Home » » Laba-laba Sejarah

Laba-laba Sejarah

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 27 Maret 2009 | Maret 27, 2009

Sampai saat ini ternyata belum ada (ataukah masih malu-malu?) dari mereka yang suka menulis di internet berkata dengan tegas,"Inilah sastra internet." Mau bukti? Sebagian besar dari mereka ternyata lebih banyak memberi judul blog atau apapun namanya tulisan dan karya mereka sebagai sesuatu yang bukan sastra. Maaf. Tapi sudahkah anda temukan istilah sastra internet dalam sejarah sastra di negeri ini?
Menurut sejarah, setiap penemuan media baru, revolusi besar-besaran muncul dalam proses kreatif sastra. Saat ditemukannya kertas, muncullah mesin cetak dan teknologi penjilidan buku, tradisi sastra lisan bergeser ke sastra tulis. Pada awalnya kertas dipandang tak lebih dari alat pendokumentasian sastra tulis yang selama ini diceritakan dari mulut ke mulur, namun penemuan baru juga dimunculkan oleh tradisi sastra tulis semisal novel yang berkembang sejalan dengan penemuan buku dan cerita pendek lebih berkembang dengan munculnya penemuan terbitan berkala.

Kini internet nyaris diperlakukan sama dengan kemundulan kertas di zaman dahulu: para sastrawan baru melihatnya sebagai pemindahan medium dari kertas ke web. Baru sebagai tempat pendokumentasian yang lebih terjamin daripada kertas. Tapi apakah cuma itu? Bukankah media baru ini (internet) mempunyai banyak kelebihan-kelebihan (dan juga batasan- batasan), sehingg seharusnya menawarkan bentuk sastra baru? Namun pertanyaannya, sastra seperti apa yang bisa muncul sejiwa dengan media ini. sebagaimana novel sejiwa dengan buku dan cerita pendek sejiwa dengan terbitan berkala dan lirik sejiwa dengan tradisi lisan?.

Kenapa novel muncul ketika ada teknologi buku? Karena, sebelum ditemukannya kertas dan mesin cetak dan penjilidan buku, sastra diceritakan secara lisan. Untuk memudahkan mengingat, cerita biasanya pendek sehingga mudah diceritakan ulang. Dalam tradisi dongeng yang panjang, selalu ada dua kemungkinan: cerita panjang itu ternyata merupakan cerita berbingkai di mana ada lusinan atau puluhan cerita pendek-pendek di dalamnya (misalnya Kisah Seribu Satu Malam), atau cerita panjang itu dibuat dalam bentuk lirik sehingga lebih mudah dihapal (misalnya Mahabarata, Ramayana dan La galigo).

Akan lahir sastra baru dengan media baru? Entahlah tapi sastra Indonesia harus ditulis dari segala pojok sejarah. Kebanyakan sastrawan cyber yakin bahwa itu tidak perlu sebab secara alamiah akan termaktub juga dalam sejarah. Tapi mungkin mereka lupa bahwa sejarah apapun di negeri ini kadang ditulis atas dasar hegemoni. Kerap kali di lembaran buku sejarah, laba-laba menggerayangi pikiran jujur dan kreativitas tulus kita.


Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday