Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Antara WIT dan WIB

Posted By Redaksi on Rabu, 23 September 2020 | September 23, 2020

 Oleh: Assyifa Barizza


Seperti hari-hari sebelumnya, setiap senja, di antara gemuruh ombak dan angin sore, aku selalu duduk di sini, di tepi pantai Tugulufa memandang langit yang berwarna kuning keemasan. Burung-burung camar beterbangan dengan siulannya yang menyejukkan hati, para muda-mudi, bercengkrama di sisi pantai dengan riang.

Di gazebo, aku mengeluarkan laptop dan mendudukkannya di meja. Mulai merangkai aksara demi aksara, hingga menjadi kalimat dan terangkum dalam cerita yang indah. Aku bukan penulis yang pandai memainkan diksi, hanya seorang perempuan yang hobi menulis dan mengirimnya pada koran dan majalah untuk dimuat. Beberapa kali sering ditolak, tapi aku tak pernah menyerah. Hingga sekarang tulisanku sudah mulai dilirik.

Sore ini, otak beku. Tak ada ide yang muncul. Apakah aku harus menulis kisahku sendiri? Tentang kisah percintaan yang dipisahkan oleh jarak yang selalu menciptakan rindu!

Benar saja, saat mengingat sang Kekasih yang tengah menimba ilmu di kota gudeg, Yogyakarta, rindu pun tak terelakkan. Bayangannya datang mengusik jiwa yang gundah. Ah, apa yang harus kulakukan? Memandangi fotonya saja, tidak pernah cukup bagiku.

Dua tahun yang lalu, di tempat ini. Dia mengajakku menikmati sunset, kemudian mengabadikan diriku dalam kamera miliknya. Siapa sangka, dia akan pamit untuk melanjutkan studi di kota WIB, propinsi yang berbeda waktu dua jam dari timur.

"Aku akan ke Jogja, Veena," ucapnya kala itu yang menimbulkan kabut di mataku. "Aku akan melanjutkan S2."

Aku berusaha kuat, mencoba tersenyum tegar, walau ada sedikit ketidak relaaan. Namun, apa hakku untuk menghalangi cita-citanya yang ingin menjadi seorang dosen?

"Pergilah, Kak Raka. Raih cita-citamu."

"Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu, gadis manis-ku?" sahutnya sembari menggemgam tanganku berjalan menyusuri tepi pantai sembari menatap langit yang berwarna jingga.

"Bukankah kita bisa saling video call?" Aku tersenyum padanya dan dia balas dengan elusan lembut di pipiku.

"Berjanjilah untuk menungguku, Veena."

Aku mengangguk. Lalu saling menautkan tangan. Berjanji untuk saling setia. Di saksikan sunset langit timur, kita saling berpandangan, tak ada kata yang terucap, hanya mata yang berbicara.

"Veena?"

Terdengar suara berat, membuat lamunanku terjeda dan memilih untuk menutupnya. Karena cerita tentang Kak Raka, tak pernah ada habisnya. Selalu indah untuk dikenang. Lelakiku, yang selalu menemaniku saat dia masih berada di sini.

"Kak Dave?" Aku menjawab sapaan dari laki-laki yang langsung duduk di hadapanku. Dia ini adalah sahabat dekat Kak Raka, jadi kami cukup akrab.

"Kau sepertinya menyukai tempat ini."

"Iya. Di sini, kadang aku menemukan ide untuk menulis."

"Bukan karena alasan lain?"

Sejenak aku menghela napas, memalingkan muka ke arah laut, memandang perahu nelayan yang mulai berseliweran. Tak bisa kutampik ucapan Kak Dave, alasan lain ke tempat ini, untuk mengenang kisah dengan Kak Raka. Kekasih yang sudah dua tahun di rantau.

"Apa kau yakin Raka masih setia padamu?" Apa yang baru saja terlontar dari mulut Kak Dave, membuat keningku berkerut.

"Apa maksudmu, Kak? Aku tidak pernah meragukan cintanya."

"Jangan terlalu naif jadi perempuan, Veena."

"Stop, Kak Dave. Jangan pernah menjelekan dia di hadapanku." Suaraku agak kutekan, berusaha untuk tidak memperlihatkan emosi yang langsung hadir saat ini juga.

"Aku hanya mengingatkan. Karena … aku tidak ingin kau disakiti."

"Sudahlah, Kak. Aku lebih tahu tentang Kak Raka daripada kamu." Segera kumatikan laptop, lalu berkemas untuk pulang. Langit sudah mulai gelap, pertanda siang akan segera berganti malam.

Perlahan aku meninggalkan pantai, tidak peduli dengan Kak Dave yang sepertinya masih ingin berbicara denganku. Namun? Apa maksud dia menjelekkan Kak Raka? Bukankah mereka adalah sahabat sejak dari bangku putih abu-abu?

Lagipula, mana mungkin Kak Raka tidak setia? Sejak dia di Yogyakarta, hubungan kami baik-baik saja. Setiap ada waktu luang, dia selalu berbicara tentang makanan khas Jogja, jalan Malioboro, pasar Beringharjo, candi Borobudur, candi Prambanan, dan tempat-tempat wisata yang dia kunjungi.

"Suatu saat, aku akan mengajakmu ke sini." Begitu selalu ucapnya setiap mengakhiri perbincangan via telepon. Tentunya, ucapan itu selalu aku aminkan, semoga suatu saat terkabul.

***

 

Malam kian beranjak, mata masih enggan terpejam. Kembali aku membuka laptop, menuangkan ide yang ada di pikiranku saat ini. Renjana, itu tema yang aku akan tulis. Tentang kerinduan yang berlebih pada sang kekasih. Bukankah ini menggambarkan suasana hatiku sekarang?

Sejenak, aku membuka galeri foto di ponsel, menatap wajah tampan sang Pujaan yang tersenyum. Hatiku menghangat, tatkala puas menatapnya. Lalu, ide mulai bermunculan, tangan pun dengan lincah menari di atas keyboard laptop.

Saat asyik merangkai kata, ponselku berdering. Ada notifikasi pesan yang masuk di aplikasi WhatsApp. Senyumku mengembang, saat melihat nama yang tertera. Ah, sepertinya dia tahu, kalau aku begitu merindukannya.

Senyuman itu hilang saat membaca pesan. Tanpa seizinku, air mata sudah mulai membasahi pipi. Aku menantikan kata rindu darinya, tapi kenapa dia menyebut perempuan lain di pesannya?

[Vee. Maafkan aku. Ada perempuan yang menyukaiku. Di sini, dia sering membantuku di kala kesusahan. Sore tadi dia bilang, kalau dia menyukaiku dan ingin menjadi kekasihku. Aku tahu ini menyakitkan bagimu, Vee.]

Aku berharap, pesan itu hanyalah prank dari Kak Raka. Atau, hanya sebuah mimpi buruk. Ternyata dugaanku salah, selang beberapa menit kemudian, dia kembali mengirim pesan dan juga foto dirinya bersama seorang gadis cantik.

Air mata mulai menganak sungai, dan kubiarkan begitu saja. Ingin rasanya, di antara desau angin dan bunyi burung malam, berteriak menumpahkan rasa sakit  yang dihadiahkan oleh laki-laki yang katanya mencintaiku.

Aku tidak bisa membaca pesannya lebih lanjut, itu akan semakin menyakitkan. Kulemparkan ponsel ke pojok kamar, lalu menenggelamkan diri dalam tangisan. Mengurai rasa sakit yang tak terbahasakan.

Jadi yang dikatakan Kak Dave tadi di pantai itu benar adanya? Sepertinya, dia sudah mengetahui sesuatu tentang Kak Raka dan aku malah mengabaikan perkataannya.

Aku memang perempuan naif. Terlalu percaya dengan Kak Raka dan janji yang pernah dia ikrarkan sebelum pergi. Nyatanya, dengan adanya jarak yang membentang, dia melupakan segala janji yang pernah dia ucap. Menyedihkan.

***

Hari demi hari telah terlewati. Aku lebih banyak menyibukkan diri dengan menulis, dan juga menjadi seorang pendidik di sekolah menengah atas.

Kenangan tentang Kak Raka tak bisa terhapus begitu saja dari benak. Dia tetap masih ada, meski namaku di hatinya telah tergantikan perempuan lain. Rindu masih setia menemani, meski itu bukan hakku lagi.

Kak Raka, bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu, sementara banyak waktu yang telah kita lewati bersama. Banyak kenangan yang telah kita rangkum dan menjadikannya kisah yang indah. Dan kenapa kau mengoyaknya? Apakah kenangan yang telah kita ciptakan itu, tidak ada artinya bagimu?

Bulir air mata kembali membasahi pipiku.

Kenapa diriku selemah ini? Seorang lelaki pengkhianat, tidak pantas untuk ditangisi. Yah, harusnya aku belajar untuk melupakannya, tidak harus memelihara luka ini.

"Hapus air matamu." Seseorang yang selama ini selalu hadir di saat aku menangis, datang menyodorkan selembar sapu tangan. Kak Dave, dia selalu datang, berusaha untuk menghiburku.

"Makasih, Kak," sahutku sembari menghapus air mata.

"Sampai kapan kau harus menangis?"

"Entahlah, Kak. Setiap kali aku mengingat Kak Raka, aku tidak bisa tahan untuk tidak menangis."

"Percayalah, Raka juga mencintaimu. Dia hanya membalas budi perempuan itu."

"Maksud, Kakak?" Aku kaget mendengar perkataan Kak Dave.

"Tadi malam, Raka menelponku. Menjelaskan semuanya. Di sana dia pernah demam seminggu, dan perempuan itu yang merawatnya, membantunya di setiap dia kesulitan di sana. Makanya, dia tidak enak menolak perempuan yang bernama Anandita itu.  Oh, ya, Raka meminta maaf padamu." Kak Dave mengakhiri bicaranya.

Sayangnya, apapun yang dikatakan Kak Dave tentang Kak Raka, tidaklah menyembuhkan rasa sakitku. Pembenaran apapun yang dilakukan olehnya, tetaplah tidak akan mengubah keadaan. Dia sekarang milik orang lain.

Sejenak aku tertawa. Mencoba menetralisir hati yang bergejolak di dalam sana. Menurutku, seberapa banyak godaan yang datang, jika lelakimu setia, dia takkan pernah meninggalkanmu. Jangan jadikan balas budi sebagai alibi untuk menutupi kebusukan.

Apakah dia tahu? Sejak dia menuntut ilmu di provinsi yang istimewa itu, beberapa orang yang datang mencoba menggoyahkan kesetiaanku, tapi aku bertahan untuk tetap menjaga hatiku untuknya.

"Apakah hatimu tidak ada tempat orang lain, Veena?" Kak Dave memecahkan lamunanku.

"Maksud, Kak Dave?"

"Biarkan aku menyembuhkan lukamu." Kak Dave mencoba meraih tanganku dan menggemgamnya.

Aku menggeleng pelan. "Butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka itu, Kak. Aku tidak ingin menjadikan Kakak sebagai pelampiasan. Untuk sementara, aku ingin sendiri dulu."

"Aku memahami perasaanmu, Vee. Dan aku akan tetap menunggumu."

Sejenak, kutatap laki-laki bermata elang itu. Kutemukan sebuah ketulusan di sana. Laki-laki yang bekerja di kepolisian itu, mencoba meyakinkanku dengan mengecup tanganku. Atau, jangan-jangan dia cuma kasian terhadapku?

"Kenapa harus aku, Kak? Banyak perempuan di luar sana yang bisa Kakak pilih." Dengan profesinya sebagai polisi, tentunya banyak perempuan yang ingin menjadi kekasih dari Kak Dave. Apalagi dengan wajah tampan yang menambah daya tariknya.

"Karena … aku menyukaimu sejak pertama bertemu denganmu. Sayangnya, kau sudah milik sahabatku, Raka."

"Maaf, Kak. Untuk saat ini, kau tetap seorang sahabat bagiku."

"Aku memahami itu." Kak Dave tersenyum lembut. "Aku akan menunggumu sampai kau jatuh cinta padaku."

Senja mulai lenyap di langit. Aku dan Kak Dave perlahan meninggalkan kafe yang terletak di tepi pantai, tempat ternyaman yang sering kukunjungi.

***

Aku baru saja menyelesaikan deadline tulisan yang akan kukirim pada sebuah majalah, ponsel yang tergeletak di atas nakas berdering. Ada pesan yang masuk, dari nomor yang tak kukenal.

[Kau perempuan beruntung, hanya kau yang dicintai oleh Raka. Aku salah, aku pikir, seiring dengan waktu, dia bisa mencintaiku. Nyatanya tidak.] Isi pesan itu.

[Maaf, anda siapa?]

[Anandita. Kekasih Raka di Jogja.]

[Tapi setidaknya ada telah menang untuk saat ini, aku hanya masa lalu, dan anda masa depan.]

[Aku menyerah. Hatinya hanya milikmu.]

[Aku yakin, suatu saat anda bisa memenangkan hatinya.]

[Pantas saja Raka begitu mencintaimu. Kau gadis yang sangat baik. Oh, ya, Maaf, aku mengambil nomormu dari ponsel Raka secara diam-diam.]

Tidak kubalas lagi pesan dari perempuan yang bernama Anandita itu. Aku akui, masih ada rasa yang tersimpan di dalam sana, tapi bukan berarti aku akan berjuang untuk mendapatkan cinta Kak Raka kembali.

Yang telah pergi, biarkan saja. Setelah dia mampir di hati perempuan lain, aku tidak punya alasan untuk menahannya bersamaku. Aku akan mencoba belajar untuk mengikhlaskannya. Semoga waktu, bisa menghilangkan segala rasa yang pernah tumbuh untuk Kak Raka.

Aku hampir terbunuh oleh rindu, tapi tidak dengan cintaku. Aku akan merawatnya, meski belum tahu siapa yang akan memilikinya. Bisa saja dari luka itu, akan tumbuh seribu rindu untuk seseorang yang pantas mendapatkannya.

Apakah cintaku akan berlabuh pada Kak Dave? Atau pada laki-laki lain? Entahlah. Biarlah waktu dan takdir yang menjawabnya.

Tidore, 21 September 2020

Gadis Perindu Hujan

Posted By Redaksi on Kamis, 03 September 2020 | September 03, 2020

Oleh: Assyifa Barizza

Setiap kali hujan turun, aku selalu setia duduk di samping jendela kaca. Bukan untuk menyaksikan butiran hujan yang jatuh ke bumi, atau menikmati sensasi hujan yang bunyinya menenangkan. Aku di sini, untuk memandangi perempuan berwajah manis berambut sebahu yang setiap kali hujan turun, selalu berlari-lari mengelilingi sekitar rumahnya sampai hujan reda.

Perempuan aneh.

Aku pun menjadi aneh. Seperti ketagihan melihat perempuan itu berlarian di bawah hujan. Bahkan, aku selalu berharap, agar hujan tiap hari turun di sini, agar bisa melihat perempuan itu bercengkrama dengan hujan.

Namanya Arini. Nama yang manis, seperti orangnya. Kemarin, aku bertanya tentangnya pada pemilik warung depan rumah. Ibu Yulia, sang pemilik warung banyak bercerita tentang kisah Arini. Kisah yang membuatnya menjadi seorang pluviophile. 

Katanya dua tahun yang lalu, saat Arini akan melangsungkan perkawinan dengan lelaki pujaan hati. Sang Malaikat maut menjemput terlebih dahulu calon suami Arini. Saat itu, calon suaminya datang menemui Arini untuk mengucap ijab kabul. Nyatanya takdir berkata lain, pujaan hati malah berjodoh dengan kematian. Mobil yang ditumpangi mengalami kecelakaan tunggal dan calon suaminya meninggal seketika. Kisah yang tragis.

Menurut Ibu Yulia, saat mendengar berita duka itu, Arini seakan tidak sanggup terima kenyataan. Dalam balutan gaun pengantin, Arini berlari keluar menembus hujan. Berteriak dan menangis. Menumpahkan rasa sakit dan kesedihannya pada hujan. Sejak saat itu, dia selalu menunggu hujan turun. Ah, Arini. Siapapun tidak akan ada yang sanggup menerima kenyataan seperti yang kau alami. Kehilangan orang yang kita cintai tidaklah mudah.

Di sini--di kota kecil ini, baru seminggu aku menginjakkan kaki. Pekerjaanku sebagai seorang lawyer tentulah harus bersiap untuk berada di mana saja, tergantung tempat klien berada. Kali ini, aku menangani kasus berbeda. Aku ditugaskan oleh kantor untuk mempelajari kasus tentang tanah rakyat yang bersengketa dengan perusahaan asing. Tentulah ini memakan waktu yang lama. Dan pekerjaan kali ini, termasuk tugas kemanusiaan. Tanpa digaji. Saat atasan menawarkan, tanpa berpikir dua kali, aku langsung menerimanya.

Tentang percintaan. Beberapa kali aku menjalin asmara dengan beberapa perempuan. Saat kuliah, aku dijuluki play boy kampus. Namun, tak ada yang benar-benar membuatku jatuh cinta. Beberapa perempuan yang kutemui, hanya ingin menumpang ketenaranku sebagai ketua senat di kampus. 

Ada pula perempuan yang menangis, saat aku memutuskan hubungan dengannya. Ariella, anak Fakultas Komunikasi, kekasih yang kupacari sejak semester empat itu tidak rela saat kuputuskan secara sepihak. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak kuat menghadapi sikapnya yang over protective. Sering cemburu tanpa alasan. Belum lagi, sering memintaku menemaninya belanja di Mall. Menyebalkan.

"Aku janji Runa. Aku akan merubah sikapku." Ariella menangis terisak. Memegang tanganku. Mengiba. Namun, keputusanku sudah bulat. Tidak akan bersamanya lagi. 

"Maaf, Ariella. Aku tidak bisa."

"Kenapa? Apa ada perempuan lain?"

"Aku tidak perlu punya alasan untuk putus denganmu. Intinya, aku tidak suka dengan sikapmu, tidak suka ditekan."

"Semuanya bisa dirubah."

"Terlambat," sahutku sembari meninggalkan kost miliknya. Tidak kudengarkan teriakannya yang memanggil namaku. Sore ini, aku sengaja menemuinya hanya untuk mengakhiri hubungan yang seperti neraka bagiku.

Apakah aku jahat waktu itu? Entahlah. Di mata Ariella, pasti iya.

Setelah itu, beberapa kali aku menjalani hubungan pacaran dengan beberapa perempuan. Entah dari teman kampus sendiri atau cewek kampus lain. Pesonaku memang tidak bisa ditolak kala itu, ketua senat yang mempunyai wajah tampan. Sangat mudah bagiku untuk menaklukkan hati perempuan. Aku sempat menikmati berpetualang dari perempuan yang satu ke perempat lain, hingga pada akhirnya jenuh sendiri. Memutuskan untuk tidak berpacaran lagi. Sampai detik ini.

***

Saat baru saja selesai berkunjung ke rumah penduduk untuk meminta data tentang tanah mereka yang dikuasai oleh perusahaan asing. Tanpa sengaja aku melihat Arini duduk di bale-bale depan rumahnya. Mungkin dia menunggu hujan turun. 

Aku berusaha memberanikan diri untuk menyapanya. Sore ini, dia begitu cantik. Mengenakan baju terusan berwarna peach. Rambut diikat tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya. Lesung pipi membingkai wajahnya yang mulus natural tanpa polesan bedak. Sangat mempesona, menawan hatiku yang tak bertuan.

"Hai. Aku boleh duduk di sini?"

Sekejap Arini mendongak, menatapku. Mata bulatnya menyiratkan rasa heran. Sudah lebih seminggu di sini, tapi belum pernah bertemu langsung. Mungkin dia merasa kaget dengan kehadiran mahluk asing yang tidak dikenalnya.

"Aku Runa. Tinggal di situ. Di rumah Pak Gunawan." Jariku menunjuk rumah yang aku tempati untuk sementara waktu. Rumah itu berada tepat di sebelah rumah Arini. Pak Gunawan, adalah teman baik bosku. Dia yang menawarkan tumpangan secara gratis.

"Arini," lirihnya. 

"Aku bukan orang jahat," ucapku saat melihat Arini menggeser duduknya, agar kami semakin berjarak.

"Maaf. Aku …." Arini tidak melanjutkan ucapannya. Aku melihatnya menitikkan air mata.

"Apa aku mengganggumu?"

Arini menggeleng lemah. "Tidak. Kau mengingatkanku pada seseorang."

"Siapa?"

"Dia orang yang pernah sangat dekat denganku. Kalian nyaris memiliki wajah yang sama."

"Kalau kau tidak keberatan. Kau bisa bercerita padaku. Tapi kalau tidak mau, tidak apa-apa."

Aku melihat keraguan di wajah Arini. Mungkin dia enggan bercerita. Atau bisa saja, dia tidak ingin membagi kisahnya pada orang yang baru saja dikenalnya.

"Maaf. Aku sering melihatmu main hujan-hujanan saat hujan turun."

Sejenak Arini menghela napas. "Itu bukan bermain. Aku sengaja menyatukan diri dengan hujan, agar tidak ada yang tahu,  kalau aku lagi menangis. Hujan bisa langsung menghapus air mataku dan bisa menyamarkan lukaku."

Sore itu, Arini pun banyak bercerita padaku. Tentang kisah cintanya yang dipisahkan oleh maut. Tentang sang pujaan hati yang begitu dia cintai, namun Sang Pencipta lebih menyayanginya. Sesekali dia terisak. Matanya masih tidak bisa menyembunyikan tentang lukanya.

"Kau harus belajar menerima kenyataan, Rin," ucapku pelan. Takut membuat Arini tersinggung.

"Aku sudah berusaha, Kak. Tapi tidak bisa."

"Apa kau ingin membuat Arie sedih di alamnya? Orang yang dia cintai, bersedih sepanjang hari." Arie, adalah nama kekasih Arini. Itu pengakuannya padaku.

"Bagaimana caranya melupakannya?" Tandas Arini.

"Menyibukkan diri."

Aku dengar dari Ibu Yulia. Sebelum kejadian dua tahun lalu, Arini adalah seorang pegawai Bank swasta. Namun, sejak kematian Arie, Arini resign dan bersibuk dengan lukanya. 

Cinta sejati. Itulah yang dimiliki oleh Arini.

"Mungkin Kak Runa benar. Sudah waktunya aku belajar menerima kenyataan. Cuman secara perlahan. Ini sangat berat bagiku."

Aku tersenyum mendengar penuturan Arini. Semoga saja, waktu bisa bisa menyembuhkan lukanya. Membantunya untuk melupakan bait kisah yang tak indah. Ah, Arini. Betapa beruntungnya Arie mendapatkan cintamu.

Sejak saat itu, aku makin dekat dengan Arini. Kadang menemaninya bercerita di bale-bale saat ada waktu senggang. Meminjamkan koleksi buku yang kubawa dari rumah. Dan dia antusias membacanya. 

"Ceritanya sangat bagus," ungkap Arini saat membaca novel karangan Tere Liye yang berjudul Rembulan Jatuh di Pangkuanmu.

"Semua novel Bang Tere itu keren. Dan untuk judul itu, sudah di filmkan, lo," balasku sambil tersenyum padanya. Berharap Arini membalasnya. Aku senang melihat lesung pipi di wajahnya.

"Wah. Aku ingin menonton filmnya."

"Kapan-kapan, kau bisa menontonnya di laptopku."

Satu hal yang tidak bisa kutampik adalah aku jatuh cinta pada Arini. Perempuan perindu hujan itu. Aku menyukai apa yang dia miliki. Kesederhanaan dan kecantikan naturalnya. 

Hari ini, kupikir adalah waktu yang tepat untuk memberi tahu Arini tentang perasaanku yang sebenarnya. Saat hujan baru saja reda, aku menemui Arini di rumahnya. Seperti biasa, dia baru saja habis berkencan dengan hujan. 

"Aku ingin menggantikan posisi Arie di hatimu, Rin," ujarku saat Arini duduk di depanku sehabis menghidangkan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng.

"Tidak ada yang bisa menggantikan dia, Kak."

"Kalau begitu, izinkan aku untuk mencintaimu."

Arini menggeleng. "Tidak, Kak. Aku tidak ingin merasakan yang namanya ditinggalkan lagi."

"Kau harus percaya, kalau kematian itu adalah rahasia Tuhan, Rin. Percayalah, aku akan menjagamu. Menemanimu menyembuhkan luka." Nada suaraku agak tinggi.

"Jangan pernah memaksaku, Kak. Tadinya kupikir, kau hanya seorang sahabat bagiku. Namun, nyatanya kau berharap lebih."

"Salahkah kalau aku jatuh cinta padamu, Rin?

"Salah besar, Kak. Aku tidak ingin dicintai lagi dan tidak ingin mencintai."

"Kau tidak berhak untuk melarangku jatuh cinta, Rin," sergahku.

"Sudah kubilang, aku tidak ingin dicintai. Pulanglah, Kak. Aku tidak ingin melihat mukamu lagi." Sore ini, Arini mengusirku dari rumahnya. 

Aku terlalu gegabah, tidak sabaran mengatakan isi hatiku pada Arini. Akhirnya, hubunganku dan Arini semakin berjarak. Tidak pernah kulihat lagi Arini menampakkan diri di halaman rumahnya. Apakah dia berusaha menghindariku?

Aku akan tetap bertahan menunggumu Arini. Sampai kau percaya lagi akan cinta. Mungkin ini mustahil bagi sebagian orang, karena mencintai orang sepertimu yang hatinya beku adalah membuang-buang waktu. Namun, aku takkan menyerah, karena sejatinya aku telah jatuh cinta padamu. Dan bukankah cinta harus diperjuangkan?

***

Musim sudah berganti. Tak ada lagi hujan yang turun dari langit. Kali ini, Sang Surya yang bertugas menyinari bumi. Dan Arini apa kabar? Apakah dia akan membenci musim kemarau ini? Karena dia tidak bisa lagi menikmati hujan.

Aku rindu padamu Arini.

Sudah dua bulan aku kembali dari kota kecil itu. Tugasku di sana telah selesai. Aku berhasil membantu masyarakat memenangkan kasus tanah. Akhirnya pihak perusahaan asing rela mengganti uang masyarakat sebagai ganti rugi. 

Sayangnya di sana aku gagal mendapatkan cinta Arini. Beberapa kali aku mencoba menemuinya sebelum meninggalkan kotanya. Namun selalu penolakan yang kudapatkan. Kecewa, tentu saja. Yang namanya ditolak pasti sakit. Apakah ini sebuah karma untukku? Dulu, dengan gampangnya aku mematahkan hati perempuan. Kini, aku merasakan hal yang sama.

Di kota besar ini, kembali aku beraktifitas seperti semula. Menemui klien yang butuh jasa pendampingan hukum. Aku lebih banyak menyibukkan diri untuk melupakan Arini. Perempuan itu, betul-betul telah menyita sebagian waktu dan pikiranku.

Sore, setelah pulang dari kantor. Aku berjalan-jalan untuk mengitari kota Makassar. Merefresh pikiran yang lagi galau. Kenapa aku menjadi melankolis seperti ini? Aku memukul jidat sambil menertawakan diri sendiri.

Tidak sengaja netraku menangkap perempuan berdiri di sisi jalan, sepertinya sedang menunggu angkot. Perempuan berambut sebahu dan berlesung pipi. Bukankah itu adalah …?

Buru-buru aku hentikan mobilku tepat di hadapannya. "Arini?" Aku menyapanya.

"Kak Runa?" Dia tersenyum saat melihatku. Aku bahagia melihat ekspresinya saat ini.  Tidak kutemukan lagi duka di wajahnya. 

"Sedang apa di sini?" Aku turun dari mobil dan mengajaknya duduk di halte mini yang kebetulan ada di situ.

"Kak Runa benar. Aku harus belajar menerima kenyataan. Jodoh dan maut adalah takdir."

"Apakah itu berarti, kau juga bisa menerimaku?"

Arini mengangguk malu. Namun itu sudah cukup bagiku. Aku akan mengajarinya melupakan masa lalu dengan memberinya cinta yang utuh.

"Katakan. Kapan aku melamarku?"

Arini tertawa. Membuatnya semakin cantik. Perempuan perindu hujan itu telah berubah rupanya. "Secepatnya. Aku tidak ingin kejadian beberapa tahun yang lalu terulang kembali. Aku tidak ingin kehilangan orang yang kucintai."

Rasanya tidak percaya mendengar apa yang dikatakan Arini. Segera kugenggam tangannya dan berbisik, "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

Sore ini, langit Makassar jadi saksi kebahagiaanku. Semesta pun merestui hubungan kami yang baru akan dimulai ini dengan mengirimkan hujan di musim kemarau.

Tiba-tiba aku juga mencintai hujan.

Tidore, 3 September 2020








Hujan di Bulan Juli

Posted By Redaksi on Selasa, 18 Agustus 2020 | Agustus 18, 2020

Oleh: Assyifa Barizza


Kenapa kau suka hujan?

Masih ingatkah kau dengan pertanyaan itu? Beberapa tahun yang lalu, secara tidak sengaja kita bertemu di sebuah kampung yang terletak di pinggiran kota, menumpang berteduh di teras rumah yang tak berpenghuni.

Suasana di situ sepi dan lengang. Hanya ada beberapa rumah penduduk, itupun berjauhan jaraknya. Namun hujan memaksaku untuk mampir. 

Kala itu, hujan sangat deras. Tidak ada siapa-siapa, hanya kita berdua. Rasa bosan menunggu hujan reda, akhirnya kita saling menyapa.

"Dari mana?" Kau yang memulai percakapan. Sebagaian bajuku telah basah. Aku memilih duduk di pojokan, tangan bersedekap untuk menghalau rasa dingin.

"Dari rumah teman." Singkat jawabanku.

Mungkin karena iba melihatku, kau membuka jaketmu dan meminjamkannya padaku. "Pakailah."

"Tapi, kau juga butuh jaket itu," tolakku halus. Aku enggan menerima pemberiannya. Karena kami baru pertama kali bertemu. Siapa dia, siapa namanya, apakah dia orang baik atau jahat. Itu yang ada di pikiranku saat itu.

"Bajuku tebal. Dan kau lebih membutuhkannya. Maaf, lekuk tubuhmu tercetak jelas dengan pakaian basah seperti itu. Tapi kalau kau menolak …."

"Baiklah. Aku menerimanya." Segera kuraih jaket di tangannya dan memakainya. Aroma parfum jaketnya maskulin, sepertinya parfum bermerk. aku menyukainya. Rasa hangat pun menjalari tubuhku.

"Terima kasih," ucapku sembari menatapnya sekilas. Malu. 

"Namamu siapa?" Kau bertanya tanpa mengulurkan tangan padaku.

"Lavina."

"Nama yang manis. Seperti orangnya."

Aku tersenyum mendengar ucapanmu. Entahlah, merasa senang saja. Sekali lagi aku mencuri pandang padamu. Tampan, kulit hitam manis dan menawan. Badan proporsional. Aku melihatmu, sepertinya sikapmu terkesan angkuh. Sudah 30 menit di sini, namun tak pernah sekalipun kau tersenyum. Aku yakin, kalau kau tersenyum, pasti akan tambah gagah.

"Kuliah?" tanyamu lagi. Kali ini, kau menyulut rokok dan sesekali mengembuskannya ke udara. Ah, kau semakin cool saat merokok.

Aku mengangguk. "Iya."

"Jurusan apa?"

"Keperawatan."

"Bagus."

Hujan yang enggan berhenti, membuat kita bercakap lama. Tentang hobi, makanan kesukaan dan tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi.

"Aku tidak pernah bosan berkunjung ke pantai. Aku suka diving, menikmati keindahan bawah laut. Sesekali mendaki gunung bersama teman, menikmati keindahan alam."

"Wah. Kakak keren sekali." Aku tidak bisa menyembunyikan kekaguman.

"Kau sendiri suka apa?" tanyamu.

"Aku suka hujan," lirihku sambil menatap butiran hujan yang jatuh ke tanah.

"Kenapa?"

"Tidak ada alasan, sih. Aku suka aroma tanah sehabis hujan."

"Kau lucu. Sekali waktu, aku ingin mengajakmu berhujan-hujanan."

Aku tersenyum. Sepertinya tawaranmu menarik. Aku memang menyukai hujan sedari kecil. Entahlah, bunyinya seperti musik alam yang akan membuatku tertidur lelap.

Baru pertama kali bertemu, tapi aku merasa nyaman berbincang denganmu. Apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Hujan pun seakan mengerti, dia masih saja betah berlama-lama di sini, tempat kita berteduh.

"Kau sepertinya kedinginan. Kemarilah."

Saat itu, aku tidak kuasa menolak saat kau tarik tubuhku untuk bersandar di dadamu. Pelukanmu memberikan kehangatan pada tubuhku. Aku menikmatinya. Sungguh.

Hujan semakin lebat, tak ada siapapun di sini selain kita berdua sehingga kita bebas untuk meniadakan jarak. Entah karena pengaruh dingin atau nafsu, tanpa permisi kau mengecup keningku, lalu berpindah ke bibirku.

Aku? Tentu saja terkejut dengan apa yang kau lakukan. Ini pertama kalinya, aku dicium. Namun kenapa begitu indah? Aku tidak bisa menghentikanmu. Aroma rokok dan mint yang terasa dari mulutmu, seperti menjadi candu. Manis dan memabukkan.

Awalnya aku tidak tahu cara berciuman. Namun setelah beberapa saat, aku bisa dan membalas ciumanmu. Hati ingin berteriak, hentikan. Namun tubuh tak kuasa menolak. Aku menyukainya.

Apakah aku seperti perempuan murahan? tidak menolak berciuman pada pria yang baru saja kukenal. Ah, akal sehatku entah ke mana. Tidak ada ada kata jangan yang keluar dari mulut, hanya pasrah.

Entah beberapa menit kami larut dalam ciuman, hanya beberapa saat berhenti untuk mengambil napas, lalu melanjutkan kembali.

"Maaf. Aku lupa diri," ucapmu lalu melepaskan diri. Kau memperbaiki letak rambutku yang acak-acakan akibat ulah tanganmu itu.

Aku tertunduk malu. Tubuhku masih menyisakan getaran. Sulur-sulur cinta tak bisa kutampik, datang saat itu juga. Apa yang baru saja kita lakukan, itu pengalaman yang paling berkesan.

Hujan sudah mulai reda. Tinggal menyisakan rinai. Hari pun sudah sore. Kita segera bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu.

"Aku tidak ingin hubungan ini berakhir sampai di sini. Kalau kita berjodoh, kita akan dipertemukan kembali. Oh, ya, namaku Gali." Sekali lagi kau mengecup bibirku.

Kita pun berjalan ke arah motor yang terparkir di sisi jalan. Meninggalkan tempat itu dengan mengambil jalan yang berbeda. Aku ke arah Timur dan kau ke arah Barat.

Satu hal yang paling kusesali dalam pertemuan itu, kenapa aku tidak bertanya berapa nomor ponselmu? Tinggal di mana dan berasal dari kota mana? 

Sepertinya ini, hanyalah kisah cinta sesaat. Datang begitu saja dan tidak terulang lagi.
Menyedihkan. 

***

Hujan di bulan Juli. Mengingatkan kembali kenangan bersama Gali. Sudah lima tahun sejak kejadian itu, tapi tak pernah dipertemukan kembali.

Namun, dia telah membawa sepotong hati dan cintaku. 

Kau gadis bodoh Lavina. Gali tidak akan pernah datang. Dia tak pernah menganggapmu ada. Jangan buang-buang waktu menunggu yang tak pasti. Aku bermonolog dalam hati.

Jaket dari Gali masih ada, tersimpan rapi dalam lemari. Menjadi obat rindu. Aroma badannya masih tersimpan di sana. 

Aku merindukanmu Gali.

Kembali aku menatap hujan. Hujan ini sama saat pertama kali bertemu dengan Gali. Enggan berhenti.

"Lavina."

Lamunanku terhenti saat seorang pria datang menghampiriku. Aku menoleh dan tersenyum pada yang baru saja masuk ke Cafe ini.

"Maaf. Aku  Membuatmu menunggu lama. Seharusnya aku yang datang pertama kali ke Cafe ini, dan tidak membiarkanmu menunggu. Namun hujan menghalangi."

"Tidak apa-apa, Aldi."

Sore ini, Aldi mengajakku bertemu di Cafe Paradise. Cafe yang terletak di tepi  pantai Kayangan. Saat ini, Cafe kurang pengunjungnya. Mungkin karena hujan. Hanya satu dua pengunjung. 

"Ada hal penting yang ingin kubicarakan," tutur Aldi saat sudah duduk di depanku. Pramusaji pun datang menghidangkan Sanggara' peppe dan dua gelas Sarabba, makanan dan minuman khas kota kami. 

"Apa?" tanyaku sambil meniup Sarabba lalu mencicipinya.

"Pertanyaanku tempo hari, kau belum jawab. Bersediakah engkau menjadi istriku?"

Aku tersedak saat mendengar penuturan Aldi. Yah, beberapa bulan yang lalu, dia pernah menanyakan hal yang sama. Namun sampai saat ini, aku belum memberinya jawaban. 

Hatiku sudah ada bersama Gali.

"Apa kurangnya aku, La? Aku mencintaimu dan aku berjanji untuk membahagiakanmu, sebisaku." Aldi menggenggam tanganku lalu mengecupnya.

"Kamu tidak kurang apa-apa, Al. Kau baik, tampan dan sempurna."

"Terus, kenapa kau tidak menerimaku?" tuntut Aldi.

"Ini masalah hati, Al. Aku tidak mencintaimu." Dengan berat hati kukatakan itu. Aku melihat raut kecewa di wajahnya.

"Aku bersedia menunggumu untuk jatuh cinta padaku, La."

Aku terdiam. Aldi terlalu baik. Seharusnya pria yang bekerja di kepolisian itu mendapat perempuan yang mencintainya dengan tulus. 

Melihat ketulusan dan keseriusan di wajah Aldi, hatiku tergerak untuk belajar mencintainya. Mungkin, aku harus belajar membuka hati untuk pria lain. 

Aku sudah di ambang keputus-asaan menunggu Gali. Lelah dan capek menunggu yang tidak pasti. Saatnya, harus melupakannya.

"Baiklah. Aku bersedia untuk menjadi istrimu. Aku akan belajar mencintaimu, Al."

Aldi tersenyum lebar mendengar apa yang kuucapkan. Dia kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Terima kasih, La. Percayalah, aku akan membahagiakanmu."

Aku membalas genggaman tangannya. Hujan telah berhenti. Aroma petrikor menguar masuk ke dalam cafe. Tak ada kata lagi yang terucap, hanya mata yang saling berbicara.

Penantianku telah berakhir Gali. Aku mencintaimu, namun kau hanya ilusi. Rasa ini harus kumatikan dan menghidupkan kembali pada pria yang setia menantiku selama setahun ini. Aldi Gunawan, pria berpangkat Bripda di kepolisian. Kepadanya, aku akan belajar melabuhkan hati.

***

Hari ini, aku agak telat ke rumah sakit tempatku bekerja. Alasannya, karena hujan. Bulan Juli ini, hujan memang mengganas. Matahari jarang muncul, hanya sesekali. 

Di koridor, beberapa teman sejawatku asyik bercerita. Entah apa yang mereka perbincangkan, hingga tawa tak pernah lepas dari mulut mereka.

"Lavina. Sini, ada hal penting." Ariella, melambaikan tangan padaku.

"Hal penting apa sih?" Aku mengerutkan kening. "Gaji kita dinaikkan?"

"Bukan. Ada dokter baru di rumah sakit ini. Ganteng banget lo. Sekarang dia ada di ruangan kepala rumah sakit."

"Tidak menarik," tandasku pelan. 

"Itu dia." Nayya yang sedari tadi diam, ikut berbicara. 

Aku segera menoleh, menatap pria yang yang berjalan ke arah kami. Dia bersisian dengan Dokter Fahmi, kepala rumah sakit ini.

"Gali?" Tanpa sadar, aku berteriak. Tidak salah lagi, dia adalah Gali, pria yang pernah kutemui lima tahun lalu. Tidak banyak berubah padanya. Hanya tambah dewasa dan gagah. Memakai celana hitam, dan jas berwarna putih, pakaian kebesaran dokter, membuat penampilannya nyaris sempurna. 

Ingatan beberapa tahun lalu kembali menyeruak. Bagaimana dia menciumku dan menyentuhku. Kenapa sekarang dia baru hadir? 

"Lavina?" Ternyata dia mengenaliku. Aku yang saat itu berdiri di sisi koridor hanya menundukkan kepala, tidak kuasa menatap ke arah Gali. Apalagi saat ini, ada dokter Fahmi. Tidak elok rasanya bernostalgia di depannya. Bagaimanapun, dia adalah pemimpin tertinggi di rumah sakit ini.

"Aku kembali ke sini untukmu, Lavina." Setelah memeriksa pasien di perawatan Edelweiss, Dokter Gali menemuiku di perawatan Tulip, tempatku jaga hari ini. Mengajakku ke cafe yang terletak tidak jauh dari rumah sakit.

"Kamu terlambat, Gali. Setelah sekian tahun menunggumu, kau tidak datang. Aku lelah."

"Maaf. Seharusnya saat itu kita bertukaran nomor ponsel. Saat itu, aku fokus menyelesaikan kuliahku di kedokteran. Kemudian lanjut lagi ambil specialis jantung. Tapi percayalah, aku tidak pernah melupakanmu."

Aku menatap pria di depanku ini. Laki-laki yang sempurna. Siapa yang tidak bangga punya calon suami dokter? Sampai saat ini, hatiku seutuhnya masih milik Gali. 

"Kau tahu? Sejak pertemuan pertama kita. Aku langsung jatuh cinta padamu. Setiap hari aku merindukanmu. Namun, aku tidak tahu harus menemuimu di mana." Aku merasa, bulir air mataku jatuh membasahi pipi. Ingin rasanya, aku memeluk Gali untuk menuntaskan rasa rindu yang sekian tahun terpendam.

"Aku sudah datang, La. Aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi." Gali mengusap air mataku. Lembut.

"Terlambat. Tidak lama lagi, aku akan menikah."

Bulan Juli, bukan saja bulan hujan. Namun, bulan di mana air mataku banyak tumpah. Aku hanya bisa memandangi kepergian Gali dari cafe dengan air mata yang tak kunjung berhenti.

Apakah Gali juga terluka? Entahlah. 

Satu bulan lagi, aku akan melangsungkan pernikahan dengan Aldi Gunawan. Tidak ada yang bisa kami lakukan, selain membunuh perasaan yang terlanjur tumbuh di antara kami.

Kau tahu Gali? Aku pernah terbunuh oleh rindu. Tapi tidak dengan cintaku, aku tetap merawatnya, meski tidak harus bersamanya. Kisah kita akan tetap abadi di sini. Di hatiku.

Aku tidak menyesali pertemuan kita. Mungkin itu sudah menjadi skenario Sang Pencipta. Kita tidak ditakdirkan untuk tidak bersama.


Tidore,  18 Agustus 2020











Rahasia di Balik Cinta

Posted By Redaksi on Sabtu, 15 Agustus 2020 | Agustus 15, 2020

Oleh: Assyifa Barizza

Rinda tampak menikmati tempat ini. Pancaran matanya berbinar, menyiratkan rona bahagia dan kekaguman menyaksikan pemandangan gunung dan lembah yang terpampang di depan mata. Tampak dia sibuk ber-swafoto.

"Ridwan, tolong dong foto aku!"

Dia menyerahkan kamera padaku, Rinda dengan gaya manjanya berfose dengan berbagai macam gaya. Aku hanya mengarahkan dia untuk untuk memilih latar yang indah, agar hasil fotonya semakin bagus.

"Nice, aku menyodorkan kamera padanya, sembari memperlihatkan hasil jepretanku."

Rinda, gadis yang berasal dari kota Makassar. Sudah dua bulan ini menjadi kekasihku. Dia anak pemilik kost tempatku ngontrak, mahasiswi tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi swasta.

Lesung pipit yang membingkai wajahnya, alis mata yang tebal, serta raut wajah putih alami menjadi daya tarik tersendiri baginya. Aku jatuh cinta pada saat pertama kali melihatnya. Gayung bersambut, dia juga memiliki rasa yang sama. Dan kami pun sepakat untuk mengikrarkan janji sebagai sepasang kekasih.

Akhir pekan ini, aku mengajaknya liburan ke kampung halamanku. Kampung yang terletak di kaki gunung Karampuang, di apit oleh lembah. Di tengah-tengahnya mengalir sungai yang airnya jernih. Semasa kecil, aku sering berenang bersama teman seusiaku sambil mengail ikan di sungai ini. Di tempat ini, masa kecilku terlewatkan.
 
Lelah dari aktivitas kantor membuatku butuh untuk menghirup udara segar, aku ingin melepas penat dari segala hiruk pikuk kota dengan segala kebisingannya. Dan aku memilih kampung halamanku untuk liburan.

Siang ini, cuaca mulai mendung. Hari yang masih siang tampak gelap, awan sudah menutupi puncak gunung  Karampuang. Musim penghujan memang sudah waktunya. Waktunya para petani untuk bercocok tanam.

"Gleerrr." Tiba-tiba bunyi petir membahana berulang-ulang, memecah bumi yang sudah semakin gelap. Kilatan petir menyambar berulang kali, kilatan cahaya tampak membelah langit.

Rinda berteriak histeris, menutup kedua telinganya sambil menangis, berteriak tidak karuan. Wajahnya langsung memucat, seakan tidak ada darah lagi yang bersarang di tubuh semampainya. Dia meringkuk memeluk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya di sana.

Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia begitu ketakutan saat mendengar bunyi petir. Segera kuhampiri Rinda. Memeluknya dan mencoba menenangkannya. Kudekap tubuhnya yang sudah lunglai.

"Jangan! jangan! pergi! menjauh dari Ayahku!" Berulang kali Rinda meneriakkan kalimat itu.

"Rinda. Ada apa? Aku di sini, di sampingmu. Sekali lagi kudekap tubuh gadis perempuan yang kukasihi ini, berusaha melindunginya dari ketakutan.

Tubuh Rinda bergetar hebat, teriakannya tak kunjung reda dari mulutnya. Tubuhnya seketika lunglai dalam pelukanku, tidak sadarkan diri. Ketakutan langsung menyergapku, takut terjadi hal yang tidak diinginkan pada Rinda.

"Rinda!" Beberapa kali aku memanggil nama kekasihku itu sembari membopong tubuh mungilnya ke pondok yang berada di sekitar lembah. Hujan sudah membasahi bumi. Rinda yang tidak sadarkan diri membuatku semakin panik. Sial! tempat ini sepi lagi, tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Aku hanya bisa memeluk gadis yang kukasihi itu sambil menunggu hujan reda.

***

"Maafkan aku, Bu! Aku tidak tahu kalau Rinda phobia dengan bunyi petir," aku meminta maaf kepada Ibu Rasti, ibunya Rinda.

"Harusnya kau tidak membawanya ke sana, Ridwan"

"Aku minta maaf, Bu." Hanya itu yang terucap dari bibir. Rasa bersalah dan takut merajai hati.  Seandainya saja tidak kuajak Rinda liburan di kampungku, tidak akan ada kejadian ini.

Sore itu juga. Saat hujan reda, aku langsung membawa Rinda pulang ke kota.  Membawanya ke dokter untuk memeriksa kondisinya.

"Rinda tidak apa-apa! Dia hanya mempunyai ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal, mungkin dia mempunyai trauma dengan masa lalunya." Penjelasan dokter membuatku sedikit lega, namun trauma apa yang pernah di alami oleh Rinda? pertanyaan tiba-tiba menggelayuti pikiranku.

"Apa ada yang pernah dialami Rinda hingga membuatnya takut dengan petir, Bu?" Aku memberanikan diri bertanya kepada Ibu Rasti yang menangis dari tadi, dia menunggui anaknya yang sedang di opname. Terlihat kekhawatiran yang sangat pada wajah perempuan itu. Yah, Rinda anak semata wayangnya, putri satu-satunya. Konon, suaminya meninggal saat Rinda masih kecil, dan dia tidak mau menikah lagi, meski banyak pria yang bersiap untuk menjadi ayah sambung dari Rinda.

Perempuan setengah baya di hadapanku ini menghela napas. Ada butiran air mata membasahi pipinya. Sepertinya, ada luka yang dia simpan dan dirahasiakan.

"Saat Rinda masih kecil, berusia enam tahun. Perampok menyatroni rumah kami. Mereka ingin mengambil uang dan berupa emas yang kami miliki. Tapi suamiku melakukan perlawanan kepada perampok . Saat itu, hujan di luar sangat deras, petir menyambar-nyambar, hingga teriakan minta tolong kami tidak bisa di dengar oleh tetangga. Dan naasnya, Ayah Rinda harus meregang nyawa oleh tusukan pedang yang dilakukan oleh salah seorang perampok. Rinda menyaksikan bagaimana Ayahnya menghembus napas terakhir dengan cara yang tragis." 

Aku hanya diam mendengar kisah Ibu Rasti. Ternyata trauma yang dialami oleh Rinda sungguh berat. Aku berjanji, akan membuat Rinda melupakan traumanya. Akan selalu ada untuknya, melindungi dan memberi cinta yang sempurna padanya.

"Ibu, Ridwan." Terdengar suara Rinda. Masih lemas, nyaris tidak kedengaran. Kami yang menungguinya, langsung mendekat ke arahnya.

"Maaf ya, Wan! harus membuatmu panik."

"Hus! Jangan bilang begitu, aku yang salah. Seharusnya aku tidak membawamu ke gunung Karampuang di saat musim penghujan seperti ini." Kugemgam tangannya yang masih lemah. Memberinya kekuatan.

Malam itu juga, Rinda di izinkan pulang oleh dokter setelah kondisinya membaik.

"Usahakan kejadian yang membuatnya takut dan teringat masa lalu tidak terulang lagi, bantu dia untuk keluar dari rasa traumanya secara perlahan." Dokter berpesan sebelum kami meninggalkan rumah sakit.

Aku janji untuk menjaga Rinda semampuku.  Selain itu, aku juga harus memenuhi janji kepada Ayahku, untuk bisa melindungi keluarga dari seorang laki-laki yang pernah dia bunuh dulu saat menjalankan aksinya sebagai perampok. Ayahku sudah bertobat, namun kesalahan dan dosa masa lalu masih membayanginya sampai napas terakhirnya. Namun, kenapa Ayah tidak membicarakan tentang detail aksi pembunuhan yang dia lakukan dengan keji?

Lihatlah Ayah. Akibat ulahmu, gadis yang kucintai begitu menderita. Dia tidak bisa melupakan kejadian yang menimpa ayahnya malam itu.


Tak ada yang mengetahui, aku adalah anak dari pembunuh ayah Rinda. Hanya aku, Ayahku dan Tuhan yang tahu.  Biarlah rahasia ini kusimpan rapi dan sangat rapat. Ada ketakutan merajai ragaku, takut Rinda membenci diriku, saat dia tahu aku yang sebenarnya. Tapi apa salahku? aku tidak mengetahui tentang pekerjaan Ayahku di masa lalu. Aku hanya anaknya yang tidak tahu apa-apa.

Namun cintaku pada Rinda adalah cinta yang tulus. Terlepas dari amanah Ayah, aku memang mencintainya, dia perempuan satu-satunya yang berhasil membuatku jatuh cinta. 

Apa pun yang akan terjadi, aku tidak akan memikirkannya sekarang.  Yang kutahu, saat ini, aku bahagia menjadi kekasih Rinda. Kekasih yang akan kujadikan pendamping hidup untuk selamanya.

Mungkin dosa Ayah di masa lalu, aku yang harus menebusnya. Aku tahu, dosa Ayah begitu besar dan tidak terampuni. Tidak akan bisa termaafkan oleh Rinda dan Ibunya.

Maafkan aku kekasihku. Biarlah rahasia ini kusimpan. Kau tahu, hal apa yang paling kutakuti dalam hidupku? Adalah kehilanganmu.

Biarkan aku berbohong demi kebaikan kita. Cinta kita tentunya.(*)







Cintaku Terhalang Uang Panai'

Posted By Redaksi on Rabu, 12 Agustus 2020 | Agustus 12, 2020

 Oleh: Assyifa Barizza

 

Aku masih mematung, memandang tak percaya ke arah laki-laki yang sedang berlutut di hadapanku saat ini. Dia menyematkan cincin bertulis inisial  namaku di jari manis. Apakah ini mimpi? Aku mencubit pipiku dan rasanya sakit. Ini nyata rupanya.

"Maukah engkau menikah denganku, Annisa?"

Hanya beberapa kata, namun kalimat yang keluar dari mulut Dirga mampu menghipnotisku. Lidahku kelu, tidak mampu memberi jawaban. Ada apa denganku? Kenapa salah tingkah begini. Mungkin perasaan bahagia terlalu mendominasi. Aku hanya tersenyum, dan Dirga pasti memahami makna yang tersirat di wajahku.

Hujan masih menyisakan gerimis, aroma petrikor menguar masuk sampai ke dalam Cafe Cozy ini. Februari ini, hujan tak kunjung reda. Ini adalah musim penghujan, musim yang selalu kurindukan. Tidak ada alasan menyukainya, aku hanya suka aroma tanah yang habis disiram hujan.

"Datanglah ke rumahku. Menemui kedua orang tuaku, Ga." Ada rasa lega saat kalimat itu keluar dari mulutku. Senyum masih menghiasi sudut bibirku.

"Tentu saja. Sebagai pecinta sejati, aku akan melamarmu pada kedua orang tuamu.

Kami saling memandang dan tersenyum. Rasa bahagia tidak dapat kusembunyikan. Alunan musik yang dinyanyikan oleh penyanyi Cafe mewakili perasaanku dan Dirga.

 

Akhirnya 'ku menemukanmu

Saat hati ini mulai merapuh

Akhirnya 'ku menemukanmu

Saat raga ini ingin berlabuh

'Ku berharap engkaulah

Jawaban segala risau hatiku

Dan biarkan diriku

Mencintaimu hingga ujung usiaku

Jika nanti 'ku sanding dirimu

Miliki aku dengan segala kelemahanku

Dan bila nanti engkau di sampingku

Jangan pernah letih 'tuk mencintaiku

Akhirnya 'ku menemukanmu

Saat hati ini mulai merapuh

'Ku berharap engkaulah

Jawaban segala risau hatiku

Dan biarkan diriku

Mencintaimu hingga ujung usiaku

Jika nanti 'ku sanding dirimu (sanding dirimu)

Miliki aku dengan segala kelemahanku (segala kelemahanku)

Dan bila nanti engkau di sampingku (di sampingku)

Jangan…

 

"I love you, Annisa," ucap Dirga saat lagu itu telah usai sambil mengecup punggung tanganku.

"I love to," lirihku dengan tersenyum. Pasti pipiku sudah merona merah saat ini.

Dirga Sastra Negara. Laki-laki yang berasal dari Ternate, Maluku Utara. Sudah lama aku mengenalnya, sekitar lima tahun yang lalu. Dia menginjakkan kakinya di kota Daeng, Makassar untuk menimba ilmu. Dia kuliah di Universitas Hasanuddin, begitu pun denganku. Kami berbeda Fakultas, tapi bergabung dalam organisasi yang sama di Kampus. Dari situlah awal kami bertemu dan saling jatuh cinta.

Dirga, bukanlah sosok romantis. Sikapnya justru cenderung dingin. Namun dia cerdas. Itulah yang membuatku suka, kagum dan berakhir dengan cinta. Selain itu, paras wajah tampan membingkai wajahnya. Dia termasuk salah satu idola di kampus ini.

Setelah kuliahnya selesai, Dirga masih tetap di Makassar mengadu nasib. Dia bekerja di perusahaan industri yang terletak di pinggiran kota Makassar. Cinta kami pun semakin hari makin bersemi.

***

Malam Minggu. Waktu menunjukkan pukul 21.00 WITA. Dirga datang memenuhi janjinya menemui orang tuaku. Mengutarakan keinginannya untuk mempersuntingku sebagai istrinya.

Bapak dan Ibuku yang masih teguh memegang adat istiadat Makassar, memberi syarat yang sangat berat untuk Dirga. Uang panai' dan mahar sangat tinggi dia ajukan padanya.

"Apakah kau bisa menyiapkan uang panai seratus juta dan mahar 50 gram emas? Annisa anakku, adalah anak tunggal. Satu-satunya pewaris hartaku."

Aku sudah menduga, Bapak pasti akan berkata seperti ini. Di Makassar, semakin tinggi pendidikan, status sosial dan harta seorang perempuan maka akan jadi patokan seberapa besar uang panai' yang akan disiapkan oleh calon mempelai pria. Dan juga suatu kebanggaan untuk orang tua, bila anak gadis mereka di lamar dengan uang panai' yang fantastis.

Sementara Dirga, hanya diam menunduk. Tidak mampu menatap wajah Bapak. Aku tahu, Dirga pasti tidak mampu memenuhi syarat yang diberikan oleh Bapak. Dia masih merintis karir dari bawah, gajinya pun masih di bawah lima juta.

Meminta tolong kepada orang tuanya di Ternate juga mustahil. Adat istiadat dan budaya kami sangat berbeda.

"Akan aku usahakan, Pak."

Hanya kata itu yang diucapkan Dirga. Tak ada senyum di wajahnya. Setelah meminum teh hangat yang kusuguhkan, dia pun pamit. Terlihat jelas kerisauan di raut mukanya.

Aku juga merasakan cemas yang sangat. Mampukah Dirga memenuhi permintaan Bapak? Atau dia akan menyerah? Entahlah. Yang kutahu saat ini, aku takut kehilangannya. Aku sudah terlanjur mencintainya. Hanya dia sosok yang kuinginkan jadi pendamping hidupku, yang akan menemaniku menua.

Bukankah dalam Islam pernikahan itu dimudahkan? Ada laki- laki dan perempuan yang siap menikah, wali, saksi, mahar, dan penghulu. Maka, ijab kabul pun sudah bisa dilaksanakan.

Namun ini Makassar. Adat istiadat dan tradisinya seperti sebuah kewajiban yang tidak bisa dilanggar. Rasanya ingin berteriak, apakah hukum Adat lebih penting daripada hukum Islam?

***

Beberapa hari ini, Dirga tidak menghubungiku. Berulang kali kutelepon, tapi nomornya tidak aktif. Aku gelisah, takut terjadi apa-apa padanya.

Sehabis pulang kerja, aku menemui dia di rumah kontrakannya. Ingin berbicara tentang kelanjutan hubungan kami. Aku sangat tidak siap untuk kehilangannya.

Tatapan matanya kosong, seakan tidak ada gairah hidup. Dia hanya diam menyambut kedatanganku. Dirga sangat berbeda hari ini, hanya mendiamkanku. Biasanya kalau kami bertemu, dia selalu menggodaku.

"Kenapa tidak pernah menghubungiku, Ga?" Aku membuka percakapan. Setelah itu hening kembali tercipta.

Dirga menyulut rokoknya kuat-kuat, kemudian menghembuskan asapnya ke udara.

"Sejak kapan kau merokok?"

Dirga mematikan rokoknya dan menyimpannya di asbak.

"Aku pusing, Nisa. Tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa memenuhi syarat yang diajukan orang tuamu."

"Kau 'kan bisa meminta tolong pada keluargamu di Ternate?" Selaku sembari memegang tangan Dirga. Mencoba memberi kekuatan padanya.

Dirga tertawa pelan, kemudahan berdiri berjalan menuju jendela yang menghadap ke jalan.

"Kau tahu apa yang dikatakan Ibuku saat menceritakan tentang lamaranku padamu? Dia bilang, pulanglah! Di sini banyak gadis-gadis yang bisa kau nikahi dengan uang secukupnya."

Lama kami terdiam. Saling memandang tanpa mengeluarkan suara. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Jadi, kau menyerah dan tidak ingin memperjuangkan cinta kita, Ga?"

Dirga menatapku sekilas, kemudian kembali  mengalihkan pandangannya ke jendela. Aku tahu suasana hatinya saat ini. Di ambang putus asa.

"Terus apa yang harus kulakukan, Nisa? Aku ini bukanlah anak konglomerat. Uang sebanyak itu, dari mana bisa kudapatkan?"

"Banyak cara yang bisa kita tempuh, Ga. Bagaimana kalau kita kawin lari?" Akal sehatku sudah tak berfungsi lagi. Entah dari mana datangnya ide konyol itu. Yah, aku terlalu takut kehilangan lelakiku ini.

"Tidak! Aku tidak ingin menodai cinta kita Nisa. Biarlah waktu yang menjawab tentang hubungan kita ke depannya."

Aku meninggalkan rumah Dirga dengan hati hampa. Dia tidak memberiku harapan yang pasti. Sekilas aku bisa menangkap, ada sikap menyerah pada dirinya.

Bukan salah Dirga, bukan pula salah orang tuaku. Mereka hanyalah korban dari sebuah aturan tak tertulis  yang dibuat oleh manusia.

***

Bagi setiap orang, hari pernikahan adalah hari yang paling terindah dalam hidupnya. Sebuah moment sakral yang sangat bersejarah. Hari itu, adalah bersatunya dua insan dalam ikatan janji suci pernikahan. Tapi tidak denganku. Hari ini seluruh tubuh dan jiwaku terluka.

Sejam yang lalu. Laki-laki pilihan orang tuaku mengucapkan ijab kabul padaku dengan lantang.

"Aku terima nikah dan kawinnya Annisa Ramadhani binti Sulaiman dengan mahar seperangkat alat salat, sebuah rumah dan emas 50 gram dibayar tunai."

Alfian, pria mapan yang mempunyai jabatan supervisor di perusahaan pertambangan nikel di Sorowako, Luwu Timur. Dia mampu memenuhi syarat yang diberikan orang tuaku. Bahkan sebuah rumah dia telah siapkan untukku. Tentu saja tanpa berfikir dua kali, Bapak langsung menerima lamarannya.

"Ini semua untuk kebahagiaanmu, Annisa," ujar Bapak ketika aku tidak setuju dengan lamaran ini. Dalam hati aku bergumam, kebahagiaanku atau kebahagiaan Bapak?

Alfian masih terhitung kerabat denganku. Anak dari sepupu Ibuku. Hari ini aku resmi menyandang status sebagai istrinya.

Berulang kali aku menolak perjodohan ini, tapi Bapak tetap memaksa. Aku tidak punya pilihan lain, hanya bisa pasrah.

"Aku hanya mau menikah dengan Dirga, Pak. Aku mencintai dia."

Dengan terisak, kumengiba pada bapak, bersimpuh di depannya. Berharap, dia akan berubah pikiran.

"Tapi Dirga tidak sanggup memberimu uang panai' sesuai dengan permintaanku." Sedikit pun Bapak tidak menaruh rasa iba padaku. "Bapak sudah menerima pinangan Alfian. Kau akan hidup bahagia dengannya."

Hati kembali menangis bila mengingat itu. Bapak sudah dibutakan dengan uang dan adat. Hanya karena gengsi, dia menggadaikan kebahagiaan anaknya sendiri.

Dalam balutan gaun pernikahan adat Makassar, aku duduk bersanding dengan laki-laki yang sangat asing bagiku. Air mataku sudah kering, aku sudah puas menumpahkannya di ranjang semalam.

Dirga, dia sudah meninggalkan kota Makassar, kembali ke kampung halamannya setelah tahu aku dijodohkan dengan laki-laki lain.

[Semoga kau bahagia dengan laki-laki pilihan orang tuamu, Annisa.] Itu pesan terakhirnya melalui WhatsApp, sehari sebelum dia pergi.

Tamu semakin banyak berdatangan memberi ucapan selamat padaku. Aku mencoba tersenyum, menutupi suasana hati yang gundah.

Aku tidak tahu, apakah pernikahanku akan bahagia tanpa cinta?Aku jalani saja dulu. Seperti kata Dirga, biarlah waktu yang menjawabnya.

Alfian sekarang adalah imamku. Aku harus belajar mencintai dia, walau kutahu itu sulit. Menghilangkan bayangan Dirga, aku rasa butuh waktu yang cukup lama dan apakah aku mampu untuk itu?

Aku bukanlah perempuan yang gampang jatuh cinta. Dirga, adalah laki-laki pertama yang mampu menaklukkan hatiku. Mungkin selamanya, hanya dia akan yang akan bertahta di sana.

Dirga yang seharusnya mengucap janji suci itu padaku dan duduk bersanding di pelaminan yang megah ini. Tapi takdir berkata lain dan aku tidak boleh mengingkari itu. Dirga tercipta bukan untukku, begitu pun sebaliknya.

Tuhan, apa yang terjadi adalah kehendakmu. Pernikahanku ini adalah takdirmu yang tidak bisa kutolak. Aku hanya meminta, hilangkan rasa cintaku pada Dirga dan mengalihkannya pada Alfian.

Tuhan, aku titipkan Dirga padamu. Kirimkan dia perempuan yang mencintainya dengan tulus. Walaupun kami diciptakan untuk bersatu, tapi aku akan selalu berdo'a agar dia bahagia bersama perempuan yang telah engkau pilihkan untuknya.

"Kau begitu cantik malam ini, istriku." Aku mendengar bisikan lembut Alfian di telingaku. Tapi, kenapa aku tidak suka dengan kalimat itu? Andai Dirga yang ucapkan, pasti akan terasa romantis.

Resepsi pernikahan belum usai, tapi hujan sudah mengguyur Makassar. Kukira musim hujan sudah berakhir di bulan Mei ini, tapi dia masih turun membasahi bumi. Apakah dia tahu kalau aku merindukannya?

Aku suka hujan. Aku suka aromanya. Rasanya ingin berlari di bawah tumpahan air hujan dengan gaun pengantin, menangis sepuasnya tanpa ada yang tahu.

"Apa ada yang bisa memberi tahuku? Bagaimana rasanya sekamar dengan pria yang tidak kita cintai?"

Aku yakin, ini adalah yang terbaik untukku meski bukan yang terindah.

 

Tidore, 2020

 

Note;

Uang panai' : Uang belanja.

Uang panai' dan mahar itu berbeda untuk suku Bugis dan Makassar.

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday