
Sastra pop punya kelebihan yaitu kemudahan dicerna. Sastra Pop mengikuti kemauan pasar dan tidak macam-macam. Lain halnya dengan karya sastra serius yang bersifat defamiliarized. Itu yang membuat karya sastra terlihat aneh. Makanya membaca karya sastra serius tidak menarik bagi orang-orang yang memang hanya mau makan snack. Tapi siapapun pasti setuju bahwa snack adalah makanan paling renyah walau tidak mengenyangkan.
Remaja era '90-an yang membaca Lupus karya Hilman atau ribuan novel lainnya yang dicap sebagai sastra pop sungguh tidak ada larangan. Sebagaimana tidak ada larangan untuk makan snack sebagai pengganti makan siang. Membaca dan memilih bahan bacaan adalah soal selera. Salah satu keunggulan yang nyata adalah bahwa sastra pop mampu memberikan pencerahan dan mengubah prilaku remaja. Buktinya remaja di era '90-an yang hampir semuanya bisa meniru penampilan tokoh Lupus. Sastra pop yang identik dengan bahasa prokem, gaul, tidak baku dan semacamnya mungkin saja turut memberi andil sehingga remaja kita kurang begitu mencintai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sayang sekali belum pernah ada sebuah penelitian apakah remaja yang suka membaca sastra pop punya kemungkinan mencintai jenis sastra serius saat mereka dewasa?
Satu bukti, saya sendiri pengemar novel pop, prokem atau apapun namanya. Di masa kanak-kanak malah saya suka komik dan novel silat. Menginjak usia 20-an saya mulai menggemari karya Pramoedya Ananta Toer, Motinggo Busye, dan yang lainnya. Bagaimana dengan anda? Sastra snack memang renyah di masa remaja.