Pertama kali saat membacakan beberapa puisinya di radio, penulis tersadar puisi-puisinya memang ditulis dengan penuh energi. Siapapun yang membaca dan mendengarkannya mungkin juga akan ketularan energi yang tak dapat didefenisikan itu. Siapapun orang Indonesia yang biasa membaca rubrik sastra di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jawa Pos, dan puluhan media cetak lokal dan nasional lainnya pasti akan mengenal nama Isbedy Stiawan ZS.
Ia salah seorang sastrawan nasional paling produktif kelahiran Tanjungkarang, Lampung pada 5 Juni 1958. Di samping kesibukannya sebagai cerpenis, penyair dan esais, ia juga aktif di Dewan Kesenian Lampung dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Pernah diundang ke berbagai pertemuan sastra dan budaya di Tanah Air dan luar negeri seperti Malaysia, Thailand. Sempat membacakan puisi-puisinya di Utan Kayu Internationan Binnale (2005), Ubud Writers and Readers Festival (2007), dan di berbagai tempat lainnya.
Ia salah seorang sastrawan nasional paling produktif kelahiran Tanjungkarang, Lampung pada 5 Juni 1958. Di samping kesibukannya sebagai cerpenis, penyair dan esais, ia juga aktif di Dewan Kesenian Lampung dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Pernah diundang ke berbagai pertemuan sastra dan budaya di Tanah Air dan luar negeri seperti Malaysia, Thailand. Sempat membacakan puisi-puisinya di Utan Kayu Internationan Binnale (2005), Ubud Writers and Readers Festival (2007), dan di berbagai tempat lainnya.
Beberapa dari puluhan karyanya antara lain: Badai (1984), Akhir (1984), Khalwat, Membaca Bahasa Sunyi, Lukisan Ombak, dan antologi-antologi puisi Cermin Langit, Puisi Indonesia 1987, Dari Negeri Poci 2 (1994; F. Rahardi [ed.]), Resonansi Indonesia (2000), dan lain-lain.
Agak berbeda dengan kebanyakan sastrawan yang dibesarkan oleh media cetak, Izbedy ternyata tidak hanya mengandalkan sastra cetak untuk mengalirkan karyanya. Internet adalah rumah kedua bagi tulisan-tulisannya yang seperti air bah. Secara tidak sengaja beberapa hari lalu penulis menemukan blog pribadi sastrawan luar biasa ini di blog kebun kata. Energinya masih mengucur deras meski tak lagi berusia muda.
Menikmati karya-karyan Izbedy seolah bermukim di sebuah titik alam semesta di mana kita bisa melongok ke setiap penjuru langit. Pancuran olah pikir dan rasa yang dituangkannya menandai waktu dan ruang tak terbatas tapi terjamah. Di sana Izbedy bertapa namun bergerak liar kesana kemari. Simak saja beberapa puisinya berikut ini.
mentari tak akan pernah menyapaku
sebab pagi berlalu selagi aku masih lelap
setiba fajar tadi, seusai subuh yang membuluh
dan aku akan beranjak begitu di ubunku dihujani matahari
atau mendung yang menggantung di ujung rambut putihku...
aku pun bergegas, mengumpulkan sisa rempah
yang ditinggal ayam atau cacing
entah ke mana, apa pula
hingga malam lagi, dini hari
"tuhan, jadikan aku berteman dengan matahari," bisikku
aku selalu merindu matahari, seperti tanah merindukan pohon
seperti pohon akan selalu berharap hujan
atau pantai yang kangen pada ombak
tapi apakah peduli mentari, kala aku tak dulu menyapa
adakah sinar akan kubaca jika retinaku katup
apakah kulihat kelebat sekikarnya aku terpejam
bahkan tak pernah ada debar
sekiranya aku tak fahami denyutnya
sebagaimana tak kuakrabi jantungku
pabila di sana sesungguhnya ada rindu...
2009
fajar lain
seperti pucuk daun,
malam terkulai dan embun membelai
mungki sudah lama kutinggal bulan
kulupakan bintang
juga wajahmu menggoda
aku akan tetap berlayar
membelah laut kelam
sedang di pembaringan,
kau sudah menarikku
ke dalam mimpi
dan embun seperti ujung lidahku
tetap menjilati
ujung malam
amboi, sudah hampir aku sampai padamu
fajar lain....
"gegaslah membasuh, lelap di teras subuh."
buang sendu,
jatuhkan ragu!
*juni 2009
Memasuki Dirimu
bila kau belum juga fahami aku
sebaiknya ambil jarak lebih jauh
karena biasanya dari kejauhan
kau bisa melihat seluruhnya
dan merasakan rindu.
kalau tak, kau mesti makin merarapat
karena dengan merasakan aroma
kau mampu mengakrabi aku,
atau masuk ke dalam tubuhku
karena begitu tak lagi luput
mengetahui diriku.
sebab, selama ini aku mencintaimu
sebab aku sudah masuki dirimu
meski masih banyak pula
sesungguhnya dirimu...
*Juni 2009
Izbedy Stiawan SZ, hingga hari ini masih merupakan salah satu tonggak penting "invasi" sastrawan daerah yang datang untuk meluluhlantakkan sentralisasi seni budaya termasuk sastra di ibukota. Luar biasa, sebab tidak semua sastrawan daerah memiliki nyali seperti Izbedy. Ia tetap nyentrik, masih berambut gondrong di usia tua, dan bernyali.