laptop.

Saat asyik merangkai kata, ponselku berdering. Ada notifikasi pesan yang masuk di aplikasi WhatsApp. Senyumku mengembang, saat melihat nama yang tertera. Ah, sepertinya dia tahu, kalau aku begitu merindukannya.

Senyuman itu hilang saat membaca pesan. Tanpa seizinku, air mata sudah mulai membasahi pipi. Aku menantikan kata rindu darinya, tapi kenapa dia menyebut perempuan lain di pesannya?

[Vee. Maafkan aku. Ada perempuan yang menyukaiku. Di sini, dia sering membantuku di kala kesusahan. Sore tadi dia bilang, kalau dia menyukaiku dan ingin menjadi kekasihku. Aku tahu ini menyakitkan bagimu, Vee.]

Aku berharap, pesan itu hanyalah prank dari Kak Raka. Atau, hanya sebuah mimpi buruk. Ternyata dugaanku salah, selang beberapa menit kemudian, dia kembali mengirim pesan dan juga foto dirinya bersama seorang gadis cantik.

Air mata mulai menganak sungai, dan kubiarkan begitu saja. Ingin rasanya, di antara desau angin dan bunyi burung malam, berteriak menumpahkan rasa sakit  yang dihadiahkan oleh laki-laki yang katanya mencintaiku.

Aku tidak bisa membaca pesannya lebih lanjut, itu akan semakin menyakitkan. Kulemparkan ponsel ke pojok kamar, lalu menenggelamkan diri dalam tangisan. Mengurai rasa sakit yang tak terbahasakan.

Jadi yang dikatakan Kak Dave tadi di pantai itu benar adanya? Sepertinya, dia sudah mengetahui sesuatu tentang Kak Raka dan aku malah mengabaikan perkataannya.

Aku memang perempuan naif. Terlalu percaya dengan Kak Raka dan janji yang pernah dia ikrarkan sebelum pergi. Nyatanya, dengan adanya jarak yang membentang, dia melupakan segala janji yang pernah dia ucap. Menyedihkan.

***

Hari demi hari telah terlewati. Aku lebih banyak menyibukkan diri dengan menulis, dan juga menjadi seorang pendidik di sekolah menengah atas.

Kenangan tentang Kak Raka tak bisa terhapus begitu saja dari benak. Dia tetap masih ada, meski namaku di hatinya telah tergantikan perempuan lain. Rindu masih setia menemani, meski itu bukan hakku lagi.

Kak Raka, bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu, sementara banyak waktu yang telah kita lewati bersama. Banyak kenangan yang telah kita rangkum dan menjadikannya kisah yang indah. Dan kenapa kau mengoyaknya? Apakah kenangan yang telah kita ciptakan itu, tidak ada artinya bagimu?

Bulir air mata kembali membasahi pipiku.

Kenapa diriku selemah ini? Seorang lelaki pengkhianat, tidak pantas untuk ditangisi. Yah, harusnya aku belajar untuk melupakannya, tidak harus memelihara luka ini.

"Hapus air matamu." Seseorang yang selama ini selalu hadir di saat aku menangis, datang menyodorkan selembar sapu tangan. Kak Dave, dia selalu datang, berusaha untuk menghiburku.

"Makasih, Kak," sahutku sembari menghapus air mata.

"Sampai kapan kau harus menangis?"

"Entahlah, Kak. Setiap kali aku mengingat Kak Raka, aku tidak bisa tahan untuk tidak menangis."

"Percayalah, Raka juga mencintaimu. Dia hanya membalas budi perempuan itu."

"Maksud, Kakak?" Aku kaget mendengar perkataan Kak Dave.

"Tadi malam, Raka menelponku. Menjelaskan semuanya. Di sana dia pernah demam seminggu, dan perempuan itu yang merawatnya, membantunya di setiap dia kesulitan di sana. Makanya, dia tidak enak menolak perempuan yang bernama Anandita itu.  Oh, ya, Raka meminta maaf padamu." Kak Dave mengakhiri bicaranya.

Sayangnya, apapun yang dikatakan Kak Dave tentang Kak Raka, tidaklah menyembuhkan rasa sakitku. Pembenaran apapun yang dilakukan olehnya, tetaplah tidak akan mengubah keadaan. Dia sekarang milik orang lain.

Sejenak aku tertawa. Mencoba menetralisir hati yang bergejolak di dalam sana. Menurutku, seberapa banyak godaan yang datang, jika lelakimu setia, dia takkan pernah meninggalkanmu. Jangan jadikan balas budi sebagai alibi untuk menutupi kebusukan.

Apakah dia tahu? Sejak dia menuntut ilmu di provinsi yang istimewa itu, beberapa orang yang datang mencoba menggoyahkan kesetiaanku, tapi aku bertahan untuk tetap menjaga hatiku untuknya.

"Apakah hatimu tidak ada tempat orang lain, Veena?" Kak Dave memecahkan lamunanku.

"Maksud, Kak Dave?"

"Biarkan aku menyembuhkan lukamu." Kak Dave mencoba meraih tanganku dan menggemgamnya.

Aku menggeleng pelan. "Butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka itu, Kak. Aku tidak ingin menjadikan Kakak sebagai pelampiasan. Untuk sementara, aku ingin sendiri dulu."

"Aku memahami perasaanmu, Vee. Dan aku akan tetap menunggumu."

Sejenak, kutatap laki-laki bermata elang itu. Kutemukan sebuah ketulusan di sana. Laki-laki yang bekerja di kepolisian itu, mencoba meyakinkanku dengan mengecup tanganku. Atau, jangan-jangan dia cuma kasian terhadapku?

"Kenapa harus aku, Kak? Banyak perempuan di luar sana yang bisa Kakak pilih." Dengan profesinya sebagai polisi, tentunya banyak perempuan yang ingin menjadi kekasih dari Kak Dave. Apalagi dengan wajah tampan yang menambah daya tariknya.

"Karena … aku menyukaimu sejak pertama bertemu denganmu. Sayangnya, kau sudah milik sahabatku, Raka."

"Maaf, Kak. Untuk saat ini, kau tetap seorang sahabat bagiku."

"Aku memahami itu." Kak Dave tersenyum lembut. "Aku akan menunggumu sampai kau jatuh cinta padaku."

Senja mulai lenyap di langit. Aku dan Kak Dave perlahan meninggalkan kafe yang terletak di tepi pantai, tempat ternyaman yang sering kukunjungi.

***

Aku baru saja menyelesaikan deadline tulisan yang akan kukirim pada sebuah majalah, ponsel yang tergeletak di atas nakas berdering. Ada pesan yang masuk, dari nomor yang tak kukenal.

[Kau perempuan beruntung, hanya kau yang dicintai oleh Raka. Aku salah, aku pikir, seiring dengan waktu, dia bisa mencintaiku. Nyatanya tidak.] Isi pesan itu.

[Maaf, anda siapa?]

[Anandita. Kekasih Raka di Jogja.]

[Tapi setidaknya ada telah menang untuk saat ini, aku hanya masa lalu, dan anda masa depan.]

[Aku menyerah. Hatinya hanya milikmu.]

[Aku yakin, suatu saat anda bisa memenangkan hatinya.]

[Pantas saja Raka begitu mencintaimu. Kau gadis yang sangat baik. Oh, ya, Maaf, aku mengambil nomormu dari ponsel Raka secara diam-diam.]

Tidak kubalas lagi pesan dari perempuan yang bernama Anandita itu. Aku akui, masih ada rasa yang tersimpan di dalam sana, tapi bukan berarti aku akan berjuang untuk mendapatkan cinta Kak Raka kembali.

Yang telah pergi, biarkan saja. Setelah dia mampir di hati perempuan lain, aku tidak punya alasan untuk menahannya bersamaku. Aku akan mencoba belajar untuk mengikhlaskannya. Semoga waktu, bisa menghilangkan segala rasa yang pernah tumbuh untuk Kak Raka.

Aku hampir terbunuh oleh rindu, tapi tidak dengan cintaku. Aku akan merawatnya, meski belum tahu siapa yang akan memilikinya. Bisa saja dari luka itu, akan tumbuh seribu rindu untuk seseorang yang pantas mendapatkannya.

Apakah cintaku akan berlabuh pada Kak Dave? Atau pada laki-laki lain? Entahlah. Biarlah waktu dan takdir yang menjawabnya.

Tidore, 21 September 2020

Kemerdekaan Adalah Senyum Manis Buat Istri

Posted By Redaksi on Senin, 21 September 2020 | September 21, 2020

Oleh: Mahrus Andis

 


Kemerdekaan bukanlah kehebatan
meletupkan dahaga
di botol-botol minuman
Kemerdekaan bukan pula keberingasan
menjejal orasi tepi jalan
mengusung spanduk kematian
Kemerdekaan tidak juga bermakna kebebasan
menorehkan catatan kepentingan
di atas lembaran kehidupan
Kemerdekaan adalah senyum manis buat istri
mengalir di sungai nurani
Sepi
dari
penjajahan birahi.
 
(Balada Kursi-kursi, 2014)

Sahabat

Posted By Redaksi on Kamis, 17 September 2020 | September 17, 2020

Oleh: Maya Akhmad


Semilir angin 
Mengalir lembut 
Menyapa sukma
Hingga ke relung relung
Kian hampa
Berpacu detak jantung 
Menanti

Sahabat ...
Semasih purnama berganti
Rinduku tetap menanti
Di segenap denyut nadi
Sampai mati

Sahabat ....
Senyumlah seelok rembulan
Agar hatiku tetap damai
Bersama mimpi 
Yang panjang

Bumi Salassae tercinta, September 2020

Lorong Baru

Posted By Redaksi on Jumat, 04 September 2020 | September 04, 2020

Oleh: Maya Akhmad

Sering ku dengar 
Suara itu 
Suara seruling merdu
Sang petani
Tembangnya menggema
Dari desah dedaunan 
Di antara kaki bukit
Riuh suaranya
Lirih terdengar
Mendayu...

Di lorong baru 
Ada desah nafas cinta dan rindu
Tentang matahari 
Yang mencintai bumi
Tentang hujan
Yang membasahi tanah kering
Tentang langit dan mega 
Yang berkejar kejaran
Begitulah kidung sang petani
Begitu pun kehidupan
Suka duka silih berganti

Di lorong baru
Saban waktu sang istri mengeluh
Tentang hasil panen 
Yang tak memadai
Tentang harga pupuk
Yang melonjak
Tentang pupuk bersusidi
Yang langka
Mengeluh seperti berada
Di padang tandus
Mengeluh seperti berjalan
Pada  kerikil kerikil tajam
Kehidupan yang semakin membelit 

Di lorong baru
Semangat kehidupan
Mulai tumbuh
Seiring persaudaraan 
Semakin erat
Di temani secangkir kopi pahit
Kian terasa manis
Riuh senda gurau
Dan lintingan tembakau kampung
Memacu semangat
Yang tiada henti
Di lorong baru
Kehidupan akan segera mulai


(buat kawan di lorong baru)
Butta Salassa' tercinta 
4 September 2020

Petaka


Oleh: Adhe Lely Serly Dewi

Cincin perak melingkar di jari manisnya
Kepingan harapan berhamburan di sisinya
Mata sembab memerah, jadi muara air yang tak pernah usai mengaliri pipinya
Ditertawakan angin malam, membelai rambut yang mulai acak acakan
Ia calon pengantin yang esok hari akan menghadapi ribuan tanya atas segala perihnya.

Lelaki yang ia cinta memilih meninggalkannya saat ribuan mata telah mendoakan, 
Ia pergi dengan pengkhianatan, meminta untuk dikutuk atas segala dosanya.

Hari ini harusnya kita telah tersenyum bersama menyambut tamu yang datang, aku telah cantik dengan balutan busana pengantin pilihan mu kemarin, dan kau akan terlihat gagah dengan taksedo hitam yang jelas kesukaanmu, tepat sejam yang lalu seharusnya kita telah sah hidup bersama dan ku jadi wanita terbahagia saat itu.

Namun  itu hanya sekedar impianku, kini hanya tinggal luka yang ku yakini akan terus bersamaku hingga mati, cincin yang melingkar di jari manisku kini hanya jadi bahan cemooh mereka yang tak menyukai. Aku adalah calon pengantin yang di tinggal pergi oleh kekasih di hari pernikahan, di saat semua orang telah mendoakan hidup kita bahagia hingga nanti.

Malam ini seharusnya jadi malam bahagia untuk ku karna telah ada dirimu yang halal disisi, kini hanya angin malam yang menertawakan  nasib, di tinggal kekasihnya yang memilih untuk mendua, kau tahu saat ini hanya sesal yang kurasa, mengapa aku mencintaimu sangat, dan ingin hidup  bersamamu.

Malam ini bumi ibarat hancur berantakan tak ada alasan untuk menatap pagi di hari esok, hatiku masih tak siap menjawab segala tanya yang menghampiri, hidupku akan terus mengutukmu walau hati dengan bodohnya masih mencintai.

Adhe Lely Serly Dewi, gadis yang lahir di Salassae, Bulukumba, Sulawesi Selatan pada 3 juni 1998. Menyelesaikan pendidikan terakhir di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Jurusan Bisnis Islam dan Menejemen di UIM. Di sela-sela aktivitasnya pada bagian administrasi di PKM Desa Slassae, gadis ini banyak menulis termasuk puisi-puisi.
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday