Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Rak Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rak Buku. Tampilkan semua postingan

"Butterfly", A Novel Written in Eight Days by Thirteen Years Old Indonesian Girl

Posted By Redaksi on Selasa, 28 Juli 2020 | Juli 28, 2020



SastraKecil.Space, Bulukumba - She is Nayla Putri Humaira. Thirteen years old girl from Salassae,Bulukumpa district, Bulukumba regency, South Sulawesi, is still studying in junior high school.

The daughter of the couple Mr. Asriand Miss Leha writes her first novel titled “Butterfly.”

Her hobby is writing. The covid- 19 pandemic period gives time for this nine grade students of junior high school to finish her first novel in eight days.

“During the holiday, I take the chance to write. And AlhamdulillahI have finished and published my novel” said the girl that was born in 2006.

Because of limited published, this “Butterfly” novel by Nayla will be marketed in a certain place. And then the sales profits will be used to financeNayla’s education.

Now, the Butterfly novel can be ordered, and only eighty exemplars are available. “In addition, people my order the novel in whatsapp by clicking the link http://wa.me/6285242201522. Hopefully God wiling” said Nayla.

The Butterfly novel tells the story of the struggle of fatherraisinghis child.  “Especially for parents, give your children loves without distinguishing one another. When they did something wrong, scold them in a good way. Children are graces from the God and not everyone can have child” said Naila that tells a little about her novel.

Nayla said that she is inspired by somewell known writers in Indonesia, one of the famous writer, TereLiye. Nayla also read the other books of the famous writer that become her private book collection.

Further more, Nayla tells that she has written many short stories. Because of limited publishing costs Nayla never publish her work. The writing is put in a neat place until it published.

The vice regent of Bulukumba, TomySatriaYulianto, asks to meet with Nayla in government office on Monday, July 22th, 2020. Proves that he notice Nayla’s work and wants to give her a big appreciation.

Thebespectacled vice regent gives praise and respect for Nayla. “Her talent that showed since junior high school should be rehearsed. She should be guided to become a nationalreliable writer-famous writer.  Nayla, keep up your skill. We need someone like you. We will help and guide you,” said TomySatria.

Hence, TomySatriagives an appreciation for Nayla by paying the publishing cost of Butterfly Novel. He hopes that the sales result can be used to continue Nayla’s education in the next level and rehearse her writing skill.

“The Nayla writing virusis hopefully become a pandemic for the next generation in Bulukumba. Then, the next leader in a district should be a writer so that he/she can strengthen his/her leadership story” Said TomySatria.(*)

Editor: Nur Alang

BAK Terbitkan Buku "Menginspirasi dari Lorong"

Posted By Redaksi on Kamis, 23 Juli 2020 | Juli 23, 2020

SastraKecil.Space, Makassar - Penggagas dan Motivator perpustakaan lorong kota Makassar, Bachtiar Adnan Kusuma (BAK) kembali menulis dan menerbitkan Buku Inspirasi dan motivasi. Judulnya ”Menginspirasi dari Lorong”. diterbitkan oleh Yapensi dan Forum Perpustakaan Lorong Desa Sulsel, dan LPM Parangtambung. Diterbitkan dalam rangka Festival Perpustakaan Lorong 2020 dan Milad ke 50 Tahun BAK, Oktober 2020

BAK adalah ketua LPM Terbaik 1 Kota Makassar 2017. Bukunya kali ini  berkisah tentang awal mula menggagas dan merintis perpustakaan lorong Parangtambung bersama LPM, RT, RW, BKM dan KKN Unhas Angkatan 96 pada 2016 akhir di Parangtambung.

Bukunya yang teranyar ini juga berisi kiat sukses membangun budaya baca. Pun menarasikan kisah-kisah dunia relawan perpustakaan lorong, menggengam dunia dengan membaca, bagaimana mengelola perpustakaan lorong, dan 14 langkah menumbuhkan kebiasaan membaca.

Buku-buku yang ditulis BAK sebelumnya, di antaranya:13 Langkah Menumbuhkan Kebiasaan Membaca, 17 Jurus Membaca Ala SYL, Mengikat Makna Lewat Membaca, Berburu Buku ke Negeri Tetangga, Malaikatku Cinta Membaca, Panduan Praktik Penyuntingan Buku, dan Hudayah dari Tanah Haram.(*)

Editor: Alfian Nawawi

Rumah Kita dari Sujud yang Tergadai di Penghujung Senja

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 19 Juli 2020 | Juli 19, 2020

Rumah adalah kepingan surga yang menjelma di bumi. Ruang yang teduh untuk hari-hari yang terik. Payung bagi pagi sore yang berhujan. Selimut pada malam yang mengelam.
Suatu titik di Sulawesi Tengah tepatnya Kabupaten Toli-Toli. Sepotong wilayahnya yang dikenal dengan sebutan Dampal berdiri sebuah kubu literasi. Riani nama pena yang muncul dari  Garis Karsa merengkuh para penulis pemula di Rumah Kita. Rumah Kita lahir diantara laut dan Gunung Toli-Toli.
Komunitas ini sengaja diperuntukkan bagi penulis pemula di daerah Dampal. Beberapa anggotanya sudah berbekal novel, antologi dan buku-buku bermutu lainnya untuk berbagi ilmu. Mereka berkumpul untuk memajukan literasi, untuk memberi nafas pada tulisan-tulisan generasi. 
Keabadian hanya dimiliki oleh tulisan-tulisan yang dibaca, sementara tulisan yang ditinggalkan tetap musnah bahkan hilang jejak. Begitu yang terakhir terdengar dari gadis penulis buku Sujud Yang Tergadai, gadis yang terjebak di Aksara Senja dan katanya pernah menyelam di dalam About Love.(*)
Penulis: Nurfathana S.

Jari Tengah Alfian Dippahatang

Posted By Alfian Nawawi on Selasa, 14 Juli 2020 | Juli 14, 2020

Di salah satu platform tempat beragam manusia berjejaring, Alfian Dippahatang pernah mengurai pendek perihal buku antologi puisinya yang terbaru, "Jari Tengah". 

"Puisi-puisi dalam Jari Tengah ini terbangun karena teks, visual, dan audiovisual yang meminjam dua kategori pengalaman. Pertama, pengalaman di luar diri penyair, dalam hal ini orang-orang. Saya ingin menyebut khusus pengalaman itu berasal dari kakek dan nenek saya, yang mana di kampung, mereka cukup dikenal sebagai dukun dan 'pabarzanji.'Kedua, pengalaman saya pribadi membaca, mendengar, dan melihat bagaimana mantra diterapkan untuk menyembuhkan dan melukai orang." Begitu tuturnya.

Dan akhirnya buku Jari Tengah  setebal 64 halaman ini akan menemui para pembacanya setelah dibanderol Rp.45.000,- dan harga PO: Rp.32.000,-. sebuah alur self publishing yang cukup manis.

Alfian Dippahatang lahir di Bulukumba, 3 Desember 1994. Ia bergiat di Institut Sastra Makassar.  Mula ia menulis puisi, cerita pendek, novel, monolog, dan esai. Buku pertamanya, kumpulan puisi Semangkuk Lidah (Ghina Pustaka, 2016), disusul kumpulan puisi Dapur Ajaib (Basabasi, 2017), novel Kematian Anda yang Tak Sia-sia (Diva Press, 2018), kumpulan cerpen Bertarung dalam Sarung (Kepustakaan Populer Gramedia, 2019), masuk longlist Kusala Sastra Khatulistiwa 2019, dan novel Manusia Belang (Basabasi, 2020).



Ia meraih Juara 3 Sayembara Novel Penerbit Basabasi 2019. Diundang di Makassar International Writers Festival 2018, Majelis Sastra Asia Tenggara 2018, Festival Sastra Yogyakarta 2019, dan Residensi Penulis 2019 ke Prancis atas bantuan Komite Buku Nasional.(*)

Buku Republik Temu-Lawak

Posted By Alfian Nawawi on Sabtu, 08 Februari 2020 | Februari 08, 2020

Sejak dulu saya suka menulis esai. Namun kebanyakan lebih mirip gurau campur gerutu. Semacam obrolan singkat di pinggir jalan, ujung gang, lorong, ataupun kedai kopi. Maka saya menyebutnya “esai pinggir jalan”, sejenis tulisan reaksioner, spontan, dan kebanyakan iseng. 

Dalam rentang tahun 2017-2019 sebagian kecil pernah dimuat di media online dan media cetak. Sebagian besar lainnya saya pernah posting di media sosial.

Peristiwa-peristiwa kecil dan besar terutama yang meletup-letup di sepanjang tahun 2018-2019 menggoda saya memutuskan untuk memilih 70 esai di antara sekitar 300 tulisan untuk dimasukkan ke buku ini.


Sejarah dibangun oleh peristiwa-peristiwa namun sejarah hanya bisa dibangunkan oleh tulisan-tulisan. Jika benar buku ini bisa membangunkan, setidaknya dia bisa membangunkan diri saya sendiri bahwa masih ada naskah-naskah lainnya yang bersemedi dalam file-file tersembunyi. Dan buku ini tidak hanya terkait sejarah. Kumpulan ini juga membincang budaya, seni, literasi, bahasa, sosial politik, hukum, dan lainnya.


Anda bisa mendapatkan buku ini. Namun bukan dari saya. Anda bisa memesannya secara online, langsung ke pihak penerbit, J-Maestro. Mengapa buku harus dibeli? Karena buku dibuat dari kertas. Daun lontarak tidak dipakai lagi di zaman ini.
Karena kebanyakan ditulis pada saat lagi minum kopi, saya pikir buku ini agak cocok juga jika dibaca di saat menikmati kopi atau minuman kesukaan Anda lainnya. Begitulah salah satu ajaran dalam cofeeology dan kafeinisme.


Buku Inspiring Bulukumba Lahir dari Sebuah Metamorfosa

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 16 Maret 2014 | Maret 16, 2014

Sekali waktu, termInspiring Bulukumba” menjalari benak saya pada awal tahun 2011. Sebuah realitas, tidak terdapat satupun referensi teks tentang biografi tokoh-tokoh penting di Bulukumba.

Kerisauan pun berlanjut dan memunculkan ide InspiringBulukumba” harus menjadi sebuah program talkshow di Radio Cempaka Asri (RCA) 102,5 FM Bulukumba. Dengan bantuan teman-teman penyiar, dan saya dipercayakan sebagai host, program talkshow  tersebut berhasil menghadirkan belasan tokoh Bulukumba secara berkala dengan konsep utama berupa pemaparan kisah hidup mereka yang inspiratif. Respon pendengar sangat bagus dan ditandai dengan rating tinggi. Stagnasi yang dialami program tersebut di tahun 2013 lantaran kebijakan manajemen ternyata mengawali ide baru. “Inspiring Bulukumba” harus bermetamorfosa menjadi sebuah buku.
  

 

Asumsi awal saya, kumpulan rekam jejak ini bukan semacam rujukan final yang permanen. Buku ini masih membutuhkan penyempurnaan dari siapapun di waktu-waktu  yang lain. Masih banyak tokoh lainnya yang belum sempat dimasukkan ke dalam daftar, di antaranya Dharsyaf Pabottingi, Prof. Dr. Kulla Lagousi dan Sulaiman Mappiasse. Namun sebagai langkah kecil, semestinya dapat membuka mata kita bahwa Bulukumba adalah juga gudangnya orang-orang yang luar biasa. Bahkan saya sempat membayangkan Inspiring Bulukumba II, dan seterusnya.

     Sebuah hal unik terjadi, sebagian besar tokoh dalam buku ini ternyata datang dari ‘wilayah literasi’ yang semakin menguatkan asumsi bahwa sesungguhnya Bulukumba merupakan gudang literasi.

      Alhamdulillah, Allah mengizinkan buku ini sebagai buku saya yang keempat. Buku pertama: Rumah Putih; Antologi Puisi Serumah. Buku kedua: bersama 88 penulis lainnya dalam "Ahyar Anwar Yang Menidurkan dan Membangunkan Cinta: Sebuah Obituari." Buku ketiga: bersama puluhan cerpenis lainnya, cerpen saya "Perempuan Bertanduk Api" dimuat dalam buku antologi cerpen "Love Never Fails".

     Bismillahirrahmanirrahim. Melalui buku saya yang keempat ini, untuk pertama kali di wilayah literasi, saya  menggunakan nama asli: Alfian Nawawi. (*)



Bejana Teks Keluarga Kami dalam Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah

Posted By Alfian Nawawi on Sabtu, 14 Desember 2013 | Desember 14, 2013


Sebuah kesyukuran besar. Setiap peristiwa literasi adalah juga bagian penting dari sejarah. Termasuk peristiwa unik ini yang pertama kali dilakukan di dunia khususnya di jagad sastra tanah air. Satu keluarga, tujuh penulis dari tiga generasi dalam satu rumah akhirnya diizinkan Allah SWT untuk merampungkan sebuah buku antologi puisi "Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah.” Penerbit Ombak Jogjakarta.

Jejak-jejak senyap memukau dalam "Something In Bulukumba"

Posted By Alfian Nawawi on Kamis, 22 November 2012 | November 22, 2012



Resensi:

Judul Buku  : “Something In Bulukumba”
Penulis        : Anis Kurniawan
Penerbit      : P3i Press
Cetakan      : Pertama
Tahun          : 2012
Tebal           : 105 halaman


Kampung halaman yang eksotik bernama Bulukumba itu terletak di ujung  selatan Propinsi Sulawesi Selatan. Sejak dulu terkenal dengan industri perahu Phinisi, legenda hidup Suku Ammatowa di Kajang yang berpakaian serba hitam dan pasir putih Bira yang menawan. Terletak pada kondisi empat dimensi yakni dataran tinggi kaki Gunung Bawakaraeng dan Gunung Lompobattang, dataran rendah, pantai dan laut lepas menjadikan Bulukumba sebagai tempat mengasyikkan untuk jappa-jappa (jalan-jalan dalam bahasa Bugis) menelusuri kekhasan alam, perangai, local genius dan lekuk liuk sejarahnya.

Ilustrasi
Dalam buku ”Something In Bulukumba” yang ditulis oleh Anis Kurniawan  tertuang perihal berbagai sudut di Bulukumba yang ternyata selama ini merupakan kekayaan yang ‘terbenam’ dan belum pernah sebelumnya terekspose ke hadapan publik. Intelektual muda, cerpenis dan novelis alumnus S1 Fakultas Sastra UNM Makassar dan S2 Ilmu Komunikasi Politik UGM Jogjakarta ini berhasil memberitahu banyak orang melalui caranya ‘memotret’ Bulukumba pada banyak sisi yang selama ini tersembunyi.

Ditulis dengan bahasa ringan, menukik ke kumparan jurnalisme sastra, lebih tepatnya disebut begitu namun juga terjebak citizen reporter, perjalanannya menjelajah kampung-kampung di Bulukumba membangkitkan rasa  penasaran  untuk menerjemahkan makna-makna di balik suatu realitas, objek wisata atau situs budaya yang dia jelajahi. Seperti jejak-jejak senyap  yang entah apa tapi memukau.

Kemungkinan yang paling masuk akal,  buku ini pada mulanya terdiri dari catatan singkat atas pengalaman pribadi penulisnya. Prosesnya bisa dimulai ketika mengunjungi suatu tempat kemudian terkumpul beberapa tulisan lainnya yang juga meneropong sisi-sisi terdalam berbagai objek untuk ‘dipotret’ tanpa beban metodologi tertentu. Rentetan perjalanan memukau dalam buku ini sebenarnya bukan catatan sejarah yang detail, komprehensif terlebih lagi penelitian ilmiah yang teoritik dan komplit.

Objek-objek yang diangkat dalam  buku ini kebanyakan berada di pelosok-pelosok desa bahkan sebagian termasuk teralienasi. Rasanya agak sulit membayangkan betapa otentitas suatu situs budaya, cerita, jejak tokoh masih tersimpan di ingatan warga sekitarnya. Lalu itu semua dipaparkan dengan gaya citizen reporter bahkan jurnalisme sastra.

Anis tidak memakai metodologi penelitian tertentu, tidak pula bertendensi memecahkan masalah tertentu secara kompleks dan analitik. Justru dengan santai penulis menghindar dari klaim sebagai peneliti, lalu lebih memilih cara penulisan dan penelusuran fakta-fakta secara bebas dan lepas. Tendensi terhadap fenomena atau objek yang dituliskan murni untuk sekedar membeberkan pengalaman personal atas apa yangdia tangkap secara subjektif. Bisa jadi kumpulan tulisan perjalanan ini merupakan provokasi atau inspirasi atas kenyataan terdekat yang luput dari pengamatan di sekitar kita.

Sebagian besar catatan di buku ini merupakan potensi-potensi pariwisata yang seharusnya bisa dimaksimalkan menjadi potensi ekonomi. Bisa ditengok pada bab di mana penulis melanglang buana ke sepotong surga di Bulukumba bernama danau kahayya. Potensi eco-wisata di kahayya akan mengundang perhatian banyak wisatawan di tengah kerinduan dan minat tinggi masyarakat terhadap wisata alam. Lalu menyusuri Pantai lemo-lemo, salah satu alternatif wisata pantai yang belum dibenahi secara maksimal. Pantai yang di sekitarnya ada Taman Hutan Raya (Tahura) ini oleh sebagian besar masyarakat Bulukumba sendiri belum terlampau dikenal. Padahal pantai ini berpotensi menjelma menjadi wisata pantai terpadu yang mendatangkan pendapatan bagi daerah.

Yang juga sangat menarik, penulis buku ini juga memaparkan tentang sebuah radio legendaris di Bulukumba, Radio Cempaka Asri (RCA) 102,5 FM. Radio yang eksis hingga kini sebagai radio yang sangat merakyat dinilai menginspirasi masyarakat Bulukumba selama ini. Sejak berpuluh tahun silam masyarakat Bulukumba bahkan di selatan-selatan Sulawesi Selatan diperdengarkan dengan siaran-siaran berkualitas dan sehat.Terbetik pemahaman bahwa kebutuhan akan media lokal yang kental akan semangat local genius dan nilai-nilai kebangsaan selalu didambakan publik.

Begitupun dengan sisi-sisi humanis dalam masyarakat yang mengalami pengalaman akulturasi turun temurun pada masyarakat Mandar dan Konjo di Turungan Beru. Atau kedekatan emosional masyarakat Bone dan pribumi Ulutedong di Desa Garanta Kecamatan Ujung Loe. Atau cerita tentang masuknya tentara di Sampeang desa Swatani yang melahirkan banyak cerita-cerita menarik tentang pasar dan sebuah desa yang dihuni banyak pensiunan tentara.

Kelihatannya penulis memang sengaja tidak berminat mengeksplorasi sisi-sisi pariwisata secara lengkap di Bulukumba, terutama informasi tentang tempat-tempat wisata yang sudah ternama. Buku ini hanya ingin mengatakan bahwa Bulukumba sebenarnya tidak hanya memiliki Pantai Bira yang eksotik dengan pasir putihnya yang menawan. Inilah sebuah kabupaten yang kaya akan potensi pariwisata dan memiliki kekhasan tersendiri dalam dinamika sosialnya. Sebagai kabupaten dengan pantai terpanjang di Sulsel, potensi wisata pantai di Bulukumba memiliki banyak pilihan selain Pantai Bira yang sudah mendunia antara lain; pantai Panrang Lahu, Pantai Marumasa, Pantai Mandala Ria, Pantai Kasuso, Samboang dan juga Lemo-Lemo. Sebagian dari pantai ini hanya dikembangkan secara alami tanpa perencanaan wisata yang maksimal.

Bulukumba juga memiliki potensi wisata alam sangat variatif antara lain; air terjun Bravo, permandian alam limbuaq Hila-Hila, gua Malukua, gua Passea, gua Pasohara, puncak Pua Janggo dan Kahayya sendiri. Termasuk potensi wisata agro seperti; perkebunan karet dan agro wisata tambak.

Sayangnya memang dari potensi yang demikian besar itu, perhatian dan political will dari pihak pemerintah untuk mengembangkannya sebesar-besarnya demi kesejahteraan masyarakat belum sepenuhnya terlihat. Masyarakat yang bermukim di sekitar pantai Lemo-Lemo bisa menjadi contoh betapa keinginan mereka untuk hidup lebih baik belum kesampaian, meski mereka hidup di sekitar pantai yang istimewa.

Buku ini akan membuka mata hati kita bahwa rupanya ada begitu banyak hal yang tiada ternilai harganya di sekitar kita. Keunikan dan kekayaan yang ada itu harusnya memang dijaga bahkan dikembangkan. Dan yang paling penting adalah memperluas informasinya ke luar bahkan ke dunia internasional agar ada keinginan bagi orang lain untuk berkunjung ke Bulukumba.

Penulis tidak sempat mengangkat semua sisi menarik yang jumlahnya memang cukup banyak di tiap kecamatan di Bulukumba. Tetapi dengan alasan tertentu tetap berusaha untuk merepresentasikan seluruh catatan dari keberadaan sepuluh kecamatan di Bulukumba. Di kecamatan Rilau-Ale misalnya tertuang cerita tentang pasar tantara’ dan penyebaran agama Islam yang pertama kali di Bulukumba Bahagian Barat.
Khusus kecamatan Bulukumpa pembaca bisa menelusuri tradisi berdemokrasi di batu tujua serta kepercayaan masyarakat terhadap bukit karaeng-puang, serta potensi wisata di Balantaroang. Ketiganya merupakan tempat yang menarik namun luput dari pantauan banyak orang.

Di Kecamatan Kajang, kita akan terkesima dengan tradisi pengambilan keputusan dalam konflik sosial di kawasan Adat Kajang serta saksi bisu jembatan gantung Raowe yang hingga kini belum direhabilitasi meski usianya sudah dua dekade. Selain pantai Lemo-Lemo yang berada di kecamatan Bontotiro, penulis juga menulis catatan kecil tentang mesjid tertua yang diinisiasi oleh Dato Tiro’ sejak abad 17 silam.

Eksotisme Bunga Santigi di Bira  sengaja juga  diangkat karena kekhasan bunga ini. Bunga Santigi harganya sangat mahal dan bernilai ekspor, sayangnya belum ada akses informasi secara luas tentang keberadaan bunga tersebut.

Masih terlampau banyak yang nampaknya memang sengaja belum ditulis di buku ini. Ada banyak cerita dan perihal di Bulukumba  yang semestinya ‘mencubit-cubit’ perhatian. Puluhan objek-objek menarik di Bulukumba yang suatu saat harus terdokumentasi semuanya: tentang cerita di balik penamaan desa-desa, cerita di balik sungai-sungai bahkan cerita tentang sejumlah situs penting di Bulukumba antara lain; Makam Tonrang Gowa, Makam Matinroe Ri Puranga, Makam Maddikae Ri Barabba, Kompleks Makam Raja-Raja Gowa Ri Campagaya, Leang Passea, Leang Lajaya, Tempat Persemedian Puang Janggo, Kompleks Makam Sengngeng Lampe Uttu, Makam Lambere Dodoa, Situs Pra Sejarah Sapa Bessi, Makam Karaeng Sapohatu, Makam Massarussung Dg. Palinge, Kompleks Makam Boto Dg. Pabeta, Kompleks Makam Sugi Dg. Manontong, Kompleks Makam Possi Tana, dan banyak lagi situs penting lainnya. Inilah kekayaan lokal genius yang memukau dan tersembunyi. (*)

Lontara Rindu: Lazim dan Berani

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 03 September 2012 | September 03, 2012

Sebahagian teman yang pernah membacanya mengatakan, novel ini genit dan memukau. Sebenarnya Novel "Lontara Rindu" karya S. Gegge Mappangewa ini sepintas biasa saja. Bahkan cenderung mengikuti gaya novel sebelum-sebelumnya yang mengambil setting lokasi daerah di Indonesia. 

Panorama sejarah dan lukisan palung-palung budayanya adalah asal mula adat istiadat Bugis terbentuk dan terbukukan dalam lontara. Genit dan memukau yang dihadirkan dalam bentuk kisah abadi Nenek Mallomo, sehingga menjadi adat yang dipatuhi oleh banyak generasinya sampai saat ini.

Setting lokasinya adalah tanah Bugis, Sulawesi Selatan. Hal itu terjadi mengingat wilayah Indonesia yang memiliki ragam budaya yang berbeda tetapi ada kemiripan di berbagai sisi. Keistimewaan novel baru terasa setelah memasuki bagian dua pertiga novel hingga tamat.

Lontara Rindu
Tanah Adat Bugis yang menjadi setting lokasi novel ini merupakan kontribusi khususi bagi dahaga primordialisme Bugis. Di sisi lain bisa jadi merupakan setitik pencerah bagi 'gurun gersang' penulis-penulis Sulawesi Selatan.

Yang termasuk biasa tentunya, novel ini juga menampilkan 
setting psikologis yang menggambarkan pergumulan batin para tokohnya.

Seperti biasa tokoh-tokohnya tidak digambarkan secara utuh, di mana seseorang yang baik akan terus baik dari awal sampai akhir, tetapi digambarkan hitam-putih, bahkan abu-abu. Ilham yang dulunya pengecut, di akhir hayatnya digambarkan menjadi orang baik dan menyesali perbuatannya masa lalu. Pak Japareng yang dulunya baik, berulah ingin menjadi penjual ballo’ (tuak) karena tergiur uang yang banyak. Halimah yang dulunya taat orang tua, digambarkan membangkang, dan kembali menjadi muslim yang baik lagi. Vito yang aslinya baik, penyayang orang tua, tetapi karena sedang galau, dia banyak berulah dan sering berdusta.

Sebagai novel yang lazim, sangat biasa. Sebagai 'keberanian' maka S.Egge Mappangewa sangat istimewa dan berhasil memaparkan Bugis yang cukup rumit. Luar biasa, novel ini laku keras di Makassar. (*)



Kaki Waktu, Sehimpun Puisi 12 Perempuan Makassar

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 17 Juli 2011 | Juli 17, 2011

Perempuan adalah puisi. Mereka merupakan makhluk ciptaan Allah yang kadang absurd. Bagi para lelaki seperti saya, mereka sering menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang kompleks dan rumit. 

Kita memerlukan beragam tafsir untuk menemukan setiap jawaban-jawaban yang tersembunyi. Dan, laki-laki, masih saja tidak benar-benar mengerti.

Maka, cara paling mudah dalam berhubungan dengan seorang perempuan adalah jangan terlalu banyak memikirkannya.  Tapi jika mereka menulis dan membaca puisi, maka bacalah. Sebab ada celah pada lekuk liuk perempuan dengan membaca puisi-puisi ke-12 perempuan itu. Mereka kadang mengingatkan saya terhadap Rabiah Al Adawiyah dan Ayu Utami.


Telah TERBIT SEHIMPUN PUISI dari MAKASSAR

Judul : Kaki Waktu
ISBN : 978-979-15833-9-0
Tebal : iv + 138 hal

Penulis :
Andi Tenriola
Dalasari Pera
Darmawati Majid
Dhida Alwi
Eka Fitriani
Handayani Utami
Inayah Mangkulla
Madia Gaddafi
Mariati Atkah
Meike Lusye Karolus
Rahiwati Sanusi
Reni Purnama

Endorser:
Aslan Abidin
Khrisna Pabhicara
Nona G. Mochtar
Susy Ayu

Kurator:
M.Aan Mansyur


Sebelum menelusuri lekuk-liuk puisi 12 perempuan itu, berikut sepenggal pengantar dari Aslan Abidin, penyair dan dosen FBS UNM Makassar:

"Puisi, meminjam judul buku ini, adalah kaki waktu. Mereka akan berjalan dan berjalan. Tak ada yang tahu sejauh apa mereka mampu tempuh. Begitulah puisi-puisi dalam buku ini. Tak ada yang bisa menebak di mana mereka akan berhenti.

Setidaknya bagi saya sangat menggembirakan melihat ada 12 perempuan muda mau menggunakan puisi sebagai kaki-kaki waktu dalam menempuh perjalanan. Selebihnya, hanya harapan mereka bertahan dan terus menulis agar bisa menyemarakkan dunia kepenyairan di Makassar."



Lalu apa kata para penulis senior lainnya?

Selesai membaca puisi-puisi ini saya tercenung, wah hebat sekali! Tak menyangka kalau puisi mereka tidak kalah bagusnya dari puisi penyair senior lainnya. Betapa inspiratif dan imajinatifnya!
Dan pada beberapa puisi saya merasa seolah-olah mereka bisa membaca hati saya, lalu menuliskan apa yang kadang tak bisa saya ekspresikan menjadi sebuah puisi. Mereka hebat. Salut!

Nona G Muchtar, penulis dan berdomisili di Jakarta

12 penyair perempuan dalam buku ini berhasil membawa saya pada petualangan yang membuat saya tidak ingin segera menyudahinya. Puisi-puisi terasa begitu solid , utuh dengan imaji yang tidak membias kemana-mana. Hal itu tentu karena kemampuan penyairnya dalam mengangkat endapan-endapan yang tersimpan di dalam hati kemudian dituangkan menjadi puisi. Ibarat hidangan di meja buffet, saya tidak akan kesulitan memilih mana yang akan saya santap, sebab saya akan melahap semuanya.


Susy Ayu, cerpenis dan penulis buku puisi "Rahim Kata-Kata"


Ah, perempuan dan puisi, baca mereka. Sebab aku lelaki.


Karruq Ri Bantilang Phinisi, Novel Berbahasa Makassar Pertama di Dunia

Posted By admin on Minggu, 26 Juni 2011 | Juni 26, 2011

Sebuah novel berbahasa Makassar yang kali pertama dalam sejarah dilaunching di Bulukumba. Launching Novel "Karruq Ri Bantilang Phinisi" karya Drs. Muhannis Ara diserbu ratusan masyarakat Ara di Gedung Masyarakat Ara, tanah Beru, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, Sulsel, Ahad (26/6/2011).


Launching novel tersebut juga diserbu oleh mahasiswa KKN UNM di Kecamatan Bonto Bahari sebab, ini adalah kali pertama dalam sejarah, ada buku sastra "novel" yang dilaunching di Desa tersebut.

Masyarakat sangat mengapresiasi kegiatan tersebut. Di tengah acara, dipentaskan tari Salonreng, tari asli asal tanah Konjo. Hadir sebagai pembicara; Drs Muhannis (penulis novel), Arif Saenong (budayawan/penerima celebes award), H. Kamiluddin/Sabrang Manurung (pemerhati pinisi), Andhika Mappasomba (sastrawan Muda asal Bulukumba) dan Jafar Palawang (budayawan Bulukumba).

Sesekali, di tengah penjelasannya, Muhannis Ara harus menitikkan air mata. Betapa tidak, dia bermimpi menuliskan sejarah Ara dalam bentuk fiksi sejak kelas 4 SD yaitu tahun 1963 dan nanti tahun 2011 baru bisa terwujud.

Sesepuh masyarakat Ara yang hadir sangat bahagia dengan apa yang telah dituliskan oleh Muhannis Ara, beberapa peserta (sesepuh) mengatakan bahwa, apa yang dilakukan Muhannis adalah sesuatu yang luar biasa bagi Ara itu sendiri dan Sulawesi selatan umummnya. ini adalah sebuah prestasi dan capaian budaya. hal senada disampaikan (di sebuah moment kepada MNI) oleh Prof. RapiTang, Guru Besar di UNM yang mengatakan bahwa; Novel ini adalah Novel berbahasa Makassar yang pertama dalam sejarah.

Novel terbitan Ombak Jogjakarta ini, bukan hanya membahas pinisi secara detail. tapi, novel ini juga berkisah tentang romantika percintaan antara pemuda Kampung Ara, para sahi, dan lain-lain yang ketika itu yang sangat ketat dalam memegang keyakinan kulturalnya.

Novel yang ditulisnya ini seluruh isinya berbahasa Makassar. Karruq ri Banting Pinisi sendiri berarti tangisan di gubuk pinisi. Sesekali juga diselipkan  bahasa Konjo pesisir, bahasa daerah asli yang banyak ditemui di daerah Bulukumba.

Muhannis mengatakan, novel yang ditulisnya tersebut merupakan hasil suatu "kecelakaan". Dia sering menjadi juara cerita dan puisi berbahasa Makassar namun dia tidak bisa diikutkan lagi karena semua juri khawatir pasti Muhannis lagi yang menang. 

"Dalam novel ini pembaca akan menemukan mantera-mantera. Ini yang menjadi kontradiksi dan perdebatan dalam keluarga saya. Banyak yang tidak sepakat jika saya  menuliskannya dalam bentuk novel. Namun saya berprinsip, sesuatu itu belum pantas disebut ilmu jika disembunyikan. Baru bisa disebut ilmu jika sudah dibagikan ke masyarakat," tutur Muhannis.

Saat sesi tanya jawab, beberapa peserta mengapresiasi karya tersebut sebagai karya yang luar biasa.
Buku ini dari segi komersialisasi sangat prospektif dan keberanian penerbit Ombak menerbitkan buku yang bermuatan local wisdom.

Menanggapi hal itu, Muhannis menilai bahasa Makassar jika diolah dengan baik akan menjadi ikon yang sangat bagus bagi perkembangan budaya. 


Siapa Muhannis Ara?



Drs. Muhannis Ara terlahir dengan nama Muhannis Daeng Lawaq pada 5 Juni 1959. Atas kecintaannya pada naskah kuno, Balai Arsip Nasional Makassar pernah menganugerahkan Piagam Penghargaan untuk dedikasinya menyelematkan naskah-naskah kuno.

Untuk penciptaan karya sastra, karyanya selalu ditampilkan pada berbagai even dan pertunjukan.


Muhannis pernah menjadi juara lomba cipta puisi daerah se-Sulsel di Unhas tiga tahun berturut-turut (2005,2006 dan 2007). Karya-karya seni lainnya yang lahir dari tangannya kerap dipentaskan mulai tingkat desa, nasional sampai internasional.
(rca/ik/)


Maluku Kobaran Cintaku diluncurkan Secara Nasional

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 11 Maret 2011 | Maret 11, 2011


Ratna Sarumpaet memposisikan kesenian sebagai alat perjuangannya, menyuarakan penolakannya atas kebijakan-kebijakan Negara yang dianggapnya menyimpang. Serta pemihakannya pada orang-orang yang tersudut oleh kebijakan kebijakan itu. Novel Maluku Kobaran Cintaku, karyanya yang terbaru juga mempertegas idealismenya. 

Karya-karyanya yang lain (drama/film), seperti Rubayat Umar Khayam, Dara Muning, Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah, Pesta Terakhir, Terpasung, Marsinah Menggugat, ALIA, Luka Serambi Mekah, Anak-anak Kegelapan, Jamila & Sang Presiden. 
 

Sebelumnya novel Maluku Kobaran Cintaku telah  launching di beberapa negara seperti di Belanda, Prancis, dan secara lokal di Maluku. Kali ini peluncuran novel secara nasional  dilakukan di Taman Ismail Marzuki, pada Jumat 11 Maret 2011.

Peluncuran  diikuti dengan diskusi terbuka yang menghadirkan, Prof Dr. Ahmad Syafii Maarif, Pendeta Gomar Gultom (Sekjen PGI), dan Usman Hamid (Kontras). Diskusi akan mengangkat tema-tema kemanusiaan, toleransi, dan HAM. Peluncuran novel ini juga dipastikan akan dihadiri sejumlah tokoh lainnya, seperti mantan Wapres H.M. Jusuf Kalla, Prof Dr. Musdah Mulia, dan R.D.P benny Susetyo.

Peluncuran novel ini juga dimeriahkan dengan musik dan tari-tarian Maluku. Ikut menampilkan Glend Fredly, sebagai putra Maluku, pembacaan nukilan oleh Tere Pardede, Imam Soleh, Harris Priyadi Bah dan Chimey Gozali.

Dikutip dari salah satu media di Maluku, Ambon Ekspress, Ratna Sarumpaet menyatakan, novel ini bisa disebut, satu dari sedikit karya sastra yang berlatar konflik Maluku, sebuah episode paling muram dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia dekade ini. Berkisah tentang sekelompok anak muda (Mey, Ali, Melky,Ridwan, Peter dan Aisah) yang terjebak dalam pusaran sebuah konflik yang menggerus kerukunan antar suku dan agama.

Disuguhkan dengan dramatis, dengan narasi sangat filmis, melalui novel ini Ratna mengingatkan kita, bahwa di tengah konflik Maluku ada pihak yang terus mencari keuntungan dengan tetap memelihara konflik itu untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Meski novel ini karya fiksi, penerima "The Female Special Award for Human Rights" (1999) dari The Fondation of Human Rights in Asia ini, dua tahun merelakan waktu, pikiran dan tenaganya melakukan riset dan menulis novel ini. Ia bolak-balik Jakarta – Maluku dan Maluku Utara untuk mendapat gambaran utuh mengenai konflik.


Novel 'Bugisku Tak Sekadar Pinisi' Karya Jac

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 19 Oktober 2010 | Oktober 19, 2010





Memahami Bugis dalam sebuah novel? Tunggu saja Novel 'Bugisku Tak Sekadar Pinisi' Karya Jac. Jacqueline Tuwanakotta adalah novelis asli Ambon, Maluku. Jac, demikian namanya disapa, Ia mantan  pramugari pesawat Garuda. Sudah 15 tahun Jac menekuni profesi yang telah membawanya keliling Indonesia dan dunia ini. Rupanya, syndrome jenuh juga menghinggapinya sehingga memilih beralih profesi sebagai penulis novel.

Sudah sebulan lebih dia di Makassar untuk merampungkan novel yang ditulisnya sejak setahun lalu. Meski bukan asli Sulsel, namun memilih menulis novel mengenai budaya Bugis.

Novel itu diberi judul "Bugisku Tak Sekadar Pinisi", yang rencananya akan diluncurkan 12 November mendatang di Kampus Unhas. Jac  memang asli Ambon tetapi lebih tertarik menulis novel tentang kebudayaan Bugis. Alasan  Jac, di Indonesia hanya ada dua daerah yang kebudayaannya diakui dunia sangat unik dan tua yakni Bugis dan Batak.

Dalam novel setebal 200 halaman itu, Jac lebih banyak mengupas tentang pesan yang terkandung dalam epos I La Galigo.  Jac juga banyak menceritakan tentang kehebatan perahu pinisi yang menjelajahi dunia. Padahal, perahu tradisional tersebut tidak menggunakan paku, melainkan pacak sebagai alat untuk merekatkan kayu sebagai bahan utama perahu.
Daya tarik lainnya bagi Jac sehingga banyak bercerita soal pinisi, karena ternyata pinisi ini dibuat oleh orang Lemo, Bulukumba. Sementara yang menggunakan perahu tersebut adalah Sawerigading yang berasal dari Luwu.

Agar novel yang ditulisnya lebih mengena di hati para pembaca novel di daerah ini, Jac mengaku sempat menetap di Tanjung Bira, Bulukumba, selama sepekan. Dia lebih banyak bergaul dengan nelayan guna melengkapi referensi novelnya. Tak hanya di Bira, Jac juga sempat masuk ke kawasan Ammatoa Kajang. Untuk merampungkan novel tersebut, ia butuh waktu satu setengah tahun. Jac mengaku, menulis novel tentang Bugis ini cukup sulit.

Gadis Berjaket Merah dan Takut Hujan Luncurkan Nisan

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 29 April 2010 | April 29, 2010


Salah satu perempuan penulis yang termasuk paling produktif di Sulsel, alumnus Jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin, Pratiwi Syarief, bakal meluncurkan buku barunya pada 2010 ini. Buku ketiganya ini diberi judul Gadis Nisan.

Sebelumnya gadis cantik ini sudah meluncurkan buku Gadis Berjaket Merah, buku yang memuat sembilan belas karya yang terdiri dari tujuh belas cerpen, satu essai dan satu kumpulan puisi. Lalu bukunya yang kedua, Gadis Takut Hujan. Ketiga kumpulan cerpen tersebut yang menjadi editornya adalah Kepala Humas Unhas M Dahlan Abubakar.

Kemampuan menulis Pratiwi Syarif telah muncul ketika dia masih di SMP dimana saat itu kisah-kisah dan pengalamannya ditulisnya melalui  Buku diary. Kemudian untuk memperdalam kemampuan menulisnya ia memilih kelas Bahasa sewaktu  masih di SMA negeri Barru.  Bakat menulisnya  menurun dari  sang ayah Syarif  Longi Wartawan Harian Pedoman Rakyat  yang  juga  Pimpinan Redaksi  “Tabloid “Pijar”. 

Karya-karya Pratiwi memiliki kekhasan setting cerita yang menawarkan keakraban dengan kehidupan sehari-hari, bahkan terasa akrab mengalir saja tanpa tedeng aling-aling tapi tetap bernas.

Dalam berbagai kesempatan Pratiwi selalu mengungkapkan bahwa dirinya memang menargetkan bisa melahirkan sebuah karya baru setiap tahun.  Buku ketiganya ini memuat 22 judul cerpen dan dijadwalkan diluncurkan di kampung halamannya, Barru, Sulsel.

(berbagai sumber)

Cinta Dan Realitasnya Yang Pecah-Pecah

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 09 Januari 2010 | Januari 09, 2010

Judul: Aku Di Sebuah Novel
Penulis: Ramli Palammai
Penerbit: P3i Press Makassar
Cetakan: Januari 2009
Tebal: 169 halaman

Sebuah titik rasa yang berbeda. Aku Di Sebuah Novel adalah novel pertama di Bulukumba yang ditulis oleh salah seorang manusia muda bernama Ramli Palammai, kelahiran Bulukumba, 1985. Bapaknya seorang petani, ibunya seorang tukang jahit.

Ada indikasi, Ramli sempat merasa gerah dengan gaya penulisan novel di tanah air yang kebanyakan memaksa pembacanya menyeruput begitu saja isi sebuah novel. Ibarat segelas minuman yang melihat jenis dan merknya saja maka sudah dapat dibayangkan bagaimana rasanya sebelum melewati tenggorokan. Membaca Aku Di Sebuah Novel membuktikan ada rasa yang agak berbeda disajikan oleh novelis berbakat yang juga seorang guru muda ini. Nanti masuk ke perut baru terasa apa yang telah diramunya di sana. Tebal novel dengan angka 169 adalah metafora yang begitu misterius.

Novel ini lahir dari sebuah catatan harian atas perjalanan sejarah hidup di sebuah kampus. Segala fenomena yang hadir di kampus dan beberapa peristiwa di luar adalah inspirasi yang mengisi dimensi pikir dalam proses penulisan novel ini. Konfliknya sebenarnya klise. Ada tokoh aku, peristiwa-peristiwa sengit dalam hubungan cinta, dan  perbincangan kehidupan yang jenuh terhadap realitas kampus yang mulai sesak  oleh pendiktean kroni-kroni kapitalis dari dunia luar.

Tokoh aku dikisahkan jatuh cinta pada seorang wanita yang dipanggilnya pelacur.  Ia merasa menemukan sisi paling penting dalam hidupnya, yaitu sebuah mimpi mencintai yang sungguh tak biasa. Mencintai seorang pelacur. Ini cara mencintai yang asing baginya. Pemuda yang datang dari dunia tradisi ketimuran yang kini berada di lingkungan metropolis dan menciumi bau hedonisme di mana-mana. Kisah hubungan keduanya bermula dari ketulusan namun sekejap berubah oleh arus seksualitas yang demikian kencang lalu kemudian mengalahkan pilihan mencintai-seperti mimpi sang tokoh aku pada mulanya.

Seperti kebanyakan kisah-kisah dramatik, perpisahan menghantui keduanya. Sang lelaki pun kemudian menentukan pilihan cintanya. Keputusannya adalah meninggalkan seonggok tubuh yang ia yakini berperan besar mengosongkan jiwanya. Sebuah perpisahan yang sangat mistis melemparkan sang lelaki jatuh ke kisah cinta yang lain. Perempuan ‘baik-baik’ bernama Monalisa adalah makhluk jelita yang kemudian berhasil mengubur jauh-jauh sang pelacurnya yang dulu. Sebuah realitas yang lazim, bau perempuan baik-baik itu tak lebih baik dari bau hedonisme yang dapat diendus di mana-mana.

Gaya penulisan di novel ini akan selalu memancing siapapun untuk berhadapan dengan novel yang ‘puisi.’ Ramli Palammai yang kerap bergaul dengan para penyair di Bulukumba adalah penyebab terkuat sehingga novel ini seolah ‘puisi’ di sisi lain. Alur peristiwa-peristiwa yang berloncatan dari setiap dimensi olah pikir penulisnya membutuhkan daya nalar kuat bagi pembacanya. Terlanjur sebuah titik rasa yang berbeda telah dituangkan ke dalam khazanah sastra tanah air. Satu dari sekian sisi pentingnya, novel ini begitu penting untuk dibaca bagi yang ingin memahami cinta dan realitasnya yang pecah-pecah. Tanpa bersandar pada alasan yang sekedar berlindung  dari kebetulan-kebetulan.

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday