Hampir semua orang menulis dengan dasar keyakinan agama yang dianut, lingkaran sosial, budaya,dan sejarah di sekitarnya. Seorang penulis yang mengakrabi lingkup sosial, budaya, dan sejarah yang bernuansa Islami, dipastikan karyanya tidak jauh dari kesehariannya. Semua genre dan aliran sastra melakukan dakwah dengan cara dan ideologinya masing-masing. Bentuk propagandanya berbeda-beda tapi sama-sama estetis.
Ketika muncul manifesto kebudayaan yang melawan Lekra yang realis sosialis di masa orde lama maka banyak tudingan bahwa kaum manifestan adalah penganut prinsip humanisme universal dan bermoto lart pour lart, seni untuk seni. Ketika muncul puisi sufi, sastra religius dan sastra tasawuf maka orang manggut-manggut memahami bahwa itu dakwah islam dalam bentuk sastra.
Penulis sendiri masih meyakini bahwa sastra bukan anak kandung dari estetika, tapi dilahirkan oleh agama, teologi, konsep ketuhanan dan keyakinan. Estetika hanyalah sekedar bawaan alamiah yang dari bawah sadar. Biasnya, sastra adalah tetap produk proses untuk mempresentasikan identitas agama atau sosial politik dan budaya. Bagi Islam, manakala ajakan dan ajaran bermuatan dakwah maka itulah dakwah Islam. Jika sastra berdakwah meski dengan gayanya yang khas, sastra itu tetaplah dakwah. Pemikiran seperti itulah barangkali yang agak menyengat bagi penganut sastra untuk sastra, lart por lart, atau sastra murni.

kalo ada satra islam, ada sastra kristen juga gak?
BalasHapussastra kristen pasti ada. salam kenal
BalasHapus