
Tidak ada pertanyaan dengan tanda tanya besar dengan huruf tebal di sana. Kecuali mungkin sisa tanya tentang biaya setengah milyar hanya untuk deklarasi di atas pemukiman pemulung sampah Bantar Gebang. Setengah milyar rupiah yang bisa saja menusuk hati orang-orang miskin yang menyaksikannya melalui layar kaca. Apalagi bagi para wong cilik sendiri yang kebetulan hadir di sana. Begitu perih? Pasti. Ironis dengan konsep perjuangan wong cilik Mega-Pro. Terlebih dengan deklarasi SBY-Boediono yang menghabiskan lebih satu milyar rupiah. Bayangkan jika uang sebesar itu disumbangkan kepada kaum dhuafa. Lalu deklarasi cukuplah dilakukan di tempat sederhana.
Tiba-tiba kita menemukan tanah air yang berbeda di hari ini. Sebuah delarasi ternyata memerlukan juga sebuah puisi yang bisa dibolak-balikkan sesuai momen oleh seorang WS Rendra. Politik ternyata membutuhkan seorang penyair besar yang sejak orde baru dikenal independen dan tak berpihak itu. Puisi Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar dibacakan Rendra hanya karena tercantum nama Bung Karno di sana? Bisa jadi agar ada stimulan bagi rakyat yang menyaksikannya. Tidak ada tanya tentang independensi seorang seniman, budayawan dan masa depan seni itu sendiri. Padahal belum ada bentuk jelas dari desain rumah politik bagi seni budaya di tanah air ketika seniman dan budayawan terang-terangan berkampanye untuk capres tertentu.
Sangat rumit untuk memastikan sikap manakah yang paing ideal bagi seniman. Di satu sisi ada nuansa yang unik ketika seniman terkenal dikenali oleh rakyat sebagai simpatisan capres tertentu. Bisa jadi ada nilai tambah atau sebaliknya justru menjadi bumerang. WS Rendra berhak memproklamirkan pilihan politiknya. Itu adalah pendidikan politik yang bagus. Lalu bagaimanakah dengan proyek idealis dari seorang Rendra untuk mencerdaskan bangsa melalui seni budaya? Saya sendiri masih bingung. Jika seorang Rendra saja bisa pikun dan siapa tahu telah kehilangan cita rasa kebudayaan, nah apalagi dengan yang lainnya.