Home » » Sebuah Alinea Seni Budaya

Sebuah Alinea Seni Budaya

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 17 April 2009 | April 17, 2009


Di Indonesia zaman lampau banyak seniman seperti HB Yasin dan Mochtar Lubis yang memproklamirkan Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Mungkinkah mereka waktu itu benar-benar di atas normal kekhawatiran sehingga melakukan pensucian seni dan budaya sebagai hasil cipta-rasa-dan karsa manusia, dan bukan demi kepentingan politik yang barangkali terlalu berjelaga. Manakah yang lebih penting manifesto politik, ataukah manifesto kebudayaan?

Sekilas lintas sejarah. Pada jamannya Bung Karno dulu di era1960-an kata-kata Manifesto Politik (Manipol) sungguh sakral bin keramat, orang bisa jadi panutan atau tahanan dengan frase tersebut. Pemerintah (baca 'Pemimpin Besar Revolusi') selalu mendengungkan apa yang namanya Politik Adalah Panglima, semua elemen bangsa harus mendukung 'revolusi politik' dan jika di luar itu tentu bakal terhantam kereta api revolusi. Sedangkan istilah 'revolusi' sendiri mungkin saja dimaksudkan sebagai pembersihan anasir-anasir barat, yang dirasa selalu mengancam dengan "nekolim" atau neo kolonialisme dan imperialisme, certainly yang dimaksud di sini adalah AS dan sekutunya, serta musuh-musuh politik sang Pemimpin Besar. Ini lebih cepat 6 tahun dibanding RRC di bawah Mao Zedong, yang baru meluncurkan Cultural Revolution-nya (formula politik yang mirip) di tahun 1966.

Manifesto politik merasuk ke semua sektor, termasuk seni dan budaya. Hal ini dibaca dengan baik oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang sukses memproduksi beragam kesenian berbau propaganda anti barat, anti liberalisme, anti kapitalisme. Alhasil, Lekra sama saja dengan "kaum komunis" meminjam istilah rezim orde baru, dulu. Kemudian karena merasa seni dan budaya telah dikotori politik (padahal tentu saja tak ada 'barang' yang lebih kotor dari itu), maka lahirlah Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Pada tahun 1905, Lenin pernah berkata dengan sombong, "Kesenian seharusnya menjadi alat, menjadi sekrup bagi perjuangan kaum proletar". Hal ini lah yang mungkin dipakai sebagai semacam justifikasi bagi blending menifesto politik ke badan-badan budaya. Mungkin itulah awal penangkapan seniman-seniman manifesto kebudayaan di tanah air. Terjadilah prahara budaya dan politik di tengah bangsa yang masih berusia belia.

Ketika virus politik merambati budaya, kita tidak lagi bicara soal estetika, tetapi soal tujuan dan kepentingan. Jika ada orang saling membunuh atas nama kebudayaan, itu sebuah paradoksal yang sangat di luar nalar. Bagaimana mungkin manusia menjadi barbar atas nama budaya dan estetika? Seperti halnya, bagaimana bisa manusia menjadi lebih kejam daripada setan saat berjuang atas nama Tuhan?

Saya pun tidak bisa membayangkan jika seorang pelajar miskin terkulai sakit akibat beberapa hari tidak makan sambil tertidur setelah harus menghapal sebuah puisi yang akan dibacakan di depan kelasnya minggu depan. Untuk apa seni budaya disucikan jika masih ada orang-orang lapar? Manikebu dan Manipol, dua paragraf kebijaksanaan kehidupan dalam catatan sejarah. Saat ini berbagai kondisi bangsa juga tidak beda jauh dengan episode lalu-lalu. Sejarah terus bergerak dan mencatat alinea-alineanya, hitam dan putih.

Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday