Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Jejak Pesastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jejak Pesastra. Tampilkan semua postingan

Anis Kurniawan, Something In Bulukumba

Posted By Redaksi on Rabu, 05 Agustus 2020 | Agustus 05, 2020

Sastra dan politik merupakan dua ranah yang sama sekali berbeda kutub. Namun bagi Anis, justru kedua dunia unik tersebut dapat saling mewarnai dan menyetubuhi satu sama lain. Ibarat dua sisi pada sebuah mata uang logam. Sastra dan politik adalah termasuk alasan penting dirinya agar tetap intens menulis.

Sebagaimana salah satu buku karyanya yang berjudul “Something In Bulukumba”, sebuah buku yang menjelajahi local genius, maka Anis adalah juga merupakan “sesuatu” di Bulukumba.             


Salah satu tujuan proses penciptaan manusia adalah manusia dilahirkan untuk membaca. Setelah itu manusia harus menulis sambil bercakap-cakap dengan alam dan kehidupan. Manusia dengan keragaman jiwanya menjadi begitu plural dengan proses itu. Proses itulah yang sedikit banyak mempengaruhi Anis Kurniawan untuk selalu menulis dalam berbagai genre.

“Teks sangat lekat dengan kebudayaan manusia dari masa ke masa. Teks adalah bahasa penyampai paling efektif dan unik setelah lisan. Apa-apa yang tidak dapat disampaikan oleh lisan, maka teks menyediakan dirinya sebagai solusi khas,” katanya.

Gagasan dan pemikirannya ditulis dalam banyak cerpen, esei dan artikel di berbagai media lokal dan nasional. Ia terpilih sebagai delegasi Indonesia dalam temu Cerpenis Muda se-ASEAN pada tahun 2008. Salah satu tulisannya pun dimuat dalam buku antologi cerita pendek pengarang ASEAN pada 2009 dan diterbitkan oleh Balai Bahasa Jakarta.


Buku-bukunya yang lain yang telah diterbitkan dalam bentuk karya sastra: Ingin Kukencingi Mulut Monalisa Yang Tersenyum (antologi sastra berdua bersama Andhika Mappasomba, 2003), Wajah dan Wajah (kumpulan cerpen, 2008).

Bukunya yang cukup fenomenal “Something In Bulukumba” disusun bersama Arie M. Dirganthara dan Tengku Firmansyah dan diterbitkan pada pertengahan 2012. Buku itu memuat tentang perjalanan jurnalisme sastra dari seorang Anis yang berhasil merekam berbagai kekayaan local genius  di Bulukumba.

Anis menulis biografi seorang tokoh muda Bulukumba, Hamzah Pangki pada tahun 2012.  Anis juga pernah ikut terlibat dengan penulis dalam menyusun buku “Kumpulan Cerita Rakyat Bulukumba untuk bahan muatan lokal anak-anak sekolah dasar, 2013.

Menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra di Universitas Negeri Makassar, tahun 2007.

Sebelum menyelesaikan studi di UNM, ia sempat menerima penghargaan sebagai Cerpenis Terbaik UNM. Sejak selesai di UNM, puluhan tulisannya bertebaran di media massa. Selain sebagai penulis lepas dan editor buku, ia bekerja sebagai Redaktur di Majalah Sinergi Hijau. Sebuah majalah Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk isu-isu lingkungan di Sulawesi, Maluku dan Papua.

Tubuhnya yang kecil namun dengan kapasitas intelektual yang besar menjadikan Anis kerap menjadi pembicara dalam berbagi forum dan kajian ilmiah. Latar belakang disiplin ilmunya membawanya menjadi Direktur Jaringan Riset Nasional (JRN), Founder dan Direktur P3i Cipta Media Makassar dan even organizer P3i Intermedialine.

Sampai hari ini Anis tetap menulis dalam berbagai genre. Salah satu mimpinya adalah menemukan dan menyemangati lebih banyak lagi anak-anak muda Bulukumba untuk menulis. Perjalanan panjang Anis sebagai penulis juga mengantarkannya pada obsesi untuk memiliki penerbitan sendiri.

Menurutnya, Bulukumba harus memiliki paling tidak sebuah penerbitan besar. Penerbitan itu harus dikelola secara profesional dan dapat memberikan ruang positif bagi penulis-penulis Bulukumba.

Ruang-ruang menulis di Bulukumba kini berada dalam iklim yang cukup segar. Apalagi dengan munculnya penulis-penulis muda dari berbagai genre. Berbagai media yang ada juga cukup kondusif mendukung budaya teks di kalangan generasi muda.

“Iklim positif itu seyogyanya menjadi penanda untuk pemerintah bahwa Bulukumba sudah saatnya digali lebih dalam lagi pada budaya teks,katanya sekali waktu dengan wajah penuh optimis.     

Anis mengungkapkan bahwa keterampilan menulis sebenarnya tidak bisa diperoleh secara alamiah, tetapi diperoleh melalui proses pembelajaran yang bertahap dan sistematis. Misalnya aktifitas membaca itu adalah suatu aktivitas yang disengaja dan terencana. Dengan melakukan aktivitas proses membaca berarti melakukan aktivitas memproses makna kata, memahami konsep, memahami informasi dan memahami ide yang disampaikan penulis dan dihubungkan dengan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh pembaca. Pengalaman empirik itulah yang menjadi kekuatan untuk memiliki keterampilan menulis. “Intinya, kebiasaan menulis harus diawali dari membaca,” ungkapnya.


Anis menjelaskan bahwa latar belakang budaya juga menentukan potensi membaca. Kesesuaian latar belakang budaya dengan isi bacaan yang akan dibaca dapat mempengaruhi interpretasi isi bacaan. Dengan memiliki kemampuan interpretasi akan mudah memahami isi bacaan. Anis memberi contoh, anak membaca teks bacaan sesuai latar belakang budaya dapat mudah memahami isi bacaan. Sementara anak membaca topik bacaan yang tidak sesuai latar belakang budayanya akan mengalami kesulitan memahami isi bacaan.” 

Pada tahun 2009 akhir, Anis melakukan migrasi secara intelektual dengan melanjutkan studi pada Pascasarjana Universitas Gadja Mada (UGM) Yogyakarta Jurusan Ilmu Politik. Sejak itu penulis yang pernah mengajar di beberapa kampus di Makassar ini mulai terlibat aktif dalam riset berkaitan dengan wacana politik. Sekaligus juga terlibat dalam pendampingan kandidasi politik di sejumlah pilkada di Indonesia. Dunia politik dan dunia kepengarangan tetap diarunginya secara bersama-sama. Belakangan Anis juga bergiat di wilayah literasi hijau yang mengusung isu-isu lingkungan hidup.(*)

Penulis: Alfian Nawawi

Hujan Air Mata di Bulan Juli buat Sapardi Djoko Damono

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 19 Juli 2020 | Juli 19, 2020

Lekat dengan puisi Hujan Bulan Juni yang melegenda itu. Namun hujan air mata terkhusus dari jagad sastra tanah air mengiringi kepulangannya di bulan Juli. Sastrawan kebanggaan Indonesia Sapardi Djoko Damono meninggal dunia di Ahad pagi (19/7/2020).

Ia menghembuskan nafas terakhir di RS EKA BSD, Tangerang Selatan sekira pukul 09.17 WIB. Namun nafasnya berupa puisi, ilmu, karya-karya, dan nama tetap akan berhembus panjang ke berbagai generasi.

Sapardi lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Ia dikenal dengan berbagai karya sastranya seperti Hujan Bulan Juni, Perahu Kertas hingga Aku Ingin.

Di salah satu channel Youtube saya yang sudah jarang update, saya pernah membacakan puisi beliau Hujan Bulan Juni pada video di bawah ini. Barangkali ini juga isyarat bahwa saya harus sesekali mengupdate channel tersebut.(*)



Rahman Arge, Ingatan Panjang

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 10 Agustus 2015 | Agustus 10, 2015

Sejak kecil saya selalu menyimpan beberapa puisinya dalam ingatan panjang, terutama puisi-puisinya tentang Bosnia. Pada akhirnya, ingatan kepada penulis puisi itu kian memanjang berlama-lama, apalagi setelah kepergiannya. 
Setelah kehilangan budayawan dan kritikus sastra yang langka, Dr. Ahyar Anwar pada 2013 lalu, Sulsel kembali kehilangan seniman nasional, Rahman Arge. Memiliki nama lengkap Abdul Rahman Gega, wartawan senior, aktor film, esais dan cerpenis ini lebih dikenal sebagai budayawan dan penulis puisi. Sosoknya nyaris mendekati sempurna dengan menyandang berbagai predikat, mulai dari seniman, wartawan dan politisi, lewat akting dan tulisan. Arge dikenal pemicu seni teater modern di Makassar, ia mengilhami lahirnya seniman-seniman penerusnya, 
Pasca beredarnya informasi meninggalnya Rahman Arge, sejumlah postingan puisi miliknya bermunculan di Twitter. Rahman Arge meninggal sekitar pukul 10.05 Wita, Senin (10/8/2015), dalam usia 80 tahun.
Rahman Arge yang aktif dalam dunia teater sejak tahun 1955 ini meninggal dunia akibat komplikasi penyakit yang dideritanya sejak beberapa tahun terakhir ini. Sebelum meninggal, Arge pernah dirawat di Rumah Sakit Siloam pada bulan April sampai Mei 2015 lalu. 

Budayawan Sulsel penggemar warna hitam ini pernah menjabat Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Sulsel empat periode sejak tahun 1970, aktif menulis di Majalah Tempo dan Harian Fajar, serta pernah menjadi anggota DPR RI dari Golkar pada tahun 1987-1992. Selain itu pria yang meninggalkan 1 istri, 5 anak dan 10 cucu ini juga pernah meraih Piala Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1978 dari film Jumpa di Persimpangan dan Piala Citra FFI tahun 1990 dari film 'Jangan Renggut Cintaku'.  

Penuturan salah seorang sahabat almarhum, aktor dan budayawan asal Bulukumba, Aspar Paturusi, dirinya mengenal Arge sejak tahun 1957 , sewaktu mereka pentas teater di Gedung Kesenian Makassar. Arge bersama Aspar dan 9 tokoh seniman Sulsel lainnya ikut mendirikan Dewan Kesenian Makassar. 
Berikut di bawah ini beberapa karya dan penghargaan serta sepenggal perjalanan karier pria kelahiran Makassar 17 Juli 1935 ini:
• Bidang Pers:
- Menjadi jurnalis pertama kali di Pedoman Rakyat - Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Selatan (1973-1992) - Bersama Mahbub Djunaidi mendirikan koran Duta Masyarakat edisi Sulawesi Selatan - Menebitkan majalah Suara, Esensi, Timtim, Harian Reformasi, dan Pos Makassar - Anggota Dewan Kehormatan PWI pusat - Penerima penghargaan kesetiaan mengabdi selama 50 tahun di dunia pers 
• Bidang Politik:
- Anggota DPRD Sulawesi Selatan 4 periode
- Anggota DPR / MPR periode1992-1997
- Penasehat DPD Golkar Sulawesi Selatan
• Bidang Seni, Sastra dan Kebudayaan
- Mendirikan Front Sinema Makassar (1957)
- mendiri Teater Makassar (1969)
- Menerima penghargaan Piala Citra sebagai aktor pemeran pembantu terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1990
- Meraih medali emas pemeran pembantu terbaik pada FFI 1988
- Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Cabang Sulawesi Selatan (1989-1993)
- Ikuti menandatangani Menifest Kebudayaan di Jakarta (1964)
- Mendirikan Dewan Kesenian Makassar
- Ketua Dewan Kesenian Makassar (1970-1979)
- Kepala Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Cabang Sulsel (1978-1992)
- Telah bermain di tujuh film dan di dua festival film nasional - Menerima Penghargaan Seni pada 1977
- Wakil Ketua Umum Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia) Pusat (1993-1997)
- Penasehat panitia Konggres Kebudayaan Nasional V (2003)
- Menerima Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI pada tahun 2003
- Menulis banyak cerpen, puisi, dan esai
- Belasan naskah teater telah ditulis sekaligus menyutradarai dan menjadi aktornya. Salah satu naskahnya pernah dipentaskan di Jepang
- Menerima penghagaan dari Japan Foundation sekaligus hadiah keliling Jepang (1980)
- Beberapa kali mengikuti festival teater di Taman Ismail Marzuki (TIM)
- Menulis buku berjudul "Permainan Kekuasaan" yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas. 

Rahman Arge, selalu ada memori panjang berlama-lama kepadanya. Bahkan jauh setelah kepergiannya. (*)

* Diolah dari berbagai sumber

Bahaya Laten Aslan Abidin

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 01 April 2012 | April 01, 2012

Penyair asal Kota Kalong Soppeng Sulawesi Selatan, Aslan Abidin mewakili Makassar dalam pementasan baca puisi bersama puluhan penyair dari berbagai negara di dunia dan berbagai kota di Indonesia. Mereka  tergabung dalam Forum Penyair Internasional Indonesia (FPII).

Kegiatan seni ini berlangsung hingga 12 April 2012. Sebanyak 17 penyair dari berbagai negara serta 10 dari dalam negeri pada tanggal 1-3 April 2012 berada di Magelang, 4-6 April di Pekalongan, 7-9 April di Malang, dan 10-12 April di Surabaya.

Aslan Abidin memiliki buku antologi puisi perdana yang terkenal berjudul  "Bahaya Laten Malam Pengantin" yang diterbitkan oleh Ininnawa, 2008. Saat itu agak terasa aneh bagi kalangan penyair dan kritikus, sebab 79 sajak yang ada dalam buku tersebut ditulis dalam rentang waktu tiga belas tahun, dari 1993 hingga 2006 saja. Tapi Ahyar Anwar, Doktor Sosiologi Sastra UGM mengatakan, Aslan Abidin adalah satu dari sedikit penyair Sulawesi Selatan yang mendapatkan tempat terhormat dalam jagad sastra nasional hanya dengan dua-tiga sajak. 
Penyair yang masuk dalam angkatan abad 21 ini memiliki karakter karya yang khas di antara penyair-penyair Sulawesi-Selatan. Kekhasan itu muncul pada sajak-sajaknya yang kerap kali menggunakan ‘tubuh’ sebagai latar. Lihat saja salah satu puisinya:Polispermigate

perempuan jalang bertubuh pualam
pada simpang jalan itu menyimpan
bejana di tubuhnya. ia menjadi tempat minum
para lelaki pejabat yang datang
menghabiskan uang hasil rampokan
perempuan jalang di simpang jalan,
entah mengapa aku suka mengkhayalkan
diriku tersesat di kamarmu.
dan sebagai bentara para penjahat,
kau kisahkan padaku seluruh
riwayat dari negeri subur para perarmpok
“aku seperti nawang wulan dan
mereka adalah beruang yang rakus mengisap
madu tubuhku. mereka takut aku
menemukan baju dan segera
menguap ke udara.” tapi nawang wulan, aku juga
suka membayangkan kau membuka
celana untukku. dan mungkin aku
akan terkesiap menatap kemaluanmu yang mangap
seperti polisi yang siap menerima suap.

Sebuah puisi yang erotis tapi begitu rapi dalam penyampaian realitas sosial.


Para penyair yang ikut bergabung dalam acara
Forum Penyair Internasional Indonesia antara lain Ulrike Draesner, Michael Augustin, Arne Pautenberg (Jerman), Sujata Bhatt (India), Charl Piere Naude, Vonani Bila, Rustum Kozain, Mbali Bloom (Afrika Selatan), Chirikure (Zimbabwe), Hans van de waarsenburg, Hagar Peeters (Belanda), Adam Wiedewitsch (USA), Martin Glaz Serup (Denmark), Gerdur Kristny (Islandia), Sarah Holland Batt (Australia), Courtney Sina Meredith (SelandiaBaru), Nikola Madzirov (Makedonia).

Sedangkan penyair dari Indonesia antaralain Samargantang (Bali),D Zawawi Imron (Madura), Fikar W Eda (Bekasi), Gracia Asri (Paris), Ribut Wiyoto (Surabaya), Hamdy Salad (Yogyakarta), Kusprihyanto Namma (Ngawi), Ari MP Tamba (Jakarta), KH Mustofa Bisri atau Gus Mus (Rembang).

Lalu penyair yang membaca puisi di Pekalongan yaitu Stephanie Mamonto (Jakarta), Ragil Supriyatno Samid (Malang), Mikael Johani (Tangerang), Ratry Nindia (Depok), Wowok Hesti Prabowo (Tangerang).

Kemudian yang membacakan di Malang yaitu F Azis Manna (Surabaya), Y Thendra BP (Yogyakarta), Hasta Indriyana (Yogyakarta), W Haryanto, Mahendra, Nanang Suryadi (Malang). Dan pembaca puisi di Surabaya yaitu Aslan Abidin (Makasar), Ratna Ayu Budiarti (Bali), Anis Sayidah (Bandung), John Waromi (Papua), Akhudiat (Surabaya). 
(*)

Buya Hamka, monument tak terbantahkan

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 15 Januari 2012 | Januari 15, 2012



Ivankavalera.com rasanya tidak akan lengkap tanpa mengulas sedikit tentang tokoh sastra kita yang satu ini. Karya-karyanya yang masih terus menjadi inspirasi banyak generasi sesudahnya menjadi monument tak terbantahkan di jagad sastra tanah air.



Buya  Hamka
Di masa kecil Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra.



Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Hamka diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011



Hamka juga seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.



Hamka belajar secara otodidak untuk bidang filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.



Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.



Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo. Hamka wafat pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. (pelbagai sumber)

Bung Karno dan Puisi

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 18 Desember 2011 | Desember 18, 2011

Salah satu pemikiran Bung Karno adalah bahwa kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidak-kemerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal. Termasuk ketika Rumah kita dikepung, rumah kita hendak dihancurkan.

Bung Karno melihat Indonesia dengan cara yang biasa. Puisinya yang ditulis dengan judul Aku Melihat Indonesia bisa memberikan gambaran dari pemikirannya yang sebenarnya tidak terlalu rumit. Sebab Indonesia ada untuk membangun soal-soal sekaligus memecahkannya.

Aku Melihat Indonesia
Djikalau aku melihat gunung gunung membiru
Aku melihat wadjah Indonesia
Djikalau aku mendengar lautan membanting di pantai bergelora
Aku mendengar suara Indonesia

Djikalau aku melihat awan putih berarak di angkasa
Aku melihat keindahan Indonesia


Djikalau aku mendengarkan burung perkutut dipepuhunan
Aku mendengarkan suara Indonesia

Djikalau aku melihat matanja rakjat Indonesia di pinggir djalan
Apalagi sinar matanja anak anak ketjil Indonesia
Aku sebenarnja melihat wadjah Indonesia



Bung Karno bertafakur memandang alam bebas, mengagumi 
kebesaran Allah SWT untuk mendapatkan inspirasi. Salah satu hasilnya 
Bung Karno menuangkannya ke dalam bentuk puisi
yang diberi judul Aku Melihat Indonesia. foto: gentasuararevolusi.com.


Salah satu kutipan dari Wejangan Revolusi Bung Karno berikut ini menegaskan bahwa Founding Fathers kita ini memandang hari depan sebagai sebuah optimisme atau "revolusi benar-benar belum selesai". 

"Engkau nanti akan melihat matahari terbit, djadilah manusia jang berarti, manusia jang manfaat, manusia jang pantas untuk menjambut terbitnja matahari. Jang pantas menjambut terbitnja matahari itu hanja manusia-manusia abdi Tuhan, manusia-manusia jang manfaat. Ibu menghendaki aku mendjadi manusia jang pantas menjambut terbitnja matahari, oleh karena aku dikatakan oleh Ibu adalah anak fadjar. Tuhan memberi otak kepada manusia, memberi pikiran kepada manusia. Tuhan memberi djuga rasa kepada manusia. Hanja manusia jang otaknja tjerdas, rasa hatinja baik, kenang-kenangannja tinggi, bisa mendjadi manusia jang manfaat."


Jejak Sastra Sufi Indonesia Pada Hamzah Fansuri

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 03 Mei 2011 | Mei 03, 2011



Membincang Sastra Sufi atau karya sastra sufistik di tanah air maka tidak dapat tidak harus menyebut nama ini, Hamzah Fansuri. Dialah tokoh penting yang meletakkan warna khas pada khasanah kesusastraan Melayu dan bahkan sastra Indonesia kontemporer. Selain seorang sastrawan, Hamzah Fansuri juga adalah seorang sufi yang berpengaruh di zamannya. 

Mengutip pendapat Francois Valentijn (dalam T.Iskandar, 1996) dengan bukunya Oud en Niew Oost-Indien (1726) menyebutkan Hamzah Fansuri sebagai seorang penyair termashyur yang dilahirkan di Pantsoer (Barus) sehingga daerah ini pun ikut menjadi terkenal. 

Barus merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah, secara geografis terletak di pesisir barat pulau Sumatera, dan secara dialektologi penduduknya mayoritas menggunakan bahasa Mandailing. 

Pada jaman Hamzah daerah ini merupakan pusat perdagangan dengan penduduk yang ramai. Menurut Van der Tuuk dan Doorenbos nama Fansur adalah ucapan Arab untuk Pancur yang oleh orang Batak disebut Pansur. Sebelumnya Barus disebut Pangsur. Dengan demikian dapat diberi kesimpulan bahwa nama Hamzah Fansuri berarti Hamzah berasal dari Barus. Namun Syed Muhammad Naguib Al-Attas berpendapat lain, dalam bukunya The Mysticism of Hamzah Fansuri mengemukakan bahwa Hamzah berasal dan lahir di Syarnawi, Ayuthia (ibu kota Siam pada jaman kuno). 

Lazimnya seorang sastrawan yang dipengaruhi oleh spiritual sufi, karya-karya Hamzah Fansuri-pun kental dengan unsur-unsur kesufian. Yang pembahasannya tidak akan jauh dari pembahasan Tuhan, cinta, dan asketisisme. Tema-tema yang menandai bahwa Hamzah Fansuri memang mewarisi tradisi sastra sufi, baik yang bercorak Arab maupun Parsi. Selain itu beberapa sajak Hamzah Fansuri, kerap merujuk pada tokoh-tokoh sastra sufi, misalnya Fariduddin ‘Attar, Jalaludin Rumi, dan Ahmad Ghazali. Hamzah Fansuri banyak sekali menghasilkan sajak-sajak sufi yang pada umumnya tidak memiliki judul tersendiri. Bahkan namanyapun kerap kali tidak dicantumkan dalam karya-karyanya itu. 

Hal inilah yang memunculkan kesulitan untuk membedakan karya-karya sastra miliki Hamzah Fansuri dengan sastrawan lainnya. Di antara karya-karya yang dinisbatkan kepadanya yang karena beberapa hal, karya sastra berupa sajak-sajak itu diragukan adalah asli karyanya. Sajak-sajak itu adalah Sya’ir dagang, ikat-ikatan bahr al-Nisa, dan Syai’r Perahu yang membuat namanya dapat dikenang sampai sekarang. Di dalam bagian sajak-sajak ini terlihat ketidakotentikan karya Hamzah Fansuri.


Hamzah Fansuri memiliki karya-karya yang agak berbeda dengan karya sastra sufi pendahulunya. Karya Hamzah Fansuri memiliki keunikan pada rima yang digunakannya. Rima yang dipakai dalam setiap sajak yang dibuatnya selalu A-A-A-A, satu hal yang unik memang. Kita dapat melihatnya dengan memperhatikan syair Hamzah Fansuri sebagai berikut: 


Dengarkan di sini, hai anak datu

Enkaulah khalifah dari ratu

Wahid-kan emas dan mutuSupaya dapat pandangmu satu Ruh al-quds terlalu payah

Akhir mendapat di dalam rumah

Jangan engkau cari jauh payah

Mahbub-mu dengan sertamu di rumah ……………………………

Hunuskan pedang, bakarlah sarung

Itsbatkan Allah nafikan patungLaut tawhid yogya kau harung

Di sanalah engkau tempat beraung 


Meski dalam hal isi syair Hamzah Fansuri tidak begitu jauh berbeda dengan syair-syair Rumi misal, namun dalam hal penataan rima dan baris karya Hamzah Fansuri nampak lebih rapi terlihat, meskipun kita juga harus melihat konteks bahasa yang dipakai juga. 


Untuk membedakan karya-karya sastra ciptaan Hamzah Fansuri dengan karya-karya lainnya, Dr. Abdul Hadi W.M telah memberikan 7 kriteria yang dapat dijadikan pegangan.


Pertama, semua sajak Hamzah Fansuri menggunakan pola empat baris denga rima AAAA

Kedua, dari makna batinnya sajak-sajak Hamzah Fansuri menggunakan ungkapan perasaan fana, cinta ilahi, kemabukan mistik, dan pengalaman perjalanan keruhanian.

Ketiga, terdapat kutipan ayat-ayat muhtasyabihat al-Qur’an di dalam puisi-puisi dengan fungsi religius dan estetis.


Keempat, terdapat beberapa penanda kesufian seperti anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani, faqir, thalib, dan sebagainya.


Kelima, terdapat ungkapan-ungkapan paradoks di dalam sajak-sajaknya.

Keenam, adanya sejumlah baris syair Hamzah Fansuri yang memiliki kesamaan dengan baris-baris syair para penyair sufi Parsi


Ketujuh, terdapat kata yang diambil dari bahasa Arab dan Jawa.


Kriteria-kriteria inilah yang dapat membantu dalam melihat dan memahami karya-karya Hamzah Fansuri. 

Kini jarang sekali para sastrawan Indonesia yang mau bergelut dalam dunia Sastra Sufi. Kontemplasi batin yang begitu dalam mungkin adalah alasan terbesar sehingga anak-anak muda masa kini yang lebih cinta hidup pragmatis lebih suka meninggalkan cara-cara hidup merepotkan ala para sastrawan sufi ini. 

Sajak-Sajak Pembangun Identitas Islam dari Iqbal

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 13 April 2011 | April 13, 2011


Bagi para penikmat syair-syair Islam, tentunya kenal dengan penyair yang satu ini. Keresaahan-keresahan yang ia rasakan dituangkan dalam bait-bait syairnya. Ia adalah Muhammad Iqbal, sosoknya memang fenomenal, jutaan manusia diberbagai bangsa pernah turut  menyaksikan keresahannya dalam ribuan bait-bait syair yang ia tulis. Ia tak hanya dikenal sebagai penyair yang melahirkan syair-syair yang memiliki makna yang dalam, ia juga dikenal sebagai seorang filosof yang telah merekonstruksi sebuah bangunan filsafat Islam, yang dapat menjadi bekal individu-individu muslim dalam mengantisipasi peradaban barat, yang matrealistis ataupun tradisi timur yang fatalistik. Jika diterapkan maka konsep-konsep filosofis Iqbal akan memiliki implikasi-implikasi kemanusiaan dan sosial yang luas.

Parlemen Setan

Setan:
Jin-jin mulai mempertunjukkan tari purba mereka
Lihat dunia yang penuh laknat ini, pasir dan debu harapan
Penghuni surga! Lihat Sang Pencipta
Yang menjadikan segala ini dengan firman Kun fayakun!
Sebentar lagi aku akan menghancurkannya. Otak cerlang
Eropa dan takhyul kerajaan duniawi ini,
Sebenarnya akulah setan yang membikin. Kutiup jampi-jampi
Ke seluruh masjid, gereja , kuil dan vihara
Kubuat sesat musafir, kepada mereka kuajarkan
Bahwa ketentuan Takdir tak dapat diubah lagi.
Dan telah kubuat mabuk pula pemimpin mereka
Dengan kapitalisme. Siapa dapat memadamkan
Nyala redup api mereka yang mulai berkobar lagi
Disulut nafsu angkara setan? Siapa dapat mematahkan
Batang pohon yang telah disiram mukjizat setan?


Penasehat Setan Pertama:

Tak diragukan lagi kedaulatan Neraka kian kukuh di muka bumi
Maka itu bangsa-bangsa di dunia ini tumbuh dan besar
Diasuh perbudakan. Celakalah bangsa-bangsa
Yang dinasibkan mengemis dan bertekuk lutut berabad-abad
Malanglah mereka yang telah dikodratkan
Untuk gemar memohon dan berdoa, namun tak berdaya:
Mereka yang tak memiliki cita-cita yang tinggi
Akan ditimpa oleh bencana. Dan sebentar lagi
Akan tergusur di muka bumi! Adalah karena jerih payahku
Semua yang serba menakjubkan ini terjelma
Segala bentuk kependetaan dan kewalian
Aku yang membelokkan jadi tiang penyangga perbudakan
Bagi kekuasaan penjajah asing. Candu yang melemahkan
Kusulap menjadi obat bagi orang Asia
Lihat, kini pemimpin dan kaum terpelajar mereka
Lebih memuliakan seni pokrol bambu
Dibanding kearifan dari kitab suci agama mereka.
Dan apa pula tandanya jika rombongan haji
Hanya fasih menyebut Ka`bah dan Makkah al-Mukaramah?
Tandanya: Pedang agama semakin tumpul
Keputusasaan telah menggantungnya
Jadi senjata baru yang beracun. Karena itu
Orang Islam yang berjihad di jalan Allah
Dikutuk dalam zaman ini
Bahkan oleh orang Islam itu sendiri.

Penasehat Setan Kedua:

Serigala berkepala seribu menguak demi kekuasaan,
Racunkah ini atau rahmat bagi kita?
Tampak kau tak mau mempelajari
Bahwa bencana baru sedang menimpa bumi setan!

Penasehat Setan Pertama:

Aku sudah tahu. Dengar, tiada lagi bahaya mengintai dunia kita
Menurut pengamatanku, sebab yang tampak
Hanya rimbunan daun menutupi nafsu negara duniawi
Bukankah otokrasi telah kuberi baju
Demokrasi? Jika manusia mau bercermin
Dan meneliti dengan seksama, mereka akan paham
Tujuan kekuasaan dan penguasaan dunia
Berada di tempat lain yang tersembunyi
Ia tidak semakin kukuh atau runtuh
Karena lenyapnya raja-raja dan Tsar.
Pun tak peduli apa ada parlemen atau partai politik
Jika ke tempat lain kita arahkan pandangan kita
Akan tampak jelas: Tiran lahir kembali di mana-mana.
Tidak kaulihat pemerintahan kerakyatan di Barat
Yang dari luar kelihatan cerah? Jiwa mereka
Sebenarnya lebih kelam dari Jengis Khan!


Penasehat Setan Ketiga:

Sepanjang semangat tirani masih berkobar di muka bumi
Tak ada yang perlu kita cemaskan! Namun,
Bagaimana dengan Si Jenggot lebat, Yahudi laknat
Nabi tanpa gunung Sinai, juru selamat proletar
Tanpa tiang salib itu?  Pun bukan utusan Tuhan
Tapi bukunya Das Kapital masih dibolak-balik
Bagaikan kitab suci? Bagaimana pula dengan mata redup tak bertuhan
Yang dengan berselubung mengumumkan hari perhitungan
Kepada bangsa-bangsa Timur dan Barat?
Wabah mengerikan macam apa yang akan mereka tularkan?
Budak-budak telah memutuskan mata rantai belenggu merela
Dan meninggalkan rumah majikan-majikan mereka.

Penasehat Setan Keempat:

Di  balai agung kemaharajaan Roma yang megah
Ada obat penawar: Sekali lagi telah kita biuskan
Mimpi Yulius Caesar kepada keturunan mereka
Bangsa bertangan besi ini amat perkasa menjaga laut
Dan kepentingan perdagangan dunia!

 Penasehat Setan Ketiga:                                              

Ah, aku tak yakin bangsa ini mampu merebut masa depan
Segala seni pemerintahan Eropa telah dikuras habis olehnya
Namun yang dihasilkan adalah kesia-siaan!

Penasehat Setan Kelima:
Berbicara langsung kepada Setan

Wahai kau yang memenuhi layar dunia
Dengan api berkobar, wahai Maharaja Setan! Bila mau, kaulah
Yang dapat menyingkap semua rahasia ini!
Bumi dan air akan mendidih di atas tungku apimu
Dengan itu planet yang bernama bumi ini akan dipenuhi bencana
Kami ini mahluk bodoh, kaulah guru kami yang paling bijak
Ajari kami hingga arif dan berilmu
Tiada yang labih tahu tabiat Adam
Mahluk tak berdosa yang malang itu, selain kau!
Apa arti malaikat yang kerjanya cuma berzikir
Dan memuji, serta gemar berkurban
Dibanding kau? Gantunglah kepala mereka
Dan bikinlah mereka merasa malu di hadapanmu!
Kau telah berjanji akan senantiasa membantu kami
Buatlah dukun-dukun keramat Barat
Tetap percaya kepada Setan dan jajaran aparatnya
Ketahuilah Yahudi pembangkang itu,
Pembawa semangat Mazdak itu, kini telah bangkit kembali!
Tak lama lagi setiap jubah akan dicabik-cabik
Oleh nafsu gilanya. Gagak gurun Sahara
Mulai menyulap diri mereka menjadi elang
Dan rajawali: Dunia akan gusar dibuatnya.
Apakah kita juga lupa pada segenggam debu
Yang berpusaran di keluasan angkasa ini?
Mengapa kami gemetar menyaksikan
Teror revolusi masa depan? Gunung, padang
Dan musim semi pun gemetar ketakutan.
Wahai Yang Mulia Setan! Di tepi jurang kekacauan
Yang maha dahsyat ini, terbentanglah bumi
Dan Kaulah semata penguasanya!

Setan:

Bumi, matahari, bulan, semua makhluq
Sekalian isi alam ini, di bawah kuasaku berada
Darah bangsa kulit putih sekali lagi akan kubakar
Biar Timur dan Barat, Utara dan Selatan menyaksikan
Dengan mata di kepala mereka sendiri
Drama mengerikan seperti apa yang akan kupentaskan di panggung dunia!
Dengan sekali tiup jampi-jampiku
Akan meruntuhkan tiang-tiang negara dan gereja!
Katakan kepada si bijak tolol
Yang mengira peradaban kebendaan ini rapuh
Seperti kedai penjual anggur, tantang mereka
Untuk menghancurkannya! Namun bila tangan alam
Telah mengoyak jahitannya, jarum logika komunisme
Sekali pun takkan bisa menjahitnya lagi!
Kau kira aku takut pada kaum sosialis
Dan pembela hak asasi manusia?
Ah mereka cuma pembual jalanan, makhluq ronbengan

Otak mereka cabik-cabik dan jiwa mereka luka!
Tidak, jika ada momok yang menakutkan setan
Ia mengintai dalam diri umat beragama yang benar-benar beriman
Dalam abu mereka masih menyala bara api harap tak terhingga!
Walau berserak-serak, yang gigih dari kalangan mereka
Akan tampil ke depan mengurbankan hati mereka
Dan fajar akan mereka siram dengan air mata keluh
Di mata mereka susunan dan kerangka zaman begitu jelas
Ancaman utama bagi setan di masa depan
Bukan komunisme, tetapi agama yang benar.

Aku tahu, pembela undang-undang Tuhan
Hampir tiada lagi di muka bumi. Orang Islam misalnya
Seperti umat yang lain – telah menganut paham
Dan kepercayaan lain.
Syahadat mereka sekarang adalah kapitalisme liberal
Di Timur, dalam kegelapan malam-malamnya yang pekat
Tak dijumpai lagi tangan Musa yang bersinar-sinar
Yang membuat kerajaan Firaun runtuh dengan cepat
Juga tidak di kalangan pendeta, padri dan ulama.
Sekali pun demikian, jangan lalai
Meskipun mereka tengah sedih dan bingung
Bahaya tetap mengintai di sana!
Jejak Nabi yang hilang bisa dijumpai lagi
Kita harus waspada pada ajaran Muhammad
Kesucian wanita dijunjung tinggi
Lelakinya yang saleh dan beriman tak mudah digoda
Namun tak apa: Coba mereka goda dengan kenikmatan
Dan kelezatan dunia yang lain
Seperti kemasyhuran dan kekuasaan!
Mereka sanggup mati demi agama
Singgasana ular naga mereka ingkari
Di mata mereka tidak berbeda raja dan faqir
Segala kebusukan mudah sekali mereka telanjangi
Si kaya dan si miskin punya derajat yang sama di mata mereka
Revolusi dahsyat macam apa yang akan terjadi
Jika ajaran agama begini terlaksana dalam tindakan dan pikiran?
Tanah di bumi bukan milik raja dunia lagi
Seluruh alam milik Tuhan semata
Alangkah baiknya jika aturan dan hukum dari nabi-nabi
Terkubur tak diingat orang
Kita pun akan bersyukur jika orang beriman
Dari sekalian penganut agama
Kehilangan seluruh iman mereka
Mudah-mudahan sesatlah mereka selamanya
Masing-masing kebingungan menafsir kitab suci mereka

Hari-hari benderang moga tak mengoyak
Malam-malam gelap umat yang salatnya khusyuk ini!
Waspadai, jangan sampai mereka dibiarkan terbangun
Kalimah syahadatnya sanggup menghancurkan
Jampi-jampi dunia – Tenggelamkan mereka
Dengan persoalan tetek bengek
Jaga agar gambaran menyedihkan tentang pemimpin agama mereka
Selalu memuaskan hati mereka!
Asingkan mereka dari tindakan nyata,
Dari kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan!
Hingga mereka merasa bahwa keberadaan mereka
Tidak berarti di papan catur kehidupan!
Alangkah baiknya jika mereka diperbudak
Dan selalu tergantung pada bangsa lain sampai kiamat!
Usahakan terus agar urusan dunia
Mereka serahkan pada golongan lain
Biarkan mata mereka tertutup, aku Setan
Sungguh ngeri bila umat ini terbangun
Dari tidurnya! Ajaran agama mereka merangkum semua
Jaga agar pikiran mereka tetap porak poranda
Penjara mereka dalam kegiatan peribadatan
Dan upacara-upacara usang keagamaan!

Beberapa sajak Iqbal tersebut di atas hanya sebagian kecil di antara banyak lagi sajak-sajak yang dihasilkan Iqbal yang kebanyakan ia tulis dalam bahasa persi dan urdu diantaranya Syikva (keluhan), javab-i-syikva (jawaban atas keluhan), asrar-i-khudi (rahasia diri),Rumuz-i-bekhudi (misteri penyangkalan diri), bang-i-dara (panggilan lonceng), piyam-i- masyrik (pesan dari timur), Zabur-i-Ajam (kidung persi), javid namah Bang-I Dara (panggilan lonceng), Javid Namah (kitab keadilan), Zabur-I  ‘Ajam (kidung Persia), Javab-I Syikva  (jawaban atas keluha), Syikva (keluhan), Piyam-I Masyriq (pesan dari timur), Zarb-I Kalim (tongkat musa), Armughan-I Hijaz (pemberian dari Hijaz), Bal-I Jibril (sayap jibril) dan lain-lain. Adapun kumpulan sajak dan ceramah dan kuliahnya terdapat dalam The Reconstruction Of Religious Though Of Islam. Selain menulis syair-syair Iqbal juga menulis beberapa artikel dalam bidang filsafat, ekonomi, politik dan hukum dan sastra dalam bahasa Inggris. 

Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot pada tanggal 9 November 1877.  dua puluh tahun setelah tekanan pejuang muslim melawan Inggris pada tahun 1857, ketika mereka memberikan serangan terakhir pada pemerintahan Islam di sana.  Sialkot adalah sebuah kota peninggalan Dinasti Mughal India yang sudah  lama pudar gemerlapnya. Ia terletak beberapa mil dari Jammu dan Kasymir, suatu kawasan yang kelak terus-menerus menjadi sengketa antara India dan Pakistan.

Kakeknya Iqbal bernama Syaikh Rafiq adalah seorang penjaja selendang dari looehar, Kasymir. Penduduk kasymir pada awalnya beragama Hindu kemudian telah mengenut Isalam selam kurang lebih 500 tahun dan kakeknya telah memeluk Islam dua ratus tahun yang lalu. Jika diikuti, jejak leluhur Iqbal berasal dari kalangan brahmana, sub kasta Sapru.

Ayahandanya Syaikh Nur Muhammad memiliki kedekatan dengan kalangan sufi, karena kesalehan dan kecerdasannya, penjahit yang cukup berhasil ini dikenal memiliki perasaan mistis yang dalam serta rasa keingintahuan ilmiah yang tinggi. Tak heran, jika ia dijuluki kawan-kawannya denagan sebutan “sang filosof tanpa guru”.

Ibunda Iqbal Imam Bibi, juga dikenal sangat religius. Ia memberikan pendidikan dasar dan disiplin keislaman yang kuat kepada kelima anaknya, salah satunya Iqbal. Dibawah naungan kedua orang tua yang taat dan disiplin inilah Muhammad Iqbal dibesarkan.

Di kota perbatasan Punjab, Iqbal menghabiskan masa kecilnya dengan hobinya berolahraa dan bermain dengan kawan-kawannya. Ia sangat terkenal menyukai ayam hutan dan burung merpati oleh kawan-kawannya. ketika kehidupan Iqbal sudah mulai memasuki usia dewasa ia curahkan seluruh waktuhya di kota Lahore  dengan kehausannya terhadap Ilmu pengetahuan. Ia kuliah di perguruan tinggi terkemuka di kota tersebut.

(disarikan dari pelbagai sumber)

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday