Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan

Serpihan Waktu dari Blogger ke Jurnalis

Posted By Redaksi on Selasa, 20 Juni 2023 | Juni 20, 2023

Sepintas, dunia jurnalistik dan blogging mungkin terlihat berbeda, tetapi bagi saya, keduanya saling terikat dengan kuat. 

Sejak tahun 2005, sebagai seorang blogger, saya memasuki dunia maya yang tak terbatas. Dengan setiap kata yang tertuang dalam tulisan, saya suka menyapa pembaca dengan kehangatan.

Namun, pada sekitar tahun 2012, kehidupan mempertemukan saya dengan jurnalistik. Seakan nasib meminta saya mengikuti alur yang tak terduga, saya menemukan diri saya melangkah ke dunia media online. Tahun 2020 menjadi tonggak penting, ketika pintu jurnalistik terbuka lebar untuk saya.

Pada tahun 2021, keajaiban datang dengan cara yang tak terduga. Saya dipercaya untuk memimpin sebuah portal berita di bawah naungan Pikiran Rakyat Media Network, salah satu jaringan media online terbesar di Indonesia. Tanggung jawab itu memberi sayap pada mimpi yang tak terbayangkan sebelumnya.

Namun, ada kepingan kenangan yang semakin membara. Saat ini, tahun 2023, di tengah kesibukan mengelola portal berita yang mempesona, rasa rindu itu semakin menggebu-gebu. Saya rindu kembali menulis di blog, membiarkan kata-kata mengalir tanpa batas.

Kini, dalam rentetan waktu yang terus berjalan, jurnalisme dan sastra menyatu kembali. Sebagai seorang jurnalis yang merangkai berita dengan objektivitas, saya tak bisa menahan diri untuk kembali mempersembahkan tulisan-tulisan yang tidak bisa dipenjara oleh aturan manapun di blog.

Blog akan menjadi tempat di mana jurnalisme dan sastra saling berpadu, menciptakan harmoni dalam ekspresi.

Saya tak lagi melihat jurnalistik dan blog sebagai dua hal yang berbeda, melainkan dua sisi yang saling melengkapi, menghidupi satu sama lain.

Dunia blog, memetik serpihan waktu yang terlewatkan. Dalam setiap tulisan kata-kata berdansa dan menciptakan melodinya sendiri.

Terlahir sebagai seorang jurnalis, tetapi juga seorang blogger yang kembali bangkit, saya bisa saja tak terbendung. Insya Allah.

Swara Kebun yang Santun

Posted By Redaksi on Minggu, 12 Maret 2023 | Maret 12, 2023

Sebuah catatan kecil dari pertunjukan seni eksperimental "Swara Kebun" Al Farabi Bulukumba pada Sabtu, 4 Maret 2023.

Swara Kebun Al Farabi Bulukumba

Bukan rumah mewah. Ruang paling kaya dan merdeka adalah kebun. Para -perempuan itu menari dalam wilayah yang bisa kita sebut sebagai area tandus bagi moralitas. Lantaran mereka memang sengaja menari di bagian kebun yang tanpa rumputan. 

Sebuah periuk tanah liat yang tergantung di tiga batang bambu yang sebenarnya bisa saja ada api di bawahnya  itu harusnya menyentak kita. Simbol pangan itu tanpa api. Manusia sedang berada di ujung tanduk. Tak ada yang tahu apa isi periuk itu. Tak ada nyala api. Kita seharusnya bersiap menghadapi krisis pangan. Di sisi lain, krisis moral.

Sebelum terjadi Perang Dunia I banyak orang di dunia tak percaya bakal terjadi huru hara itu. Mereka harus mengungsi dan kembali ke alam. Pengulangan terjadi saat Perang Dunia II. Padahal banyak yang tak percaya akan terjadi karena kehancuran di Perang Dunia I. Kini, banyak yang tak bersiap terhadap Perang Dunia III. Lebih tepatnya, tak bersiap kembali ke alam ketika itu terjadi. Kita mau tak mau mencari 'kebun-kebun yang aman' di pelosok-pelosok saat huru hara terjadi. Adakah pesan itu dalam pertunjukan seni eksperimental Swara Kebun oleh Al Farabi Squad? Secara tegas, ya. Keseluruhan pertunjukan ini menunjukkan satu benang merah: kembali ke alam. Saat itu mungkin tak ada lagi internet dan kita harus menguasai cara bertani hingga berburu.

Lalu perempuan yang membawa kipas? Angin sejuk adalah kepunyaan kebun! Seharusnya para penjilat kekuasaan merasa tersindir. 

Ada pula perempuan yang meletakkan kursi kayu ke atas kepalanya. Dia terus menari. Ah, kekuasaan memang serakah. Entahlah, oligarki ataukah 'raja-raja  kecil" yang dia maksud melalui adegan itu? 

Musik magis yang ritmis, gitar akustik yang berdenting ditingkahi tiupan alat musik dari kerang, menambah keyakinan kita bahwa kekuasaan memang kerap lupa moral. Apakah terlalu rumit untuk mendengarkan senandung lirih dari simbol itu? Pertama, seni eksperimental dibawa ke dalam kebun karena ruang berkesenian semacam ini nyaris sulit ditemukan di kota. Apalagi mau berbicara tentang gedung kesenian. Kedua, musik etnis adalah ritual paling estetis dalam menghirup bunyi.

Dengarkan iramanya yang tanpa lirik. Terjemahannya secara eksperimental berbunyi: "Barangkali ada air yang sudah tidak lagi bisa mengairi persawahan petani akibat pengerukan tambang galian C di sungai?" Dan ini hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang pernah tenggelam dalam etnomusikologi.

Penegasannya bisa kita lihat pada gerak meliuk-liuk seorang lelaki di atas sebuah kursi. Lalu mengapa hanya dia yang berbaju warna putih? Warna semiotis itu benar-benar menampar kita yang lebih doyan mengagungkan jabatan. 

Peradaban manusia telanjur meletakkan kebun sebagai awal mula manusia mengenali hidup yang disokong  pangan. 

Begitulah, dari kebun -  simbolnya mewakili juga sawah dan ladang-  hidup kita pun beranjak penuh semangat saat rerumputan masih dibasahi embun. Bukan sebagian besar dari kita, melainkan petani kopi di kebun kopi, petani teh di kebun teh, petani cabe di kebun cabe, dan seterusnya. 

Entah dari mana awalnya, kebun tetiba saja menjadi simbol keserakahan penguasa. Lebih tepatnya simbol kekayaan. Sesiapa pun tahu, kebun adalah ruang bagi pangan. 

Kebun pun adalah ruang paling tematis bagi manusia yang mencari arti dan merekonstruksi realita, sebagaimana yang diperbuat seniman-seniman Al Farabi Bulukumba. Mereka menyindir hidup melalui bunyi dan gerak tapi mereka terlalu 'santun'.

Diksi-Diksi Prematur

Posted By Redaksi on Rabu, 14 Oktober 2020 | Oktober 14, 2020

Esai Sastra: Mahrus Andis

Apakah yang dimaksud "diksi" puisi? Seorang calon penyair, atau anggaplah dia penyair, menjawab pertanyaan itu. Dia katakan, diksi ialah kata yang secara morfologis mengandung arti tertentu. "Kurang tepat," jawab saya. Wajahnya cemberut dan hatinya kecut. Mungkin orang itu merasa diteror kemerdekaan berpikirnya.

Kemudian saya melanjutkan. Diksi puisi ialah kata, atau kumpulan kata yang sudah melewati proses selektifitas secara intens di puncak perenungan batin, dan telah diputuskan menjadi konsep diri untuk mewakili ideologi puitik penyairnya.
"Itu artinya kata pilihan," seruduknya.
"Bukan ! Itu yang disebut "pilihan kata", jawab saya. Dia menatap saya dengan bolamata yang tajam. Bagai pisau silet, matanya mengiris otak kecil saya.
"Di mana letak perbedaan antara keduanya ?" Tanya dia.
"Di kepalamu," jawab saya santai. Wajahnya semakin cemberut, pasti hatinya kian kecut.
"Maksud saya, otak di kepalamu berbeda dengan konsepsi pemikiran saya." Sesaat kemudian, saya pun tuntaskan penjelasannya. Saya katakan bahwa "kata pilihan" hanyalah produk otak yang dipersiapkan untuk menyusun bahasa komunikasi dari hari ke hari. Sedangkan "pilihan kata" adalah hasil olahan batin ( otak + nurani + kesadaran estetik ) sebagai dasar membangun struktur puisi untuk bahasa komunikasi dari hati ke hati.
"Tapi bagaimana jika sebuah kata dalam puisi tidak diolah seperti itu ?" Selidiknya
"Itu namanya kata yang gagal mendiksi, " sambar saya.
"Maksudnya ?"
"Maksudnya; Diksi Prematur", kunci saya. Sang calon penyair, atau anggaplah penyair, itu terperangah.

Di kampung saya, prematur dalam bahasa Bugis artinya "loccoq", yaitu janin yang keluar dari rahim wanita sebelum tumbuh menjadi bayi. Diksi prematur ialah kata yang gagal menjadi diksi puisi. ***

- Makassar, 13 Oktober 2020 -

Pasang ri Kajang, dari Sebuah Telusur Kecil

Posted By Redaksi on Sabtu, 08 Agustus 2020 | Agustus 08, 2020

Sejak dahulu komunitas adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan menganut suatu pedoman hidup yang disebut Pasang. Pasang Ri Kajang adalah suatu ungkapan yang dikomunikasikan dalam bahasa Konjo. Bahasa Konjo adalah bahasa sehari-hari penduduk Kabupaten Bulukumba di bagian timur. Sebahagian kecil lainnya di bagian barat. Bahasa Konjo berada dalam wilayah rumpun Bahasa Makassar.  

Satu-satunya padanan kata "Pasang" dalam Bahasa Indonesia hanya dapat kita temukan jika merujuk pada kata atau makna "pesan" atau "amanat". Namun makna kata "Pasang" atau "Pappasang" sesungguhnya jauh lebih kompleks. Lebih dari sekadar bermakna "Pesan, Amanat atau Ajaran di Kajang."

Dengan tata bahasa yang disublimasi secara apik serta memuat kandungan yang memungkinkan multi-interpretasi, maka Pasang Ri Kajang jelas merupakan salah satu bentuk sastra yang purba di nusantara. Sebagaimana mantra misalnya, sejak dahulu Pasang Ri Kajang berada dalam wilayah sastra tutur, sastra lisan, dan semacamnya.

Pasang ri Kajang berisi ratusan pasal teks lisan berupa sumber nilai dan pesan leluhur. Dari sekian banyak pasal tersebut, ada sekitar 20-an pasal diantaranya berisi tentang sistem pengelolaan Iingkungan. Walaupun butir Pasang tersebut hanya berupa pesan lisan namun dapat disebut sebagai suatu kearifan lingkungan. Di dalam Pasang tercakup aturan untuk menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya dan aturan tesebut ditaati sejak leluhur mereka.

Isi Pasang meliputi berbagai materi yang merujuk kepada amanah, tuntunan atau wasiat maupun ajaran. Semua isi dan kandungan Pasang merupakan nilai budaya dan nilai sosial bagi komunitas adat Ammatoa. Semua kegiatan yang merupakan umpan balik dari tuntunan tersebut, pelaksanaannya diawasi langsung oleh Amma Toa, selaku pemimpin. Pelaksanaan Pasang telah menjadi suatu tradisi yang melembaga dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Wujud Pasang sesungguhnya merupakan himpunan dari seluruh pengetahuan dan pengalaman masa lampau. Cakupannya sangat luas yakni seluruh aspek kehidupan dari leluhur komunitas Amma Toa. Bahkan Pasang dapat dianggap sebagai payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi.

Rupanya materi Pasang bukan hanya pada verbal, tapi juga bersifat faktual. Ia meliputi perbuatan dan tingkah laku. Maka Pasang kemudian bisa disebut sebagai rujukan dan himpunan dari sejumlah sistem. Ia merupakan konstitusi sekaligus norma. Cakupan dari sejumlah sistem dan sejumlah norma tersebut meliputi sistem kepercayaan, sistem ritus dan sejumlah norma sosial lainnya. 

Sebagai sistem ritus, Pasang dan ajarannya mengatur tata peribadatan manusia kepada yang dianggap mutlak (oleh mereka disebut Tu’ Rie’ A’ra’na). Selanjutnya Pasang merupakan suatu sistem norma atau kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Seluruh isi dan makna Pasang tersebut diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sistem pewarisan itu, melalui penuturan lisan dalam bentuk ungkapan atau cerita-cerita lisan (Folklore). Tak satu butir Pasang pun yang diamanahkan dalam bentuk tulisan. Bagi komunitas adat Ammatoa sebagai pemilik, sangat dipantangkan untuk menulis materi/butir Pasang.

Sejarah dan latar belakang Pasang  serta sejarah komunitas pemiliknya, sampai sekarang masih tetap menjadi tanda tanya. Apa yang diungkapkan tentang kehidupan komunitas adat Amma Toa  dan Pasang, itu bersumber dari penuturan para pemangku adat. Penuturan tentang Pasang itu sendiri, teraktualisasikan dalam bentuk cerita dan ungkapan tradisional, sehingga latar belakang Pasang itu diperoleh dari cerita-cerita lisan. Cerita lisan tersebut berbentuk mitos dan ungkapan-ungkapan yang menyebut tentang Pasang dan komunitas adat Amma Toa.

Komunitas adat Amma Toa Kajang yakin, bahwa Pasang sebenarnya berasal dari suatu wujud yang mutlak di luar manusia. Dari Amma Toa pertama Pasang tersebut di amanahkan/dipindahkan kepada penggatinya. Selanjutnya Pasang tersebut di wariskan kepada generasi berikutnya dan seterusnya hingga generasi sekarang.

Tidak diketahui dengan pasti kapan Pasang itu diterima oleh Amma Toa pertama. Hal ini disebabkan karena ungkapan dan cerita lisan tersebut tidak menyebutkan angka tahun. Namun berdasarkan  beberapa sumber yang berasal dari pengakuan Amma Toa yang bernama Puto Palasa yang merupakan Amma Toa Ke- XVI. Dari pengakuan itu, dapat diduga dengan mengadakan perhitungan bahwa setiap Amma Toa berkuasa sepanjang usianya. Dengan asumsi bahwa Amma Toa memegang pimpinan adat ± 30 tahun, sehingga diperkirakan pemerintahan Amma Toa pertama sekitar 480 tahun yang lalu, atau sekitar tahun 1500 M. Pada masa tersebut di Sulawesi Selatan, dikenal sebagai abad pemerintahan To Manurung, seperti raja-raja pertama pada kerajaan Bugis-Makassar.

Pasang Ri Kajang berisi ratusan pasal teks lisan berupa sumber nilai dan pesan leluhur. Dari sekian banyak materi Pasang itu berikut ini penulis sajikan beberapa butir yang diolah dari berbagai sumber.


Pasang Sebagai Sistem Nilai

Pasang sebagai kumpulan pesan-pesan, petuah, petunjuk dan aturan bagi manusia (komunitas Ammatoa) maka  Pasang berisi sejumlah materi pedoman tentang bagaimana memposisikan diri agar terjalin harmonisasi antara manusia-alam-Tuhan. Pasang merupakan sistem nilai yang menjadi pedoman tertinggi bagi komunitas Ammatoa, bagaimana seseorang menempatkan dirinya. Penempatan diri dimaksud ialah yang paling bernilai dalam kehidupan, baik yang berorientasi keduniaan maupun keakheratan.

Kedudukan Pasang yang sedemikian tinggi ini, disebabkan isi yang dipasangkan sudah tertata sedemikian rupa sejak  mula Tau (Manusia Pertama). Menurut paham kepercayaan Patuntung, Mula Tau (Ammatoa) sekaligus pula sebagai “WakilTu Rie A’ra’na (wakil yang berkehendak), di bumi. Dalam perjalanannya dari generasi ke generasi. Pasang mendapat penambahan-penambahan melalui orang-orang yang mendapat ilham dari Tu Rie’ A’ra’na. Jadi, isi Pasang adalah gagasan ke “ilahian Tu Rie’ A’ra’n disampaikan kepada manusia melalui orang pilihan Nya.

Dalam perjalanannya isi Pasang mengandung dua fungsi, yaitu sebagai sistem nilai budaya, dan yang kedua ialah sebagai sistem nilai kepercayaan. Sebagai sistem nilai budaya, Pasang menciptakan peran (sikap dan kelakuan) komunitas didalam bermasyarakat dan menghadapi lingkungannya. Adapun peran/fungsi Pasang sebagai sistem nilai kepercayaan/spiritual, Pasang melahirkan sikap mental komunitas terhadap kekuatan diluar dirinya. Kedua bentukan nilai dalam Pasang dilandasi oleh semangat Kamase-mase, yaitu hidup apa adanya dan berserah diri kepada Tu Rie’ A’ra’na (“Tuhan”).

Ide-ide spiritual untuk tujuan keduniaan, membentuk pola hidup Akkamase-mase seperti disebutkan di atas. Sedang untuk tujuan keakheratan melalui kepercayaan Patuntung, membentuk keyakinan adanya kehidupan yang kekal sesudah berakhirnya kehidupan dunia yang fana ini.

Menurut Pasang, Inne linoa pammari-mariangji, Ahera pammantangngang kara’ra’kang (satuli-tuli). Artinya : “Dunia ini hanya tempat persinggahan, hari kemudian adalah kehidupan yang kekal abadi.”

 

Materi Pasang 
 
Pasang Sehubungan dengan “Religi Ketuhanan”, dapat ditelusuri pada beberapa Pasang berikut ini:
 
Anne Linoa pammari mariangji ahera pammantangang satuli-tuli. Artinya “ Dunia ini hanya terminal sementara, akhiratlah tempat yang abadi,
 
Tu Rie’ A’ra’na ammantangi ri pangnga’rakanna artinya “Tu Rie’ A’ra’na (Tuhan) berbuat sesuai kehendaknya.
 
Abboyaku Suruga narie’ nuerang mange riahera, napunna naraka nuhoja, naraka to nuerang mange konjo.    Artinya “Carilah surga (semasa tinggal di dunia), sebab kalau neraka yang engkau cari neraka juga yang  kau bawa ke akhirat”.                      
 
Anre nissei rie’na anre’na Tu Rie’ A’ra’na nakipala doang.Pada to’ji pole natarimana pa’nganrota iya toje’na artinya “ Tidak diketahui dimana adanya “Tuhan”, tetapi kita minta do’a kepadanya. Diterima atau ditolak permohonan kita tergantung dari ketentuannya. 
 
Butir Pasang tersebut di atas mengandung ajaran tentang religi atau Ketuhanan, yang bermakna harus melakukan perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Manusia juga harus berusaha mencari nilai kebajikan demi kehidupan di hari kemudian. Sekalipun komunitas Amma Toa tidak melaksanakan syariat Islam, tetapi sikap pengamalan Pasang ini adalah perbuatan luhur sesuai ajaran Patuntung.
 
 
Pasang sehubungan dengan kehidupan dan kemasyarakatan
 
Ako naha-nahai lanupunnai numaeng taua napattiki songo’ artinya “ Jangan berniat memiliki sesuatu yang berasal dari tetesan keringat orang lain”. Ini merupakan nasehat agar jangan mengambil hak orang lain.
 
Ako appadai tummue parring artinya “ jangan seperti orang membelah bambu. Ini bermakna anjuran untuk berlaku adil.
 
Ako kalangnge-langngere, ako kaitte-itte, ako katappa-tappa, rikarambu lalang riasu timuang. Artinya “jangan sebarang mendengar, jangan sembarang melihat, jangan sembarang percaya kepada anjing yang melolong”. Pesan ini mengandung makna jangan mudah terpengaruh oleh pendengaran dan penglihatan. Harus ada filter untuk menyaring pengaruh / budaya yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa.
 
A’lemo sibatu A’ bulo sibatang. Artinya “ Bersatu bagai limau, seiring sejalan bagai air dalam pembuluh”. Pasang Ini mengandung makna pentingnya persatuan dan kesatuan. Tallasa tuna kamase-mase Artinya “ Hidup sederhana dan bersahajaa. Ini merupakan prinsip hidup komunitas Amma Toa, agar manusia hidup sederhana atau secukupnya. Alasannya manusia yang materialistis dapat terjerumus dalam perbuatan dosa.
 
Ako allingkai batang artinya “ Jangan melangkahi kayu  yang sudah roboh. Ini bermakna larangan melakukan pelanggaran yang disengaja. Katutui rie’nu rigentengan tabattuna palaraya. Artinya “Jagalah harta milikmu sebelum tiba masa paceklik. Ini merupakan anjuran untuk berhemat. 
 
Butir Pasang di atas, menganjurkan masyarakat agar selalu berbudi luhur, menghargai hak orang lain, dan berlaku adil. Bagi orang Kajang berlaku adil adalah prinsip, termasuk penguasa. Dahulu keadilan dan kejujuran menjadi salah salah satu materi sumpah oleh Karaeng (Raja / Camat) pada saat pelantikan. Pasang tersebut di atas juga memberikan tuntunan melakukan kebajikan, berlaku hemat sebagai pola hidup. Hidup boros dan meterialis dapat menjerumusakan orang pada perbuatan negatif. Juga Pasang mengingatkan untuk tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang belum jelas, serta menganjurkan persatuan.

 

Pasang sehubungan dengan pemerintahan 
 
Bola-bola pa’lettekang, baju-baju pasampeang, petta kalennu kamaseang kolantu’nu, naiya kala’biranga a’lele cera’ minto’i. Artinya “ Rumah-rumah dapat dipindahkan, baju-baju dapat ditanggalkan, jaga dirimu kasihani lututmu, yang dikatakan kekuasaan mengalir bagai darah. Pasang ini memberikan peringatan kepada pemimpin, bahwa kekuasaan itu tidak selamanya dimiliki. Kekuasaan itu akan berpindah seperti darah yang mengalir dalam tubuh. Ini merupakan anjuran kepada pemegang kekuasaan agar selalu melaksanakan amanah.
 
Lambusu’nuji nukaraeng, gattannuji nu ada’, sa’bara’nuji nu guru, pisonanuji nu sanro. Artinya, karena jujur engkau menjadi pemerintah, karena tegas engkau menjadi adat, karena sabar engkau menjadi guru, karena pasrah engkau menjadi dukun. Pasang ini bermakna bahwa seseorang yang memegang jabatan harus memiliki sifat, yaitu jujur, tegas, sabar, dan pasrah.
 
 
Pasang sehubungan dengan pelestarian alam (hutan) 
 
Nipanjari inne linoa lollong bonena, lani pakkegunai risikonjo tummantanga ribahonna linoa.Mingka u’rangi toi ampallarroi linoa rikau tala rie’ lana pangngu’rangiang. Artinya dijadikan bumi ini beserta isinya untuk dimanfaatkan oleh manusia. Tetapi perlu diingat apabila bumi marah kepada  engkau, tidak ada yang dapat mencegahnya. Pasang ini mengandung makna bahwa manusia dilarang mengeksploitasi alam secara berlebihan, sebab dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Apabila alam murka, tidak dapat dicegah atau dihindari.
 
Nikasipalliangngi ammanra’-manraki borong. Artinya, dipantangkan merusak hutan. Pasang ini bersifat anjuran untuk pelestarian alam, dan jangan merusak hutan. 
 
Ako annatta’uhe, attuha kaloro. Artinya, jangan memotong rotan dan meracuni sungai. Ini merupakan anjuran yang berkaitan dengan pelestarian hutan dan lingkungan hidup serta menjaga ekosistem alam. 
 
Materi atau butir Pasang tersebut di atas, hanya sebagian kecil dari keseluruhan ajaran yang dipedomani komunitas adat Ammatoa. 
 
Menggeneralisir Pasang ri Kajang, maka kita bisa menemukan bahwa himpunan tutur penuh makna itu merupakan suatu sumber nilai atau budaya yang berisi tuntunan hidup komunitas adat Ammatoa. Tuntunan hidup yang menyangkut semua aspek kehidupan dalam komunitasnya, yaitu sistem reiligi, masalah sosial, termasuk hubungan manusia dengan Iingkungannya.(*) 
 
Referensi:
    Kaimuddin Salle. 2008. “Kebijakan Lingkungan menurut Pasang”.  Makalah. 
    Marwan Azis. 2008. “Pesan Lestari dari Negeri Ammatoa”.  Makalah.   
    Hasanuddin. 2005. ”Spektrum Sejarah Budaya dan Tradisi Bulukumba”.  Lephas. 
    Yusuf Akib. 2008.  “Ammatoa Komunitas Berbaju Hitam” . Pustaka Refleksi. 
    Mas Alim Katu. 2005. “ Tasauf Kajang”.  Lephas.
    Muhammad Arief Saenong. 2013. "Komunitas Ammatoa dan Pasang ri Kajang". Makalah.

 

Editor: Alfian Nawawi

Float Your Writing to the River

Posted By Redaksi on Kamis, 30 Juli 2020 | Juli 30, 2020

By: AlfianNawawi

Li Po is a poet maestro from Tiongkok. He was a poet of era romance in the midst of war. An era of country folk used to wear baggy clothes, ride a horse, and bear long machetes. His poem was written in the forest, in the shop, in the banks of the river, in the middle of a lake, and also may be in the tree.

Li Po was romantic Taoism who love wine, pretty girl, and nature. Because he had a highly love for the nature, he always floated his poem in the river and he was happy to see the paper go to the distance with the water flow.

It is said that his death history was also full of romance. According to story quoted by SapardiDjokoDamono, Li Po died in the lake because he fell into the water when he was drunk. He wanted to embrace the moon than swam in the lake.

Once time, Li Po wrote a short meaningful poem for Tu Fu, his best friend who was also a poet maestro, entitled “Dear Tu Fu”

Dear Tu Fu

In the mountain I met Tu Fu

Wearing a bamboo hat in the torrid day

Hey, why are you looked very thin?

Are you suffering because of poetry?

The poem expressed that Li Po described Tu Fu’s position in the literature and government using word metaphor “mountain”. At the same time he chaffed Tu Fu’s frail position which needed protection while the empire was in bad situation, full of intrigue and rebellion. The poem might be a Li Po’s care for Tu Fu who had gone to flee and moved away from a warring empire into the thatched roof house of a quite village. 

No days, it is hard to find a writer or poet like Li Po. People want their work published by a fabulous publisher. Then, the others are busy becoming participants in caliber writing festival, from local to the international level. No one wants to float his poem to the river.

In the virtual world, the river can be meant a personal blog. It also can be kind of writing platform such as Instastori, Kompasiana, and others.

If you write something on a blog or a site, you will see that people are lazy to click the link, they don’t want to go there.  They think it is a “river”. Addition, it will be different if you write directly on a note or wall facebook, a description under the youtube video content, or a short narrative fenced under an instagram photo. Theywill be happybecause they can read the writing without clicking the link, especially when they are in "free mode."(*)

Translator: NurAlang

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday