Nasionalisme sebagai ideologi akan selalu menjadi sumur gagasan yang menarik bagi terciptanya karya sastra. Nasionalisme menjadi unik dan menarik ketika mengembara ke dalam ranah seni dan budaya. Sebahagian di antaranya menjadi propaganda. Sastra, salah satu ranah subur bagi nasionalisme manakala anak-anak bangsa sangat membutuhkan literatur yang mampu mencekoki otak mereka tentang paham -paham kebangsaan.
Banyak karya sastra dunia yang membicarakan nasionalisme. Karya-karya semacam Nyanyian Lawino (Okot P Bitek, Afrika Selatan), dan A Woman Named Solitude (Andre Schwarz-Bart, Perancis), Nolimetangere (Yoze Rizal, Philipina), Dr Chivago (Boris Paternact), The Banished Negroes (Wordsorth, Perancis), Ourika (Claire de Durass, Perancis). Di Indonesia pun tak terhitung jumlahnya karya sastra yang bermain di wilayah nasionalisme. Ada sedikit perbedaan dengan yang terjadi di Indonesia. Idealisme di satu sisi sesuai zaman yang memang menuntut keberanian. Tapi heroisme sastra terbukti tergerus saat nasionalisme dicomot sesuai rezim siapa yang sedang berkuasa.
Chairil Anwar, Rendra, Toto Sudarto Bachtiar, Pramoedya Ananta Toer adalah beberapa sastrawan Indonesia dari zaman yang berbeda namun bisa ditelusuri nafas nasionalisme dalam karya mereka. Tentu berbeda caranya dengan sejarawan, negarawan, atau politikus. Dan pemikiran mereka berikut cara ungkapnya akan menjadi pembanding yang menarik, bahkan bisa sebagai wacana tandingan bagi arus-arus pemikiran yang berkait dengan persoalan nasionalisme. Nasionalisme adalah cara menyatakan kesetiaan dan pengabdian individu harus diserahkan pada bangsa. Kelahiran nasionalisme bisa dari kesadaran kolektif, bisa pula kesadaran akibat rekayasa oleh yang berkuasa kepada yang direkayasa. Moralitas sastra menjadi penentu kadar apakah sebuah karya layak bernafas nasionalisme yang direkayasa atau tidak.
