Kini internet nyaris diperlakukan sama dengan kemundulan kertas di zaman dahulu: para sastrawan baru melihatnya sebagai pemindahan medium dari kertas ke web. Baru sebagai tempat pendokumentasian yang lebih terjamin daripada kertas. Tapi apakah cuma itu? Bukankah media baru ini (internet) mempunyai banyak kelebihan-kelebihan (dan juga batasan- batasan), sehingg seharusnya menawarkan bentuk sastra baru? Namun pertanyaannya, sastra seperti apa yang bisa muncul sejiwa dengan media ini. sebagaimana novel sejiwa dengan buku dan cerita pendek sejiwa dengan terbitan berkala dan lirik sejiwa dengan tradisi lisan?.
Kenapa novel muncul ketika ada teknologi buku? Karena, sebelum ditemukannya kertas dan mesin cetak dan penjilidan buku, sastra diceritakan secara lisan. Untuk memudahkan mengingat, cerita biasanya pendek sehingga mudah diceritakan ulang. Dalam tradisi dongeng yang panjang, selalu ada dua kemungkinan: cerita panjang itu ternyata merupakan cerita berbingkai di mana ada lusinan atau puluhan cerita pendek-pendek di dalamnya (misalnya Kisah Seribu Satu Malam), atau cerita panjang itu dibuat dalam bentuk lirik sehingga lebih mudah dihapal (misalnya Mahabarata, Ramayana dan La galigo).
Akan lahir sastra baru dengan media baru? Entahlah tapi sastra Indonesia harus ditulis dari segala pojok sejarah. Kebanyakan sastrawan cyber yakin bahwa itu tidak perlu sebab secara alamiah akan termaktub juga dalam sejarah. Tapi mungkin mereka lupa bahwa sejarah apapun di negeri ini kadang ditulis atas dasar hegemoni. Kerap kali di lembaran buku sejarah, laba-laba menggerayangi pikiran jujur dan kreativitas tulus kita.