Home » » Antara WIT dan WIB

Antara WIT dan WIB

Posted By Redaksi on Rabu, 23 September 2020 | September 23, 2020

 Oleh: Assyifa Barizza


Seperti hari-hari sebelumnya, setiap senja, di antara gemuruh ombak dan angin sore, aku selalu duduk di sini, di tepi pantai Tugulufa memandang langit yang berwarna kuning keemasan. Burung-burung camar beterbangan dengan siulannya yang menyejukkan hati, para muda-mudi, bercengkrama di sisi pantai dengan riang.

Di gazebo, aku mengeluarkan laptop dan mendudukkannya di meja. Mulai merangkai aksara demi aksara, hingga menjadi kalimat dan terangkum dalam cerita yang indah. Aku bukan penulis yang pandai memainkan diksi, hanya seorang perempuan yang hobi menulis dan mengirimnya pada koran dan majalah untuk dimuat. Beberapa kali sering ditolak, tapi aku tak pernah menyerah. Hingga sekarang tulisanku sudah mulai dilirik.

Sore ini, otak beku. Tak ada ide yang muncul. Apakah aku harus menulis kisahku sendiri? Tentang kisah percintaan yang dipisahkan oleh jarak yang selalu menciptakan rindu!

Benar saja, saat mengingat sang Kekasih yang tengah menimba ilmu di kota gudeg, Yogyakarta, rindu pun tak terelakkan. Bayangannya datang mengusik jiwa yang gundah. Ah, apa yang harus kulakukan? Memandangi fotonya saja, tidak pernah cukup bagiku.

Dua tahun yang lalu, di tempat ini. Dia mengajakku menikmati sunset, kemudian mengabadikan diriku dalam kamera miliknya. Siapa sangka, dia akan pamit untuk melanjutkan studi di kota WIB, propinsi yang berbeda waktu dua jam dari timur.

"Aku akan ke Jogja, Veena," ucapnya kala itu yang menimbulkan kabut di mataku. "Aku akan melanjutkan S2."

Aku berusaha kuat, mencoba tersenyum tegar, walau ada sedikit ketidak relaaan. Namun, apa hakku untuk menghalangi cita-citanya yang ingin menjadi seorang dosen?

"Pergilah, Kak Raka. Raih cita-citamu."

"Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu, gadis manis-ku?" sahutnya sembari menggemgam tanganku berjalan menyusuri tepi pantai sembari menatap langit yang berwarna jingga.

"Bukankah kita bisa saling video call?" Aku tersenyum padanya dan dia balas dengan elusan lembut di pipiku.

"Berjanjilah untuk menungguku, Veena."

Aku mengangguk. Lalu saling menautkan tangan. Berjanji untuk saling setia. Di saksikan sunset langit timur, kita saling berpandangan, tak ada kata yang terucap, hanya mata yang berbicara.

"Veena?"

Terdengar suara berat, membuat lamunanku terjeda dan memilih untuk menutupnya. Karena cerita tentang Kak Raka, tak pernah ada habisnya. Selalu indah untuk dikenang. Lelakiku, yang selalu menemaniku saat dia masih berada di sini.

"Kak Dave?" Aku menjawab sapaan dari laki-laki yang langsung duduk di hadapanku. Dia ini adalah sahabat dekat Kak Raka, jadi kami cukup akrab.

"Kau sepertinya menyukai tempat ini."

"Iya. Di sini, kadang aku menemukan ide untuk menulis."

"Bukan karena alasan lain?"

Sejenak aku menghela napas, memalingkan muka ke arah laut, memandang perahu nelayan yang mulai berseliweran. Tak bisa kutampik ucapan Kak Dave, alasan lain ke tempat ini, untuk mengenang kisah dengan Kak Raka. Kekasih yang sudah dua tahun di rantau.

"Apa kau yakin Raka masih setia padamu?" Apa yang baru saja terlontar dari mulut Kak Dave, membuat keningku berkerut.

"Apa maksudmu, Kak? Aku tidak pernah meragukan cintanya."

"Jangan terlalu naif jadi perempuan, Veena."

"Stop, Kak Dave. Jangan pernah menjelekan dia di hadapanku." Suaraku agak kutekan, berusaha untuk tidak memperlihatkan emosi yang langsung hadir saat ini juga.

"Aku hanya mengingatkan. Karena … aku tidak ingin kau disakiti."

"Sudahlah, Kak. Aku lebih tahu tentang Kak Raka daripada kamu." Segera kumatikan laptop, lalu berkemas untuk pulang. Langit sudah mulai gelap, pertanda siang akan segera berganti malam.

Perlahan aku meninggalkan pantai, tidak peduli dengan Kak Dave yang sepertinya masih ingin berbicara denganku. Namun? Apa maksud dia menjelekkan Kak Raka? Bukankah mereka adalah sahabat sejak dari bangku putih abu-abu?

Lagipula, mana mungkin Kak Raka tidak setia? Sejak dia di Yogyakarta, hubungan kami baik-baik saja. Setiap ada waktu luang, dia selalu berbicara tentang makanan khas Jogja, jalan Malioboro, pasar Beringharjo, candi Borobudur, candi Prambanan, dan tempat-tempat wisata yang dia kunjungi.

"Suatu saat, aku akan mengajakmu ke sini." Begitu selalu ucapnya setiap mengakhiri perbincangan via telepon. Tentunya, ucapan itu selalu aku aminkan, semoga suatu saat terkabul.

***

 

Malam kian beranjak, mata masih enggan terpejam. Kembali aku membuka laptop, menuangkan ide yang ada di pikiranku saat ini. Renjana, itu tema yang aku akan tulis. Tentang kerinduan yang berlebih pada sang kekasih. Bukankah ini menggambarkan suasana hatiku sekarang?

Sejenak, aku membuka galeri foto di ponsel, menatap wajah tampan sang Pujaan yang tersenyum. Hatiku menghangat, tatkala puas menatapnya. Lalu, ide mulai bermunculan, tangan pun dengan lincah menari di atas keyboard laptop.

Saat asyik merangkai kata, ponselku berdering. Ada notifikasi pesan yang masuk di aplikasi WhatsApp. Senyumku mengembang, saat melihat nama yang tertera. Ah, sepertinya dia tahu, kalau aku begitu merindukannya.

Senyuman itu hilang saat membaca pesan. Tanpa seizinku, air mata sudah mulai membasahi pipi. Aku menantikan kata rindu darinya, tapi kenapa dia menyebut perempuan lain di pesannya?

[Vee. Maafkan aku. Ada perempuan yang menyukaiku. Di sini, dia sering membantuku di kala kesusahan. Sore tadi dia bilang, kalau dia menyukaiku dan ingin menjadi kekasihku. Aku tahu ini menyakitkan bagimu, Vee.]

Aku berharap, pesan itu hanyalah prank dari Kak Raka. Atau, hanya sebuah mimpi buruk. Ternyata dugaanku salah, selang beberapa menit kemudian, dia kembali mengirim pesan dan juga foto dirinya bersama seorang gadis cantik.

Air mata mulai menganak sungai, dan kubiarkan begitu saja. Ingin rasanya, di antara desau angin dan bunyi burung malam, berteriak menumpahkan rasa sakit  yang dihadiahkan oleh laki-laki yang katanya mencintaiku.

Aku tidak bisa membaca pesannya lebih lanjut, itu akan semakin menyakitkan. Kulemparkan ponsel ke pojok kamar, lalu menenggelamkan diri dalam tangisan. Mengurai rasa sakit yang tak terbahasakan.

Jadi yang dikatakan Kak Dave tadi di pantai itu benar adanya? Sepertinya, dia sudah mengetahui sesuatu tentang Kak Raka dan aku malah mengabaikan perkataannya.

Aku memang perempuan naif. Terlalu percaya dengan Kak Raka dan janji yang pernah dia ikrarkan sebelum pergi. Nyatanya, dengan adanya jarak yang membentang, dia melupakan segala janji yang pernah dia ucap. Menyedihkan.

***

Hari demi hari telah terlewati. Aku lebih banyak menyibukkan diri dengan menulis, dan juga menjadi seorang pendidik di sekolah menengah atas.

Kenangan tentang Kak Raka tak bisa terhapus begitu saja dari benak. Dia tetap masih ada, meski namaku di hatinya telah tergantikan perempuan lain. Rindu masih setia menemani, meski itu bukan hakku lagi.

Kak Raka, bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu, sementara banyak waktu yang telah kita lewati bersama. Banyak kenangan yang telah kita rangkum dan menjadikannya kisah yang indah. Dan kenapa kau mengoyaknya? Apakah kenangan yang telah kita ciptakan itu, tidak ada artinya bagimu?

Bulir air mata kembali membasahi pipiku.

Kenapa diriku selemah ini? Seorang lelaki pengkhianat, tidak pantas untuk ditangisi. Yah, harusnya aku belajar untuk melupakannya, tidak harus memelihara luka ini.

"Hapus air matamu." Seseorang yang selama ini selalu hadir di saat aku menangis, datang menyodorkan selembar sapu tangan. Kak Dave, dia selalu datang, berusaha untuk menghiburku.

"Makasih, Kak," sahutku sembari menghapus air mata.

"Sampai kapan kau harus menangis?"

"Entahlah, Kak. Setiap kali aku mengingat Kak Raka, aku tidak bisa tahan untuk tidak menangis."

"Percayalah, Raka juga mencintaimu. Dia hanya membalas budi perempuan itu."

"Maksud, Kakak?" Aku kaget mendengar perkataan Kak Dave.

"Tadi malam, Raka menelponku. Menjelaskan semuanya. Di sana dia pernah demam seminggu, dan perempuan itu yang merawatnya, membantunya di setiap dia kesulitan di sana. Makanya, dia tidak enak menolak perempuan yang bernama Anandita itu.  Oh, ya, Raka meminta maaf padamu." Kak Dave mengakhiri bicaranya.

Sayangnya, apapun yang dikatakan Kak Dave tentang Kak Raka, tidaklah menyembuhkan rasa sakitku. Pembenaran apapun yang dilakukan olehnya, tetaplah tidak akan mengubah keadaan. Dia sekarang milik orang lain.

Sejenak aku tertawa. Mencoba menetralisir hati yang bergejolak di dalam sana. Menurutku, seberapa banyak godaan yang datang, jika lelakimu setia, dia takkan pernah meninggalkanmu. Jangan jadikan balas budi sebagai alibi untuk menutupi kebusukan.

Apakah dia tahu? Sejak dia menuntut ilmu di provinsi yang istimewa itu, beberapa orang yang datang mencoba menggoyahkan kesetiaanku, tapi aku bertahan untuk tetap menjaga hatiku untuknya.

"Apakah hatimu tidak ada tempat orang lain, Veena?" Kak Dave memecahkan lamunanku.

"Maksud, Kak Dave?"

"Biarkan aku menyembuhkan lukamu." Kak Dave mencoba meraih tanganku dan menggemgamnya.

Aku menggeleng pelan. "Butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka itu, Kak. Aku tidak ingin menjadikan Kakak sebagai pelampiasan. Untuk sementara, aku ingin sendiri dulu."

"Aku memahami perasaanmu, Vee. Dan aku akan tetap menunggumu."

Sejenak, kutatap laki-laki bermata elang itu. Kutemukan sebuah ketulusan di sana. Laki-laki yang bekerja di kepolisian itu, mencoba meyakinkanku dengan mengecup tanganku. Atau, jangan-jangan dia cuma kasian terhadapku?

"Kenapa harus aku, Kak? Banyak perempuan di luar sana yang bisa Kakak pilih." Dengan profesinya sebagai polisi, tentunya banyak perempuan yang ingin menjadi kekasih dari Kak Dave. Apalagi dengan wajah tampan yang menambah daya tariknya.

"Karena … aku menyukaimu sejak pertama bertemu denganmu. Sayangnya, kau sudah milik sahabatku, Raka."

"Maaf, Kak. Untuk saat ini, kau tetap seorang sahabat bagiku."

"Aku memahami itu." Kak Dave tersenyum lembut. "Aku akan menunggumu sampai kau jatuh cinta padaku."

Senja mulai lenyap di langit. Aku dan Kak Dave perlahan meninggalkan kafe yang terletak di tepi pantai, tempat ternyaman yang sering kukunjungi.

***

Aku baru saja menyelesaikan deadline tulisan yang akan kukirim pada sebuah majalah, ponsel yang tergeletak di atas nakas berdering. Ada pesan yang masuk, dari nomor yang tak kukenal.

[Kau perempuan beruntung, hanya kau yang dicintai oleh Raka. Aku salah, aku pikir, seiring dengan waktu, dia bisa mencintaiku. Nyatanya tidak.] Isi pesan itu.

[Maaf, anda siapa?]

[Anandita. Kekasih Raka di Jogja.]

[Tapi setidaknya ada telah menang untuk saat ini, aku hanya masa lalu, dan anda masa depan.]

[Aku menyerah. Hatinya hanya milikmu.]

[Aku yakin, suatu saat anda bisa memenangkan hatinya.]

[Pantas saja Raka begitu mencintaimu. Kau gadis yang sangat baik. Oh, ya, Maaf, aku mengambil nomormu dari ponsel Raka secara diam-diam.]

Tidak kubalas lagi pesan dari perempuan yang bernama Anandita itu. Aku akui, masih ada rasa yang tersimpan di dalam sana, tapi bukan berarti aku akan berjuang untuk mendapatkan cinta Kak Raka kembali.

Yang telah pergi, biarkan saja. Setelah dia mampir di hati perempuan lain, aku tidak punya alasan untuk menahannya bersamaku. Aku akan mencoba belajar untuk mengikhlaskannya. Semoga waktu, bisa menghilangkan segala rasa yang pernah tumbuh untuk Kak Raka.

Aku hampir terbunuh oleh rindu, tapi tidak dengan cintaku. Aku akan merawatnya, meski belum tahu siapa yang akan memilikinya. Bisa saja dari luka itu, akan tumbuh seribu rindu untuk seseorang yang pantas mendapatkannya.

Apakah cintaku akan berlabuh pada Kak Dave? Atau pada laki-laki lain? Entahlah. Biarlah waktu dan takdir yang menjawabnya.

Tidore, 21 September 2020

Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday