Latest Post

Isbedy Stiawan ZS Yang Masih Mengalir Deras

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 19 Juli 2009 | Juli 19, 2009


Pertama kali saat membacakan beberapa puisinya di radio, penulis tersadar puisi-puisinya memang ditulis dengan penuh energi. Siapapun yang membaca dan mendengarkannya mungkin juga akan ketularan energi yang tak dapat didefenisikan itu. Siapapun orang Indonesia yang biasa membaca rubrik sastra di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jawa Pos, dan puluhan media cetak lokal dan nasional lainnya pasti akan mengenal nama Isbedy Stiawan ZS.

Ia salah seorang sastrawan nasional paling produktif kelahiran Tanjungkarang, Lampung pada 5 Juni 1958. Di samping kesibukannya sebagai cerpenis, penyair dan esais, ia juga aktif di Dewan Kesenian Lampung dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Pernah diundang ke berbagai pertemuan sastra dan budaya di Tanah Air dan luar negeri seperti Malaysia, Thailand. Sempat membacakan puisi-puisinya di Utan Kayu Internationan Binnale (2005), Ubud Writers and Readers Festival (2007), dan di berbagai tempat lainnya.

Beberapa dari puluhan karyanya antara lain: Badai (1984), Akhir (1984), Khalwat, Membaca Bahasa Sunyi, Lukisan Ombak, dan antologi-antologi puisi Cermin Langit, Puisi Indonesia 1987, Dari Negeri Poci 2 (1994; F. Rahardi [ed.]), Resonansi Indonesia (2000), dan lain-lain.

Agak berbeda dengan kebanyakan sastrawan yang dibesarkan oleh media cetak, Izbedy ternyata tidak hanya mengandalkan sastra cetak untuk mengalirkan karyanya. Internet adalah rumah kedua bagi tulisan-tulisannya yang seperti air bah. Secara tidak sengaja beberapa hari lalu penulis menemukan blog pribadi sastrawan luar biasa ini di blog kebun kata. Energinya masih mengucur deras meski tak lagi berusia muda.

Menikmati karya-karyan Izbedy seolah bermukim di sebuah titik alam semesta di mana kita bisa melongok ke setiap penjuru langit. Pancuran olah pikir dan rasa yang dituangkannya menandai waktu dan ruang tak terbatas tapi terjamah. Di sana Izbedy bertapa namun bergerak liar kesana kemari. Simak saja beberapa puisinya berikut ini.

berteman
mentari tak akan pernah menyapaku
sebab pagi berlalu selagi aku masih lelap
setiba fajar tadi, seusai subuh yang membuluh
dan aku akan beranjak begitu di ubunku dihujani matahari
atau mendung yang menggantung di ujung rambut putihku...

aku pun bergegas, mengumpulkan sisa rempah
yang ditinggal ayam atau cacing
entah ke mana, apa pula
hingga malam lagi, dini hari

"tuhan, jadikan aku berteman dengan matahari," bisikku


aku selalu merindu matahari, seperti tanah merindukan pohon
seperti pohon akan selalu berharap hujan
atau pantai yang kangen pada ombak
tapi apakah peduli mentari, kala aku tak dulu menyapa

adakah sinar akan kubaca jika retinaku katup
apakah kulihat kelebat sekikarnya aku terpejam
bahkan tak pernah ada debar
sekiranya aku tak fahami denyutnya

sebagaimana tak kuakrabi jantungku
pabila di sana sesungguhnya ada rindu...


2009


fajar lain
seperti pucuk daun,
malam terkulai dan embun membelai
mungki sudah lama kutinggal bulan
kulupakan bintang

juga wajahmu menggoda
aku akan tetap berlayar
membelah laut kelam

sedang di pembaringan,
kau sudah menarikku
ke dalam mimpi
dan embun seperti ujung lidahku
tetap menjilati
ujung malam

amboi, sudah hampir aku sampai padamu
fajar lain....
"gegaslah membasuh, lelap di teras subuh."
buang sendu,
jatuhkan ragu!

*juni 2009


Memasuki Dirimu
bila kau belum juga fahami aku
sebaiknya ambil jarak lebih jauh
karena biasanya dari kejauhan
kau bisa melihat seluruhnya
dan merasakan rindu.

kalau tak, kau mesti makin merarapat
karena dengan merasakan aroma
kau mampu mengakrabi aku,
atau masuk ke dalam tubuhku
karena begitu tak lagi luput
mengetahui diriku.

sebab, selama ini aku mencintaimu
sebab aku sudah masuki dirimu
meski masih banyak pula
sesungguhnya dirimu...

*Juni 2009


Izbedy Stiawan SZ, hingga hari ini masih merupakan salah satu tonggak penting "invasi" sastrawan daerah yang datang untuk meluluhlantakkan sentralisasi seni budaya termasuk sastra di ibukota. Luar biasa, sebab tidak semua sastrawan daerah memiliki nyali seperti Izbedy. Ia tetap nyentrik, masih berambut gondrong di usia tua, dan bernyali.







Husni Jamaluddin, Panglima Puisi dari Mandar

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 18 Juli 2009 | Juli 18, 2009


Emha Ainun Nadjib menyempatkan membaca puisinya di Pemakaman PWI Sudiang di mana penyair ini dikebumikan. “Husni Memasuki Alam Terang dan Menjadi Cahaya ,” begitu lantun Puisi Cak Nun saat itu. Husni Djamaluddin lahir di Mandar, Sulawesi Barat, 10 November 1934. Husni wafat pada 24 Oktober 2004 dan beberapa karya besarnya diwariskan untuk Indonesia antara lain: Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku (1973), Anu (1974), Toraja (1979), Sajak-sajak dari Makassar (1974), Bulan Luka Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan antologi Puisi ASEAN Buku III (1978).

Kampung halamannya, Sulawesi Barat tidak terlepas dari peranan besar dari penyair, kolumnis, wartawan senior dan politikus ini. Sampai-sampai Husni datang dengan menggunakan kursi roda hanya untuk mendengarkan pengesahan Sulawesi Barat menjadi provinsi, padahal beliau dalam keadaan sakit parah waktu itu. Ternyata kata Malaqbiq yang kini menjadi ikon provinsi ternyata lahir dari pemikiran sang beruang dari mandar ini. Malaqbiq terpancar jelas pada putra Tinambung yang sempat menjabat ketua dewan pembentukan provinsi Sulawesi barat ini.


Penyair energik kelahiran Tinambung ini mengibaratkan dirinya adalah benang putih. Benang yang ditenun oleh wanita Mandar dengan sangat sabar, dan menjadikan sarung mandar terkenal ke penjuru nusantara. Ada keikhlasan dan kesabaran di dalam benang putih kampung kelahiran almarhum Husni djamaluddin sang bannang pute. Indi tia to muane bannang pute sarana meloq di bolong melok di lango-lango satu dari sebelas kalindaqdaq kamuanean (puisi patriotisme). Artinya aku ini pahlawan, adalah benang putih, siap basah dan siap diberi warna. Penggalan kata “bannang pute” yang berarti benang putih kini melekat menjadi julukan buat almarhum Husni Jamaluddin “Sang bannang pute”.
Menikmati puisi-puisi Husni Jamaluddin adalah ibarat melakukan perjalanan wisata di tengah alam yang sejuk dan melintasi sejarah-sejarah yang pernah ada. Diksi dan kemahirannya memilih metafora sangat dikagumi oleh penyair nasional lainnya.

BUDHA DALAM STUPA

kuintip kau dalam stupa
kuraba lenganmu yang luka
Budha
kita alangkah
beda
kau
alangkah tenteram
dalam stupa
alangkah mantap
dalam pengap
duduk bersila
duduk
yang khusuk
aku
alangkah sangsi
dalam berdiri
di muka bumi
alangkah khawatir
dalam getir
hidup sehari-hari
alangkah gelisah
dalam melangkah
ke arah
entah
langit kaurebut bumi kaududuki
dengan damai dalam semadi
langit dan bumi lebur menyatu
dalam debur jantungmu
dalam utuh
ruh
dan tubuh
langit aku rindu langit biru terbentang jauh diatas sana
bumi yang kuhuni bumi yang tak kutahu peta urat nadinya
langit tetap teka-teki diatas ubun-ubunku
bumi tetap menggerutu di bawah telapak kakiku
debar jantungku deburnya sendiri
cemasnya sendiri
kurasakan sendiri
karena pecah
jiwa
dan raga
di matamu bulan memancar
bila malam terkapar
di wajahmu muncul matahari
ketika pagi menanti
mataku adalah jendela dari sukma yang compang-camping
wajahku adalah cuaca siang ketika matahari hilang
adalah cuaca malam ketika bulan tak datang
Budha
alangkah bedanya
kita
kau
adalah batu
batu yang diam
batu yang hening
batu yang semadi
dalam stupa

dalam diammu
dalam heningmu
dalam semadimu
dalam stupa
aku merasa
seperti kausindir
sebab kutahu
dari mulutku
telah mengalir
beribu kata
tanpa
sebutir
makna
sedang dari kau
yang batu itu
yang diam itu
yang hening itu
yang semadi itu
dalam stupa itu
telah memberi
beribu makna
tanpa
sebuah
kata
Budha
kita alangkah
beda
(25 Oktober 1979)
SAAT SAAT TERAKHIR MUHAMMAD RASULULLAH

demam itu demam yang pertama demam yang terakhir
bagi rasul terakhir
jam itu adalah jam-jam penghabisan
bagi Utusan Penghabisan
dalam demam yang mencengkram
betapa sabar kau terbaring di selembar tikar
dalam jam-jam yang mencekam
betapa dalam lautan pasrahmu

ada kulihat
matamu berisyarat
adakah gerangan
yang ingin kau pesankan
dalam jam-jam penghabisan
wahai Nabi Pilihan
maka kuhampirkan telingaku yang kanan
dimulutmu yang suci
maka kudengar ucapmu pelan:
dibawah tikar
masih tersisa sembilan dinar
tolong sedekahkan
sesegera mungkin
kepada fakir miskin
mengapa yang sembilan dinar
mengapa itu benar
yang membuatmu gelisah
ya Rasulullah
sebab kemana nanti
kusembunyikan wajahku
dihadirat Ilahi
bila aku menghadap dan Dia tahu
aku meninggalkan bumi
dengan memiliki
duit
biar sedikit
biar cuma sembilan dinar
ke bumi aku diutus
memberikan arah ke jalan lurus
tugasku tak hanya menyampaikan pesan
tugasku adalah juga sebagai teladan
bagi segala orang yang mencintai Tuhan
lebih dari segala dinar
lebih dari segala yang lain
miskin aku datang
biarlah miskin aku pulang
bersih aku lahir
biarlah bersih hingga detik terakhir
sembilan dinar
pelan-pelan kuambil dari bawah tikar
bergegas aku keluar
dari kamarmu yang sempit
kamarmu yang amat sederhana
bergegas aku melangkah ke lorong-lorong sempit
diatas jalan-jalan pasir tanah Madinah
mensedekahkan
dinar yang sembilan
kepada orang-orang
yang sangat kau sayang
orang-orang miskin seperti kau
orang-orang yatim seperti kau
dan demam itu demam yang pertama demam yang terakhir
bagi Rasul terakhir
dan jam itu adalah detik penghabisan
bagi Utusan Penghabisan
Muhammad
kau tak di situ lagi di tubuh itu
tinggal senyum di bibirmu
tinggal teduh di wajahmu
Rasulullah
miskin kau datang miskin kau pulang
bersih kau lahir bersih hingga detik terakhir
(Makassar, 28 Oktober 1979)

SALIB
Yesus turun dari tiang salibnya
di bukit Golgotha
tanpa luka ditubuhnya
tanpa darah dijubahnya
tanpa dendam dihatinya
dari bukit itu
Yesus memandang Yerusalem
dengan mata rindu
dan sebelum melangkah turun menuju
Kota Suci
ia menitipkan mahkota duri
pada serdadu Romawi
yang dulu
menyalibnya
di perbatasan kota
Ia dicegat tentara Israel :
kamu Arab atau Yahudi
dan Yesus menjawab lugu:
aku orang Nazaret
ibuku Maria
ayahku Yosef tukang kayu
kau boleh terus
kata tentara Israel yang Yahudi Polandia
masuklah ke Yerusalem
kota yang telah kita rebut
setelah ribuan tahun kita tinggalkan
masuklah dengan rasa bangga didalam hati
karena kamupun pemuda Yahudi
Yesus langsung ke sebuah apartemen
tempat tinggal Menachen
anggota parlemen
dari fraksi
yang paling fanatik Yahudi
adakah keresahan
yang ingin kaukemukakan
wahai anak muda
sambut Menachen
dengan ramah
dan Yesus mengimbau dengan sopan
bolehkah aku dipertemukan
di Yerusalem ini
dengan seseorang
yang bernama Yasser Arafat?
Siapa? Anwar Sadat?
tanya Menachen yang kupingnya agak gawat
oh dia sudah pernah kesini
sekarang dia tentu sedang di Kairo
kalau tidak sibuk menghitung pasir di Sinai
tapi gampang
kalau kau perlu sekali bertemu
beres
kita bisa telepon dia setiap waktu
bukan
bukan Anwar sadat
tapi Yasser
Yasser Arafat
kata Yesus dengan suara yang lebih dikeraskan
mendengar itu
Menachen merah matanya meledak teriaknya
kau gila anak muda
Yasser Arafat kau tahu siapa
dia pemimpin Arab Palestina
musuh Israel nomor satu
musuh kita yang paling kepala batu
mintalah yang lain
jangan yang itu
tak mungkin
tak bakalan lagi kita biarkan
satu sentipun tanah Israel yang sudah kita rebut
untuk disentuh oleh Yasser Arafat
Yesus
kembali ke Golgotha
melewati Via Dolorosa
kepada sedadu Romawi
yang dititipi mahkota duri
Yesus berbisik :
salibkan aku
sekali lagi
(Makassar, Natal 1979)
Dikutip dari buku kumpulan puisi Husni Djamaluddin “BULAN LUKA PARAH”
Penerbit : Pustaka Jaya


Dalam puisi-puisinya yang khas Husni Djamaluddin telah berhasil meluluhlantakkan kata dengan bangunan eksotisme sejarah, alam dan kenyataan zaman untuk membangunnya kembali menjadi renungan dan tindakan."
Sebagaimana yang dilakukannya selama ini untuk kampung halamannya dan Indonesia. Meski ia pernah bertanya bingung dalam salah satu puisinya "Indonesia, masihkah engkau tanah airku?


INDONESIA, MASIHKAH ENGKAU TANAH AIRKU
Indonesia tanah airku
tanah tumpah darahku
di sanalah aku digusur
dari tanah leluhur

Indonesia tanah airku

tanah tumpah darahku

di sanalah airku dikemas

dalambotol-botol aqua
Indonesia tanah airku
di sanalah aku berdiri
jadi kuli sepanjang hari
jadi satpam sepanjang malam
Indonesia tanah airku
Indonesia di manakah tanahku
Indonesia tanah airku
Indonesia dimanakah airku
Indonesia tanah airku
tanah bukan tanahku
Indonesia tanah airku
air bukan airku
Indonesia, masihkah engkau tanah airku ?
Tuhan, jangan cabut Indonesiaku
dari dalam hatiku

Mira W. Bukan Sastra Pop Biasa

Mira W. demikian nama yang ia tuliskan dalam setiap karyanya. Orang Indonesia yang kebetulan tidak mengenal namanya pasti tidak pernah membaca novel romantis pada usia remaja. Sebab sebahagian besar novel remaja yang paling digandrungi di tanah air terutama dekade 80 hingga 90-an merupakan karya Mira W. yang banyak menghiasi rak-rak toko buku hingga tikar pengecer buku di tepi jalan.

Lebih dari 67 karyanya dalam bentuk novel, cerpen bahkan kumpulan puisi romantis ditulis oleh alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti ini. Menulis adalah hobi Mira, sedangkan menjadi dokter sudah menjadi panggilan jiwanya. Beberapa novelnya pernah difilmkan di antaranya Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi , Kemilau Kemuning Senja, Permainan Bulan Desember, Dari Jendela SMP, Tak Kupersembahkan Keranda Bagimu dan Ketika Cinta Harus Memilih. Sedangkan Bukan Cinta Semusim, Cinta Pertama Kali Bersemi, Seandainya Aku Boleh Memilih, hingga Cinta, yang pernah disinetronkan dengan pemeran utama Desy Ratnasari dan Primus Yustisio. 

Novelnya Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi, mencapai oplah 10.000 dan mengalami lima kali cetak ulang. Tapi aneh, ia tidak bersedia menulis skenario atau main film, walaupun ia berasal dari keluarga film. Ayahnya, Othiel Widjaja, dulu dikenal sebagai produser Cendrawasih Film.

Terlahir sebagai Mira Widjaja di Jakarta, 13 September 1951. Novelis terkenal ini ternyata masih melajang hingga kini (sepengetahuan penulis). Menggunakan nama Mira W. dalam setiap novelnya. Mira mulai menulis sejak kecil dan karangan pertamanya, Benteng Kasih, dimuat di majalah Femina pada tahun 1975 dengan honor hanya Rp 3.500. Karya pertamanya itu semakin membuatnya percaya diri untuk terus menulis. Novelis yang populer di kalangan remaja ini mengaku karyanya mengalir begitu saja, sederhana dan mudah dicerna oleh remaja.

Karya-karya Mira banyak dipengaruhi oleh karya- karya Nh. Dini, Marga T., J.B. Mangunwijaya, Agatha Christie, Pearl S. Buck, dan Harold Robbins.Tema-tema yang selalu diangkat Mira W. adalah cinta dengan tokoh utama seorang perempuan. Namun ia tak bermaksud menyampaikan pesan tertentu bagi kaumnya. Mira mengaku sama sekali tak pernah bercita-cita jadi novelis. Tapi sejak tahun 70-an Mira terlanjur diterima masyarakat Indonesia. Hingga kini novelnya yang begitu banyak tetap berhasil menghipnotis remaja yang gemar membaca.

Sebutan Sastra pop sebagai genre yang melekat pada karya Mira W. diakui oleh para kritikus sebagai sastra pop yang tidak sembarangan. Salah satu kehebatannya adalah ternyata di Indonesia banyak penggemar novel karya Mira W. yang tertular juga menjadi penulis.

Pramoedya Ananta Toer; Terbuang, Terlarang dan Terpenting

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 17 Juli 2009 | Juli 17, 2009



Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang sastrawan Indonesia terpenting dalam angkatan 45. Seorang penulis prosa yang terpenting dalam zaman itu, bukan saja karena sedemikian kompleksnya persoalan yang dikemukan dalam semua karya kreatifnya tapi juga nilai kualitas karya-karyanya yang begitu istimewa. 

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 dan wafat di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun. Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Hingga kini masih dianggap sebagai salah satu pengarang yang paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.


Puluhan karyanya kebanyakan tidak sempat dibaca oleh anak-anak bangsa ini lantaran karyanya lebih sering dilarang diterbitkan seperti: Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947, Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi ,Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949,Keluarga Gerilya (1950)Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen Bukan Pasar malam (1951)Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpenCerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953Gulat di Jakarta (1953), Midah Si Manis Bergigi Emas (1954), Korupsi (1954), Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit Cerita Dari Jakarta (1957), Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965,Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965, Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965 Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963), Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbitBumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981, Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981,Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-IndonesiaJejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985, Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985, Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987, Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988, Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995, Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), Mangir (2000), Larasati (2000), dan Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005).
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.




Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya. Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga pernah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Pramoedya adalah satu-satunya sastrawan yang karyanya paling sering dilarang beredar, dibuang bahkan dibakar oleh rezim orla dan orba. Namun justru dia sastrawan yang paling digemari oleh para aktivis muda tanah air yang selalu menginginkan perubahan. Banyak percikan pikirannya melalui tulisan yang masih sering menjadi referensi bagi kaum radikal.






























Ayu Utami: Yang Dikecam, Yang Antik


Beberapa bulan lalu penulis pernah mengecam novelis hebat kita ini. Tapi tentunya kecaman tersebut masih dalam koridor objektifitas sudut pandang. Mengkaji setiap karya ataupun diri Ayu Utami sendiri memang selalu memunculkan revolusi pemikiran yang berkembang, liar, sekaligus mengagumkan. 

Dalam sebuah diskusi Ayu Utami pernah melontarkan pikirannya bahwa inti dari spiritualitas adalah adanya tempat misteri. Memberi tempat bagi misteri bukan berarti menolak yang bukan misteri. Sebaliknya, orang harus menganggap misteri sebagai teka-teki dan melawannya sampai titik ia kehabisan tenaga dan percaya bahwa yang dihadapinya bukan teka-teki, melainkan memang misteri.

Ayu Utami Semasa kecil suka berkhayal sebelum tertidur. Tapi mungkin itu memang kebiasaan dari kebanyakan para sastrawan di masa kecil. Justina Ayu Utami adalah aktivis jurnalis dan novelis Indonesia, ia lahir di Bogor, 21 November 1968, besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia.




Ayu pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Setelah rezim Orde Baru membredel Tempo, Editor dan Detik , ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Ia juga bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama, Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Novel Saman pernah menuai kontroversi di kalangan moralis dan agamawan sebab dinilai sebagai bagian dari "sastra selangkang" yang mengeksploitasi kelincahan bahasa vulgar.



Ayu mulai dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Akhir 2001, ia meluncurkan novel Larung. Ayu Utami meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2008 untuk kategori prosa lewat novelnya, Bilangan Fu.




Keunikan gaya dalam teks sastra "antik" yang memperkaya novelnya menjadikan Ayu berbeda dengan novelis lainnya. Dalam hal tema-tema yang diusungnya, Ayu telah berhasil merangsang daya gedor pikiran kita untuk menelanjangi makna perempuan dari segala sisi. 

Sebuah kutipan dari selembar halaman dalam novel Bilangan Fu: Perempuan dikuasai oleh monster ubur-ubur di dalam perutnya. Mereka senang melakukan percintaan yang membuang banyak tenaga hanya jika monster itu masih mengharapkan lebih. Jika sang monster memperkirakan bahwa lelaki Y tak akan menghasilkan lebih, ia akan memerintahkan si perempuan untuk menghemat energi. Ketika itulah mereka memilih posisi telentang. Demikianlah ekonomi perempuan.

Dewi Lestari, Kemandirian Pena Penulis Perempuan

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 15 Juli 2009 | Juli 15, 2009


Dewi Lestari Simangunsong yang lebih akrab disapa Dee lahir di Bandung, Jawa Barat, 20 Januari 1976. Penulis dan penyanyi Lulusan jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan ini awalnya dikenal sebagai anggota trio vokal Rida Sita Dewi. Kesuksesannya sebagai novelis perempuan ternyata mengalahkan karirnya di bidang musik. 

Novelnya, Supernova yang populer pada tahun 2001 melambungkan namanya. Keistimewaan karyanya, Supernova pernah masuk nominasi Katulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books. Bersaing bersama para sastrawan kenamaan seperti Goenawan Muhammad, Danarto lewat karya Setangkai Melati di Sayap Jibril, Dorothea Rosa Herliany karya Kill The Radio, Sutardji Calzoum Bachri karya Hujan Menulis Ayam dan Hamsad Rangkuti karya Sampah Bulan Desember.

Anak keempat dari lima bersaudara ini sejak kecil telah akrab dengan musik. Sebelum bergabung dengan Rida Sita Dewi (RSD), Dee pernah menjadi backing vocal untuk Iwa K, Java Jive dan Chrisye. Tahun 1994, ia bersama Rida Farida dan Indah Sita Nursanti bergabung membentuk trio Rida Sita Dewi (RSD). Pada tahun 2006 Dee meluncurkan album berbahasa Inggris berjudul Out Of Shell,dan tahun 2008 melucurkan album RectoVerso,Album Ini mengundang Arina Mocca berduet di lagu Aku Ada dan berduet di lagu Peluk dengan Aqi Alexa. Salah satu hitsnya Adakah Malaikat Juga Tahu. Di Album ini juga Dee merilis ulang lagu milik marcel Siahan berjudul Firasat.

Jauh sebelum Supernova terbit sewaktu masih menjadi siswi SMU 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan untuk buletin sekolah. Tulisan Dee pernah dimuat di beberapa media. Cerpennya "Sikat Gigi" pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter. Tahun 1993, ia mengirim tulisan berjudul "Ekspresi" ke majalah Gadis yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis dimana ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul "Rico the Coro" yang dimuat di majalah Mode.

Novel pertamanya yang sensasional, Supernova Satu : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, dirilis 16 Februari 2001. Novel yang laku 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar ini banyak menggunakan istilah sains dan cerita cinta. Bulan Maret 2002, Dee meluncurkan “Supernova Satu” edisi Inggris untuk menembus pasar internasional dengan menggaet Harry Aveling (60), ahlinya dalam urusan menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris. Sukses dengan novel pertamanya, Dee meluncurkan novel keduanya, Supernova Dua "Akar" pada 16 Oktober 2002. Pada bulan Januari 2005 Dee merilis novel ketiganya, Supernova episode Petir. Kisah di novel ini masih terkait dengan dua novel sebelumnya. Hanya saja, ia memasukkan 4 tokoh baru dalam Petir. Salah satunya adalah Elektra, tokoh sentral yang ada di novel tersebut. Agustus 2008, Dee merilis novel berjudul Rectoverso yang merupakan perpaduan unik dari fiksi dan musik. Recto Verso-pengistilahan untuk dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan. Saling melengkapi. Buku Rectoverso terdiri dari 11 fiksi dan 11 lagu yang saling berhubungan.

Dee tergolong penulis langka. Pemasaran novelnya tidak semata bergantung pada jaringan toko buku besar. Dee memanfaatkan keunggulan internet, diskusi buku dan temu pengarang di kampus-kampus. Dee bahkan rela menghabiskan tabungannya sendiri untuk membentuk penerbitan sendiri bernama Truedee Books. Alasannya memilih merangkap menjadi penerbit selain menjadi penulis karena ia tidak ingin naskahnya diedit oleh penerbit apalagi dulu sempat beberapa kali ditolak oleh beberapa penerbit. Dee, ia gambaran kemandirian sebagai perempuan sastrawan.

Eliza V. Handayani: Perkawinan Eksotik Sains dengan Seni Sastra


Mengawinkan sains dan Seni Sastra pertama kali dilakukan oleh Jules Verne, bapak fiksi ilmiah. Novelnya yang terkenal seperti 20.000 Mil di Bawah Permukaan Laut, telah memproyeksikan penggunaan kapal selam sebelum ditemukan oleh manusia dan memprediksi penggunaan listrik sebagai sumber tenaga, 100 tahun sebelum listrik itu sendiri ditemukan. 

Dalam novelnya, Perjalanan ke Bulan, Jules Verne juga memprediksi usaha manusia untuk melakukan perjalanan ke bulan, jauh sebelum adanya misi Apollo. Penulis lain yang juga seorang astronom Perancis, Camille Flammarion, telah menulis novel yang berjudul Lumen tentang perjalanan yang lebih cepat dari cahaya, 30 tahun sebelum Einstein merumuskann teori relativitas. Penulis lainnya yang memilih jalur fiksi ilmiah adalah Michael Crichcton. Karya-karyanya seperti Jurrasic Park, Lost Word, Sphere dan Time Line menjadi best seller internasional, bahkan difilmkan.

Di Indonesia juga telah terlahir novelis fenomenal beraliran fiksi ilmiah bernama Eliza V. Handayani yang menggegerkan jagad sastra tanah air sejak 2003. Para penggemar fiksi ilmiah berkualitas sebelumnya hanya mengenal Dewi Lestari melalui Supernova Satu : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh yang sensasional dengan perpaduan cerita cinta dan sains. Melalui novelnya Area X: Hymne Angkasa Raya (yang "merupakan novel canggih" meminjam istilah Taufik Ismail dalam sebuah diskusi), obsesi Eliza terlihat dalam tema besar yang menggambarkan tantangan konkret masa depan teknologi di negeri ini serta dalam penokohan yang diperankan oleh sosok-sosok muda berbakat dengan kuriositas dan rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa. 

Cerita tersebut ditulis tahun 1998 saat Eliza masih bersekolah di kelas 2 SMU. tahun 1999 memenangkan Lomba Penulisan Naskah Film/Televisi. Lalu diterbitkan secara bersambung di Majalah Sastra Horison Januari-September 2001. Dan mendapat Juara kedua dari unsur cerita Adikarya Award 2004. Baru tahun 2003 terbit dalam satu novel utuh, setelah direvisi keempat kalinya oleh sang penulis hebat ini.

Eliza V. Handayani lahir di Jakarta tahun 1982. Satu dari sedikit penulis perempuan Indonesia yang memilih genre fiksi ilmiah ini adalah alumnus Wesleyan University, Amerika Serikat. Eliza mulai menulis sejak usia 8 tahun dan mneulis novel di usia 12 tahun. Baginya, menulis adalah rumahnya. Dalam Area X: Hymne Angkasa Raya, UFOlogi adalah bidang yg dipilih oleh seorang Eliza V. Handayani untuk menyampaikan suaranya pada banyak orang yg sering mengabaikan, meremehkan, dan mengolok-olok pilihan profesi yg ingin diseriusinya, yaitu sebagai penulis dan sutradara film. Mengingat lingkungan sekolahnya (SMU Taruna Nusantara) yang lebih condong terobesesi menjadi panglima tinggi ABRI, ilmuwan dan politikus.

Eliza berkata di suatu hari,"Dan saya pikir, perjuangan orang-orang ini (UFOlogi) serupa dengan perjuangan saya-dan perjuangan siapa saja yang yakin akan tujuan mereka namun belum diterima oleh umum. Kemudian saya sadar, jika saya akan menggunakan dunia mereka sebagai perantara kisah saya, maka saya harus selami benar seluk-beluknya. Akan sangat tidak adil rasanya jika saya hanya memberikan pandangan sebelah mata terhadap dunia yang sudah rela saya susupi dan gunakan ini." Keseriusannya menyelami bidang UFOlogi dibuktikannya dengan membaca, mencari dan mengumpulkan data dari sumber literatur ratusan buku, jurnal dan buletin dari berbagai sumber termasuk perpustakaan Wesleyen University, Amerika Serikat, tempat Eliza pernah menuntut ilmu studi film dengan beasiswa penuh. Eliza V. Handayani telah membuktikan eksotisme perkawinan sains dan seni sastra. Seperti penulis fiksi ilmiah lainnya, Eliza berhasil mengajak orang untuk menguak cakrawala pengetahuan astronomi dan sains melalui kelincahan bahasa dalam cerita imajinasinya. Sayang, ia barulah satu dari sedikit penulis perempuan di negeri ini.











Ahmad Tohari, Novelis yang Santri

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 14 Juli 2009 | Juli 14, 2009


Sosoknya sederhana terutama dalam berpakaian. Perawakan kecil tapi menyimpan energi besar di batok kepalanya yang berupa ide-ide buat bangsa. Jeli dan jenius terutama dalam hal memotret kondisi orang Indonesia melalui novel dan cerpen mulai zaman orla, orba dan zaman apapun yang pernah dia lewati. 

Dialah Ahmad Tohari, lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Pernah mengenyam bangku kuliah di Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976).

Ia pernah bekerja di majalah terbitan BNI 46, Keluarga, dan Amanah. Ia pernah mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1990) dan menerima Hadiah Sastra ASEAN (1995). Sebagai novelis Ahmad Tohari telah menetaskan puluhan novel di antaranya Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986), Di Kaki Bukit Cibalak (1986), Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Nyanyian Malam Belantik (2001), Orang Orang Proyek (2002), Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan (novel bahasa Jawa,2006; meraih Hadiah Sastera Rancagé 2007). Kumpulan cerpennya yang terkenal seperti Rusmi Ingin Pulang (2004), dan Senyum Karyamin (1989). Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Tionghoa, Belanda, Jerman dan Inggris.

Siapa sangka novelis ini ternyata jug adalah pimpinan sebuah pesantren di daerah Banyumas, tanah kelahirannya. Dalam buku yang ditulisnya banyak mengangkat penderitaan rakyat yang pernah disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Contohnya beberapa novel diangkat dengan menceritakan keganasan Peristiwa September 1965, dimana ia melihat dengan mata kepala sendiri seorang anak muda dibunuh secara biadab karena diduga PKI. Lalu ada juga kisah tentang keganasan tentara terhadap Gali yang dibunuh secara misterius.Ia juga menyayangkan terjadinya Peristiwa Mei 1998. Jika ada kesempatan, ia akan menulis Peristiwa Mei 98 agar bisa dikenang sebagai sejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Jejak gagasan Ahmad Tohari masih dapat ditemui dalam tulisan-tulisannya di Kompas dan Tempo.

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday