Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Iqra' Bismirabbik

Posted By Redaksi on Kamis, 29 Oktober 2020 | Oktober 29, 2020

 Puisi Maulid: Mahrus Andis


Salam padamu, ya Muhammad
Salam padamu, ya Nabi
Salam padamu, ya Rasul
Salam padamu
Salam padamu
Salam padamu
Ya, Habiiib
Telah turun cahaya kepadamu
Muhammad Al Amin
Pendamai Barat
Pendamai Timur
عَطِّرِ اللّهُمَّ قَبْرَهُ الْكَرِيْمَ بِعَرْفٍ شَذِيٍّ مِنْ صَلَاة ٍوَ تَسْلِيْمٍ.
Semoga Tuhan menyemerbakkan dan mewangikan pusara Baginda
Dengan wangi-wangian aneka puspa
Berupa doa restu serta salawat kepadanya
Salam atasmu wahai umara'
Salam atasmu wahai ulama'
Salam atasmu wahai fuqaha'
Salam atasmu
Salam atasmu
Salam atasmu
Wahai muslimin
dan muslimat
Telah diutus pemimpin kepadamu
Ikutlah ia
Sepanjang di jalan kebenaran
Salam bagimu para kiyai
Salam bagimu para pendidik
Salam bagimu para tentara dan polisi
Salam bagimu para pelajar dan mahasiswa
Salam bagimu para seniman dan gelandangan
Salam bagimu
Salam bagimu
Salam bagimu
para nelayan
dan petani
Telah dinobatkan kehadiranmu di atas bumi
Khalifatan fil ardhi
Penyebar kasih
Penyubur cinta
اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَق
Bacalah dengan lafal Tuhanmu
Bacalah langit dan bumi
Bacalah bulan, bintang dan matahari
Bacalah gunung, laut dan lembah belantara
Bacalah kupu-kupu
dan bunga-bunga rumput
Iqra'
Bacalah matamu bacalah mulutmu bacalah rindumu
dan bacalah dosa-dosamu
Iqra' bismirabbik
Bacalah perutmu bacalah perutmu bacalah perutmu dan perut orang-orang miskin
Iqra'
Bacalah kedudukanmu
dan kedudukan
orang-orang di sekitarmu
اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَق
Bacalah maujud kefanaanmu
Dan sujuuuuuud ...!
Bersujudlah
Di hadapan Kursi Kerajaan Langit
dan
Bumi.

-1988 react 2020-

Sebut Lagi Aku Mahiya

Posted By Redaksi on Rabu, 28 Oktober 2020 | Oktober 28, 2020

Oleh: Nurfathana S.

Aku bersandar pada bahu senja
Antara Adzan dan Iqamah
Di sujud terakhir dan ketika turun hujan pagi tadi
Hingga sepetang ini..
Namamu terjerembab dalam benakku
Terima kasih untuk segala cinta
Maaf untuk segala kurang
Meski pernah kupercaya dalam cinta tak ada maaf dan terima kasih
Kamu tetap saja cinta untuk segala maaf dan terima kasihku
Aku menganut kepercayaan baru
Ketika cinta disebut-sebut sebagai nama lain dari kebebasan
Aku bebas mencintaimu bukan?
Dengan caraku, aku menunggu
Agar kau tidak tidak terganggu
Dengan lugu, aku merindu
Kau sebut Mahiya
Mahiya-mu, pada hari naskah-naskah janji terucap, pada penutupan bulan yang terus beranjak di tahun yang cukup rumit untuk tetap berdiri.

Indonesia Tanpa Pancasila

Posted By Redaksi on Minggu, 04 Oktober 2020 | Oktober 04, 2020

oleh: Mahrus Andis

Indonesia tanah leluhur
Detak-detik jantung
Nafas segar mengalir
ke sumsum hari-harimu
Indonesia tanah yang gembur
Dari perutnya engkau makan dan menyusu
Di angin bukit mengalun
Indonesia lelapkan tidurmu
Tawarkan mimpi masa depan anak-anakmu
Indonesia ladang yang subur
bagi segenap rakyat bersatu
Tanpa Indonesia
Apa lagi yang engkau miliki ?
Petani dan nelayan kehilangan sawah-lautnya
Pelajar dan mahasiswa
akan bangkit menjadi pesilat lidah;
sepi dari ilmu
sunyi dari mimbar akademik
Tanpa Indonesia
Pegawai dan karyawan menjadi pengangguran
Para penganggur akan hidup terluntah-luntah dalam kehancuran
Tanpa Indonesia
Anak-anak yang engkau banggakan
kehilangan senyum
yang setiap waktu membuatmu bahagia
Istri-istri tersayang diamuk cemas menanti suami
sembul dari kepulan asap pemberontakan
Para suami didera gelisah
khawatir istri yang cantik diculik gerombolan perusuh
Indonesia adalah benteng paling kukuh
bagi negeri yang damai
Tanpa Indonesia
Sayap-sayap burung garuda
luruh satu-satu
Manik-manik kebangsaan yang engkau agungkan bertahun-tahun
terburai berantakan
Tanpa Indonesia
Panca Sila akan musnah tenggelam ke dalam comberan
Indonesia
tanpa Panca Sila
Ke langit siapa
engkau bersumpah ?
Indonesia
tanpa Panca Sila
Jangan bermimpi;
Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat
yang lapar.
 
-Blk, 30 September 2020-

Kemerdekaan Adalah Senyum Manis Buat Istri

Posted By Redaksi on Senin, 21 September 2020 | September 21, 2020

Oleh: Mahrus Andis

 


Kemerdekaan bukanlah kehebatan
meletupkan dahaga
di botol-botol minuman
Kemerdekaan bukan pula keberingasan
menjejal orasi tepi jalan
mengusung spanduk kematian
Kemerdekaan tidak juga bermakna kebebasan
menorehkan catatan kepentingan
di atas lembaran kehidupan
Kemerdekaan adalah senyum manis buat istri
mengalir di sungai nurani
Sepi
dari
penjajahan birahi.
 
(Balada Kursi-kursi, 2014)

Sahabat

Posted By Redaksi on Kamis, 17 September 2020 | September 17, 2020

Oleh: Maya Akhmad


Semilir angin 
Mengalir lembut 
Menyapa sukma
Hingga ke relung relung
Kian hampa
Berpacu detak jantung 
Menanti

Sahabat ...
Semasih purnama berganti
Rinduku tetap menanti
Di segenap denyut nadi
Sampai mati

Sahabat ....
Senyumlah seelok rembulan
Agar hatiku tetap damai
Bersama mimpi 
Yang panjang

Bumi Salassae tercinta, September 2020

Lorong Baru

Posted By Redaksi on Jumat, 04 September 2020 | September 04, 2020

Oleh: Maya Akhmad

Sering ku dengar 
Suara itu 
Suara seruling merdu
Sang petani
Tembangnya menggema
Dari desah dedaunan 
Di antara kaki bukit
Riuh suaranya
Lirih terdengar
Mendayu...

Di lorong baru 
Ada desah nafas cinta dan rindu
Tentang matahari 
Yang mencintai bumi
Tentang hujan
Yang membasahi tanah kering
Tentang langit dan mega 
Yang berkejar kejaran
Begitulah kidung sang petani
Begitu pun kehidupan
Suka duka silih berganti

Di lorong baru
Saban waktu sang istri mengeluh
Tentang hasil panen 
Yang tak memadai
Tentang harga pupuk
Yang melonjak
Tentang pupuk bersusidi
Yang langka
Mengeluh seperti berada
Di padang tandus
Mengeluh seperti berjalan
Pada  kerikil kerikil tajam
Kehidupan yang semakin membelit 

Di lorong baru
Semangat kehidupan
Mulai tumbuh
Seiring persaudaraan 
Semakin erat
Di temani secangkir kopi pahit
Kian terasa manis
Riuh senda gurau
Dan lintingan tembakau kampung
Memacu semangat
Yang tiada henti
Di lorong baru
Kehidupan akan segera mulai


(buat kawan di lorong baru)
Butta Salassa' tercinta 
4 September 2020

Petaka


Oleh: Adhe Lely Serly Dewi

Cincin perak melingkar di jari manisnya
Kepingan harapan berhamburan di sisinya
Mata sembab memerah, jadi muara air yang tak pernah usai mengaliri pipinya
Ditertawakan angin malam, membelai rambut yang mulai acak acakan
Ia calon pengantin yang esok hari akan menghadapi ribuan tanya atas segala perihnya.

Lelaki yang ia cinta memilih meninggalkannya saat ribuan mata telah mendoakan, 
Ia pergi dengan pengkhianatan, meminta untuk dikutuk atas segala dosanya.

Hari ini harusnya kita telah tersenyum bersama menyambut tamu yang datang, aku telah cantik dengan balutan busana pengantin pilihan mu kemarin, dan kau akan terlihat gagah dengan taksedo hitam yang jelas kesukaanmu, tepat sejam yang lalu seharusnya kita telah sah hidup bersama dan ku jadi wanita terbahagia saat itu.

Namun  itu hanya sekedar impianku, kini hanya tinggal luka yang ku yakini akan terus bersamaku hingga mati, cincin yang melingkar di jari manisku kini hanya jadi bahan cemooh mereka yang tak menyukai. Aku adalah calon pengantin yang di tinggal pergi oleh kekasih di hari pernikahan, di saat semua orang telah mendoakan hidup kita bahagia hingga nanti.

Malam ini seharusnya jadi malam bahagia untuk ku karna telah ada dirimu yang halal disisi, kini hanya angin malam yang menertawakan  nasib, di tinggal kekasihnya yang memilih untuk mendua, kau tahu saat ini hanya sesal yang kurasa, mengapa aku mencintaimu sangat, dan ingin hidup  bersamamu.

Malam ini bumi ibarat hancur berantakan tak ada alasan untuk menatap pagi di hari esok, hatiku masih tak siap menjawab segala tanya yang menghampiri, hidupku akan terus mengutukmu walau hati dengan bodohnya masih mencintai.

Adhe Lely Serly Dewi, gadis yang lahir di Salassae, Bulukumba, Sulawesi Selatan pada 3 juni 1998. Menyelesaikan pendidikan terakhir di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Jurusan Bisnis Islam dan Menejemen di UIM. Di sela-sela aktivitasnya pada bagian administrasi di PKM Desa Slassae, gadis ini banyak menulis termasuk puisi-puisi.

Nasib Kampung Pak Tani

Posted By Redaksi on Rabu, 02 September 2020 | September 02, 2020


Oleh: Ali Wardi

Tanah hitam nan luas terbentang, 
diselimuti permadani hijau. 
Bulir-bulir embun bersama mentari membelai lembut sepanjang tahun. 

Tak terlalu lama menanti, semburat hamparan kuning tangkai-tangkai padi memahkotai setiap rumpun permadani.

Indah sekali negeri ini. 
Keping surga yang jatuh ke bumi. 
Apa sebenarnya yang kita cari, 
sedang semua yang diperlukan semuanya sudah ada disini, 
berlimpah bila hidup memang hanya untuk mengabdi.

Tapi anak-anak ayam itu kelaparan di lumbung padi, 
berserakan mencari hidup jadi TKI,
Atau jadi babu-babu berdasi,
di kantor-kantor dan kawasan industri  

Ada yang salah dengan negeri ini.
Sudah terlalu lama larut menipu diri. 
Para pemimpin, mengukur baju di badan orang lain. Sadarlah wahai Pribumi.

Bogor, 2 September 2020

Sebuah Cerita Dari Kampung

Posted By Redaksi on Selasa, 25 Agustus 2020 | Agustus 25, 2020


Oleh: Maya Akhmad         

Aku berjalan
Menyeberang hulu sungai
Dihembus angin 
Meliuk dedaunan

Tentang aku
Dan cintaku 
Kepada lelaki 
Di dusun
Ingin kutuntaskan perjalanan ini 
Bersamanya

Aku merasa sejuk 
Di pematang sawah
Yang tumbuh ilalang
Siang terik
Matahari tegak lurus

Aku bernaung
Di sebuah dangau 
Mencari hari hariku yang hilang
Gemericik air membawaku
Ke irama alam 
Rasa kantuk tak mampu kuhalau
Dan akupun tertidur
 
Siang itu aku bersamanya
Lelaki dari dusun
Segenap jiwa raga aku mencintainya
Pun dia sangat menyayangiku
Sebagai pembuktian dan pembaktian
Anak bini yang meminta selalu

Segala letih pun hilang terbasuh
Dan serumpun cintaku
Di naungan langit biru
Cinta kami sederhana.                         

Agustus 2020
Salassae tercintaku and Bulu Lonrong
Jiwakamisatu

* Maya Akhmad, seorang Ibu rumah tangga. Di sela-sela aktifitasnya sebagai seorang perempuan tani, ia banyak menulis puisi. Perempuan ini suka membaca. Tinggal di dusun Bolongnge Desa Salassae, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba.

Kepul Kopi dan Goreng Ubi

Posted By Redaksi on Minggu, 16 Agustus 2020 | Agustus 16, 2020

Oleh: Ilham

Kepul kopi dan goreng ubi 
genapi hari ini
Langit sunyi
Kembang mewangi
Meja sederhana dan kursi-kursi

Masa pandemi yang luka
Tak surutkan mereka
untuk mekar tak merana

Seperti matahari di celah rumah
Angin berembus ramah
Dan waktu terus
merayap searah.

Ingin Seikhlas Air Pada Sungai



Oleh: Ilham

Ingin seikhlas air pada sungai
Gemercik merdu laguan rindu
Debar muara tak sabar menunggu

Ingin seikhlas air pada sungai
Cintaku gemercik di batu-batu 
Merindu padamu
Sebagai hulu yang merestuiku

Ingin seikhlas air pada sungai
Mengalirkan rindu 
Pada debar hatimu.

Dupa Laut dan La Sodding

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 15 Juli 2020 | Juli 15, 2020



Dupa Laut


lalu aku berbincang dengan tiang

dan layar perahu. temali lepas ke

arah tenggara. kau dan aku masih

di utara. tentang impor garam? 

bukan

ini tentang nenek moyangku 

seorang pemberani. pelaut yang 

sampai ke tanah

samiri.


lalu kau dan aku membakar dupa

mantra laut untuk dedemit. temali 

hanyut ke arah tenggara.

kau dan aku, laut dan cakrawala, 

ombak dan cinta,pukat dan

terumbu,

pilu.


ada matahari yang belum terbenam,

orang-orang di daratan tak menunggu malam.


Bulukumba, 1 Agustus 2018.





La Sodding


La Sodding datang dari rahim laut. Perahu batu I Mannyambungi terdampar mendongeng padanya di masa telanjang dada. Berlari ia di sepanjang pesisir. Bau rambutnya adalah juga aroma ikan di jemuran bambu. Turungang Beru beranak pinak dengan benih Mandar. La Sodding tetaplah nelayan. Ditebarnya  jala di hati Te'ne Simboleng. Suatu pagi bersama terumbu dan cinta, Te'ne tak mau ke kota.


Bulukumba, 12 Desember 2017






Bunga dan Kacamata

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 13 Juli 2020 | Juli 13, 2020

Gadis Yang Menulis

aku jatuh cinta
kepada
kisah seorang gadis
yang sedang menulis
rambutnya hutan
wajahnya bulan
sebatang pena bergegas meloncat
keluar dari bola matanya
pagi dan malam pada riwayatnya
dibaca oleh hujan
gadis yang sedang menulis,
dia tak tahu dirinya punya kekasih
tapi dia mencium aroma kopi liberika
selalu menyergap malam-malam
dan bibirnya yang ranum
kekasihnya pun tak tahu
dirinya punya gadis yang sedang menulis,
lelaki itu menyeruput bau kertas
rambutnya hutan
wajahnya bulan
aku jatuh cinta pada kisah mereka
aku ikut menulis ceritanya
dan aku tidak terbaca.

18 Juni 2020



Perempuan yang Lupa Kacamatanya

perempuan yang lupa kacamatanya
adalah perempuan yang meletakkan
sekujur ruang dan waktunya
yang kaca
pada seorang lelaki
yang membuka mata.
perempuan yang berkacamata
adalah mata pada kaca
kaca pada kata
kata pada kaca
mata pada kata.
perempuan
dan kacamata
meninggalkan kaca kata
pada sebuah tempat tidur
tanpa kaca.
                                                                
20 Juni 2020




Segerombolan Puisi "Saya Oposisi" 2019

Letupan-letupan peristiwa pada tahun 2019 rupanya sempat saya rekam dalam bentuk puisi. Sebagian besar diposting di Facebook. Berikut sebagian kecil puisi yang masih sempat saya telusuri dari tagar #sekilasmirippuisi dan #berlagakpenyair di wilayah Facebook.


Sepucuk Sajak Petani Kepada Anaknya
karena kita petani maka bersyukurlah karena kabarnya kita akan digaji.
janji-janji manis bukan hama wereng. janji-janji manis hanya kebetulan semanis janda muda di ujung kampung. semanis buah manggis di kebun kita. semanis hamparan harapan di sawah kita.
janji-janji manis adalah sejenis benih sekaligus panen raya. dia akan tetap dituai apapun bentuk buahnya. dia semacam visi misi percintaan. sekecut apapun rasanya. dia serupa musim hujan yang kita sambut dengan pesta do'a sehabis kemarau.
sebentar lagi janda muda kita akan memiliki kartu janda indonesia sehat. akan kulamar dia untukmu sesegera mungkin. sebelum hari pelaminan, ingatkan bapak agar tidak lupa mengundang jaenuddin. jangan bertanya siapa itu jaenuddin. kamu tidak perlu tahu. cukup ayahmu saja yang tahu, janjinya manis-manis lima tahun lampau.

5 Januari 2019


Kopi Tubruk
tidak ada puisi hari ini tentang mushalla yang dirusak segerombolan teroris
tidak ada puisinya di kolom budaya koran manapun
tidak juga di media online
dan kau bilang negara baik-baik saja
sebab di media sosial kau posting status:
hujan turun rintih-rintih.
hmm, puitis sekali kau.
para penyair besar beronani dengan sajak-sajaknya
mungkin mereka kelak menjadi dewan pembina ideologi pancasila
yang digaji ratusan juta setiap bulan
kau pun mungkin begitu
maka sebelum kau jadi pejabat
kuajak kau minum kopi tubruk
sambil saling menubrukkan hape
dan tentunya hapemu menang
sebab bukan buatan china.
kau dengar ada seorang guru honorer memakai sepatu bolong
dan kau posting lagi status:
hujan rintih-rintih.
ah
negara tetap baik-baik saja
sebagaimana junjunganmu
yang kaget karena baru tahu
jenderal soedirman meninggal karena tuberkulosis
kuajak kau minum kopi tubruk
agar kau mau menulis puisi
dengan bahasa china.

31 Januari 2019


Siapa Kalian?
Hindu mengajarkan, non-Hindu adalah Maitrah.
Budha mengajarkan, non-Budhis adalah Abrahmacariyavasa.
Kristiani mengajarkan, non-Kristen adalah Domba Yang Tersesat.
Islam mengajarkan, non-muslim adalah *Kafir.
Semua istilah itu diajarkan di dalam lingkaran pemeluknya masing-masing.
Bukan di luar lingkaran pemeluknya.
Sebab di luar pemeluknya terdapat negara.
Sementara negara terlalu kecil bagi agama.
Agama memiliki teritorinya sendiri yang tidak dimiliki negara.
Begitulah nusantara sejak dulu.
Semuanya berlangsung baik-baik saja berabad-abad.
Tapi, siapa kalian?
Meminta istilah kafir diganti?
Apakah surat Al Kafirun dalam Al Quran harus diedit?
Haruskah diganti menjadi surat Al Non Muslimun?
Sementara Pancasila tidak perlu lagi direvisi.
Bhinneka Tunggal Ika tidak perlu lagi dimodifikasi.
Apakah iman harus diamandemen?
Apakah sudah berarti final bagi kalian jika anak-cucu kami tidak lagi memeluk islam?
Kalau begitu bikin saja Taman Dilan.
Loloskan saja Undang-Undang LGBT di parlemen.
Karena istilah rakyat berasal dari istilah ra'iyyah dan istilah masyarakat berasal dari istilah musyarakah, apakah harus direvisi juga?
Siapa kalian?
Semuanya berlangsung baik-baik saja
sebelum kalian banyak tingkah
sebelum kyaimu berjoged di panggung sampai terjungkal.
Siapa kalian?
Membuat mundur bangsa ini jauh ke belakang?
Warga negara harusnya kalian dewasakan untuk menerima konsep iman yang beragam.
Toleransi pada perbedaan adalah syarat kewarganegaraan.
Agama tidak perlu diamandemen sebab dia didesain untuk mengelola perbedaan.
Merevisi iman itu sakit jiwa namanya.
Siapa kalian?
Kelucuan apalagi yang harus didustakan di zaman Jan Chuk Chen?

1 Maret 2019


Tidak Usah Baper
Beringsutlah sedikit saja dari gorong-gorong sejarah. Keluarlah sejenak dari habitat amfibi.
Tidak usah saling mendahului, berlompatan menginjak kepala kawan seiring. Jangan gaduh.
Ayo mari sini. Mari seruput kopi.
Kita saling menanyakan kabar.
Bagaimana kabar korban gempa Lombok?
Apakah bantuan rumah tahan gempa yang dijanjikan itu sudah bisa dihuni?
Bagaimana pula kabarnya uang sabun dua milyar?
Ambillah pulpen.Tekenlah segera sesuatu di atas kertas agar semua lahan konsesi besar diserahkan kepada negara. Bagikan segera kepada rakyat kecil. Tidak usah banyak retorika. Siapkan dasar hukumnya. Siapkan dana kompensasinya.
Beritahu anak buahmu. Tidak usah mereka mengatur volume adzan, ukuran hijab, dan cadar. Lain kali aturlah jangan sampai ratusan masjid harus dirobohkan karena pembangunan jalan tol. Aturlah taktik militer yang terbaik untuk menumpas teroris OPM di tanah Papua.
Tidak usah bertanya berapa jumlah masjid, gereja, pura, dan vihara.
Tidak usah menghapus perda syariah dan pelajaran agama di sekolah.
Tumpas saja narkoba, miras, LGBT, predator anak, dan koruptor.
Urus saja jutaan imigran bermata sipit yang setiap hari mendarat bergelombang-gelombang.
Jangan bikin malu. Mundurlah dari jabatanmu ketika mencalonkan diri. Serahkan pada wakilmu. Ada undang-undangnya.
Lain kali jangan bikin malu dengan menjadi penebar hoaks di televisi dan ditonton oleh ratusan juta rakyat.
Tidak usah baper. Ini hanya dialog ringan di sebuah warung kopi. Jangan digoreng. Nanti minyak panasnya terpercik ke muka kalian sendiri. Jangan gaduh. Ada bos di ujung sana yang bayar kopi.
Oh ya, aku hampir lupa. Kemarin di rumahku ada kiriman satu paket berisi mie instant dan amplop yang isinya cukuplah buat beli bakso dua mangkuk. Dari mana ya?

25 Februari 2019


Tulislah Puisi
Lalu di mana puisi kalian ketika data-data palsu dipresentasikan pemimpinmu di televisi
tanpa wajah malu?
Kalian lupa menulis puisi tentang itu.
Atau tulislah puisi tentang orang yang seolah memegang kunci surga
orang yang mengira junjungannya mirip Umar Bin Khattab
dan orang yang berkeras bahwa selain orang-orang dari organisasinya mengurus masjid maka salah semua.
Ketika kalian tidak menulis puisi tentang itu semua
maka tolong ajari aku alifbata dari nol.
Agar aku bisa mengeja
di haraqat mana saja
kalian harus berhenti
menulis puisi.
Lain kali sewalah tukang bakso banyak-banyak. Jangan lupa beri sewa tambahan penutup mulut
agar tidak ketahuan bakso itu sebenarnya tidak gratis.
Mintalah junjunganmu membuat dokumentasi video lagi mengaji.
Tinggal video mengaji yang belum dibuatnya. Yang lainnya sudah semua, cukur rambut, imam sholat, dan semuanya.
Tinggal satu yang belum, video mengaji. Jangan lupa, kalau junjunganmu belum bikin video mengaji
maka tulislah puisi tentang itu.
Tulislah puisi.
Aku berjanji akan membacanya
sambil memasang earphone di telinga.
Tulislah puisi tentang impor jagung yang katanya menurun,
kebakaran hutan yang katanya sudah tidak terjadi,
konflik agraria yang katanya sudah tidak terjadi, 191 ribu kilometer jalan desa katanya,
kereta api cepat yang butuh 200 tahun baru bisa lunas itupun butuh laba satu milyar perhari,
tentang tenaga kerja asing bermata sipit yang jumlahnya tidak bisa lagi kalian deteksi sudah berapa puluh juta masuk ke negerimu tercinta, tentang 31 juta data siluman,
tentang apalagi, kalian yang lebih tahu.
Tulislah puisi dan jangan meralatnya sebagaimana kebiasaan junjunganmu.
Bukankah kalian suka menulis puisi?

24 Februari 2019




Puisi yang Subversif

Posted By Alfian Nawawi on Kamis, 14 November 2019 | November 14, 2019

Banyak puisi ditulis oleh para penyair tanpa niat untuk melakukan pemberontakan. Puisi di bawah ini bisa jadi contoh sebuah puisi yang tergolong “subversif.” Penyairnya bisa ditangkap karena “nyinyir” terhadap penguasa. Penulisnya anonim.


Dilarang Berlebihan

dilarang berlebihan di negerimu sendiri
jika kakek nenekmu di masa silam mengangkat senjata melawan penjajah 
maka hari ini kamu dilarang turun ke jalan memprotes apapun
sangat berlebihan jika kamu mengikuti jejak kakek nenekmu merebut kemerdekaan
meskipun yang kamu perjuangkan adalah kemerdekaan dari  penjajahan oleh bangsa sendiri

jika bibimu tukang sayur
pamanmu penjual ikan
ibumu penjual cendol
ayahmu pegawai negeri 
maka kepalamu boleh dipukul dengan popor senapan 
tubuhmu boleh ditembus peluru tajam
senapan dan peluru yang dibeli dari hasil pajak
yang salah satu sumbernya adalah retribusi yang dipungut dari hasil jualan sayur bibimu,
ikan pamanmu, cendol ibumu, dan pajak penghasian dari gaji ayahmu
kalau para maling berkongkalikong mengubah aturan-aturan agar mereka bisa semakin leluasa merampok negerimu
maka kamu tidak boleh memprotes
cukup di rumah saja main game online
karena game online katanya termasuk olahraga, kata paman dari seorang kawan yang tempo hari menang pilkades.
tidak usah turun ke jalan dan nyinyir di medsos
cukup beritikaf di masjid
namun semoga dalam itikaf kamu memperoleh ilmu baru
bahwa jika agamamu hanya berisi ibadah melulu
maka rasulmu tidak pernah turun ke medan tempur membela agamanya.
tidak usah nyinyir
kamu akan diincar
sebagaimana nabi musa yang menyampaikan risalah kebenaran di hadapan fir’aun
lalu diburu sampai ke tepi laut merah

dilarang berlebihan di negerimu sendiri
sangat berlebihan jika kamu suka nyinyir
cukuplah menikmati barang-barang impor
itu sudah cukup
yang punya hak untuk berlebihan adalah mereka 
yang mengeluarkan aturan-aturan
yang mengatur pengeluaran-pengeluaran
yang mengeluarkan pemasukan-pemasukan
yang memasukkan pengeluaran-pegeluaran.

Tanah Airmata, 2019



Presiden Amerika Serikat, John. F. Kennedy konon pernah berkata, “Saya lebih takut kepada sebuah puisi dibandingkan satu batalion tentara musuh.”

Ketika satu puisi saja bisa dituding subversif maka siapakah lagi yang akan menjadi penyeimbang di luar lingkaran kekuasaan? Oposisi?

Hari ini ketika nyaris semua parpol dan elit politiknya bersekutu dengan kubu pemerintah maka siapakah lagi yang akan diharapkan menjadi oposisi sejati? Dalam hal ini yang dimaksud tentu saja adalah oposisi yang menjadi bagian dari sistem: oposisi di dalam parlemen. Jangan-jangan mereka memilih oposisi sesaat hanya karena kecewa tidak mendapatkan jatah menteri, misalnya?

Banyak pula yang masih menaruh harapan kepada gerakan mahasiswa meskipun mahasiswa berada di luar lingkaran sistem yang ada. Dan sejarah mencatat, beberapa kali aksi turun ke jalan oleh mahasiswa yang dibantu pelajar STM toh harus selalu berakhir dengan sikap represif aparat. Sikap represif ini dipandang sebagai representasi sikap rezim.
Banyak pula yang masih mengandalkan pada kekuatan media sosial untuk mengkonsolidasikan opini dan aksi publik. Nyatanya banyak netizen yang harus diseret ke muka hukum akibat “perlawanannya” di media sosial.

Lantas siapa lagi yang akan bisa dianggap sebagai barisan oposisi yang sejati? Ulama? Ulama yang paling pemberani saja dikriminalisasi sampai harus hijrah keluar Indonesia. Ulama yang tidak sekubu mereka persekusi di mana-mana. Mahasiswa berdemo mereka halau dengan tembakan peluru dan gas airmata. Para sastrawan dan penulis? Mereka tidak bisa diharapkan terlalu jauh. Karya mereka sewaktu-waktu bisa dituding subversif. 

Pada dasarnya rakyat sudah tidak sepenuhnya lagi percaya terhadap partai-partai oposisi. Hari ini mereka mungkin adalah oposisi, besok mereka bisa berubah begitu saja. 
Di hari-hari ini kita harus hati-hati menulis puisi meskipun sedang jatuh cinta.

Pustaka RumPut, 29 Oktober 2019

Bira Itu

Posted By Alfian Nawawi on Jumat, 04 Oktober 2013 | Oktober 04, 2013




bira itu bunga santigi
tumbuh langka di batu karang,
perjalanan estetik
mendaki mistik
ke bukit puang janggo,
burung-burung camar berkabar
jala-jala nelayan ditebar,
bira itu paha bule
dan pasir putih
berjemur gratis di antara kerang
dan sampah
seramai selangkang
para pelacur
berbau menyengat
dari mulut pejabat,
bira per detik
dikunjungi lalat.



bulukumba, 9 Juli 2013

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday