Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Rak Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rak Buku. Tampilkan semua postingan

Kesaksian Bung Tomo

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 10 November 2009 | November 10, 2009


Judul Buku: Pertempuran 10 November 1945,
Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah
Penulis : Bung Tomo (Sutomo)
Penerbit : Visi Media
Terbit : Februari 2009

Melalui siaran radio BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia), wartawan, penyiar dan pejuang itu kembali membakar api semangat pemuda-pemuda di seluruh kota Surabaya: "Saoedara-saoedara, didalam pertempoeran-pertempoeran jang lampaoe, kita sekalian telah menundjukkan bahwa ra'jat Indonesia di Soerabaja pemoeda-pemoeda jang berasal dari Maloekoe, pemoeda-pemoeda jang berasal dari Soelawesi, pemoeda-pemoeda jang berasal dari Poelaoe Bali, pemoeda-pemoeda jang berasal dari Kalimantan, pemoeda-pemoeda dari seloeroeh Soematera, pemoeda Atjeh, pemoeda Tapanoeli & seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada di Soerabaja ini."
Nukilan pidato Bung Tomo di atas dicuplik dari buku Pertempuran 10 November 1945 Kesaksian & Pengalaman Seorang Aktor Sejarah. Sebuah buku yang berbicara dengan alur yang begitu hidup. Buku ini membawa pembaca langsung menuju peristiwa penting di area hotel Orange (sekarang hotel Majapahit). Buku yang berisi delapan belas bab ini ditulis langsung oleh Bung Tomo. Bung Tomo yang juga wartawan Kantor Berita Antara menuliskan narasi pertempuran 10 November dengan apa adanya tanpa berlebihan. Seolah pembaca disuguhi film perang yang dramatis dan penuh aksi heroik.
Bung Tomo adalah seorang orator yang hebat di masanya. Pidatonya yang inspiratif dan menggugah semangat arek-arek Suroboyo hingga kini terus diingat dan menjadi kebanggaan masyarakat Surabaya. Pemberian gelar pahlawan untuk Bung Tomo diberikan dua puluh tujuh tahun setelah Bung Tomo meninggal di Mekah.
Pertempuran 10 November 1945 adalah sebuah pertempuran besar pertama yang meletus setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Peristiwa heroik itu pantas dikenang dan direnungi. Kisahnya menjadi wajib dibaca oleh semua orang yang merasa dirinya bagian dari Indonesia!
Peristiwa pertempuran yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan ini merupakan salah satu penentu tetap berdirinya Republik Indonesia pada masa-masa sesudahnya hingga saat ini. Situasi pertempuran, kronologisnya, arsiteknya, tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya dan segala resiko perjuangan tercantum jelas di buku ini. Bung Tomo, salah satu aktor sejarah, tokoh utama di balik peristiwa pertempuran di Surabaya itu, enam tahun kemudian (1951) mengisahkannya dengan jujur, lugas dan sangat detail.

Selamat dan Semangat Hari Pahlawan.

Perjalanan Prajurit Para Komando

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 05 Oktober 2009 | Oktober 05, 2009


Judul Buku: "SINTONG PANJAITAN" : "PERJALANAN SEORANG PRAJURIT PARA KOMANDO"
Penulis: Hendro Subroto
Kata Pengantar: Prof. Taufik Abdullah
Buku ini menarik bagi para penggemar cerita militer dan kontroversi yang melingkupi para Jenderal. Inilah buku yang peluncurannya langsung menuai komentar dan kontroversi, utamanya bagi pihak-pihak yang bersinggungan dengan isi buku, antara lain mantan capres dari Partai Gerindra, Letnan Jenderal TNI Purn Prabowo Subianto dan mantan capres dari Partai Hanura, Jenderal TNI Purn Wiranto.
Sintong Hamonangan Panjaitan, nama lengkap sosok Jenderal yang menjadi orang kepercayaan mantan presiden BJ Habibie ini. Pengalamannya yang banyak berkisar pada operasi tempur mulai dari penumpasan Kahar Muzakar di Sulawesi, Operasi Anti Teror Woyla di Bandara Don Muang serta penumpasan gerilyawan Paraku di Kalimantan Utara dimana dia membawahi beberapa sosok populer di militer Indonesia membuatnya menjadi sosok yang cukup layak diperhitungkan.
Jenderal AM Hendropriyono yang merupakan mantan kepala BIN (Badan Intelijen Negara) misalnya, ia pernah menjadi anak buah Sintong saat penumpasan Paraku di Kalimantan Utara. Sintong yang kerap dipanggil Batak oleh sosok jenderal kontroversial Leonardus Benny (LB) Moerdani merupakan komandan penyerbuan dan pembebasan pesawat Garuda yang dibajak di Bandara Don Muang Thailand. Operasi yang sukses ini (meski menuai sinyalemen adanya campur tangan intelijen) melambungkan nama Sintong dan Kopassus, satuan dimana Sintong cukup banyak terlibat didalamnya.
Untuk memuaskan keingintahuan pembaca, Hendro Subroto, pengarang sekaligus wartawan perang dan militer bahkan menempatkan drama peran dan situasi pencopotan Letjen Prabowo Subianto dari Panglima Kostrad, keanehan situasi saat peristiwa Mei 1998 dan peran Jenderal purn Wiranto pada peristiwa genting yang mengawali kejatuhan mantan Presiden Soeharto ini.
Saat terjadi kerusuhan Mei 1998 misalnya, Sintong mempertanyakan mengapa Jenderal purn Wiranto bersama para pejabat teras ABRI pada tanggal 14 Mei 1998 tetap berangkat ke Magelang untuk mejadi inspektur upacara serah terima PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Divisi II.
Sintong juga mempertanyakan mengapa Jakarta seperti dibiarkan tanpa penjagaan meski pasukan-pasukan garnisun ibu kota sudah siap dan tinggal menunggu perintah.
Disisi lain, Sintong juga mempertanyakan mengapa Prabowo menolak dicopot dari Pangkostrad dan menimbulkan praduga kurang baik karena menempatkan pasukan-pasukan disekitar kediaman BJ Habibie sehingga Habibie yang khawatir dikudeta dan bisa menjadi korban terpaksa mengungsikan keluarganya serta memerintahkan Jenderal Wiranto untuk mencopot Prabowo hari itu juga meski orang kepercayaan Prabowo, yaitu Danjen Kopassus Mayjen Muchdi PR dan Kepala Staff Kostrad Mayjend Kivlan Zen sudah membawa surat dari Jenderal TNI Purn AH Nasution agar Prabowo diangkat sebagai KSAD, Subagyo HS sebagai Panglima TNI dan Wiranto sebagai Menhankam saja (dalam arti kata lain Wiranto dibuat agar tidak punya kendali pasukan)
Membaca buku Sintong untuk bagian kerusuhan Mei 1998 ini memang tidak akan lengkap jika kita sebelumnya belum membaca buku BJ Habibie, “Detik-Detik yang Menentukan”, Buku Wiranto “Bersaksi Ditengah Badai” dan buku Kivlan Zen bertajuk “Konflik dan Integrasi TNI AD”. Sebagai bahan pembanding agar tetap objektif menelusuri drama kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada tewasnya ratusan orang, porak porandanya Jakarta dan jatuhnya penguasa orba, Presiden Soeharto.
Yang menarik adalah adanya kisah mengenai Prabowo Subianto saat masih menjadi Kapten di Kopassus dan menjadi anak buah Letjen Purn Luhut Panjaitan (mantan Menteri Perindustrian dan Dubes RI di Singapura), yaitu tentang rencana Prabowo menangkap LB Moerdani dengan dugaan kudeta terhadap Presiden Soeharto. Kisah ini menarik karena melatar belakangi permusuhan antara Prabowo dengan orang terkuat kedua di Indonesia dimasa tahun 80-an tersebut. Kisah ini juga menarik karena bisa menjadi rujukan mengapa LB Moerdani yang menjadi orang kepercayaan presiden Soeharto tiba-tiba terpaksa dicopot dari posisinya sebagai Panglima ABRI dan digantikan Jenderal TNI Try Sutrisno menjelang Sidang Umum MPR 1998.
Bagi penggemar buku militer dan kisah-kisah TNI, buku Sintong Panjaitan ini cukup layak dikoleksi. Satu hal menarik yakni kebingungan yang tambah menjadi disebabkan pertanyaan penasaran mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah dari orang-orang yang berperan dimasa kritis Mei 1998.
Dirgahayu TNI Republik Indonesia. Di pundak bapak-bapak prajurit yang perkasa kami titip keselamatan republik ini!

September, Novel Sejarah Hitam

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 01 Oktober 2009 | Oktober 01, 2009


Judul: September

Pengarang: Noorca M. Massardi
Penerbit: Tiga Serangkai, 2006
Tebal: 622 Halaman

Sebuah kalimat tercetak: "Sebuah bangsa telah terluka. Luka itu tidak akan pernah terlupakan dan tidak akan terhapuskan untuk selama-lamanya… " cukup provokatif menghiasi sampul hitam novel September karya Noorca M. Massardi, seakan menyeret ingatan kita pada sejarah kelam bangsa Indonesia yang dipicu oleh Gerakan 30 September 1965.
Tapi jangan tergesa membayangkan detik-detik yang mencekam. Karena kita harus bersabar mengikuti petualangan Darius, manajer senior yang di-PHK karena pabrik kecap Mas Koki tempatnya bekerja dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Karena ”masih punya otak, punya kaki, dan punya tangan”, Darius berangkat mencari pekerjaan. Di dalam Bis Kota Darius jatuh pingsan setelah bertemu dengan Bo Gesti, seorang pemuda yang begitu mirip dengan dirinya sendiri.

Setelah sadar, Darius menghadapi hal-hal aneh yang terasa sudah menjadi bagian dari masa lalunya, terutama ketika tubuhnya bisa merasuki tubuh orang lain. Dalam tubuh Bo Gesti, Niko Firdaus maupun bintang film Johan Bagus Redana, Darius memasuki kehidupan-kehidupan borjuasi muda metropolitan dengan segala dinamika dan romantikanya. Termasuk hubungan seksual antar dan sesama jenis.

Merasuki tokoh inilah, yang dipakai Noorca untuk mengintip perjalanan sejarah. Detik-detik sejarah yang mencekam itu, dimulai dari pesan pendek yang mengabarkan bahwa malam itu ibu kota tegang dan mungkin akan terjadi peristiwa penting. Sebuah peristiwa kudeta terjadi ... tujuh samurai yang disewa warga kampung itu dibunuh semua. Para banditnya justru yang sekarang menguasai seluruh desa. Bahkan, kepala kampung dan istrinya juga disandera...

Dari sinilah pembaca mulai diajak untuk membuka kembali ingatan sejarah dan mengingat nama-nama. Hal itu penting karena tokoh-tokoh sejarah yang dihadirkan oleh Noorca telah dibolak-balik susunan hurufnya, misalnya Letjen Mahya Nida (Ahmad Yani?), Jenderal Tasnio Hanu (AH Nasution?), Wakil PM Alimenje (J. Leimena?), Letnan Errie Pandeten (Pierre Tendean?) dan lain-lain. Nama-nama itu mau tidak mau mengingatkan kita pada tokoh-tokoh bersejarah seputar peristiwa G 30 S PKI, hanya saja hari dalam novel Noorca itu bertanggal 10 september.

Maka untuk mengetahui bagaimana kronologis yang sebenarnya, Darius merasuki tubuh Kolonel Djiwakarno, seorang ajudan presiden. Tidak hanya sebagai saksi sejarah, Darius ternyata juga mengubah sejarah itu sendiri. Apalagi ketika ia merasuki tubuh tokoh paling penting yaitu Presiden Sukresno, yang digambarkan sudah melek iptek dan terbiasa menggunakan komputer, internet dan mempunyai situs pribadi.

Pada waktu itu opini publik sedang dikuasai oleh militer, melalui media Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Kedua media itu dimanfaatkan untuk menebar isu tentang penganiayaan para jenderal oleh perempuan-perempuan Gerwani di lubang buaya. Tak pelak, isu itu mengakibatkan pembantaian yang meluas terhadap ratusan ribu orang yang dituduh sebagai anggota dan terkait dengan Paki, Partai Kiri yang dianggap berada di belakang penculikan dan penganiayaan itu.

Melihat semua itu, Darius dalam tubuh ”Putra Sang Surya” itu tidak tinggal diam. Ia bergerak mengubah sejarah dengan mengerahkan kemampuan tokoh-tokoh yang pernah dirasukinya. Yaitu Niko Firdaus (pemimpin redaksi harian Novum), Tamara, Nadya Duvierge dan Bo Gesti.

Empat sekawan itu berhasil mematahkan propaganda hitam, dan akhirnya memojokkan Mayjen Theo Rosa selaku Panglima Komando Pasukan Cadangan AD (Kopascad), untuk mengakui sebagai dalang kudeta september itu di depan DPR. Theo Rosa pun mengakhiri hidup secara tragis dengan menembakkan pistol, setelah menyampaikan sebuah pidato pengunduran dirinya. Adegan bunuh diri itu menjadi begitu sensasional ketika secara langsung disiarkan oleh televisi.

Kenyataan itu pasti akan meruntuhkan kronologis sejarah yang sudah dibangun pembaca. Tapi tak masalah karena menurut Noorca, novel ini seratus persen fiksi. Dan seperti cerita fiksi lainnya, Noorca harus mengembalikan Darius yang terjebak dalam dimensi lain ke dalam kehidupan nyata. Darius tersadar dan mendapati dirinya masih di rumah dan belum berangkat mencari pekerjaan. Jadi benarkah semua yang dialami Darius itu?

Entahlah, yang jelas ketika tersadar, Darius mendapati bagian dari perjalanan itu hadir dan nyata. Melalui novel ini, Noorca sepertinya ingin menyodorkan pemahaman baru tentang peristiwa kudeta itu. Apalagi ketika novel ini menyinggung sejarah penting tentang terbunuhnya Arief Rahman Hakim. Benarkah dia sendiri yang terbunuh atau orang lain?

Yang menjadi pertanyaan mendasar ketika membaca novel ini adalah, siapa sebenarnya Darius? Apakah ia adalah gambaran Noorca itu sendiri, karena mantan manajer kecap Mas Koki itu bertanggal lahir sama, yaitu 28 Februari. Atau jangan-jangan Noorca juga sedang terasuki oleh sosok Darius. Novel ini cukup berhasil menghadirkan persepsi baru terhadap segala kejadian seputar 30 September di Indonesia.
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday